Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng pertama di Batavia. Benteng Batavia dibangun seiring dengan penetapan muara sungai Tjiliwong sebagai ibukota (stad) VOC yang baru, sejak 1619. Casteel Batavia tentu saja bukan satu-satunya benteng VOC di Batavia. Benteng sendiri bagi VOC dari sisi luar adalah untuk fungsi pertahanan, tetapi dari sisi dalam benteng juga berfungsi sebagai komplek bangunan untuk berbagai hal: pimpinan, administrasi, gudang komoditi, gudang senjata, barak pekerja, barak tentara dan sebagainya. Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng terbesar VOC di Oost Indie (Hindia Timur).
Stad Batavia dan benteng sekitar Batavia (Peta 1660) |
Benteng
di Batavia dan sekitar terbilang cukup banyak. Jumlah benteng VOC di sekitar
Batavia diperkirakan sebanyak 20 buah. Benteng-benteng dibangun sesuai dengan
situasi dan kondisi wilayah. Lokasi dimana benteng dibangun ditentukan atas
pertimbangan potensi (ekonomi) wilayah dan kemungkinan munculnya ancaman
(serangan) di wilayah sekitar. Pembangunan benteng adalah investasi pertama VOC
di wilayah yang baru.
Benteng-Benteng di Batavia dan
Sekitar (1656)
Pada
awal kolonialisasi Belanda/VOC tahun 1619 di muara sungai Tjiliwong dibangun
benteng besar (yang kemudian disebut Casteel Batavia). Benteng ini berfungsi
ganda: pertahanan, tempat dimana gudang komoditi ditempatkan, tempat para
pimpinan, barak-barak tenaga kerja dan pasukan serta tempat para pemimpin lokal
yang bekerjasama.
VOC umumnya membangun benteng di area kosong dan
lokasinya bersifat marjinal (sebagaimana kita lihat juga dalam perkembangannya).
Benteng pertama di muara sungai Tjiliwong (yang kemudian disebut Casteel
Batavia) dibangun di area kosong dan lahan marjinal. Benteng ini tidak
mengambil posisi di Soenda Kalapa, juga tidak di Jacatra (baca: Jayakarta)
tetapi memilih lokasi di sisi timur muara sungai Tjiliwong dekat pantai.
Penetapan lokasi atas pertimbangan menghindari okupasi dan fungsi pertahanan
(strategis dalam bertahan juga tidak menyulitkan jika harus melakukan escape). Serangan
pertama terhadap keberadaan Casteel Batavia adalah serangan yang dipimpin oleh
Soeltan Agoeng dari Mataram. Sejak itu benteng Batavia diperkuat dan juga
diperluas.
Dalam
perkembangannya muncul resolutie van Gouverneur Generaal en Raden tanggal 12
Mei 1656 VOC yang memutuskan akan dibangun benteng di sejumlah tempat di
Batavia. Saat itu, ibukota (stad) Batavia sudah cukup besar, pemukiman dan
aktivitas orang-orang Eropa/Belanda sudah meluas di luar Casteel Batavia. Adanya
resolusi pembangunan benteng-benteng baru diduga untuk lebih memperkuat
pertahanan ibukota (stad) Batavia dan juga membuka prospek untuk melakukan
berbagai jenis usaha di sekitar Batavia seperti pertanian (estate) dan industri
(pabriek). Strategi ekonomi yang hanya berlandaskan perdagangan yang longgar di
kota-kota pantai sudah tidak sepadan lagi dengan ekspektasi jangka panjang
(untuk mengantisipasi pasar Eropa yang terus berkembang). Kebijakan VOC secara
bertahap diarahkan agar penduduk (lokal) sebagai subjek.
Penetapan benteng-benteng berdasarkan resolutie
van Gouverneur Generaal en Raden tanggal 12 Mei 1656 antara lain pembangunan
benteng di Jacatra, Noordwijk dan Ryswyck. Benteng-benteng ini rancangannya
telah dilukis oleh Johannes Listing (1656).
Pada peta
situasi tahun 1660 selain Casteel Batavia sudah terdapat tiga benteng baru yang
lebih kecil di sekitar Batavia. Benteng-benteng tersebut adalah Fort Jacatra di
sekitar Mangga Dua yang sekarang; Fort Noordwijk di sekitar Jl. Juanda atau Jl
Dr. Sutomo yang sekarang; dan Fort Ryswyck di sekitar Harmoni yang sekarang. Adanya
benteng-benteng ini para investor VOC mulai investasi dalam bidang estate,
pembukaan perkebunan-perkebunan dan pecetakan sawah-sawah baru. Para investor
VOC juga mulai mengembangkan pabrik gula (kelapa dan aren) dan kemudian pabrik
gula tebu sehubungan dengan perkebunan-perkebunan tebu yang telah mulai
menghasilkan. Pembangunan industri gula ini kemudian mendatangkan tenaga kerja
dari Tiongkok.
Sementara itu, perdagangan di luar Batavia
seperti di Sulawesi, Jawa dan Sumatra masih menjadi prioritas. Ekspansi
perdagangan kemudian diperluas ke Sumatra (terutama Sumatra’s Westkus) dengan
membangun pos-pos perdagangan di (poelaoe Tjinco), Air Hajie dan Padang (1666)
dan Baroes (1669). Di Makassar penentangan terhadap VOC mulai muncul yang
berakhir dengan terjadinya Perang Gowa (1669) yang dipimpin oleh Soeltan Hasan
Oedin (baca: Sultan Hasanudin).
Perkembangan
pertanian dan industri di Batavia dan sekitar yang sudah mulai kondusif
(menguntungkan), VOC mulai mengeksplorasi (poelaoe Jawa) dengan melihat posisi
Chirebon dan Bantam [Banten]. Pengembangan pertanian tebu akan diperluas ke
Jawa untuk mendukung industri gula di Batavia.
Untuk memperlancar strategi ekspansi VOC,
sejumlah benteng dibangun di Bantam, Chirebon dan Tagal [Tegal]. Benteng Bantam
dibangun sebagai wujud untuk memulai penaklukan Kesultanan Banten, demikian
juga dengan benteng di Chirebon (untuk penaklukan Kesultanan Chirebon). Lalu
kemudian benteng dibangun di Tegal untuk memulai ekspansi ke (wilayah) Mataram
dan benteng dibangun di hulu sungai Tjiliwong [di Bogor] untuk memulai ekspansi
ke (wilayah) Priangan.
Fort Padjadjaran (1687)
Setelah
benteng-benteng di Batavia dan sekitar dibangun dan setelah sejumlah benteng
dibangun di Banten, Chirebon dan Tegal, VOC mulai merintis jalan ke hulu sungai
Tjiliwong (eks Pakwan Padjadjaran) dengan melakukan ekspedisi tahun 1687 yang
dipimpin oleh Sersan Scipio.
Ekspedisi ke Pakwan Padjadjaran ini uniknya tidak
dilakukan dari pantai utara Jawa, tetapi sebaliknya melalui pantai selatan Jawa
di Pelabuhan Ratu yang sekarang. Dari pantai selatan, tim ekspedisi merangsek
hingga menemukan lokasi strategis yang merupakan eks Pakwan Padjadjaran.
Dalam
ekspedisi ini (1867), benteng VOC ditetapkan dibangun di hulu sungai Tjiliwing
yang disebut Fort Padjadjaran (lokasinya persis berada di Istana Bogor yang
sekarang). Benteng di hulu sungai Tjiliwong ini fungsinya tidak sebanyak
Casteel Batavia, tetapi hanya sekelas benteng Jacatra, Noordwijk dan Ryswyck.
Fungsinya hanya satu: fungsi pertahanan saja yakni untuk lebih melindungi
perkebunan (estate) yang semakin meluas ke hulu sungai Tjiliwong.
Investor VOC pertama yang mulai merintis
perkebunan terjauh di hulu sungai Tjiliwong adalah Cornelsis Chastelein di Sringsing
(dan kemudian membuka lahan baru di Depok). Sejak itu muncul pembukaan perkebunan
baru di Tjinirie (sebelah barat Depok) dan Pondok Terong (sebelah selatan
Depok) oleh St. Martin. Wilayah sisi barat sungai Tjiliwong dianggap mulai aman
sehubungan dengan penaklukan Banten. Penaklukan Banten dilakukan oleh pasukan
di bawah pimpinan Kapitein Jonker dan kemudian diselesaikan oleh Sersan St.
Martin. Pembukaan lahan di Tjinirie dan lahan di Pondok Terong adalah bentuk
hadiah yang diberikan Gubernur Jenderal kepada Sersan St. Martin atas
dedikasinya untuk mengamankan di Banten.
Setelah
benteng Fort Padjadjaran dibangun di hulu sungai Tjiliwong, lalu kemudian
benteng baru dibangun di muara sungai Tjisadane di Tangerang (Fort Tangerang).
Benteng ini berfungsi untuk pertahanan sehubungan dengan semakin meluasnya
perkebunan ke sisi barat sungai Tjiliwong.
Pemberontakan China di Batavia (1740)
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada
‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku
hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar