Baru-baru ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menemukan jembatan gantung di Jalan Gardu Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Jembatan ini menghubungan wilayah Jakarta dan Depok di atas sungai Ciliwung. Jembatan gantung ini, menurut Gubernur sungguh sangat mengkhawatirkan bagi pengguna. Ketika coba melewatinya, jembatan gantung di atas sungai Ciliwung ini Gubernur Anies Baswedan menganggapnya bagaikan jembatan ‘ala’ Indiana Jones (dalam film Indiana Jones).
Peta Srengseng Sawah, 1904 (sekitar Jalan Gardu sekarang) |
Penerapan teknologi jembatan gantung sendiri sesungguhnya tidak ada
salahnya digunakan bahkan di era modern masa kini. Sisi inilah yang menjadi
perhatian. Sisi lain jembatan gantung ini berada di wilayah metropolitan
Jakarta, di satu pihak terkesan sangat kuno tetapi di pihak lain, karena hanya
segitu kebutuhannya (hingga pada masa ini), jembatan kuno ala Indiana Jones ini
sejatinya dapat dipermak sebagai situs eksotik yang valuenya tinggi sebagai
bagian dari daya tarik wisata di Srengseng Sawah. Persoalan yang masih tersisa
pada dasarnya hanya terletak pada kualitas jembatan gantung itu sendiri: sudah
sangat mengkhawatirkan karena kualitasnya yang tidak memadai lagi, bahkan
pejalan kaki tertatih-tatih menggunakannya dan jelas sulit dilalui oleh sepeda
motor. Lantas bagaimana sebaiknya? Apakah merevitalisasi jembatan teknologi
zaman kuno atau menggantinya dengan teknologi jembatan modern? Ada plus
minusnya.
Onderneming (estate) C. Chastelein di Sringsing (sejak 1691) |
Peta
kuno 1695 (Tjililitan di timur dan Sringsing di barat)
|
Jembatan gantung terbuat dari rotan di sungai Batang Toroe, 1840 |
Jembatan gantung terbuat kabel telegraf di Batang Toroe, 1860 |
Jembatan bambu Batoe Toelis sunga Tjisadane, Buitenzorg, 1820 |
Teknologi jembatan muncul sebagai pengetahuan masyarakat setempat (lokal)
dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Jembatan di sungai Batang Toroe
memanfaatkan ketersediaan rotan kualitas tinggi (memiliki panjang puluhan meter
dan diamter yang besar). Di West Java (terutama di Buitenzorg dan Preanger)
ketersediaan bambu berkualitas tinggi banyak ditemukan. Oleh karenanya jembatan
tradisional (kearifan lokal masyarakat setempat) di West Java umumnya jembatan
terbuat dari bambu. Insinyur-insinyur Belanda juga tertegun melihat teknologi
jembatan bambu seperti di Batoe Toelis, Bogor: jembatan bambu menggunakan bahan
bambu dengan teknik lengkung ala McDonald (suatu teknik jembatan yang belum ditemukan
dalam teknologi jembatan di Eropa).
Jembatang Merah Bogog dan Jembatan Batang Toroe |
Jembatan bambu spektakuler di sungai Tjitaroem, Bandoeng (1890) |
Jembatan Gantung Srengseng
Sawah: Jembatan Penghubung Sisi Barat dan Sisi Timur Sungai Ciliwung Sudah Ada
Sejak Zaman Old
Sejauh informasi yang terkumpulkan, di era VOC tidak ditemukan satu pun perlintasan
(penyeberangan) di sungai Tjiliwong dengan menggunakan jembatan. Semua
perlintasan melalui air dengan sampan kayu atau rakit yang terbuat dari bambu
di perlintasan Bidara Tjina, Tjililitan, Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong
(Tjitajam). Lalu setelah West Tandjong (Lenteng Agoeng/Srengseng) berkembang
muncul perlintasan melalui sungai di Tandjong (kini sekitar perumahan Tanjung
Barat).
Jembatan kayu
terawal di era VOC ditemukan di hilir sungai Tjiliwong di Kwitang dan di hulu
sungai Tjiliwong di Tjiloear (baca: Warung Jambu yang sekarang) [Jembatan kayu sebelum direlikasi di Warung Jambu, jembatan kayu bearda di sejitar Sempur atau tugu Air Mancur yang sekarang)]. Dengan semakin
mudahnya mendapat bahan baku yang kuat (galvanis, besi baja) dari Eropa (terutama
setelah Terusan Suez dibuka tahun 1869) sejumlah jembatan besi-beton mulai
diterapkan seperti revitalisasi jembatan Kwitang dan jembatan Warung Jambu.
Jembatan besi beton (pondasi beton dengan rangka besi) yang lain lalu kemudian
tahun 1864 dibangun di Meester Cornelis (sekarang jembatan Slamet Riyadi
Jatinegara) sehubungan dengan pembagunan transportasi kereta api [stasion
kereta api kala itu berada di Dipo Bukit Duri yang sekarang). Setelah itu baru tahun
1918 dibangun jembatan besi-beton di Depok (yang dikenal sebagai jembatan Panus
yang situs aslinya masih dapat dilihat sekarang).
Jembatan bambu di atas sungai sudah sejak zaman kuno ada di wilayah hulu
sungai Tjiliwong, tetapi itu hanya terbatas di atas sungai-sungai kecil seperti
sungai Pesanggrahan (barat), sungai Tjikeas (timur). Hulu sungai Tjiliwong yang
berdekatan dengan hulu sungai Tjisadane di Buitenzorg (baca: Bogor) juga sudah
ditemukan jembatan bambu di sungai Tjisadane di Batoe Toelis dan Panaragan dan
sungai Tjiliwong di Gadog (kini Gadok, Ciawi).. Dua sungai ini makin ke hilir
ke arah Batavia makin lebar dan sulit untuk mencari posisi tepat untuk
membangun jembatan bambu. Besar dugaan bahwa dari Tjikini hingga Pomdok Terong
tidak pernah ada jembatan bambu karena jarak antara dua sisi sungai cukup
lebar.
Wilayah Lenteng
Agoeng (di era Cornelis Chastelein lebih populer disebut Sringsing) sacara
defacto (geologis) memiliki cukup banyak celah sungai yang relatif sempit
(tidak terlalu lebar dan juga bukan jurang yang dalam). Sebaliknya sangat sulit
menemukan topografi daerah aliran sungai (DAS) yang telatif datar untuk
memungkinkan adanya perlintasan sungai menggunakan sampan atau rakit bambu. Di
wilayah inilah jembatan gantung ‘ala; Indiana Jones versi Gubernur Anies
Baswedan berada. Sementara itu, jalan darat (kuda dan karavan) dari era zaman
kuno (era Padjadjaran) dari Pakuan (Buitenzorg) hingga ke Soenda Kalapa
(Batavia), yang berada di sisi barat sungai Tjiliwong tidak pernah memotong
sungai (Kraton Pakuan dan pelabuhan Soenda Kalapa posisi gpsnya berada di sisi
barat sungai Tjiliwong. Jalan darat ini tidak lain adalah rute jalan darat yang
sekarang: Pakuan, Kedong Badak, Tjiliboet, Bodjong, Pondok Terong. Depok,
Pondok Tjina, Sringsing hingga ke Tjikinie lalu menuju Soenda Kalapa (kelak
disebut Pasar Ikan).
Wilayah Lenteng Agoeng adalah wilayah yang berkembang kemudian. Wilayah
yang pertama dibuka adalah Sringsing (era Cornelis Chastelein), tepatnya
Srengseng Sawah yang sekarang. Pada tahun 1750 dibangun estate di wilayah
perumahan Tanjung Barat yang sekarang. Estate ini cukup luas, bukan untuk
pertanian (karena ekosistemnya yang kering, tidak ada aliran sungai) tetapi
untuk peternakan (produksi susu). Wilayah Lenteng Agoeng yang sekarang baru eksis
di era Daendels (1800an). Hal ini karena situ Babakan dibentuk dan airnya
dialirkan ke wilayah peternakan Tanjong Barat melalui kanal persis di bawah
stasion Lenteng Agung yang sekarang. Wilayah Lenteng Agoeng (sekitar stasion)
menjadi wilayah urban, sementara wilayah Sringsing tetap menjadi rural.
Meski Lenteng
Agoeng sudah menjadi urban, muncul pemukiman orang-orang Tionghoa, akses jalan
(perlintasan) di sungai Tjiliwong tetap masih dibutuhkan. Hal ini karena
satu-satunya pasar besar terdekat (selain pasar Tjiloear di hulu sungai
Tjiliwong) adalah pasar Tjimanggis, pasar Oost Tandjong (pasar Rebo) dan pasar
Tangerang. Pasar-pasar kecil seperti pasar Tjitajam (sekitar stasion Citayam
yang sekarang), pasar Kemiri (Moeka) dan pasar Paroeng tidak berdiri sendiri
tetapi memiliki link dengan pasar-pasar besar (Tentu saja pasar Minggoe dan
pasar Tanabang belum ada). Pasar pertama di Batavia yang merupakan pasar paling
besar adalah pasar di Weltevteden (kini Pasar Senen). Aliran produk industri
(impor) dan produk ekspor (pertanian) dari semua pasa-pasar dalam
perkembangannya membutuhkan akses jalan melalui jembatan. Setelah estate
berkembang di Wilayah Paroeng (perluasan estate Tjitajam, Bojong Gede, Sawangan
dan Tjinirie), pasar Parong makin besar karena menjadi hub untuk Pasar
Tangerang dan Pasar Tjimanggis dan Pasar Rebo.
Semakin tingginya popolasi di Lenteng Agoeng dan berkembangnya volume
transaksi di pasar-pasar dan aliran produk semakin kencang, maka untuk
melangsung aliran produk sepanjang tahun, perlintasan sungai menjadi tidak
efektif lagi. Pembangunan jembatan menjadi solusi. Jembatan yang dibangun itu
besar dugaan adalah jembatan Gardu di Srengseng Sawah yang masih eksis hingga
sekarang. Jembatan ini diduga menjadi satu-satunya jembatan di wilayah tengah
sungai Tjiliwong. Posisi jembatan Srengseng Sawah ini sangat strategis dari
bebagai hal (geografis, geologis dan arus perdagangan). Aliran produk dari dan
ke semua pasar-pasar di sisi barat dan timur sungai Tjiliwong diduga melalui
Srengseng. Jembatan Srengseng dalam hal ini menjadi perlintasan dari pasar di
Paroeng (melalui Sawangan dan Pondok Tjina), Pasar Tjitajam dan pasar Kemiri
menuju Pasar Rebo (Oost Tandjong) melalui Kali Sarie (wilayah Cijantung yang
sekarang).
Kapan jembatan
Srengseng dibangun tidak terinformasikan secara jelas. Namun bisa diduga
setelah Lenteng Agoeng berkembang dan Pasar Paroeng semakin besar. Fase ini
diduga sekitar tahun-tahun perkembangan estate-estate di Paroeng dan sekitarnya
yang berdasarkan informasi yang terkumpul sekitar tahun 1860an. Lenteng Agoeng
semakin urban lebih-lebih setelah transportasi kereta api Batavia-Buitenzorg
mulai beroperasi tahun 1873 yang mana salah satu halte (baca: stasion) dibangun
di Lenteng Agoeng (stasion Lenteng Agung yang sekarang).
Dengan demikian jembatan gantung Srengseng Sawah bukanlah jembatan gantung
baru tetapi diduga sudah eksis sejak lama (perkiraan sekitar tahun 1860an).
Namun yang menjadi pertanyaan posisi jembatan gantung Srengseng ini apakah
posisinya itu dari doeloe atau posisinya berada di tempat lain di sekitar
wilayah Srengseng Sawah. Jembatan gantung Srengseng menjadi satu-satunya jalan
akses di wilayah tengah sungai Tjiliwong sebelum memasuki ke-20. Jembatan
gantung di Srengseng besar kemungkinan adalah introduksi baru model jembatan
kuno di DAS Tjiliwong. Tradisi jembatan bambu yang eksis sejak lama diperkaya
dengan adanya jembatan gantung (suspensi) di atas sungai Tjiliwong.
Jembatan gantung
yang kali pertama ditemukan (terlaporkan) adalah jembatan gantung yang terbuat
dari rotan di atas sungai Batang Toroe di Residentie Tapanoeli. Jembatan
gantung ini dilaporkan oleh FW Jung Huhn 1840. Sebagaimana diketahui Jung Huhn
setelah pulang dari Tapanoeli diangkat menjadi pejabat di wilayah West Java
yang berkedudukan di Preanger (tahun 1864). Jung Huhn kemudian menghabiskan sisa
hidupnya berdidikasi di wilayah West Java sehubungan dengan pengembangan
perkebunan kina dan variates teh yang baru (Jung Hhun dimakamkan di Lembang).
Jembatan gantung terbuat rotan di Batang Toroe tersebut pada tahun 1860an
ditingkatkan mutunya dengan menggunakan kabel telegraf (muncul nama istilah jembatan
suspensi).
Jembatan gantung yang terbuat dari kabel telegraf (jembatan suspensi)
diduga kemudian diperbanyak di Hindia Belanda untuk menjangkau wilayah-wilayah
yang selama ini sulit diakses dengan jalan darat. Sesuai dengan perkembangan
jaman, kabel telegraf digantikan oleh kabel yang terbuat dari kawat besi agar mampu
mengimbangi meningkatnya tonase angkutan lalu lintas di atas jembatan.
Satu hal yang perlu
diingat, sebagaimana jembatan teknologi bambu adalah warisan nenek moyang kita,
jembatan gantung juga pada dasarnya adalah jembatan teknologi nenek moyang
kita. Alam nenek moyang kita kala itu masih kaya dengan bahan-bahan baku
seperti bambu yang panjang dan besar, juga rotan yang panjang dan besar. Bahan-bahan
ini tentu saja tidak ditemukan di Eropa apalagi di Nederland. Oleh karenanya
jembatan teknologi bambu dan jembatan gantung rotan adalah milik (kearifan
lokal) bangsa Indonesia juga.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan
lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta.
Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap
buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di
artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
adakah informasi tentang jembatan gantung akses pasar Minggu-Condet Balekambang ?
BalasHapus