Penduduk Indonesia terdiri dari
1.338 etnik. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP-2010) penduduk Kota
Medan yang banyaknya 2.109.339 jiwa terdiri dari 202 etnik, termasuk etnik
Melayu Deli.
Grafik-1. Distribusi etnik Melayu Deli di Sumatera Utara, 2010 |
Persentase etnik Melayu di Provinsi
Sumatra Utara sebesar 4.42 persen (sekitar 573.219 jiwa). Persentase etnik
Melayu Deli adalah 0.69 persen (sekitar 90.258 jiwa). Persentase etnik Melayu Asahan
sebesar 0.37 persen (sekitar 48.798 jiwa).
Selain etnik Melayu Deli dan etnik Melayu Asahan, juga diidentifikasi
etnik Asahan (kode 13). Persentase etnik Asahan di di Provinsi Sumatera Utara
tidak signifikan, hanya sebesar 0,0016 persen.
Dari 90.258 jiwa penduduk etnik
Melayu Deli di Provinsi Sumatera separuhnya (45.608 jiwa) berada di Kabupaten
Deli Serdang (lihat Grafik-1). Di Kota Medan sendiri yang merupakan populasi
terbanyak kedua hanya sebanyak 20.822 jiwa. Populasi terbanyak ketiga etnik
Melayu Deli terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 7.791 jiwa, kemudian
disusul di Kabupaten Langkat (3.749 jiwa) dan Kabupaten Batubara (2.098 jiwa). Populasi terbanyak etnik Melayu Deli berikutnya
bukan di Kota Binjai, juga bukan di Kota Tebingtinggi dan juga bukan di
Kabupaten Asahan, akan tetapi justru di Kabupaten Tapanuli Utara (sebanyak 1.185
jiwa).
Etnik Melayu Asahan, populasi terbanyak ternyata bukan di Kabupaten
Asahan, tetapi justru di Kabupaten Batubara (sebanyak 22.197 jiwa). Di
Kabupaten Asahan sendiri, populasi etnik Melayu Asahan hanya sebanyak 10.793
jiwa. Populasi etnik Melayu Asahan ketiga terbanyak berada di Kota Tanjung
Balai (sebanyak 6.668 jiwa). Di Kota Medan, etnik Melayu Asahan, yang juga
merupakan populasi terbanyak keempat hanya sebanyak 2.006 jiwa.
Anomali Penduduk Etnik Melayu di Provinsi Sumatera Utara
Grafik-2. Distribusi etnik Melayu di Sumatera Utara, 2010 |
Di Provinsi Sumatera Utara tidak ada yang mengidentifikasi diri atau
diidentifikasi sebagai etnik Batak (saja). Akan tetapi penduduk Provinsi
Sumatera Utara mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai etnik Batak
Angkola (kode 14); Batak Karo (kode 15); Batak Mandailing (16); Batak Pakpak
Dairi (17); Batak Simalungun (18); Batak Tapanuli (19); dan Batak Toba (kode
20). Etnik Batak Tapanuli, bukan etnik Toba, juga bukan etnik Mandailing, dan
juga bukan etnik Angkola. Etnik Batak Tapnuli terkonsentrasi di Kabupaten Tapanuli
Tengah.
Grafik-3. Perbandingan Distribusi etnik Melayu dan Batak di Sumatera Utara, 2010 |
Berdasarkan identifikasi etnik di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang
sekarang terdapat lima etnik yang dikategorikan sebagai penduduk asli, yakni:
Batak, Nias, Melayu, Ulu, Lubu, Siladang, Pesisir, Asahan dan Dairi. Populasi
yang signifikan jumlahnya hanyalah etnik Batak, Melayu dan Nias. Penduduk etnik
Nias tampak terkonsentrasi di (pulau) Nias: Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Nias,
Kabupaten Nias Selatan, Kabutan Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara. Etnik
Batak dan etnik Melayu terdistribusi lebih luas jika dibandingkan etnik Nias di
berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Etnik Batak cukup dominan
jika dibandingkan dengan etnik Melayu di seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara (lihat Grafik-3). Etnik Melayu tercatat lebih banyak jika
dibandingkan dengan etnik Batak di Kabupaten Batubara. Populasi etnik Melayu di
Kabupaten Batubara sebanyak 155.401 jiwa sedangkan etnik Batak sebanyak 65.143
jiwa. Dengan kata lain etnik Melayu di Kabupaten Batubara dua kali lebih banyak
jika dibandingkan dengan etnik Batak. Semenetara itu terdapat satu kabupaten
yang memiliki perimbangan antara etnik Melayu dengan etnik Batak yakni di
Kabupaten Nias Selatan: 1.334 jiwa etnik Melayu dan 1.105 jiwa etnik Batak.
Sejarah Awal Etnik Malayu di Pantai Barat dan Pantai
Timur Sumatera Utara
Tidak banyak sumber
kependudukan masa lampau yang dapat diperoleh mengenai jumlah dan distribusi
penduduk di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia), khususnya berdasarkan etnik
menurut wilayah. Beberapa data kependudukan terawal dapat ditemukan dalam
laporan orang Inggris, Anderson (1822) di Pantai Timur Sumatra. Anderson telah
melakukan ekspedisi tahun 1820-1823 dan mendeskripsikan pantai Timur Sumatra,
Atjeh dan juga termasuk di dalamnya Bataklanden di dalam bukunya yang
diterbitkan tahun 1848 dibawah judul ‘Atjeh dan Pelabuhan-Pelabuhan di Sebelah
Pantai Utara dan Timur Sumatra’.
Anderson telah melakukan perjalanan ke Karo dan Toba.
'Anderson menemukan beberapa orang Melayu yang tinggal di pesisir
Sumatera Timur dan, apa yang ia sebut, Karau mendominasi dataran rendah dan
dataran tinggi. Orang-orang di pedalaman melakukan pembakaran hutan dan
menggunakan untuk ladang pertanian untuk menanam tanaman seperti padi, sayuran,
lada, tebu dan pisang. Beberapa tanaman ini digunakan sebagai barang
perdagangan. Mereka tidak melakukan perlawanan (sebagaimana di dataran tinggi)
dan bahkan memiliki kesan bahwa penduduk lokal mengharapkan lebih banyak kontak
dengan para pendatang baru terutama pedagang'.
Laporan orang Belanda di Pantai
Barat Sumatra (yang dimuat dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839.
Laporan populasi di pantai barat Sumatra ini cukup lengkap.
Kota Singkel adalah wilayah Taroemon yang menjadi pelabuhan tujuan
penduduk Batak Alas. Kota Tapoes, 20 mil dari Singkel, suatu pemukiman
orang-orang Atjeh yang berbatasan dengan pemukiman Batak (di selatannya). Baros
berada di selatan Tapoes. Pelabuhan ini di bawah pimpinan seorang Radja,
bandara dan empat Datoe. Pada masa ini (1839) di Baros terdapat 3.000 jiwa
penduduk diantaranya terdapat 200 Atjeh. Di bagian hulu Baros terdapat seorang
Radja (Batak) dan delapan Penghoeloe. Beberapa mil di selatan Baros terdapat
Sorkam yang terdiri dari 1.000 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja dan dua
Datoes. Di arah selatan Sorkam, terdapat Posthouder van Tapanoeli yang dihuni
oleh penduduk Batak yang umumnya dari (marga) Pasariboe. Di arah selatan
Tapanoeli terdapat Kolang yang dihuni oleh 200 jiwa penduduk Batak. Lalu di
arah selatan terdapat Samawang yang dihuni oleh 200 orang Melayu. Di teluk
terdapat Pontjang, pulau yang memiliki populasi 300 orang yang di bawah dua Datoes.
Sibogha berada di teluk Tapanoeli yang
dihuni oleh 300 orang penduduk Batak di bawah pimpinan seorang Radja. Lanskap
Sibogha ini berbatasan dengan Toekka, penduduk yang didominasi penduduk Batak
sebanyak 3.000 jiwa; Si Boeloean dihuni oleh 1.000 orang Batak; Kalangan dengan
300 orang Melayu di bawah satu datoe; Papas yang dihuni oleh 3.000 jiwa
penduduk Batak dengan empat Radja; Badieire dengan total penduduk 600 jiwa yang
meliputi penduduk Batak dan Melayu; satu kampung berikutnya dihuni 2.000 orang
Batak; Pinangsorie dengan 2.000 jiwa; Batangtoroe tidak diketahui jumlah
populasinya (masuk wilayah yurisdiksi Inggris di Natal). Singkowang terdiri
dari penduduk Mandailing, Melayu dan Batak yang total sebanyak 3.000 jiwa;
Batoemoendam dengan populasi 2.000 orang penduduk Mandailing; Taboejong
sebagian besar penduduk Batak; Koenkoen dengan populasi 600 orang di bawah
otoritas seorang Radja. Berdasarkan Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2,
1839, Kota Natal sendiri adalah penduduk melting pot dengan jumlah populasi
3.000 jiwa yang dipimpin oleh seorang Radja dengan enam Datoe. Umumnya penduduk
adalah pendatang yang awalnya berdagang lalu menetap. Di Kota Natal terdapat
enam suku: Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam; Soekoe Barat, Westelijke
stam; Soekoe Padang, stam van Padang; Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de
plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen; Soekoe Atje, stam van Atjin; dan
Soekoe Rauw, stam van Rauw. Di wilayah atas Natal terdapat Linggabajoe yang
dihuni oleh sebanyak 3.000 jiwa penduduk Mandailing. Linggabajoe dipimpin oleh
seorang Radja dengan enam panglima. Di selatan Natal adalah Batahan dengan
penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja.
Wilayah Batahan ini termasuk pulau Tamang.
Teritorial Batak: Melayu Sebagai Pendatang?
Teritorial Batak disebutkan
membatasi Atjeh dan Minangkabau. Di Pantai Barat antara Singkel di utara dan Batahan di selatan, di Pantai Timur antara
Ambuaru di utara dan Aru di selatan. Di bagian dalam di utara dibatasi oleh
Alas dan di selatan dibatasi oleh Rao. Dalam peta-peta kuno di teritori ini
terdapat sejumlah kerajaan yang diidentifikasi, yakni Aru di sungai Baroemoen,
Batahan di sungai Batahan, Singkel di sungai Singkel, dan Ambuaru di sungai
Ambuaru.
Dokumen Belanda menyebut di teritori Batak, terdapat tiga kerajaan yakni
Kerajaan Simamora, Kerajaan Silindoeng dan Kerajaan Boetar. Kerajaan-kerajaan
ini memiliki jalur ke pantai timur yang dihuni oleh penduduk asli (lihat Verhandelingen
van het Bataviaasch genootschap, der kunsten en weetenschappen, 1787). Kerajaan Simamora, yang
memiliki tanah di timur, sejumlah Negeri besar termasuk Batong, Ria, Allas,
Batadera, Kapkap, sebagai tanah penghasil campher dan benzoin. Di Bataholberg,
Kotta Tinggi berkedudukan Raja, dan dari sana terdapat dua negeri yakni Suitara
dan Jamboe Ayer. Kerajaan Batasalindong juga memiliki banyak Negeri besar, dimana
beberapa dari mereka terdapat emas yang sangat tinggi. Kedudukan Raja ada di
Silindong, Négeri Bato Hopit di kaki gunung yang menghasil banyak sulfur yang
dijadikan mesiu. Kerajaan Boetar terletak di timur laut dari yang sebelumnya,
dan meluas ke pantai timur Sumatera, tetapi tidak memiliki hasil kamper atau
benzena atau emas, dan penghuni hanya hidup dari buah-buahan. Negeri Boetar
adalah kedudukan para Raja. Negeri Poelo Serony dan Batoe Bara, merupakan
tempat pelabuhan besar untuk perdagangan, terletak di ujung timur. Lontoeng dan
Siregar terleatk di sepanjang pantai timur, di mulut sungai besar bernama Assahang.
Kerajaan-kerajaan ini muncul setelah dua kerajaan besar meredup, Kerajaan Aru di
sungai Baroemoen dan Kerajaan Deli di hulu sungai Deli. Pelabuhan Jamboe Ayer
tidak lain adalah Ambuaru.
Kerajaan kuno Ambuaru yang juga
disebut Jamboe Ayer telah menjadi bagian dari Kerajaan Simamora. Jamboe Ayer
adalah pelabuhan penting Kerajaan Simamora. Kerajaan Boetar memiliki pelabuhan
Batoebara, dan Kerajaan Silindoeng memiliki pelabuhan Asahan.
William Marsden dalam bukunya The history of Sumatra (1784) menyebutkan
Batoebara menjadi titik perdagangan orang-orang China ke pedalaman. Batak lebih
dominan dari Malayu, yang diduga datang melalui laut.
Dalam perkembangannya, pantai
timur menjadi wilayah lalu lintas perdagangan Kesultanan Atjeh dan Kesultanan
Siak. John Anderson dalam laporannya (1823) menyebut Kerajaan Laboehan di muara
sungai Deli telah donobatkan oleh Sultan Siak kepada Radja Labiehan dengan
gelar Sultan. Saat John Anderson berada di Deli, Kerajaan Pulau Brayan sedang
berperang dengan Kesultanan Laboehan (Deli). Kesultanan Deli memiliki otoritas
di seputra Laboehan dan Pertjoet. Dalam perang tersebut, menurut John Anderson
Sultan Laboehan (Deli) dibantu oleh seorang kapten Inggris yang tengah berlibur
dari Penang. Sedangkan Kerajaan Pulau Braijan dibantu oleh para hulubalang
Kerajaan Batak di pedalaman yang memiliki populasi 40.000.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan invasi ke Laboehan (Deli) pada tahun
1863 yang dipimpin oleh Residen Riau Elisa Netscher atas persetujuan Sultan
Siak. Saat Elisa Netscher berada di atas kapal mengundang dua Radja Batak ke
atas kapal dengan memperlihatkan persenjataan modern. Menurut Laporan Elisa
Netscher (1875) di Laboehan (Deli) hanya terdapat 200 rumah, dimana diantaranya
dua buah merupakan rumah pangeran Batak. Disamping itu, terdapat sejumlah
hulubalang Atjeh yang dipersenjatai.
Setelah kehadiran Belanda di Laboehan
(Deli), elemen Batak dan elemen Atjeh menghilang di Laboehan. Sejak itulah
Sultan Laboehan (Deli) memiliki kuasa yang powerful yang didukung oleh Kesultanan
Siak. Kolabarasi antara Controleur Belanda, Sultan dan para Planter telah
mengakibatkan ekspnasi lahan hingga jauh ke hulu sungai Deli. Salah satu perlawanan
untuk menghadapi invasi Belanda yang didukung Sultan dilakukan oleh Raja
Soenggal (yang dimulai tahun 1875). Kraton Sultan Laboehan (Deli) relokasi ke
Medan (Deli) terjadi setelah tahun 1887. Pada tahun 1887 Ibukota Residentie
Oostkust van Sumatra dipindahkan ke Medan dari Bengkalis (Riaou).
Lantas bagaimana keterkaitan sejarah yang dicatat pada masa lampau
tentang keberadaan Batak di pantai timur dengan distribusi penduduk Melayu pada
masa ini. Konsentrasi penduduk Melayu pada masa ini terpusat di Medan dan
sekitarnya (Deli Serdang dan Langkat) dan Batubara dan sekitarnya (Serdang
Bedagai). Apakah perkembangan populasi Melayu di dua wilayah tersebut dipicu karena
adanya dinamika penduduk dalam dua abad, dimana di dua wilayah tersebut dulunya
sebagai wilayah terbuka yang masuk teritori Batak? Relokasi kraton Sultan dari
Laboehan ke Medan menjadi faktor penting lainnya. Demikian juga migrasi penduduk
dari Minangkabau (pasca Perang Padri) ke Batoebara juga termasuk faktor
penting.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali
di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
hmm mantap
BalasHapus