Beberapa menit lagi akan
dilakukan kick-off antara Persib Bandung vs PSMS Medan di Stadion Gelora
Bandung Lautan Api, Bandung dalam babak penyisisihan grup Piala Presiden 2018.
Seorang pembaca dari Semarang sore tadi mengirim email menanyakan mengapa
akhir-akhir ini pertandingan Persib Bandung va PSMS Medan dinobatkan sebagai pertandingan
El Classico di Indonesia? Pembaca tersebut sebelumnya telah membaca Sejarah
Sepak Bola di Semarang yang dimuat dalam blog ini.
Persib vs PSMS: Final Kejuaraan Nasional di Stadion Senayan, 1985 |
Pada malam ini PSMS dan Persib
kembali lagi untuk bertemu untuk yang ke-54 kali sejak Persib Bandung dan PSMS
Medan bertemu pertama kali pada tahun 1952. Kedua tim perserikatan teresebut
bertemu dalam kejuaraan perserikatan. Lantas apa spesialnya pertemuan Persib
Bandung dan PSMS Medan pada malam ini. Mari kita lacak sejarah pertemuan kedua
tim/klub legendaris ini.
Pertemuan Persib Bandung dan
PSMS Medan yang tercatat dalam sejarah sepak bola dunia adalah pada Final
Kejuaraan Nasional Perserikatan tahun 1985 di Stadion Senayan Jakarta. Dalam
pertandingan ini PSMS mengalahkan Persib dengan skor 3-2 dalam adu finalti.
Saya sendiri memiliki memori terhadap pertandingan ini karena saya hadir di
stadion Senayan sektor timur lantai atas (kubu suporter PSMS Medan). Untuk
membantu saya menonton pertandingan di lapangan saya juga membawa radio untuk
mendengar siaran langsung pandangan mata yang disiarkan oleh RRI. Para penyiar
waktu itu tiga orang adalah Sambas, Syamsul Muin Harahap dan Abraham Isnan.
Kombinasi pandangan mata (saya) dan pendengaran telinga (dari radio) memang
terbukti tampak bagaimana hebohnya pertandingan tersebut baik situasi dan
kondisi di lapangan (antar pemain) maupun suasana di tribun (para penonton).
Jumlah penonton diperkirakan sebanyak 150.000 orang hingga sampai ke pinggir
lapangan (lihat foto).
Kala itu, saya sendiri sesungguhnya
bukanlah suporter PSMS, justru saya suporter Persib. Mengapa? Saya sudah
tinggal di Bogor sejak 1983 dan memiliki KTP Kota Bogor. Ketika terjadi babak
penyisihan grup 1985, ketika nonton bareng di RT001 RW006, saya didaulat Pak RT
menjadi suporter PSMS. Saya yang satu-satunya warga asal Sumatera Utara di RT
itu mau tak mau menerimanya. Padahal saya sendiri bukan suporter PSMS, karena
saya belum pernah sama sekali ke Medan. Saya adalah BTL. Karena saya pemilik
KTP Bogor maka saya memilih menjadi suporter Persib. Pak RT berkehendak lain,
jadilah saya menjadi suporter PSMS. Lucunya, jika Persib memasukkan gol saya
disuruh diam dan mereka berjingkrak-jingkrak. Akan tetapi jika PSMS memasukkan
gol, saya malah diangkat beramai-ramai ke udara dengan teriakan hidup PSMS.
Itulah para suporter RT001 RW006 di salah satu kelurahan di Bogor Utara. Suporter Persib
membutuhkan suporter PSMS. Hanya dengan begitu, tontonan dan suasana penonton
menjadi semangat.
Pada hari final (PSMS vs
Persib) saya tidak ikut nonton bareng di RT001 RW006. Sebab, hari Sabtu itu, habis
ujian di kampus, empat teman datang ke tempat kos saya mengajak nonton final
Persib vs PSMS di Stadion Senayan. Awalnya saya enggan, karena saya punya acara
sendiri nonton bareng. Karena didesak oleh teman-teman sekampung itu di
pedalaman Tapanuli (kebetulan diantaranya ada dua teman sekampung itu alumni
SMA Medan), saya mengalah dan sebelum berangkat lapor dulu ke ketua RT saya
dulu bahwa saya absen nonton bareng. Lalu kami berangkat menuju terminal Bogor.
Rupanya teman alumni Medan ini sudah menyiapkan spanduk tiga meter lengkap
dengan tali di ujung kiri dan kanan atas spanduk sedangkan di ujung kiri dan
kanan bawah dikasih pemberat (ait dalam plastik: botol Aqua belum ada toh!). Di
luar terminal dekat pangkal jalan tol Jagorawi kami menunggu bis. Kernet bis
teriak Cililitan, Cilitatan masih ada bangku kosong, naik-naik. Rupanya terjadi
tawar menawar antar kernet bis dengan teman. Sayup sayup saya dengat: mau
naikin nggak lima orang, tapi kami pasang sepanduk di belakang bis. Akhirnya
kernet bis mengalah. Sementara saya naik dengan dua teman, dua teman yang lain
lagi sibuk di belakng bis mengulurkan tali ke teman yang sudah di dalam bis.
Tampaknya kernet tidak tahu bunyi kalimat dalam spanduk. Lalu pintu ditutup dan
bis mulai masuk jalan tol. Spanduk aman tertambat di belakang bis. Lalu kami
duduk manis di barisan bangku paling belakang. Saya mulai khawatir jika
ketahuan, tidak hanya kernet yang menurunkan kami di tengah jalan tol tetapi
juga penumpang yang lain, ternyata lebih dari separuh penumpang bis adalah
suporter Persib dari Bogor. Cilaka! Teman saya kasi kode ke kernet supaya tutup
mulut. Bis bernama Lorena tersebut kemudian melaju kencang di jalan tol. Semua
penumpang tampaknya tenang. Namun ketika bis mendekati Sentul, penumpang bis
yang berada di bis lain yang melewati kami berteriak-teriak ke arah bis kami.
Mungkin para penumpang bis-bis lainnya menganggap bis kami sepenuhnya adalah
suporter PSMS. Penumpang bis kami dan juga suporter Persib di dalam bis tampak
bingung mengapa bis kami diteriakin sepanjang perjalanan oleh bis-bis lain yang
datang dari Bandung, Sukabumi dan Cianjur yang notabene adalah suporter Persib.
Saya mulai menjadi tidak nyaman. Teman saya bilang, tenang saja lae. Penumpang
lain di dalam bis ini tidak ada yang tahu dan hanya kernet yang tahu ada
spanduk di belakang bis. Setelah cukup menegangkan sepanjang perjalanan,
diteriakin bis lain, akhirnya bis kami sampai di terminal Cililitan. Kami
segera turun dan melipat spanduk.
Lalu kami naik bis lain di
Cililitan, bis yang dipilih adalah bis jurusan Blok-M yang sepenuhnya diisi oleh
penumpang yang merupakan suporter PSMS yang datang dari berbagai tempat. Dari
Cililitan bis berangkat menuju Blok M via Semanggi dan turun di Senayan.
Tampaknya akan terjadi situasi dan suasana yang mirip tahun 1985 di stadion Senayan dengan yang segera berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api malam ini. Selamat menonton El Clasico.
Tampaknya akan terjadi situasi dan suasana yang mirip tahun 1985 di stadion Senayan dengan yang segera berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api malam ini. Selamat menonton El Clasico.
Pertemuan Persib
Bandung vs PSMS Medan: Sejak 1952
Pertemuan pertama tim Bandung (Persib) dengan tim Medan (PSMS) terjadi
pada tahun 1952 dalam kejuaraan nasional perserikatan. Pertemuan pertama Persib
dengan PSMS ini berlangsung di Bandung. Dalam pertandingan ini Persib
mengalahkan PSMS dengan skor 4-2. PSMS sendiri baru didirikan tahun 1950.
Sebelum berangkat ke Jawa, termasuk melawan Persib di Bandoeng, PSMS sudah
melakukan persiapan yang intensif termasuk mengalahkan klub kuat dari Djakarta,
Chung Hua (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-07-1952).
Pada tahun 1950 sebagai awal
PSSI memulai kejuaraan nasional, masih terbatas di Jawa, mempertemukan juara
dari Jawa Barat (Bandoeng dan Djakarta), Jawa Tengah (Solo, Djogjakarta dan
Semarang); dan Jawa Timur (Soerabaja, Malang). Pada tahun 1951 kejuaraan
diperluas dengan menyertakan juara dari Sulawesi (Makassar). Pada tahun 1952
kejuaraan nasional diperluas lagi dengan menyertakan tim dari Sumatra (PSMS
Medan), sementara PSM Makassar tidak berpartisipasi (karena masalah keamanan,
pemberontakan di Sulawesi). Keikutsertaan PSMS Medan besar kemungkinan karena
pemerintah Sumatera Utara beribukota di Medan baru terbentuk tahun 1952.
Gubernur Sumatera Utara yang pertama adalah Abdul Hakim Harahap dan Wali Kota
Medan pertama Alimoeda Siregar.
Pertemuan Persib vs PSMS baru kembali terjadi pada tahun 1955. Pada tahun
1955 Persib mengalahkan PSMS Medan dengan skor 3-1 (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-07-1955). Ini untuk
kali kedua Persib bertemu dengan PSMS dan Persib memenangkan dua kali pertemuan
tersebut.
Pada tahun 1953 Persib tidak
berpartisipasi dalam kejuaraan nasional, sementara PSMS tetap ikut
berpartisipasi. Persib tidak bisa berpartisipasi karena pada saat itu terjadi suhu
politik yang meningkat di Priangan dengan adanya pemberontakan DI/TTI di Jawa
Barat. Dalam pertandingan terkahir Persija vs PSMS, tim Medan tidak mau
melanjutkan pertandingan karena merasa dirugikan dan PSMS dinyatakan kalah.
Akhirnya posisi klassemen akhir (tahun 1954): Persija dengan nilai 10 (Champions) lalu runner up PSMS Medan dengan
nilai 8. Urutran selanjutnya adalah Persibaya, Persema Malang, PSM Makassar dan
Persis Solo.
Pada tahun kejuaraan 1956/1957 PSMS dan Persib bertemu kembali dalam
kejuaraan nasional. Pertandingan dilangsungkan di Bandung yang mana PSMS kalah 1-3
dari Persib (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-07-1957). Ini untuk kali ketiga
PSMS kalah dari Persib, namun dalam posisi klassemen PSMS lebih baik dari
Persib.
Posisi klassemen terakhir
adalah: PSM Makassar dengan nilai 11 (Champions), PSMS Medan dengan nilai 9
(Runner-up, lagi). Urutan berikutnya adalah Persib Bandung, Persidja Djakarta,
PSP Padang, Persibaja Surabaja dan Persema Malang (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 30-07-1957).
Pada kejuaraan 1959/1961 PSMS
yang lolos play-off bertemu kembali dengan Persib. Pertandingan yang
dilangsungkan di di Bandung Persib, lagi, lagi mengalahkan PSMS dengan skor 5-3.
Posisi dalam klassemen akhir: Persib menjadi Champion dan PSMS duduk di posisi
kelima. Pada kejuaraan berikutnya (1964) Persib dan PSMS bertemu kembali (dalam
grup barat). Dalam klassmen akhir
Persib di rangking 3 dan PSMS di rangking 4. Pada kejuaraan 1964/1965 Persib
dan PSMS bertemu kembali. Persib masuk ke partai semifinal. Pada kejuaraan
1965/1966 Persib dan PSMS bertemu kembali. Persib dan PSMS sama-sama masuk ke
partai semifinal. Persib menjadi runner-up (kalah di final) dan PSMS duduk di
posisi ketiga (menang WO)
Pada kejuaraan tahun 1966/1967 PSMS Medan berbenah diri sehubungan dengan
diangkatnya Gubernur Sumatera Utara yang baru, Kolonel Marah Halim Harahap,
seorang gibol. Dalam kejuaraan ini untuk kali pertama PSMS mengalahkan Persib
dan juga untuk kali pertama PSMS menjadi Champion Kejuaraan Nasional. PSMS
butuh waktu 15 tahun untuk mengalahkan Persib dan juga butuh waktu 15 tahun
untuk menjadi juara.
Pada kejuaraan 1966/1967 di
semi final, Persib dan PSMS tidak bertemu, tetapi kedua tim ini maju ke partai
grand final. Pada partai grand final yang dilangsungkan di Stadion Senayan
Jakarta, Persib menyerah 0-2. PSMS untuk kali pertama menjadi Champion
kejuaraan nasional
Pada kejuaraan berikutnya (1969/1971) PSMS tidak terbendung, selain PSMS
kembali mengalahkan Persib. PSMS maju ke semifinal. PSMS di final bertemu
Persebaya. PSMS lalu menjadi Champions. Urutan adalah sebagai berikut: PSMS,
Persebaya (Runners-Up) dan ditempat ke-3 adalah Persija dan PSM (ke-4).
Dua tim finalis kejuaraan
nasional ini mendapat kesempatan melawan PSV Eindhoven yang tengah mendangakan lawatan ke Asia
Tenggara. PSV menghadapi tim Nasional Malaysia, timnas Singapoera dan timnas
Indonesia plus PSMS (14 Juni 1971) dan Persebaya. Salah satu pemain yang kini
sangat terkenal dalam lawatan itu adalah Guus Hiddink (lihat Limburgsch
dagblad, 17-04-1971). Dalam lawatan ini, PSV mengalahkan Timnas Singapoera
dengan skor 13-0 (lihat Limburgsch dagblad, 15-06-1971). Tahun sebelumnya,
PSMS, sebagai juara Indonesia tampil di Liga Champions AFC 1970 yang mana
prestasi yang diraih berhasil maju ke semi final (namun akhirnya hanya berada
di posisi keempat setelah dikalahkan oleh tim dari Iran dan Lebanon).
Pada kejuaraan 1978/79 kompetisi kejuaraan di bagi dua level: Divis-1
(lima besar) dan divisi-2. Persib berada di Divisi-2. Dalam fase lima besar di
Divisi-1 dilakukan kompetisi dua putaran. PSMS berhasil menjadi runner up di
bawah Persija. Masing-masing dengan poin 11 tetapi PSMS kalah selisih gol
dengan Persija. Pada tahun 1980 kejuaraan disebut Divisi Utama (enam besar).
Dalam Divisi Utama ini tidak termasuk Persib, sedangkan PSMS dalam klassemen
akhir berada pada posisi ketiga. Pada partai Final bertemu Persipura dan
Persiraja (peringkat 1 dan 2). Persiraja menjadi juara.
Pada kejuaraan berikutnya tahun
1983 Divisi Utama dibagi dua grup (barat dan timur). PSMS dan Persib berada di
grup barat. Pada putaran pertama PSMS mengalahkan Persib dan pada putaran kedua
Persib mengalahkan PSMS. Klassemen grup barat PSMS menjadi juara dan Persib runner-up
grup barat. Pada babak selanjutnya (empat besar di stadion Senayan) dengan
skema setengah kompetisi, Persib menjadi juara dan PSMS menjadi runner-up. Lalu
keduanya dipertemukan di grand final. PSMS mengalahkan Persib dengan skor 3-2
adu finalti (setelah sebelumnya kedudukan 0-0).
Final ulangan antara Persib dan PSMS kembali terjadi pada kejuaraan tahun
1985. Kompetisi dimulai dengan pembagian grup barat dan timur. Di Grup barat, pada
putaran pertama Persib dan PSMS imbang (2-2) dan pada putaran kedua juga imbang
antara PSMS dan Persib (0-0). Pada grup barat juara Persib dan PSMS di
peringkat ketiga. Pada babak enam besar (setengah kompetisi), PSMS mengalahkan
Persib dengan skor 1-0. Posisi klassemen akhir: PSMS juara dan Persib
runner-up. Kedua tim lalu dipertemukan di partai grand final. PSMS mengalahkan
Persib dengan skor 2-1 dalam adu finalti (posisi sebelumnya berakhir dengan
kedudukan 2-2).
El Clasico: Era Klonial Bandung vs Batavia; Era Masa Kini Persib vs PSMS
Sejak kejuaraan nasional 1983
dan 1985 inilah pertemuan Persib Bandung
dan PSMS Medan mengerucut menjadi rivalitas. Pada pertemuan final tahun 1983
sesungguhnya pertemuan biasa-biasa saja. Namun karena pada kejuaraan tahun 1985
finalis tahun 1983 bertemu kembali. Saat bertemu kembali Persib dan PSMS di
final tahun 1985, psikologis penonton Indonesia berubah. Oleh karena kedua tim
ini memiliki basis suporter yang kuat dan pertandingan diadakan di Stadion
Senayan, maka pertemuan ini menjadi perhatian nasional karena jumlah penonton
yang sangat luar biasa: 150.000 penonton hadir di Stadion Senayan. Saat
pertemuan final PSMS vs Persib inilah saya diajak teman untuk menonton di
Stadion Senayan. Secara tak langsung, yang awalnya enggan hadir, menjadi saksi
apa yang disebut pertemuan dua tim rivalitas yang kelak tetap dibicarakan dan
mendapat pengakuan sebagai awal pertemuan Persib vs PSMS sebagai pertandingan El
Clasico sejati.
Mengapa kini pertemuan Persib dan PSMS disebut pertandingan el clasico
sejati? Hal ini karena sejak pertemuan 1985 kedua klub ini, selain telah
menjadi rivalitas, juga kedua tim tim mau dikalahkan oleh yang satu dengan yang
lainnya. Kisah jumlah penonton yang merupakan rekor penonton Indonesia
sepanjang masa menjadi label yang ditambahkan pada pertemuan antara Persib dan
PSMS ini. Terbukti nanti, setiap kedua tim ini bertemu kembali, motivasi kedua
tim dan fanatisme kedua suporter menjadi berlipat ganda baik penyelenggaraannya
di Bandung atau Medan maupu di tempat netral (seperti Stadion Senayan).
Jumlah penonton yang spektakuler di tahun 1985 inilah sesungguhnya yang
menjadi bumbu romantisme pertemuan antara Persib dan PSMS pada
pertemuan-pertemuan berikutnya (termasuk pada pertemuan malam ini).
Memang ada rivalitas yang lain
selain PSMS vs Persib, seperti Persib vs Persija; Persija vs PSMS, Persib vs
Persebaya, Persebaya vs Persija dan Persebaya vs PSMS. Namun diantara rivalitas
itu hanya pertemuan Persib vs PSMS yang menjadi selalu manarik dibicarakan
karena memiliki romantisme jumlah penonton tahun 1985. Nilai daya tarik di
antara dua tim dan dua kubu suporter antara Persib dan PSMS inilah yang
menjadikan pertemuan PSMS vs Persib dapat dianggap sebagai pertemuan el clasico
sejati.
Disebut el clasico (sejati) karena setiap kedua tim bertemu, tingkat
pembicaraan diantara dua kubu sangat intens. Masing-masing sudah memiliki
slogan yang menobatkannya sebagai el classico. Persib menganggap boleh kalah
dengan tim lain, asal jangan dengan PSMS. Sebaliknya, PSMS menganggap harus
menang melawan Persib, tidak apa-apa jika kalah dengan tim lain. Slogan
berpasangan ini tidak ditemukan dalam pertemuan rivalitas yang lain. Oleh
karenanya pertemuan dua tim disebut el classico sejati, haruslah didasari oleh
rivalitas yang hebat antar dua tim, kemudian memiliki slogan baku (ingin saling
mengalahkan) dan plus elemen tambahan romantisme jumlah penonton. Elemen-elemen
in tidak ada di pertemuan dua tim lain yang bertajuk rivalitas.
Disebut pertandingan el clasico
sejati juga karena hanya dua tim Persib dan PSMS yang secara tim memiliki
karakter unik. Tim PSMS dan tim Persib terbentuk secara alamiah dari
pemain-pemain lokal (setempat). Ini disebabkan dua perserikatan ini sejak dari
dulu selalu melahirkan pemain-pemain berkualitas dari wilayah setempat.
Karenanya,para pemain sangat cinta tanah air (maksudnya sangat cinta kotanya).
Karakter unik ini menjadi bersinergi antara keterampilan teknis dan spirit
bertarung. Dua tim inilah yang memiliki karakter unik ini sehingga ketika
bertemu para pemain dari masing-masing tim merasa tidak punya utang di tim
lawan. Artinya jika PSMS bertemu Persib atau sebaliknya para pemain datang
bertanding seakan cash and carry. Meski demikian, perkelahian diantara dua
tim ini di lapangan sangat jarang
terjadi. Para pemain hanya berpikir bagaimana untuk menang, dan karena itu
tidak terpikir untuk memancing emosi lawan apalagi untuk konfrontasi untuk berkelahi.
Para pemain kedua tim sudah merasa cukup hanya wasit yang menilai apakah
pelanggaran atau tidak.
Karakter el classico Persib vs PSMS bahkan masih terlihat pada masa kini.
Katakanlah misalnya pada masa lalu para pemain adalah pemain lokal masing-masing
tim. Tapi kini, tidak demikian lagi. Ada Supardi atau Gazali Siregar di Persib,
sebaliknya di PSMS ada Jajang Sukmara. Akan tetapi karakter tim tidak berubah.
Jajang Sukmara mengikuti gaya taktis PSMS, juga Supardi bisa mengikuti gaya
teknik Persib. Dengan begitu, apa yang bisa dilihat sekarang bahwa pada
hakikatnya tidak ada korelasi siapa yang bermain di dalam tim, tetapi yang
berkorelasi adalah tim mana yang sedang dilawan. Singkat kata: faktor el
classico pertemuan antara PSMS dan Persib bukan dipengarahui oleh komposisi
pemain tetapi lebih pada nama atau bendera tim tersebut.Karakter tim inilah
yang tidak berubah sejak dulu hingga kini. Jika kedua tim bertemu bahkan hingga
kini, karakter tim inilah yang mengemuka. PSMS harus menang lawan Persib tetapi
tidak masalah dengan tim lain, sebaliknya Persib harus mengalahkan PSMS meski
kalah dari tim lain. Slogan inilah yang terus hidup di dua tim ini siapapun
yang menjadi pemain atau pelatih.
Rivalitas Persija vs Persib
Bukan El Clasico
Dalam grup A Piala Presiden 2018 di Bandung ini ada tiga tim legenda,
yakni selain Persib dan PSMS adalah PSM Makassar. Persib Bandung sangat respek
terhadap tamunya baik terhadap Sriwijaya maupun
PSMS yang datang dengan menurunkan tim terbaik. Stadion GBLA yang penuh
penonton, tim Bandung selalu turun dengan tim terbaik. Sebaliknya, PSM selalu
turun dengan pemain lapis kedua. Tim utama PSM sedang melakukan turnamen di
Makassar.
Kita tidak mengerti mengapa PSM
demikian. Memang, pada waktu yang bersamaan PSM menyelenggarakan turnamen yang
dikelola sendiri yang disebut Supercup Asia 2018. Karenanya pemain inti bermain
di Makassar dan pemain lapis kedua di Bandung. Hasilnya PSM dikalahkan PSMS dan
juga dikalahkan oleh Sriwijaya FC. Padahal sejatinya, pertandingan di Bandung
ini secara kualitas lebih baik jika dibandingkan dengan Supercup Asia 2018 di
Makassar. PSM menjadi juara setelah mengalahkan klub Kamboja dan klub
Singapura. Secara perbandingan, klub yang dikalahkan oleh PSM dari dua negara
Asia Tenggara (baca: bukan Asia) jauh lebih lemah jika dibandingkan dengan tiga
klub lawan di Bandung: klub dari Medan, Palembang dan klub dari Bandung. Inilah
anomali sepakbola. PSM seakan ingin melempar klub-klub yang berada di utara
(Supercup Asia) malah lemparannya justru jatuh ke klub-klub yang berada di
selatan (Asia Tenggara) yang kualitasnya dipertanyakan jika dibandingkan dengan
kualitas klub Persib, Sriwijaya dan PSMS. Akhirnya tim ayam jantan PSM dari
timur keok di Bandung, tetapi berjaya di Makssar menjadi juara. Dalam hal ini
PSM ingin menikmati sendiri kemenangan yang dibuatnya sendiri di Makassar
sebagai turnamen sendiri ketika semua klub-klub hebat bertarung di pentas
nasional Piala Presiden 2018 yang diliput secara nasional (live) yang ditonton
semua rakyat Indonesia.
Sesungguhnya apa yang dicari PSM tidak jelas. Padahal di Bandung ada
pertandingan El Clasico (pertemuan tiga tim Persib, PSM dan PSMS). PSM dalam
hal ini tidak respek. Sebaliknya Persib Bandung dan PSMS sangat respek. Karena
itu pertemuan Persib vs PSM atau PSMS vs PSM bukan pertandingan el classico sejati.
El classico sejati adalah pertandingan yang sudah ada sejak dulu dan tetap
berlaku hingga ini. Tidak tergantung angin, hanya tergantung dengan siapa tim
bertemu. Nah, jika PSMS dan Persib akan bertemu dalam situasi dan kondisi
apapun keduanya selalu mengusung kemenangan (bukan main-main).
Sejatinya, pertemuan el
classico Persib vs PSMS jarang terjadi bentrok atau perkelahian antar pemain.
Demikian, juga suporter kedua tim nyaris tidak pernah membuat kerusuhan. Tim
dan suporter (Persib vs PSMS) jika menang sangat bersukacita, tetapi jika kalah
maka dendam yang muncul. Dendam dalam arti akan mengalahkan lawan yang menang
pada pertemuan berikut. Jadi dendam yang dimaksud adalah dendam dalam
pertandingan. Karena itu, kedua suporter tidak ada halangan untuk datang pada
pertemuan berikutnya. Bahkab suporter Persib nyaman-nyaman saja memasang
atribut di stadion Teladan Medan, sebaliknya suporter PSMS di Bandung tanpa
ragu datang dengan yel-yel khasnya, misalnya A Sing Sing So.
Pertemuan tim Persib dan tim PSMS sangatlah unik. Demikian juga antara
suporter PSMS dan suporter Persib sangat unik jika berada di dalam satu
stadion. Sebagai contoh, pada final tahun 1985 di stadion Senayan, saat Persib
mencetak gol, para suporter PSMS di tribun timur atas diam saja sebaliknya
hampir seluruh stadion bergemuruh oleh suporter Persib. Sebalinya ketika PSMS
menciptakan gol suporter Persib diam dan sebaliknya suporter PSMS meledak. Tapi
bukan di situ intinya. Ketika suporter Persib merayakan gol yang terlihat di
tribun bawah, suporter PSMS tidak ada yang mengganggu dari atas, semisal
melempar bekas minumun ke bawah. Saya bisa saksikan itu, karena saya turut
hadir. Yang ada adalah respek. Pada masa ini jika saya perhatikan di televisi,
kedua suporter masih menunjukkan respek seperti dulu. Kedua suporter tidak
saling mengganggu. Dengan demikian, elemen suporter juga mendukung pertemuan
Persib vs PSMS sebagai pertemuan el classico sejati.
Harian Kompas edisi MInggu 24 Februari 1985 |
Antara suporter Persib dan PSMS sebagaimana dulu jelas saling
membutuhkan. Kehadiran dua kubu suporter di dalam stadion justru jauh lebih
penting jika seluruh sudut stadion hanya dipenuhi oleh satu kubu suporter saja.
Kehadiran dua kubu suporter di dalam stadion justru para suporter lebih
bersemangat dalam menonton. Itulah yang terjadi pada masa lampau. Pada masa ini
ada kesan masing-masing kubu suporter tidak mumbutuhkan suporter lain hadir di
stadion. Ada sesuatu yang hilang pada msa ini. Kubu suporter Persib tidak
membutuhkan suporter Persija, sebaliknya kubu suporter Persija tidak
membutuhkan suporter Persib. Hal ini juga terkesan antara dua kubu suporter
Persebaya vs Arema saling tidak membutuhkan. Apa yang salah? Sudah waktunya
semua kubu suporter sepak bola Indonesia bersedia berbagi di dalam satu
stadion. Stadion adalah milik bersama baik saat kandang maupun tandang.
Sportivitas dalam El Clasico
Dunia telah berubah,dunia sepakbola juga telah berubah. Sepakbola untuk
sport telah bergeser menjadi sepak bola untuk industri. Sepakbola amatir juga
telah bertransformasi menjadi sepak bola profesional. Dalam dunia sepakbola
modern, kemenangan adalah syarat perlu, tetapi syarat cukupnya adalah
sportvitas. Artinya kemenangan yang diraih harus dengan cara yang sehat: tidak
ada pengaturan, tidak ada intimidasi sebelum dan sesudah pertandingan, tidak
ada teror selama dalam pertandingan; dan tidak ada lagi komplein (mogok main)
dan tidak ada lagi banding (semua berakhir di lapangan).
Profesionalisme dalam sepakbola
adalah pemenuhan hak dan kewajiban. Jika semua pemain dan pelatih dapat gaji
sesuai kinerjanya dan semua klub untung sesuai kinerjanya, maka semua suporter
puas menonton. Tidak ada lagi sikap-sikap amatir yang pemain dan pelatih tidak
terbayar dan klub buntung. Profesionalisme dalam sepakbola memungkin pelatih
dan pemain berpindah dengan nyaman ke klub yang menjadi lawan. Dengan demikian,
pemain dan pelatih dihargai haknya, klub bebas menentukan siapa pemain yang
diturunkan dalam pertandingan. Sebagai contoh: Pelatih Djadjan Nurdjaman, eks
pelatih Persib dengan nyaman menjadi pelatih PSMS, demikian juga dengan pemain seperti
eks pemain Persib Jajang Sukmara yang menjadi bagian dari tim PSMS. Juga
sebagai contohL dua eks pemain pilar PSMS tahun 2007 menjadi kapten tim:
Legimin Rahardjo di PSMS Medan dan Supardi di Persib Bandung. Jika
profesionalisme ini mekar dalam sepakbola maka para penonton juga bergetar
dalam melihat dalam pertandingan sepakbola.Semua stakeholder sepakbola hanya
melihat satu: sportivitas dalam sepakbola (pemain bermain dengan tenang,
penonton datang dengan nyaman).
Jika kesadaran ini terus meningkat dan menjadi melembaga, maka semua
pertandingan adalah tontonan. Tidak ada lagi el clasico parsial (bilateral)
tetapi semua pertandingan adalah El Officio (pertandingan yang diekspektasi)
yang mana setiap pertandingan yang ditunggu adalah pertandingan yang menarik
ditonton.
Breaking news (media): Pada
minggu pertama (hari Pembukaan Piala Presiden 2018) Panpel hanya mendapat masukan
penjualan karcis sekitar Rp 1,3 Miliar. Jumlah ini telah meningat pada minggu
kedua (kala Persib bertemu PSMS) Panpel menerima pemasukan sekitar Rp1,7 Miliar.
Tidak ada lagi yang membedakan antara satu pertandingan dengan
pertandingan lain. Tidak lagi
pertandingan baru seru dan banyak penonton pada saat El Clasico tetapi juga
terjadi pada semua pertandingan. Situasi semacam ini adalah puncak prestasi
industri sepak bola. Semua pemain dan pelatih dihargai, semua pertandingan
ditonton, semua klub untung, semua penonton menikmati tontotan.
El Classico PSMS dan Persib
telah bertransformasi menjadi El Officio; rivalitas dalam pertandingan sudah
menjadi model dalam sepakbola modern. Bertanding dengan semangat, penonton
menjadi antusias. Ke depan, model pertandingan PSMS dan Persib menjadi rujukan
bagi semua pertandingan: Fair Play (Profesional dan Sportivitas).
Persib vs PSMS: Model El
Clasico Sejati di Indonesia
Pertandingan PSMS vs Persib yang baru saja kita soroti terbukti sebagai
pertandingan yang enak ditonton. Jangan lupa: pertandingan itu tidak hanya
ditonton oleh suporter Persib dan PSMS tetapi juga ditonton oleh suporter klub
lain di Indonesia. Boleh jadi telah ditonton oleh suporter klub-klub di luar
Indonesia.
Hasil pertandingan Persib vs
PSMS berakhir dengan skor 0-2. Eks pelatih mengalah klub lamanya, eks pemain
mengalahkan klub lamanya. Sebaliknya PSMS bermain dengan tenang dan spartan
tanpa ganguan, Jajang Sukmara bermain dengan dedikasi tinggi, baik terhadap
klubnya yang baru (PSMS) maupun dihadapan teman-temannya sendiri (pemain
PERSIB) dan bahkan dihadapan kerabat dan keluarganya yang hadir di stadion.
Demikian, juga Djanur mengapresiasi timnya hanya seperlunya, senyum dan tepuk
tangan dengan tetap di bangkunya. Tidak berlebihan, hanya seperlunya untuk
menunjukkan kegembiraan.
Pertandinag PSMS vs Persib tersebut nyaris tanpa cela. Suporter PSMS
hadir di tribun khusus tanpa ada gangguan dari suporter Persib. Di tengah
lapangan tidak ada kejadian bentrok antar sesama pemain. Suporter Persib
memberi respon positif selama pertandingan: mendukung timnya dan tidak ada
reaksi negatif terhadap pelatih dan pemain PSMS. Adanya penyalaan flare di tribun
seusai pluit tanda berakhirnya pertandingan itu boleh jadi itu hanya reaksi sesaat
dari penonton untuk pesan bagi klub agar terus memperbaiki diri (setelah
kekalahan). Semua berjalan normal: kesan rivalitas (saling membunuh) sirna,
yang mengemuka adalah saling menghargai (sportivitas). Suusana itulah model
sepakbola modern: Profesional dan Sportivitas.
Jika suasana ini terjadi lagi,
penonton suporter PSMS akan tetap datang, penonton Persib semakin
berbondong-bondong juga datang. Tentu ini menjadi pesan positif, suporter
Persbib akan datang dengan tenang dan nyaman menonton di kandang PSMS.
Oleh karenanya El Classico adalah pertandingan-pertandingan yang
diciptakan untuk selalu diingat oleh para penonton. Pertandingan Persib vs PSMS
ini akan diingat penonton karena ada di lapangan Djanur dan Jajang Sukmara di
tim kubu lawan. Meski demikian, pertandingan berjalan normal dan menyenangkan.
Pertandingan PSMS vs Persib
tahun 1985 di stadion Senayan di tempat netral adalah pertandingan yang selalu
diingat. Kini, pertemuan PSMS vs Persib seyogianya menjadi model setiap
pertandingan di liga Indonesia.
Pertandingan PSMS vs Persib adalah pertandingan El Clasico di Indonesia.
Dengan mengacu pada dua pertemuan 1985 lalu dan 2018 ini tidak ada salahnya
pertandingan tersebut disebut El Clasico sejati Indonesia. Suatu pertandingan
el classico yang berbeda dengan membandingkan rivalitas antara FC Barcelona vs
Real Madrid.
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Artikel bagus gw jadi terinspirasi JANGAN di KLIK
BalasHapus