Kamis, 29 Maret 2018

Sejarah Semarang (20): Stasion Ambarawa Sejak 1873; Tempo Doeloe ‘Gagah Berani’, Masa Kini ‘Mati Segan Hidup Tak Hidup’


Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini

Ambarawa, pada masa ini adalah sebuah kota kecil di pegunungan yang nasuk wilayah Kabupaten Semarang. Pada masa lampau, sejak era VOC Ambarawa sebagai nama tempat sudah teridentifikasi sebagai persimpangan jalan. Secara perlahan, Ambarawa menjadi tempat penting pada era Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini terutama karena Ambarawa telah menjadi pusat transaksi yang penting dalam transaksi ‘booming’ kopi. Ambarawa tidak hanya semakin aman dengan diperkuatnya benteng (dengan nama baru Fort Willem I) juga  semakin ramai dengan dibukanya moda transportasi kereta api ruas Kedong Djati-Ambarawa.     

Stasion Fort Willem I (1890)
Pada peta tahun 1724 (J. Van Braam dan Gerard onder de Linden) nama Ambarawa merupakan suatu pertenuan jalan dari Semarang terbagi dua, ke sebelah barat melalui barat gunung Oengaran dan ke sebelah timur melalui timur Oengaran. Pada peta 1695 (Isaac de Graaff) nama Ambarawa tidak terindentifikasi secara jelas. Akan tetapi nama Oengaran dalam peta ini sudah diidentifikasi secara jelas. Jalan dari Semarang melalui Oengaran ini menuju Soerakarta dan Mataram (baca: Djogjakarta). Pada peta 1739 (J. Hadden) gunung Oengaran yang sekarang disebut gunung Semarang.

Stasion kereta api Ambarawa selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873 bersamaan dengan selesainya pembangunan rel kereta api ruas Kedong Djati-Ambarawa. Sejak itu, kota Ambarawa tidak ada matinya. Kota yang sangat hidup karena tiga hal: pertahanan (benteng Fort Willem I); perdagangan ekspor (gudang kopi) dan pariwisata (semakin banyaknya wisatawan terutama dari kota Semarang yang datang).

Jalur Kereta Api Ambarawa-Magelang

Tanaman kopi sudah sejak lama diintroduksi di Semarang. Pada tahun 1714 Bupati Semarang memiliki kebun kopi di area pekarangannya yang luas di sisi barat sungai Semarang. Introduksi kopi di Semarang ini relatif bersamaan waktunya dengan di Batavia. Lalu dalam perkembangannya lahan-lahan kopi menyebar ke area yang lebih tinggi di Buitenzorg dan Ambarawa. Sebelum berakhirnya VOC, produksi kopi di dua wilayah ini sudah tinggi dan mengalir ke pelabuhan-pelabuhan di Batavia dan Semarang.

Peta 1724
Sebelum perkebunan kopi berkembang, sudah lebih awal berkembang perkebunan tebu dan pabrik gula. Introduksinya dimulai di Batavia lalu bergeser ke Jawa bagian tengah termasuk Soerakarta dan Djogjakarta. Gula dan kopi kemudian menjadi andalan ekspor ke Eropa. Porsi penerimaan VOC/Pemerintah Hindia Belanda semakin sedikit untuk komoditi-komoditi kuno seperti rempah-tempah dan hasil-hasil hutan lainnya, sementara komoditi baru gula dan kopi dari Jawa semakin besar volumenya. Era inilah yang disebut era keemasan di Jawa dan Maluku menjadi era masa lalu.

Produksi yang terus meningkat di wilayah Vorstenlanden (Soerakarta dan Djogjakarta) menimbulkan kesulitan bagi pengusaha-pengusaha Eropa/Belanda untuk mengalirkannya ke pelabuhan di Semarang dan Soerabaja. Moda transportasi darat ke Semarang dengan pedati dan koeli tidak memadai lagi karena mengalami kesulitan di musim hujan serta moda transportasi sungai ke Soerabaja dengan menggunakan kapal/perahu juga tidak memadai lagi karena mengalami kesulitan di musim kemarau. Keluhan dari pengusaha-pengusaha inilah yang kemudian menimbulkan ide pembangunan moda transportasi massal (kereta api). Jalur kereta api pertama dapat terealisasi antara Semarang-Kedong Djati dan antara Kedong Djati-Ambarawa.

Peta Ambarawa 1910
Studi kelayakan dari suatu konsorsium di Belanda mulai bekerja. Proyeksi pembangunan kereta api adalah Semarang ke Djogjakarta via Soerakarta. Ketika sudah selesai pembangunan rel kereta api ruas antara Semarang (Kamijen) dan Kedong Djati muncul masalah baru. Untuk membangunan ruas Kedong Djati-Soerakarta membutuhkan biaya besar. Para investor kemudian berbalik arah bahwa ruas Kadong Djati-Soerakarta ditunda dan dialihkan ke Ambarawa. Pertimbangannya adalah sebagai berikut: Pertama, selain biaya pembangunan kereta api ke Soerakarta butuh biaya besar, moda transportasi darat Soerakarta ke Kedong Djati masih memungkinkan dilakukan. Kedua, arus perdagangan dari Magelang, Ambarawa ke Semarang memiliki medan yang lebih sulit sehingga moda transportasi darat menjadi sangat sulit dan kualitas produksi yang tiba di Semarang menjadi tidak maksimal dan tidak jarang kualitasnya telah tergerus selama di perjalanan (yang jauh). Hal serupa ini juga terjadi mengalirkan produksi dari Preanger ke Chirebon atau ke Batavia via Buitenzorg. Ketiga, hasil produksi dari wilayah Ambarawa/Magelang yang tinggi menjadi faktor penting. Pihak kerajaan Belanda diduga turut mempengaruhi arah pembangunan rel kereta api ke Ambarawa karena diduga tertarik dalam investasi perkebunan kopi (kebun-kebun pihak kerajaan inilah kelak yang diduga yang menjadi milik PTP). Akhirnya ruas Kedong Djati-Ambarawa selesai di bangun tahun 1873. Pada waktu yang bersamaan juga selesai dibangun rel kereta api ruas Meester Cornelis-Buitenzorg. Ruas pertama yang dibangun adalah Batavia-Meester Cornelis pada tahun 1869 setelah dianggap sukses pembangunan ruas Semarang-Kedong Djati.    

Hotel de Ark di Bandoengan (1912)
Dengan selesainya, pembangunan rel kereta api Semarang-Ambarawa di satu pihak telah membuat arus perdagangan meningkat cepat. Sementara di pihak lain, moda transportasi Semarang-Ambarawa telah mengundang minat investor lain membuka perkebunan di Ambarawa dan sekitarnya. Tidak hanya itu, dalam hal ini Fort Willem I diuntungkan karena memudahkan pergerakan pasukan. Namun yang tidak kalah penting dengan adanya moda transportasi ini adalah kunjungan wisatawan dari Semarang ke Ambarawa semakin meningkat. Wisatawan juga datang dari Batavia dan Soerabaja (via laut ke Semarang). Investor-investor Eropa/Belanda semakin meningkat di Ambarawa dan Salatiga.

Ambarawa-Magelang (Peta 1902)
Sebelum selesai ruas Kedong Djati-Ambarawa rencana pembangunan Semarang-Soerakarta mulai dirintis kembali. Meski pembangunannya agak sulit karena di ketinggian, namun pada kahirnya terealisasi bahkan hingga ke Djogjakarta. Tidak hanya itu, pembangunan rel kereta api ruas Djogjakarta-Magelang juga mulai dirintis. Produksi dari Magelang pada akhirnya mengalir melalui Djogjakarta dan Soerakarta ke Semarang. Moda transportasi air dari Djogjakarta dan Soerakarta ke Soerabaja berakhir. Namun dari semua itu, hal yang masih tersisa adalah tidak ada jalur kereta api antara Magelang dan Ambarawa. Sejatinya, antara Ambarawa dan Magelang cukup dekat tetapi membangun rel kereta api sangat sulit luar biasa karena medannnya yang sangat sulit. Produksi dari Magelang dalam posisi dilematis. Jalur perdagangan Magelang-Ambarawa-Semarang cukup dekat tetapi moda transportasi darat yang sulit bukan menjadi pilihan. Jalur perdagangan Magelang-Dogjakarta, Soerakarta-Semarang sangat jauh akibatnya biaya angkut menjadi lebih mahal. Alasan-alasan inilah yang kemudian memunculkan ide pembangunan kereta api via gunung antara Ambarawa-Magelang. Jika ruas ini dapat direalisasikan, arus perdagangan dari Djogjakarta juga diuntungkan karena lebih pendek dan secara sosiopolitik jalur ini didukung oleh Djogjakarta. Faktor pendukung keberhasilan pembangunan rel kereta api ruas Magelang-Ambarawa bercermin dari pengoperasian jalur kereta api Padang-Ombilin (dengan menggunakan rel khusus). Ide ini tidak muncul antara Bandoeng-Buitenzorg via puncak karena lebih pada pertimbangan perluasan perkebunan-perkebunan swasta di wilayah Soekaboemi. Dalam hal ini faktor Soekaboemi mengalahkan puncak dalam pembangunan rel kereta api Buitenzorg-Bandoeng. Namun untuk Magelang-Ambarawa tidak hanya karena potensi ekonomi perkebunan di ruas antara Ambarawa-Magelang juga karena faktor posisi geografis Djogjakarta.

Rel khuisus (bergerigi) di Ambarawa (1900)
Perekonomian yang terus berdenyut di Ambarawa, denyutnya semakin kencang setelah pemerintah menyetujui pembangunan rel kereta api ruas Ambarawa-Magelang. Pemerintah mengambil risiko itu (biaya bangun rel yang mahal), itu semata-mata karena oportuniti yang akan diperoleh jauh lebih besar (arus perdagangan). Hal serupa ini juga telah berjalan sukses di Sumatra’s Westkust dalam pembangunan rel keret api dan eksploitasi tambang batubara Ombilin di Sawahlunto. Idem dito dengan di wilayah perkebunan antara Ambarawa dan Magelang. Ruas antara Ambarawa-Magelang ini pada dasarnya tinggal sedikit lagi. Hal ini karena jalur kereta api Magelang-Scang sudah beroperasi dan Ambarawa-Djamboe.

Setelah Semarang ke Vortenlanden terhubung dengan moda transportasi kereta api NIS mulai melakukan investasi besar-besaran. Pertama mengoperasikan jalur kereta api pegunungan ruas Amabarawa-Magelang. Kedua, untuk mengantisipasi volume perdagangan yang besar, NIS mulai memikirkan pembangunan kantor baru yang representatif. Kantor inilah yang kemudian menjadi Hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij te Semarang. Situs gedung ini kini dikenal sebagai Lawang Sewu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pariwisata Ambarawa Masa Kini

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar