Stadion Kebun Bunga di Medan sudah sejak lama digunakan oleh PSMS sebagai ‘markas’ dan juga tempat latihan. Sementara untuk pertandingan resmi, PSMS menggunakan Stadion Teladan. Stadion Kebun Bunga dibangun di era kolonial Belanda, Stadion Teladan baru dibangun pada tahun 1953. Stadion Kebun Bunga hingga saat ini masih digunakan PSMS sebagai ‘markas’. Stadion Teladan juga hingga saat ini masih eksis sebagai stadion utama PSMS.
Gerbang (stadion) Lapangan DSV Medan (1925) |
Lantas kapan Stadion Kebun
Bunga dibangun? Itu yang menjadi pertanyaan. Pertanyaan ini dapat ditambahkan:
Mengapa Stadion Kebun Bunga dibangun? Lalu bagaimana proses awal
pembangunannya. Pertanyaan ini menjadi menarik karena Stadion Kebun Bunga masih
eksis dan juga Stadion Kebun Bunga masih digunakan PSMS sebagai markas dan
tempat latihan hingga saat ini. Untuk itu, mari kita lacak.
Taman Perumahan Orang Eropa: Stadion Kebun Bunga
Pada tahun 1929, di dewan kota
(gemeenteraad) Medan muncul usulan untuk pembangunan stadion dan komplek
olahraga (De Sumatra post, 17-04-1929).
Lapangan (stadion) yang menjadi ‘markas’ DSV Medan tidak layak lagi dijadikan
sebagai venue pertandingan sepakbola di Kota Medan. Usulan mengerucut untuk
mengakuisisi taman Kebon Boenga di
Parkstraat.
Peta 1896 |
Tuman ini berada di sisi (komplek) perumahan orang-orang Eropa/Belanda. Untuk akuisisi ini dibebankan
kepada anggaran Pemerintah Kota (Medan) sebesar f48.000. Luas situs taman ini
79.000M2 dan harga lahan per meter persegi sebesar f0.60. Secara keseluruhan
pembangunan stadion baru ini diperkirakan sebesar f76.000 yang meliputi biaya
akuisisi, pembangunan jalan, pembangunan lapangan sepak bola termasuk lapangan
dan tenis.
Situs Kebon Boenga, Medan (Peta 1915) |
Pertandingan sepak bola di Esplanade Medan, 1925 |
Peta 1940 |
De Sumatra post, 24-09-1931 |
Dalam pembangunan stadion Kebon Boenga ini muncul persoalan. Kantor
B&W (Dinas PU) tidak melibatkan OSVB. Sebagai akibatnya, pembangunan lapangan
sepak bola tidak memenuhi standar yang diharapkan oleh OSVB (De Indische
courant, 11-07-1930). Situs itu pada dasarnya berlahan basah (sebagian rawa). Jika
pertandingan berlangsung pada saar hari hujan, maka di dalam lapangan akan
terdapat genangan dan permainan menjadi sepakbola ala sepakbola lumpur. Ini
tampak ketika pertandingan antara klub PSV vs klub CSC. Setiap pemain menendang
bola terasa berat karena bola berada di dalam air atau bola menempel pada
permukaan lumpur (De Sumatra post, 14-09-1931), PSV adalah singkatan dari
Parsadaan Sport Vereeniging, klub orang-orang Tapanoeli dari Mandailing dan
Angkola, sedangkan CSC adalah singkatan Chinesse Sport Vereeniging. De Sumatra
post, 24-09-1931
De Sumatra post, 20-05-1933 |
De Sumatra post, 06-06-1934 |
Sementara itu, klub juga merasakan buruknya kualitas
stadion Kebon Boega. Klub DLSV yang berhomebase di Medan membangun stadion baru
yang lebih besar (De Sumatra post, 06-06-1934). Stadion baru ini untuk
menggantikan lapangan (stadion) yang lama. Pada bulan Februari klub DSV Medan dan
klub LSV Langkat merger dan membentuk klub baru DLSV (Dcli Langkat Sport
Vereeniging). Dalam hubungan ini, DLSV menjadi klub raksasa di Medan yang mampu
membangun stadion besar dan megah melebihi stadion pemerintah (OSVB) di Kebon
Boenga. Lokasi stadion DLSV yang baru ini berlokasi di belakang Veldpolitiekazerne
di Poloniaweg yang dirancang oleh arsitek Deli Mij, Mr. Roestenburg. Sistem
drainasenya sangat baik dengan ukuran lapangan panjang 103 meter dan lebar 75
meter yang jauh lebih luas jika dibandingkan stadion OSVB di Kebon Boenga. Tribun dirancang agak tinggi bertingkat dan lebih luas yang mampu
menampung 400 orang untuk duduk. Seluruh area dipagari dengan pagar seng,
dimana dari waktu ke waktu berbagai iklan akan dipasang, di belakang kedua
target tersebut. Stadion juga dilengkapi dengan ruang ganti dan kamar mandi
serta sebuah bar. Pembukaan stadion baru akan berlangsung pada tanggal 23 Juli.
Stadion ini tampaknya juga lebih mewah jika dibandingkan stadion klub VIOS di
Batavia dan stadion klub Sidolig di Bandoeng.
De Sumatra post, 30-01-1933 |
Ketua OSVB di satu sisi gembira
dan di sisi lain merasa khawatir. Hal ini sehubungan dengan makin banyaknya
klub yang membangun stadion sendiri. Stadion baru akan dibangun di Djalan Radja
(De Sumatra post, 20-12-1938). Ketua
OSVB, C Bakker gembira karena klub semakin mampu menyelenggarakan pertandingan
(home) dalam kompetisi, sebaliknya ada kekhawatiran stadion OSVB di Kebon
Boenga menjadi tidak akan terawat (karena berkurangnya pemasukan?). Stadion di
Djalan Radja ini akan digunakan oleh klub-klub pribumi, klub Sahata dan klub
MSV. Stadion di Djalan Radja ini kelak akan diakusisi oleh pemerintah untuk
membangun stadion yang lebih mewah dari Stadion Ikada di Djakarta, yakni
Stadion Teladan Medan. Foto: Tim sepakbola veteran Belanda vs veteran Inggris di stadion Kebon
Boenga, 1933 (De Sumatra post, 30-01-1933).
Esplanade, Medan (1890) |
Itulah sejarah awal
Stadion Kebon Boenga dan stadion-stadion yang lainnya di Medan. Sebelum adanya
stadion Kebon Boenga, jauh sebelumnya sudah ada stadion klub DSV. Pembangunan
stadion oleh klub-klub (seperti DSV) sehubungan dengan pembatasan penggunaan
lapangan Esplanade untuk kegiatan pertandingan sepak bola. Namun dalam
perkembangannya, stadion klub-klub ini cenderung sempit dan terbatas sehingga atas
usul anggota dewan, seperti Abdul Hakim Harahap, lalu pemerintah membangun
stadion yang lebih besar yakni Stadion Kebon Boenga. Tidak hanya hanya berhenti disitu,
ternyata klub-klub juga merenovasi stadionnya dan beberapa diantaranya
membangun stadion baru yang lebih baik seperti DLSV. Ini mengindikasikan bahwa
kegiatan sepak bola di Medan sangat dinamis.
OSVB akhirnya gundah juga. Stadion Kebon Boenga menjadi jauh tertinggal.
Apa yang dikhawatirkan oleh Ketua OSVB terhadap nasib stadion Kebon Boenga ternyata
terbukti. Lalu OSVB mengusulkan stadion Kebon Boenga dibongkar dan dipindahkan
ke Prinses Beatrixlaan (De Sumatra post, 12-10-1939). Saat proses transfer
tengah berjalan dan sebagian dari konstruksi stadion Kebon Boenga telah
dipindah ke Prinses Beatrixlaan ternyata alokasi pemerintah untuk anggaran
tahun 1940 hanya sebesar f12.500 untuk melanjutkan proses pemindahan stadion.
Akibatnya stadion Kebon Boenga yang sudah berantakan karena sebagian
konstruksinya sudah dipindah terpaksa harus gagal. Dengan kata lain, proses
transfer itu tidak dapat direalisasikan. Stadion Kebon Boenga harus tetap
dipertahankan meski dianggap kurang layak.
Pemindahan Stadion Kebon Boenga ke Prinses Beatrixlaan bukanlah
semata-mata karena kegundahan OSVB, melainkan karena munculnya masalah hukum
tentang lahan komplek olahraga di Kebon Boenga. Pemilik lahan, Van Wingerden
menggugat pemerintah kota karena ada pelanggaran kesepakatan yang dibuat tahun
1929 yang dikaitkan dengan pembelian lahan sebesar f48.000. Dalam kasus gugatan
ini, dewan kota meminta untk membentuk komite penyelidikan. Hal ini karena dewan
kota berpendapat bahwa pemerintah kota
telah memenuhi persyaratan kesepakatan sepenuhnya. Namun sebaliknya pemerintah
kota melalui Kantor B&W (Dinas PU) tidak menginginkan sampai kepada pembentukan
komite penyelidikan (De Sumatra post, 28-09-1939). Ketidaksepakatan ini dari
kubu Van Wingerden sebagai pemilik lahan yang dijual kepada pemerintah, tetapi
kenyataannya yang membangun adalah NV Het Villapark (De Sumatra post, 09-10-1939).
Setelah pembongkaran Stadion
Kebon Boenga yang gagal ini (1939), praktis tidak pernah ada kabar berita pertandingan
sepakbola diadakan di Stadion Kebon Boenga. Komplek olahraga Kebon Boenga )sepak
bola, tennis dan hoki) penggunaannya dimulai pada tanggal 17 Juni 1931 (De
Sumatra post, 04-03-1940). Lantas dengan pembongkaran ini apakah stadion Kebon
Boenga telah tamat? Sementara pertandingan sepakbola di Medan masih berjalan,
tetapi penggunaan stadion Kebon Boenga tidak lagi. Sedangkan pertandingan hoki
dan tennis di komplek olah raga di Kebon Beonga masih berjalan seperti
sebelumnya.
Bagaimana perkembangan kasus perdata tentang lahan komplek olahraga
Keboen Boenga yang menyebabkan Stadion Kebon Boenga harus dibongkar (1939) dan
dipindahkan tidak diketahui secara jelas, bahkan hingga terjadinya pendudukan
Jepang. Yang jelas kegiatan sepak bola di Stadion Kebon Boenga sejak 1939 telah
terhenti.
Selama pendudukan Jepang, kabar
berita stadion Kebon Boenga juga tidak terdengar. Tidak hanya itu, selama era
pendudukan Jepang kegiatan sepak bola di Medan juga tidak terlaporkan. Ketika
Indonesia sudah merdeka dan Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus
1945 di Djakarta, situasi cepat beruibah di Medan: militer Jepang telah
menyerah dan digantikan oleh sekutu, NICA/Belanda yang semakin menguat di Medan
menyebabkan munculnya perang antara Republiken dengan Belanda. Pemerintah RI
harus mengungsi ke Pematang Siantar lalu ke Tapanoeli di Padang Sidempoean.
Paralel dengan perang ini di Medan dan Sumatra Timur yang sudah dikuasai
Belanda muncul apa yang disebut Negara Sumatra Timur (NST) dengan walinya Dr.
T. Mansoer.
Pada tahun 1948 dilaporkan ada turnamen di Medan yang diselenggarakan
atas nama pemerintah militer Sekutu/NICA Jenderal Mayor. P. Scholten dan Wali
NST Dr. T Mansoer. Dalam turnamen ini diikuti oleh kesebelasan 42 R1, Medan
Poetra, 33 R1 dan Artileri. Pemenang turnamen hadiah diberikan oleh ketua Ketua
OSVB Mr. Nolen (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-07-1948). Disebutkan bahwa
turnamen ini diadakan di lapangan olahraga (stadion) Kebon Boenga.
Peta 1951 |
Stadion Kebon Boenga yang sejak beberapa tahun hanya terkesan sebagai
bangunan yang berantakan telah dikembalikan pada bentuk dan fungsinya yang
semula di era perang oleh militer Sekutu/Belanda. Bahan-bahan bangunan yang
sebagin telah dipindahkan ke Prinses Beatrixlaan telah diangkut kembali ke
Kebon Boenga untuk memenuhi kembali wujud stadion Kebon Boenga. Stadion Kebon
Boenga yang pernah ‘koma’ selama bertahun-tahun telah dihidupkan kembali. Pada
kehidupan Kebon Boenga yang kedua ini seakan stadion Kebon Boenga tidak ada
matinya lagi. Stadion Kebon Boenga berumur panjang bahkan hingga ini hari, yang
menjadi ‘markas’ PSMS Medan dalam memulai Liga 1, 2018.
De Sumatra post, 23-07-1929 |
Stadion Kebun Bunga (googlemap) |
Pada masa ini Stadion Kebon Boenga haruslah dipandang sebagai suatu
heritage di bidang olahraga. Memang kini di komplek olah raga ini yang tersisa
hanya stadion Kebon Boenga dan lapangan hoki. Lapangan hoki dibangun dengan
mengakuisisi salah satu lapangan sepak bola sehubungan dengan terbentuknya
Asosiasi Hoki Medan (De Sumatra post, 26-10-1933). Pembangunan ini dikaitkan
dengan rencana renovasi komplek olah raga utamanya stadion Kebon Boenga (De Sumatra post, 16-11-1933).
Renovasi ini tidak lagi oleh PU tetapi ditenderkan ke publik (De Sumatra post, 20-01-1934).
Namun, stadion Kebon Boenga adalah situs tua di Indonesia yang masih eksis
hingga ini hari. Komplek olahraga dengan venue utama stadion Kebon Boenga di
masa lampau haruslah dipandang sebagai komplek olahraga pertama di Indonesia.
Bandingkan, bahwa komplek olah raga Senayan, Jakarta baru dibangun tahun 1960
(jelang Asian Games 1962) dan komplek olahraga Jakabaring, Palembang tahun 2001
(jelang PON 2004), sedangkan komplek olah raga Kebon Boengan dibangun sejak
1929.
Jangan lupa bahwa Stadion Kebun
Bunga juga adalah bagian dari perhelatan PON III Medan tahun 1953. Pada waktu
yang bersamaan tanggal 19 Setember pukul 15.30-18:00 pertandingan di Stadion Teladan
antara M. Sumatra vs W. Borneo dan di stadion Kebun Bunga antara O. Java dan ZO.
Borneo (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-09-1953). Pada tangga 22
September (15.30-18.00) antara Z. Celebes vs N. Celebes di stadion Kebun Bungan
dan di Stadion Teladan antara N. Sumatra vs Kleine Soenda Eilanden (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 22-09-1953).
Pembangunan Stadion
Teladan (1953): Stadion Kebun Bunga ‘Markas’ PSMS
Tunggu deskripsi lengkapnya
Stadion VIOS di Batavia: 'Markas' Persija
Tunggu deskripsi lengkapnya
Stadion Sidolig di Bandoeng: 'Markas' Persib
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar