Kamis, 08 Maret 2018

Sejarah Kota Medan (61): Sejarah Stadion Kebun Bunga, 'Markas' PSMS di Medan; Stadion Vios di Batavia, Sidolig di Bandung

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini.


Stadion Kebun Bunga di Medan sudah sejak lama digunakan oleh PSMS sebagai ‘markas’ dan juga tempat latihan. Sementara untuk pertandingan resmi, PSMS menggunakan Stadion Teladan. Stadion Kebun Bunga dibangun di era kolonial Belanda, Stadion Teladan baru dibangun pada tahun 1953. Stadion Kebun Bunga hingga saat ini masih digunakan PSMS sebagai ‘markas’. Stadion Teladan juga hingga saat ini masih eksis sebagai stadion utama PSMS.

Gerbang (stadion) Lapangan DSV Medan (1925)
Di Jakarta, Stadion Menteng adalah ‘markas’ Persija. Stadion ini sudah eksis di era kolonial Belanda yang menjadi ‘markas’ klub VIOS. Sejak Stadion Menteng dibongkar dan dijadikan taman, praktis Persija tidak memiliki ‘markas’ yang tetap. Sementara itu, di Bandung, Stadion Persib adalah ‘markas’ Persib. Stadion ini juga sudah eksis sejak era kolonial Belanda yang menjadi ‘markas’ klub Sidolig.

Lantas kapan Stadion Kebun Bunga dibangun? Itu yang menjadi pertanyaan. Pertanyaan ini dapat ditambahkan: Mengapa Stadion Kebun Bunga dibangun? Lalu bagaimana proses awal pembangunannya. Pertanyaan ini menjadi menarik karena Stadion Kebun Bunga masih eksis dan juga Stadion Kebun Bunga masih digunakan PSMS sebagai markas dan tempat latihan hingga saat ini. Untuk itu, mari kita lacak.

Taman Perumahan Orang Eropa: Stadion Kebun Bunga
   
Pada tahun 1929, di dewan kota (gemeenteraad) Medan muncul usulan untuk pembangunan stadion dan komplek olahraga (De Sumatra post,     17-04-1929). Lapangan (stadion) yang menjadi ‘markas’ DSV Medan tidak layak lagi dijadikan sebagai venue pertandingan sepakbola di Kota Medan. Usulan mengerucut untuk mengakuisisi taman Kebon  Boenga di Parkstraat.

Peta 1896
Kebon Boenga di wilayah Polonia adalah suatu area di sisi barat sungai Deli (berserberangan dengan area Esplanade. Pada tahun 1902 terjadi banjir besar sehingga membuat area Kebon Boengan tenggelam (lihat De Sumatra post, 27-10-1902). Begitu besarnya banjir, sungai Deli meluap hingga hampir mencapai dek jembatan dekat benteng (sekitar lima puluh sentimeter lagi). Ketinggian air di perkampungan penduduk di pinggir sungai tenggelam hingga mencapai atap. Akibat banjir ini, pemerintah (Asisten Residen) mulai merencanakan (perluasan) kota dengan membangun sistem drainase dan membuat sejumlah kanal. Strategi ini juga ditemukan di Batavia, Semarang, Soerabaja, Bandoeng dan Padang. Pada sore hari situs/area Kebon Boenga ini dikunjungi oleh banyak anak-anak untuk bermain, diantaranya banyak yang membawa kuda. Akses menuju area ini dari kota (Esplane) melalui gerbang perumahan Tionghoa (De Sumatra post, 12-03-1904). Pada Peta 1896 sudah ada jembatan di situs Kebon Boenga di atas sungai Baboera. Jika melewati stus/area Kebon Boenga terasa wangi karena banyak bunga dan kebon-kebon bunga (De Sumatra post, 10-11-1906). Jalan Poloniaweg kerap dipertukarkan dengan nama Djalan Kebon Boenga (De Sumatra post, 22-03-1907). Penerangan listrik akan dibangun di Djalan Kebon Boenga (De Sumatra post, 24-06-1907). Di area ini juga akan dibangun TPA sampah dan pembuatan drainase di sisi-sisi Djalan Kebon Boenga ke arah sungai (De Sumatra post, 15-07-1907). Area Kebon Boenga sudah dirancang untuk area perluasan kota yang mana TPA juga diusulkan akan dipindah ke tempat yang sesuai (De Sumatra post, 22-04-1909). Di area Kebon Boenga ini tokoh Tionghoa, Tjong Jong Hian akan dikubur. Pemakaman abang Tjong A Fie ini akan dilakuan pada tanggal 16 November (De Sumatra post, 13-11-1911). Pohon-pohon besar di sekitar sepankang Djalan Kebon Boenga (Parkstraat) aakan ditebang (De Sumatra post, 17-11-1915).   

Tuman ini berada di sisi (komplek) perumahan orang-orang Eropa/Belanda. Untuk akuisisi ini dibebankan kepada anggaran Pemerintah Kota (Medan) sebesar f48.000. Luas situs taman ini 79.000M2 dan harga lahan per meter persegi sebesar f0.60. Secara keseluruhan pembangunan stadion baru ini diperkirakan sebesar f76.000 yang meliputi biaya akuisisi, pembangunan jalan, pembangunan lapangan sepak bola termasuk lapangan dan tenis.

Situs Kebon Boenga, Medan (Peta 1915)
Pada tahun 1921 seorang pengusaha real estate mengusulkan agar di area situs Kebon Boenga dibangun perumahan untuk mendukung perkembangan kota (De Sumatra post, 22-11-1921). Gagasan ini kemudian dibahas di dewan kota. Dalam pertimbangannya, gagasan ini menarik perhatian dewan karena selama ini area Kebon Boenga hanya tinggal kenangan, karena kini tidak lebih dari padang rumput tempat dimana banyak anak-anak bermain dan mengembalakan kuda-kuda mereka. Anggota dewan kota (gemeenteraad) Radja Goenoeng mengkritisi gagasan ini dengan memberi pertimbangan jika memang harus menjadi real estate baru maka pengembang harus: (1) bahwa semua lahan yang digunakan untuk pembangunan jalan dan taman pada nantinya ditransfer menjadi milik pemerintah kota secara gratis; (2) bahwa semua jalan yang diproyeksikan dibangun harus diaspal dan dilengkapi selokan /drainase beton dan semua area yang disediakan untuk taman dirapihkan, diratakan dan dibutuhkan penanaman pohon muda dan lain-lain yang ditanam di dalamnya; (3) Djalan Kebon Boenga atau Parkstraat diperpanjang dan diperlebar hingga 16 meter dengan diperkeras diantara dua selokan serta jalan ini (Djalan Kebon Boenga) tetap terbuka ke arah Sungai Baboerar dengan lebar penuh; (4)..;(5)..; (6) Jalan dan taman harus dapat diselesaikan sejak kontrak diberikan oleh pemerintah kota (7) bahwa pemeliharaan jalan dan taman umum akan dilakukan oleh pemerintah kota. 

Pertandingan sepak bola di Esplanade Medan, 1925
Radja Goenong adalah pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota dengan metode pemilihan umum yang baru (demokratis) yang kali pertama diterapkan sejak tahun 1918. Kajamoeddin Harahap gelar Radja Goenong kelahiran Padang Sidempoean adalah pensiunan guru di Tapanoeli yang menjadi penilik sekolah di Oost Sumatra yang berkantor di Medan sejak tahun 1915. Radja Goenong tidak hanya piawai mendidik para murid, karena Radja Goenoeng yang mereformasi pendidikan di wilayah Oost Sumatra sehingga berjalan baik, tetapi juga Radja Goenoeng juga bisa memberi perspektif pendidikan bagi anggota dewan lain dan pemerintah kota serta pengembang dalam memanusiakan pengembangan Kota Medan. Usulan-usulan di atas khas cara berpikir seorang guru (jika pengusaha ingin mengambil untung, warga juga harus mendapat manfaat yang lebih besar). Perumahan inilah yang kemudian diminati oleh orang-orang Eropa sebagai hunian tempat tinggal. Taman yang disediakan dan dibangun oleh pengembang yang menjadi aset pemerintah kota kemudian dijadikan lapangan (stadion) Kebon Boenga. Usul pembangunan stadion ini bermula digagas oleh anggota dewan kota Abdullah Lubis (pemimpin NV Sjarikat Tapanoeli yang menerbitkan surat kabar Pewarta Deli). NV Sjarikat Tapanoeli didirikan tahun 1907 oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dan Mohammad Yacoub Lubis gelar Sjeh Ibrahim. Ketika Kota Medan ditingkatkan statusnya menjadi kota (gemeente) pada tahun 1909, Sjeh Ibrahim yang diangkat sebagai Kepala Kelurahan pertama di Wijk (kelurahan) Kesawan. Mohammad Yacoub adalah orang Tapanoeli pertama yang merantau ke kota Medan (sejak 1875 saat onderafdeeling Medan dibentuk berkedudukan di di Kampong Medan). Kota Medan perkembangannya sangat pesat sehingga masalah-masalah sosial sering timbul. Seorang Djaksa di Sipirok (Angkola, Tapanoeli) bernama Sjarif Anwar dipindah ke Medan tahun 1885. Djaksa pribumi pertama ini membuat kota Medan menjadi lebih tenang dan damai karena takut dituntut oleh djaksa yang tegas ini. Salah satu anak Sjarif Anwar Harahap lahir di Sipirok tahun 1885 yang bernama Djamin kemudian bersekolah di Medan dan lulus ELS tahun 1900 dan kemudian diangkat menjadi mantri polisi dan lalu dipromosikan sebagai Adjuct-Djaksa. Djamin Harahap gelar Baginda Soripada adalah ayah dan Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea adalah kakek dari Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI yang kedua).

Adanya lapangan tennis dalam komplek stadion sepak bola karena adanya keberatan dari klub tennis (Deli Tennis Club) yang sudah memiliki lapangan tenis di situs tersebut (De Sumatra post, 01-05-1929). Oleh kareananya, dalam pembangunan stadion ini lapangan tennis akan diset ulang agar sesuai layout komplek olahraga tersebut. Salah satu anggota dewan kota dari golongan pribumi saat itu adalah Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli) dan Abdul Hakim Harahap (kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara).

Peta 1940
Hingga pada tahun 1905 lapangan Esplanade (kini Lapangan Merdeka) masih dapat digunakan oleh semua pihak (Eropa/Belanda, pribumi dan Tionghoa). Namun setelah itu muncul peraturan bahwa lapangan Esplanade hanya dapat digunakan untuk pertandingan sepakbola yang diselenggarakan oleh ETI (orang-orang Eropa/Belanda). Pada tahun 1915, ketika perserikatan OSVB dibentuk (untuk menggantikan perserikatan DVB) lapangan Esplanade dilarang digunakan untuk pertandingan sepak bola. Hal ini karena di sejumlah titik sudah bermunculan lapangan sepakbola, termasuk lapangan klub DSV. Namun dalam perkembangannya, lapangan-lapangan yang dimiliki secara pribadi oleh klub atau komunitas dianggap tidak memadai (sempit dan terbatas). Dewan kota merasa perlu mengusulkan pembangunan lapangan sepak bola yang representatif yang akan menjadi sumber pendapatan pemerintah kota.

De Sumatra post, 24-09-1931
Dalam pembangunan stadion Kebon Boenga ini muncul persoalan. Kantor B&W (Dinas PU) tidak melibatkan OSVB. Sebagai akibatnya, pembangunan lapangan sepak bola tidak memenuhi standar yang diharapkan oleh OSVB (De Indische courant, 11-07-1930). Situs itu pada dasarnya berlahan basah (sebagian rawa). Jika pertandingan berlangsung pada saar hari hujan, maka di dalam lapangan akan terdapat genangan dan permainan menjadi sepakbola ala sepakbola lumpur. Ini tampak ketika pertandingan antara klub PSV vs klub CSC. Setiap pemain menendang bola terasa berat karena bola berada di dalam air atau bola menempel pada permukaan lumpur (De Sumatra post, 14-09-1931), PSV adalah singkatan dari Parsadaan Sport Vereeniging, klub orang-orang Tapanoeli dari Mandailing dan Angkola, sedangkan CSC adalah singkatan Chinesse Sport Vereeniging. De Sumatra post, 24-09-1931

De Sumatra post, 20-05-1933
Kualitas Stadion Kebon Boenga akhirnya keluhan dan protes dari OSVB akhirnya direspon oleh pemerintah (De Sumatra post, 20-05-1933). Lapisan pasir di atas tanah liat lapangan akan ditambah agar fungsi drainase bisa berjalan baik (pada saat hujan). Dalam upaya perbaikan ini juga akan dilakukan perluasan pagar (dinding stadion) sehingga akan tampak menjadi benar-benar stadion. De Sumatra post, 20-02-1934 melaporkan stadion Kebon Boenga segera direnovasi. Dalam renovasi ini letak tribun akan diubah berlawan dengan yang sekarang. Disamping itu juga akan dibuat tiga akses ke dalam stadion. Pekerjaan ini dijanjikan oleh pemerintah kota selama tiga bulan selesai. Dengan demikian OSVB akan menikmati stadion yang baru (hasil renovasi besar-besaran).

De Sumatra post, 06-06-1934
Sementara itu, klub juga merasakan buruknya kualitas stadion Kebon Boega. Klub DLSV yang berhomebase di Medan membangun stadion baru yang lebih besar (De Sumatra post, 06-06-1934). Stadion baru ini untuk menggantikan lapangan (stadion) yang lama. Pada bulan Februari klub DSV Medan dan klub LSV Langkat merger dan membentuk klub baru DLSV (Dcli Langkat Sport Vereeniging). Dalam hubungan ini, DLSV menjadi klub raksasa di Medan yang mampu membangun stadion besar dan megah melebihi stadion pemerintah (OSVB) di Kebon Boenga. Lokasi stadion DLSV yang baru ini berlokasi di belakang Veldpolitiekazerne di Poloniaweg yang dirancang oleh arsitek Deli Mij, Mr. Roestenburg. Sistem drainasenya sangat baik dengan ukuran lapangan panjang 103 meter dan lebar 75 meter yang jauh lebih luas jika dibandingkan stadion OSVB di Kebon Boenga. Tribun dirancang agak tinggi bertingkat dan lebih luas yang mampu menampung 400 orang untuk duduk. Seluruh area dipagari dengan pagar seng, dimana dari waktu ke waktu berbagai iklan akan dipasang, di belakang kedua target tersebut. Stadion juga dilengkapi dengan ruang ganti dan kamar mandi serta sebuah bar. Pembukaan stadion baru akan berlangsung pada tanggal 23 Juli. Stadion ini tampaknya juga lebih mewah jika dibandingkan stadion klub VIOS di Batavia dan stadion klub Sidolig di Bandoeng.

De Sumatra post, 30-01-1933
Ketua OSVB di satu sisi gembira dan di sisi lain merasa khawatir. Hal ini sehubungan dengan makin banyaknya klub yang membangun stadion sendiri. Stadion baru akan dibangun di Djalan Radja (De Sumatra post,    20-12-1938). Ketua OSVB, C Bakker gembira karena klub semakin mampu menyelenggarakan pertandingan (home) dalam kompetisi, sebaliknya ada kekhawatiran stadion OSVB di Kebon Boenga menjadi tidak akan terawat (karena berkurangnya pemasukan?). Stadion di Djalan Radja ini akan digunakan oleh klub-klub pribumi, klub Sahata dan klub MSV. Stadion di Djalan Radja ini kelak akan diakusisi oleh pemerintah untuk membangun stadion yang lebih mewah dari Stadion Ikada di Djakarta, yakni Stadion Teladan Medan. Foto: Tim sepakbola veteran Belanda vs veteran Inggris di stadion Kebon Boenga, 1933 (De Sumatra post, 30-01-1933).
      
Esplanade, Medan (1890)
Itulah sejarah awal Stadion Kebon Boenga dan stadion-stadion yang lainnya di Medan. Sebelum adanya stadion Kebon Boenga, jauh sebelumnya sudah ada stadion klub DSV. Pembangunan stadion oleh klub-klub (seperti DSV) sehubungan dengan pembatasan penggunaan lapangan Esplanade untuk kegiatan pertandingan sepak bola. Namun dalam perkembangannya, stadion klub-klub ini cenderung sempit dan terbatas sehingga atas usul anggota dewan, seperti Abdul Hakim Harahap, lalu pemerintah membangun stadion yang lebih besar yakni Stadion Kebon Boenga. Tidak hanya hanya berhenti disitu, ternyata klub-klub juga merenovasi stadionnya dan beberapa diantaranya membangun stadion baru yang lebih baik seperti DLSV. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan sepak bola di Medan sangat dinamis.

OSVB akhirnya gundah juga. Stadion Kebon Boenga menjadi jauh tertinggal. Apa yang dikhawatirkan oleh Ketua OSVB terhadap nasib stadion Kebon Boenga ternyata terbukti. Lalu OSVB mengusulkan stadion Kebon Boenga dibongkar dan dipindahkan ke Prinses Beatrixlaan (De Sumatra post, 12-10-1939). Saat proses transfer tengah berjalan dan sebagian dari konstruksi stadion Kebon Boenga telah dipindah ke Prinses Beatrixlaan ternyata alokasi pemerintah untuk anggaran tahun 1940 hanya sebesar f12.500 untuk melanjutkan proses pemindahan stadion. Akibatnya stadion Kebon Boenga yang sudah berantakan karena sebagian konstruksinya sudah dipindah terpaksa harus gagal. Dengan kata lain, proses transfer itu tidak dapat direalisasikan. Stadion Kebon Boenga harus tetap dipertahankan meski dianggap kurang layak.

Pemindahan Stadion Kebon Boenga ke Prinses Beatrixlaan bukanlah semata-mata karena kegundahan OSVB, melainkan karena munculnya masalah hukum tentang lahan komplek olahraga di Kebon Boenga. Pemilik lahan, Van Wingerden menggugat pemerintah kota karena ada pelanggaran kesepakatan yang dibuat tahun 1929 yang dikaitkan dengan pembelian lahan sebesar f48.000. Dalam kasus gugatan ini, dewan kota meminta untk membentuk komite penyelidikan. Hal ini karena dewan kota  berpendapat bahwa pemerintah kota telah memenuhi persyaratan kesepakatan sepenuhnya. Namun sebaliknya pemerintah kota melalui Kantor B&W (Dinas PU) tidak menginginkan sampai kepada pembentukan komite penyelidikan (De Sumatra post, 28-09-1939). Ketidaksepakatan ini dari kubu Van Wingerden sebagai pemilik lahan yang dijual kepada pemerintah, tetapi kenyataannya yang membangun adalah NV Het Villapark (De Sumatra post, 09-10-1939).

Setelah pembongkaran Stadion Kebon Boenga yang gagal ini (1939), praktis tidak pernah ada kabar berita pertandingan sepakbola diadakan di Stadion Kebon Boenga. Komplek olahraga Kebon Boenga )sepak bola, tennis dan hoki) penggunaannya dimulai pada tanggal 17 Juni 1931 (De Sumatra post, 04-03-1940). Lantas dengan pembongkaran ini apakah stadion Kebon Boenga telah tamat? Sementara pertandingan sepakbola di Medan masih berjalan, tetapi penggunaan stadion Kebon Boenga tidak lagi. Sedangkan pertandingan hoki dan tennis di komplek olah raga di Kebon Beonga masih berjalan seperti sebelumnya.

Bagaimana perkembangan kasus perdata tentang lahan komplek olahraga Keboen Boenga yang menyebabkan Stadion Kebon Boenga harus dibongkar (1939) dan dipindahkan tidak diketahui secara jelas, bahkan hingga terjadinya pendudukan Jepang. Yang jelas kegiatan sepak bola di Stadion Kebon Boenga sejak 1939 telah terhenti.

Selama pendudukan Jepang, kabar berita stadion Kebon Boenga juga tidak terdengar. Tidak hanya itu, selama era pendudukan Jepang kegiatan sepak bola di Medan juga tidak terlaporkan. Ketika Indonesia sudah merdeka dan Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 di Djakarta, situasi cepat beruibah di Medan: militer Jepang telah menyerah dan digantikan oleh sekutu, NICA/Belanda yang semakin menguat di Medan menyebabkan munculnya perang antara Republiken dengan Belanda. Pemerintah RI harus mengungsi ke Pematang Siantar lalu ke Tapanoeli di Padang Sidempoean. Paralel dengan perang ini di Medan dan Sumatra Timur yang sudah dikuasai Belanda muncul apa yang disebut Negara Sumatra Timur (NST) dengan walinya Dr. T. Mansoer.

Pada tahun 1948 dilaporkan ada turnamen di Medan yang diselenggarakan atas nama pemerintah militer Sekutu/NICA Jenderal Mayor. P. Scholten dan Wali NST Dr. T Mansoer. Dalam turnamen ini diikuti oleh kesebelasan 42 R1, Medan Poetra, 33 R1 dan Artileri. Pemenang turnamen hadiah diberikan oleh ketua Ketua OSVB Mr. Nolen (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-07-1948). Disebutkan bahwa turnamen ini diadakan di lapangan olahraga (stadion) Kebon Boenga.

Peta 1951
Stadion Kebon Boenga yang terlantar sejak tahun 1939 besar kemungkinan pada tahun 1948 telah direnovasi oleh militer sekutu/NICA yang bermarkas di Medan. Kesebelasan-kesebelasan yang mengikuti turnamen yakni 42 R1, 33 R1 dan Artileri adalah kesebelasan-kesebelasan militer Sekutu/Belanda di Medan. Bagaimana kasus hukum perdata dari Van Wingerden dan pemerintah kota sudah dengan sendirinya gugur, Hal ini karena selama pendudukan Jepang, militer Jepang menerapkan sama bagi kepemilikan publik yang dikuasasi oleh pemerintah dan swasta disamakan. Pihak militer sekutu/Belanda yang ‘menginvasi’ kembali kota Medan dianggap sebegai pemilik barang dan bangunan publik dan swasta.

Stadion Kebon Boenga yang sejak beberapa tahun hanya terkesan sebagai bangunan yang berantakan telah dikembalikan pada bentuk dan fungsinya yang semula di era perang oleh militer Sekutu/Belanda. Bahan-bahan bangunan yang sebagin telah dipindahkan ke Prinses Beatrixlaan telah diangkut kembali ke Kebon Boenga untuk memenuhi kembali wujud stadion Kebon Boenga. Stadion Kebon Boenga yang pernah ‘koma’ selama bertahun-tahun telah dihidupkan kembali. Pada kehidupan Kebon Boenga yang kedua ini seakan stadion Kebon Boenga tidak ada matinya lagi. Stadion Kebon Boenga berumur panjang bahkan hingga ini hari, yang menjadi ‘markas’ PSMS Medan dalam memulai Liga 1, 2018.

De Sumatra post, 23-07-1929
Pada Peta 1951 tampak Stadion Kebon Boenga memiliki tribun barat dan tribun timur. Sementara pada Peta 1940 stadion Kebon Boenga hanya memiliki satu tribun di sebelah barat.Ukurannya juga tampak kecil. Oleh karena kegiatan sepak bola tidak ada lagi di stadion Kebon Boenga sejak 1939, maka pembangunan kembali stadion Kebon Boenga (setelah sempat dibongkar sebagian) besar kemungkinan terjadi pada era perang kemerdekaan yang dilakukan oleh militer Sekutu/Belanda (NST). Gambaran mengenai stadion Kebon Boenga saat pembangunannya pada tahun 1929, stadion utamanya yang berukuran 104X68 meter di tengah sebelah barat memiliki bangunan dengan panjang 20 meter yang terdiri dari ruang ganti, termasuk shower untuk para pemain, juga ada ruangan untuk penyimpanan bahan, permainan serta satu kios untuk menjual makanan dan minuman. Di atas bangunan ini tribun diletakkan, ditutupi dengan atap sehingga para penonton terlindungi dari sinar matahari setiap saat. Di tribun, yang memiliki ukuran 20 kali 6 meter ini dapat menampung 150 penonton. Untuk pertandingan besar,ukuran tribun ini tentu saja terlalu kecil, namun masih dimungkinkan untuk perluasan yang cukup dapat dilakukan di kedua sisi bangunan (lihat De Sumatra post, 23-07-1929). Juga diuraikan bahwa komplek olah raga Kebon Boenga ini selain stadion utama, juga terdapat tiga lagi lapangan sepak bola berukuran lebih kecil: 2 buah ukuran 100x60 meter dan satu lagi ukuran 100x65 meter. Di dalam stadion utama ini juga tersedia trek atletik yang mengelilingi lapangan, juga dicadangkan untuk olah raga tolak peluru dan lempar lembing ukuran 100 meter dan space untuk lompat jauh dan lompat tinggi seluas 400 meter persegi. Sedangkan untuk keperluan tennis berada di luar lapangan (stadion) berjumlah dua buah dengan masing-masing ukuran 37x20 meter. Seluruh komplek olah raga ini dikelilingi oleh pagar berupa tanaman. Biaya pembangunan seluruh lapangan olahraga sebesar f28.000 sedangkan untuk lanskapnya yang hijau penanaman pohon sebesar f6.500. Pada tahun 1932 di stadion dilakukan perlombaan atletik dalam berbagai cabang dengan perebutan piala (De Telegraaf, 24-11-1932). Disebutkan untuk perlombaan 1.500 harus dilakukan beberapa putaran tetapi tikungannya dianggap terlalu tajam.

Stadion Kebun Bunga (googlemap)
Pada masa ini Stadion Kebon Boenga haruslah dipandang sebagai suatu heritage di bidang olahraga. Memang kini di komplek olah raga ini yang tersisa hanya stadion Kebon Boenga dan lapangan hoki. Lapangan hoki dibangun dengan mengakuisisi salah satu lapangan sepak bola sehubungan dengan terbentuknya Asosiasi Hoki Medan (De Sumatra post, 26-10-1933). Pembangunan ini dikaitkan dengan rencana renovasi komplek olah raga utamanya stadion Kebon  Boenga (De Sumatra post, 16-11-1933). Renovasi ini tidak lagi oleh PU tetapi ditenderkan ke publik (De Sumatra post, 20-01-1934). Namun, stadion Kebon Boenga adalah situs tua di Indonesia yang masih eksis hingga ini hari. Komplek olahraga dengan venue utama stadion Kebon Boenga di masa lampau haruslah dipandang sebagai komplek olahraga pertama di Indonesia. Bandingkan, bahwa komplek olah raga Senayan, Jakarta baru dibangun tahun 1960 (jelang Asian Games 1962) dan komplek olahraga Jakabaring, Palembang tahun 2001 (jelang PON 2004), sedangkan komplek olah raga Kebon Boengan dibangun sejak 1929.

Jangan lupa bahwa Stadion Kebun Bunga juga adalah bagian dari perhelatan PON III Medan tahun 1953. Pada waktu yang bersamaan tanggal 19 Setember pukul 15.30-18:00 pertandingan di Stadion Teladan antara M. Sumatra vs W. Borneo dan di stadion Kebun Bunga antara O. Java dan ZO. Borneo (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-09-1953). Pada tangga 22 September (15.30-18.00) antara Z. Celebes vs N. Celebes di stadion Kebun Bungan dan di Stadion Teladan antara N. Sumatra vs Kleine Soenda Eilanden (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-09-1953).

Pembangunan Stadion Teladan (1953): Stadion Kebun Bunga ‘Markas’ PSMS
   
Tunggu deskripsi lengkapnya

Stadion VIOS di Batavia: 'Markas' Persija
   
Tunggu deskripsi lengkapnya

Stadion Sidolig di Bandoeng: 'Markas' Persib
   
Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar