Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Di Kota Padang terdapat dua keluarga yang terbilang hebat, yakni keluarga Abdoel Hakim dan keluarga Achmad Saleh. Dokter Abdoel Hakim memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter; demikian juga, Dokter Achmad Saleh juga memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter. Dua keluarga ini juga sukses dari hulu (generasi pertama) dan juga sukses ke hilir (generasi ketiga). Ayah Abdoel Hakim seorang lulusan sekolah guru (kweekschool), ayah Achmad Saleh juga seorang lulusan sekolah guru (kweekschool). Anak Dr. Abdoel Hakim seorang sarjana hukum, Mr. Egon Hakim; anak Dr. Achmad Saleh juga seorang sarjana hukum, Mr. Chaerul Saleh. Dua sarjana hukum beda generasi ini ini juga sama-sama dekat dengan Ir. Soekarno. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki peran penting: Egon Hakim menyelamatkan Ir. Soekarno saat pendudukan Jepang di Padang; Chaerul Saleh dan Adam Malik menculik Soekarno dan Mohammad Hatta jelang proklamasi kemerdekaan RI. Uniknya, Soekarno pada akhirnya (sejak 1963) hanya mempercayai lima orang:: Mr. Chaerul Saleh (bidang ekonomi pembangunan), Adam Malik (perdagangan), Jenderal Abdoel Haris Nasution (pertahanan dan keamanan) dan Mr. Arifin Harahap, adik Amir Sjarifoeddin (anggaran). Pada saat besamaan Chaerul Saleh merangkap Ketua MPR dan Zainul Arifin Pohan sebagai Ketua DPR.
Di Kota Padang terdapat dua keluarga yang terbilang hebat, yakni keluarga Abdoel Hakim dan keluarga Achmad Saleh. Dokter Abdoel Hakim memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter; demikian juga, Dokter Achmad Saleh juga memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter. Dua keluarga ini juga sukses dari hulu (generasi pertama) dan juga sukses ke hilir (generasi ketiga). Ayah Abdoel Hakim seorang lulusan sekolah guru (kweekschool), ayah Achmad Saleh juga seorang lulusan sekolah guru (kweekschool). Anak Dr. Abdoel Hakim seorang sarjana hukum, Mr. Egon Hakim; anak Dr. Achmad Saleh juga seorang sarjana hukum, Mr. Chaerul Saleh. Dua sarjana hukum beda generasi ini ini juga sama-sama dekat dengan Ir. Soekarno. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki peran penting: Egon Hakim menyelamatkan Ir. Soekarno saat pendudukan Jepang di Padang; Chaerul Saleh dan Adam Malik menculik Soekarno dan Mohammad Hatta jelang proklamasi kemerdekaan RI. Uniknya, Soekarno pada akhirnya (sejak 1963) hanya mempercayai lima orang:: Mr. Chaerul Saleh (bidang ekonomi pembangunan), Adam Malik (perdagangan), Jenderal Abdoel Haris Nasution (pertahanan dan keamanan) dan Mr. Arifin Harahap, adik Amir Sjarifoeddin (anggaran). Pada saat besamaan Chaerul Saleh merangkap Ketua MPR dan Zainul Arifin Pohan sebagai Ketua DPR.
Kota Padang tempo doeloe adalah ibukota Province Sumatra’s Westkust
(Provinsi Pantai Barat Sumatra). Saat itu terdiri dari tiga residentie: Residentie
Padangsch Benelanden ibukota di Padang; Residentie Padangsch Bovenlanden ibukota
di Fort de Kock; dan Residentie Tapanoeli ibukota di Sibolga. Kota-kota utama
di provinsi ini, selain yang tiga kota tersebut adalah Sawahloento, Padang
Pandjang, Fort van der Capellen, Panjaboengan, Padang Sidempoean dan
Batangtoroe. Di kota-kota inilah terbilang adanya orang Eropa/Belanda dan
Tionghoa. Oleh karena satu provinsi, warga kota-kota tersebut tanpa halangan
berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Demikian juga para pejabat pemerintah,
guru, djaksa dan dokter. Oleh karena itu, ketika lulusan ELS Padang Sidempoean sudah
memenuhi kuota ke Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA), lulusan ELS Padang
Sidempoean dapat mengikuti seleksi melalui (persaingan) kuota di Kota Padang (ibarat
SBMPTN pada masa ini).
Lantas apakah dua keluarga ini memiliki hubungan
kekerabatan? Bagaimana asal-usul mereka, bagaimana riwayat dua keluarga tiga
generasi ini berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik untuk diperhatikan, hal ini mengingat dua keluarga ini sangat berpengaruh di Residentie West Sumatra. Mari kita lacak.
Docter Djawa School di Batavia: Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Achmad Saleh
Saat Achmad Saleh masuk
di Docter Djawa School di Batavia tahun 1905, Abdoel Hakim dan Abdoel Karim
lulus. Abdoel Hakim dan Abdoel Karim lulus ELS Padang Sidempoean sejak tingkat
pertama hingga lulus satu kelas dengan Tjipto Mangoenkosoemo. Pada tahun ini
juga guru Soetan Casajangan berangkat studi ke negeri Belanda (untuk
mendapatkan akta kepala sekolah).
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
Docter Djawa School dibuka tahun 1851. Tahun sebelumnya sudah dibuka
sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta. Pada tahun 1854 dua siswa dari
Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s
Westkust bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua
siswa ini merupakan siswa-siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School
yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 didirikan kweekschool di Fort de
Kock (sekolah guru yang kedua di Hindia Belanda). Pada tahun 1857 adik kelas Si
Asta dan Si Angan bernama Si Sati berangkat studi ke negeri Belanda untuk
mendapatkan akta guru. Setelah lulus tahun 1861, Si Sati yang telah mengubah
namanya menjadi Willem Iskander pulang ke kampung dan tahun 1862 mendirikan
sekolah guru (kweekschool) di Tanobato (sekolah guru yang ketiga di Hindia
Belanda). Ayah Haroen Al Rasjid dan Abdoel Hakim serta ayah Soetan Casajangan
adalah alumni Kweekschool Tano Bato, murid langsung dari Willem Iskander.
Sedangkan Soetan Casajagan adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun
1887 (dibuka tahun 1879 sebagai pengganti Kweekschool Tanobato) murid langsung
Charles Adriaan van Ophuijsen. Murid lainnya Charles Adriaan van Ophuijsen di
Kweekschool Padang Sidempoean adalah Dja Endar Moeda, lulus tahun 1885 (mertua
Dr. Haroen Al Rasjid di Padang) dan Mangaradja Salamboewe lulus tahun 1892 (anak
dari Dr. Asta, alumni pertama Docter Djawa School dari luar Jawa).
Gambaran ini sekadar
menunjukkan bahwa Afdeeling Mandailing dan Angkola yang beribukota di Padang
Sidempoean sudah surplus dokter dan guru sejak lama. Dengan populasi penduduk
yang relatif sedikit Afdeeling Mandailing dan Angkola hanya membutuhkan dua
dokter (di Panjaboengan (onderafdeeling Mandailing) dan di Padang Sidempoean
(onderafdeeling Angkola). Sementara kebutuhan guru cukup 15 orang saja (minimal
satu guru dari 15 sekolah yang ada di Afdeeling Mandailing en Angkola. Jumlah sekolah di
Afdeeling Mandailing dan Angkola hingga tahun 1892 sebanyak 15 sekolah
(Algemeen Handelsblad, 23-11-1892).
Setelah selesai ‘kuliah’
di Docter Djawa School, Dr. Asta ditempatkan di afdeeling Mandailing en Angkola
untuk meningkatkan status kesehatan penduduk, sementara Dr. Angan dikirim ke
Padangsch Bovenlanden. Pada tahun 1856 dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan
Angkola diterima lagi di Docter Djawa School, Si Dorie dan Si Napang dan
setelah lulus kuliah Si Dorie pulang kampong untuk membantu Dr. Asta, sementara
Si Napang dikirim ke Padangsch Benelanden. Demikian seterusnya secara periodik
siswa-siswa asal Mandailing dan Angkola direkrut ke Docter Djawa School. Salah
satu dokter asal Mandailing dan Angkola yang terkenal adalah Dr. Madjilis yang
lulus tahun 1886 (Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1886). Dr. Madjilis bahkan
lebih terkenal daripada Dr. Wahidin (pengagas Boedi Oetomo). Siswa-siswa
lulusan Afdeeling Mandailing dan Angkola cukup populer sejak lama. Ukuran lain
adalah Kweekschool Tanobato (dengan guru Willem Iskander) adalah sekolah guru
terbaik di Hindia Belanda (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-,
handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865) dan juga Kweekschool Padang
Sidempoean (dengan guru Charles Adrian van Ophuijsen) juga adalah sekolah guru
terbaik di Hindia Belanda (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad,
16-12-1884). Siswa pribumi pertama studi ke Belanda (1857) adalah Willem
Iskander (lulus 1861); dan guru pribumi pertama yang melanjutkan studi ke
Belanda (1905) adalah Soetan Casajangan (lulusan Kweekschool Padang Sidempoean,
1887). Oleh karena itu bukan aneh jika Dr, Madjilis adalah dokter pribumi
terbaik di Hindia Belanda. Dr. Madjilis setelah lulus di Docter Djawa School ditempatkan
di Oostkust Sumatra. Pada tahun 1896, Dr. Madjilis dipindahkan dari Tandjong
Balai ke Moko-Moko di Bengkoelen (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-08-1896). Posisi yang ditinggalkan
oleh Dr. Madjilis ditempati oleh Dr. Abdoel Rivai lahir di Moko-Moko,
Bengcoelen yang lulusa Docter Djawa School tahun 1894. Dr. Madjilis setelah
beberapa kali pindah dipindahkan kembali ke Tandjong Balai. Dr. Madjilis dari
Tandjong Balai terakhir dipindahkan ke Padang Sidempoean (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indië, 21-02-1906). Setelah mengabdi selama dua
dasawarsa, Dr. Madjilis akhirnya meminta pensiun dini dikampungnya di Padang
Sidempoean terhitung tanggal 6 November 1906 (Bataviaasch nieuwsblad,
06-11-1906). Pada tahun 1907 keluar beslit Dr, Madjilis yang mengizinkan
membuka praktik untuk kedokteran, operasi dan farmasi (Bataviaasch nieuwsblad,
06-07-1907). Besar dugaan Dr. Madjilis adalah dokter pribumi pertama yang
diizinkan membuka Dokter Praktik (klinik). Setelah itu, Dr. Madjiis kerap
bolak-balik ke Tandjong Balai. Nama, Dr. Madjilis terdeteksi terakhir sebagai
dokter di perusahaan perkebunan yang berkantor di Tandjong Balai (De Sumatra
post, 07-08-1917).
Berdasarkan situasi dan
kondisi awal tersebut guru-guru dan dokter asal Afdeeling Mandailing dan
Angkola sudah menyebar luas di berbagai tempat di Province Sumatra’s Westkust
dan juga di Residentie Atjeh, Sumatra’s Oostkust, Riaouw, Bengkoelen dan Zuid
Sumatra. Oleh karenanya bukan aneh muncul tokoh-tokoh asal Mandailing dan
Angkola yang lahir dirantau.
Sekadar contoh, beberapa dari mereka
adalah Mr. Ida Lomongga, Ph.D (Nasution) lahir di Padang 1905 (perempuan
Indonesia pertama bergelar doktor, Amsterdam 1930); SM Amin (Nasution) lahir di
Lho Nga, Atjeh, 1904 (Gubernur Sumatra Utara 1948); Sjoeman Hs (Hasibuan) lahir
di Bengkalis, Riaouw 1904 (sastrawan); Abdoel Hakim (Harahap) lahir di
Saroelangoen Djambi, 1905 (Wakil Perdana Menteri RI dan Gubernur Sumatra Utara
pertama pasca pengakuan kedaulatan RI, 1951); Abdoel Abbas (Siregar) lahir di
Medan, 1906 (anggota PPKI, 1945); Amir Sjarifoeddin (Harahap) lahir di Medan
1907 (Perdana Menteri RI 1947-1948); Gele Haroen (Nasution) lahir di Sibolga
1910 (Residen pertama Lampong); Arifin Harahap lahir di Sibolga 1915 (Menteri
terlama di era Presiden Soekarno); Adam Malik (Batoebara) lahir di Pematang
Siantar 1917 (Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden); FKN Harahap lahir di
Depok, Batavia 1917 (orang Indonesia pertama yang mengalahkan juara Catur
Belanda, Max Euwe 1933 dan mengikuti turnamen catur Internasional, 1935, anggota
dan pengurus Perhimpoenan Indonesia Belanda 1939-1946 dan Ketua Percasi 1956); Overste
(Letkol) Dr. Irsan Radjamin (Nasution) lahir di Semarang, 1917 (pejuang 11
Novemper di Soerabaja 1945); Boehanoeddin Harahap lahir di Medan 1917 (Ketua
Masyumi dan Perdana Menteri RI 1955-1956); Sakti Alamsjah (Siregar) lahir di
Soengai Karang, Deli 1922 (Pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung, 1950 dan
1966); Mochtar Lubis lahir di Soengei Penoeh, Djambi 1922 (Pendiri surat kabar
Indonesia Raja di Djakarta 1950); Kolonel Zulkifli Lubis lahir di Kota Rada,
Atjeh 1923 (yang mendesain struktur TNI 1946 dan Kepala Staf TNI, 1953); Mr.
Masdoelhak Nasution, Ph.D lahir di Sibolga 1924 (doktor hukum, lulusan suma cum
laude di Leiden 1943, penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta. Intelektual
Indonesia yang pertama ditembak mati Belanda dalam serangan agresi Belanda ke
Djogjakarta, 1948); Hasjrul Harahap lahir di Pematang Siantar 1931 (Menteri); Ida
Nasution lahir di Sibolga tahun 1924 (pendiri organisasi Persatoean Mahasiswa Universiteit
Indonesie, di Djakarta 1947, dan Lafran Pane, lahir 1922 pendiri HMI, di
Djogjakarta 1947); Andi Hakim Nasution lahir di Buitenzorg (Bogor) 1932 (Rektor
IPB Bogor 1978-1987); Mr. Aida Dalkit Harahap lahir di Batavia 1933 (perempuan
Sumatra pertama sarjana hukum, 1957); Arifin Siregar lahir di Medan 1934
(Gubernur Bank Indonesia dan Menteri); Ucok Datoe Andalas (Harahap) lahir di
Soerabaja 1942 (pionir musik rock Indonesia yang dikenal sebagai Ucok AKA); Sheila
Madjid, penyanyi Malaysia, lahir di Selangor 1965, keturunan pendiri Kota Kuala
Lumpur, Sutan Puasa; Johansyah Tagor Harahap lahir di Soekaboemi 1927 (anak
dari Sorip Tagor Harahap, dokter hewnn Indonesia pertama di Utrecht, 1920,
pendiri Sumatra Sepakat bersama Tan Malaka di Belanda, 1917 dan kakek dari
Inez/Risty Tagor); dan lainnya. Mereka ini bersama-sama dengan yang lahir di kampung
halaman tergabung menjadi diaspora Mandailing dan Angkola di perantauan (tidak
kembali lagi; hanyut).
Kweekschool Padang
Sidempuan ditutup tahun 1892. Hal ini karena anggaran pemerintah mengalami
defisit. Sejak itu, anak-anak usia sekolah yang potensial di Afdeeling Padang
Sidempuan (sebelumnya disebut Afdeeling Mandheling en Ankola) diperbolehkan
masuk ke sekolah dasar Eropa (ELS) di Padang Sidempoean. Alumni ELS Padang Sidempuan
banyak yang masuk ke Docter Djawa School di Batavia (cikal bakal STOVIA). Untuk
anak-anak yang lulus sekolah dasar pemerintah yang ingin menjadi guru diarahkan
untuk mengikuti pendidikan di sekolah guru terdekat di Kweekschool Fort de
Kock. Namun diantara anak-anak Afdeeling Padang Sidempoean masih banyak yang
tetap tertarik menjadi guru. Kweekschool For de Kock kemudian menjadi cukup
terkenal di Padang Sidempoean karena Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, alumni Kwekschool Padang Sidempoean (1887), melanjutkan studi ke Belanda (1905), pendiri perhimpunan pelajar di Belanda Indisch Vereeniging (1908) dan lulus akta kepala sekolah di Haarlem (1913) lalu diangkat sebagai Direktur
Kweekschool Fort de Kock (1914-?). Catatan: Jabatan terakhir Soetan Casajangan sebelum pensiun jadi guru tahun 1929 adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia.
Beberapa lulusan
Kweekschool Fort de Kock asal Afdeeling Padang Sidempoean adalah sebagai
berikut: Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng masuk Kweekschool Fort de Kock
tahun 1895 (dan lulus 1898). Setelah berpindah-pindah sebagai guru di Tapanoeli
dan berhasil menulis sejumlah buku pelajaran dipromosikan sebagai penilik
sekolah di Medan (1915). Pada tahun 1918 Radja Goenoeng menjadi anggota dewan
(gemeenteraad) Medan yang berasal dari pribumi melalui mekanisme pemilihan umum
(semacam pilkada). Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan masuk Kweekschool
Fort de Kock tahun 1909. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Soetan
Kenaikan tidak menjadi guru, tetapi berangkat ke Buitenzorg untuk melanjutkan
pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian (Lndbouw School). Soetan Kenaikan lulus
tahun 1914 di Middelbare Landbouwschool (statusnya diubah dari Landbouw School
tahun 1913). Setelah Abdul Azis Nasution lulus diangkat pemerintah sebagai
advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo,
dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis Nasution beberpa tahun hingga
akhirnya diangkat pemerintah menjadi Kepala Sekolah Pertanian (Landbownormaalscholen)
di Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah ini harus ditutup karena
kondisi keuangan pemerintah. Meski sekolah pertanian di Padang Panjang macet,
Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Abdul Azis Nasution kemudian lalu
berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman.
Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan
pertanian, pendidikan agama dan praktik dengan sistem asrama. Karena itu orang
Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut
dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari Universitas Al
Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sukses Soetan
Kenaikan membangun pertanian di West Sumatra, namanya menjadi sangat populer
dan kemudian menjadi anggota Minangkabaoeraad tahun 1938 (satu-satunya yang
berasal dari Tapaneli). Gading Batoebara alias GB Joshua setelah lulus
Kweekschool Fort de Kock melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool (KHS) di
Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung dan
menjadi guru sementara di HIS swasta Sipirok (kampung halamannya). Kemudian Gading Batoebara pindah menjadi
guru di Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di Tandjongpoera, GB Josua
tertarik atas tawaran untuk memajukan sekolah HIS swasta di Doloksanggoel.
Kehadirannya membuat sekolah HIS Doloksanggoel maju pesat hingga akhirnya
diakuisisi oleh pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB Josua merancang HIS di
Doloksanggoel membuat namanya diperhitungkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam
perkembangannya, Gading Batoebara diangkat menjadi guru pemerintah dan
ditempatkan di Medan (De Sumatra post, 17-09-1928). GB Joshua juga mendirikan
sekolah swasta (Joshua Instituut). Pada tahun 1929 GB Josua melanjutkan lagi
studi ke Negeri Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs (1931)
GB Josua kembali ke Medan (1932). Pada tahun 1933 lulusan GB Joshua Instituut
cukup banyak diterima di MULO Medan (lihat De Sumatra post, 27-04-1933). Joshua
Instituut memiliki gedung baru tahun 1934 (De Sumatra post, 03-05-1934). GB
Joshua terpilih menjadi anggota dewan kota Medan tahun 1936 (De Sumatra post,
04-04-1936). Joshua Instituut kemudian membuka sekolah MULO. Mr. Gading
Batoebara Joshua kelak menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Utara
(Joshua Instituut di Medan masih eksis hingga ini hari).
Setelah lulus Docter
Djawa School tahun 1905, Dr. Abdoel Hakim (yang kelak menjadi Wali Kota Padang)
pertama kali ditempatkan di Padang Sidempoean, kampong kelahirannya. Pada tahun
1910 Abdoel Hakim dipindahkan ke Bindjai (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië, 25-04-1910). Lalu kemudian dipindahkan ke Tandjoengpoera. Pada
tahun 1914, Djamin Harahap (ayah Amir Sjarifoeddin) diangkat sebagai
Adj-hoofddjaksa di Tanjoeng Poera (Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1914). Lalu
kemudian pada tahun 1915 Djamin Baginda Soripada dipindahkan ke Sibolga sebagai
Hoofddjaksa.Achmad Saleh lulus di STOVIA tahun 1915 (Bataviaasch nieuwsblad,
13-02-1915). Untuk sementara Achmad Saleh ditempatkan di Burgerlyken
Geneeskundigen Dienst (Rumah Sakit di Batavia). Achmad Saleh sedang
dipersiapkan untuk menempati tugas baru di Padang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 17-02-1915).
Setahun sebelumnya,
tahun 1914, setelah lulus, Abdoel Rasjid ditempatkan di rumah sakit Batavia
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-07-1914). Pada tahun ini
tiga pemuda memulai perkuliahan di Belanda: Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka
alumnsi Kweekschool Fort de Kock; dan Sorip Tagor alumni Veartssen School di
Buitenzorg.
Achmad Saleh kemudian
dipindahkan ke Taloe (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
14-03-1916). Taloe adalah kampung halaman Achmad Saleh, ayah Achmad Saleh
berasal dari Taloe. Dr. Achmad Saleh cukup lama bertugas di distrik Taloe en
Tjoebadak (kini Kabupaten Pasaman Barat). Saat Dr. Achmad Saleh di
Taloe, adiknya Oesman Saleh diterima di STOVIA.
Anak Achmad Saleh ada lima orang.
Anak Achmad Saleh yang pertama adalah Chaeroel Saleh. Di dalam berbagai
literatur, Chaeroel Saleh disebut lahir di Sawahloento tanggal 13 September
1916. Ini mungkin sedikit membingungkan, karena kenyataannya Dr. Achmad Saleh
tidak pernah bertugas di Sawahloento. Besar dugaan Dr, Achmad Saleh membawa
istrinya jelang melahirkan ke Sawah Loento, karena di Sawah Loento terdapat
rumah sakit yang bagus (bahkan saat itu rumah sakit Sawahloento lebih baik dari
rumah sakit di Padang). Kelak Chaeroel
Saleh dikenal sebagai tokoh penting. Chaeroel Saleh, Adam Malik dan lainnya menculik
Soekarno dan Mohammad Hatta jelang proklamasi kemerdekaan RI. Chaeroel Saleh (dari
Taloe) dan Adam Malik (dari Kotanopan) sangat dekat satu sama lain.
Di daerah distrik Taloe
en Tjoebadak dan kini Pasaman Barat terdapat cukup banyak etnik Mandailing. Berdasarkan
SP 2010, secara nasional, populasi etnik Mandailing sebanyak 1.746,893 jiwa.
Sebanyak 521.150 jiwa berada di luar Provinsi Sumatera Utara. Populasi terbesar
etnik Mandailing di luar Sumatra Utara terdapat di Provinsi Sumatera Barat yakni
sebanyak 168.283 jiwa. Di Kabupaten Pasaman terdapat sebanyak 52.418 jiwa dan di Kabupaten Pasaman Barat
sebanyak 104.652 jiwa. Dua kabupaten ini berbatasan langsung dengan kabupaten
Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Persentase populasi etnik Mandailing di
Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat sebesar 93.34 persen dari seluruh
Provinsi Sumatra Barat. Sedangkan sebesar 6.66 persen tersebar di
kabupaten/kota lainnta yang mana di Kota
Padang terdapat sebanyak 4.126 jiwa dan Kota Bukit Tinggi sebanyak 1,213 jiwa.
Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang
Dr. Abdoel Hakim setelah
beberapa waktu bertugas di Oost Sumatra ditempatkan ke West Sumatra. Pada tahun
1919 Dr. Abdoel Hakim diangkat sebagai kepala ‘dinas kesehatan’ di West Sumatra
(lihat De Preanger-bode, 30-05-1919). Dr. Abdoel Hakim juga adalah anggota
dewan kota (gemeenteraad) Padang.
Pada tanggal 1 Januari 1917
mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di bawah arahan seorang mahasiswa senior
membentuk Sumatra Sepakat. Mahasiswa senior yang mengambil bidang studi
kedokteran di Utrecht bernama Sorip Tagor (Harahap). Pembentukan organisasi
daerah ini lebih pada untuk merespon adanya euphoria Boedi Oetomo dan Jong
Javanen yang tengah tumbuh di Jawa. Dewan Sumatra Sepakat adalah sebagai
berikut: Presiden, Sorip Tagor; Wakil, Dahlan Abdoellah; Sekretaris merangkap
bendahara, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Salah satu anggota
bernama Tan Malaka (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Di Batavia lalu didirikan
Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA
yang berasal dari Sumatra. Jong Sumatranen Bond di Batavia didirikan pada
tanggal 8 Desember 1917. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah
Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua,
Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De
Sumatra post, 17-01-1918).
Dr. Abdoel Hakim menjadi
pembina Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang. Salah satu pembicara dalam
kongres tersebut adalah Rama Saleh (adik Dr. Achamd Saleh). Sehabis kongres, Dr.
Abdoel Hakim mengundang komite kongres Jong Sumatranen makan siang di Hotel
Central.
Het nieuws van den dag voor NI, 09-07-1919 |
Dalam kongres Jong
Sumatranen Bond ini besar kemungkinan Dr. Achmad Saleh hadir. Hal ini karena
adiknya Rama Saleh menjadi salah satu pembicara. Topik yang dibicarakan Rama
Saleh cukup berat yakni tentang Nasionalisme. Sulit dibayangkan bagaimana
seorang perempuan di saat itu berani berbicara nasionalisme (persatuan nasional
untuk semua suku bangsa) dalam rangka mengusir penjajah Belanda. Apakah tema
ini terkait dengan asal-usul darimana keluarga Rama Saleh? Ramah Saleh saat ini
adalah mahasiswa tingkat persiapan STOVIA yang baru naik dari kelas dua ke
kelas tiga bersama Gindo Siregar (De Preanger-bode, 27-05-1919). Mahasiswa
lainnya yang naik dari tingkat persiapan dari kelas satu ke kelas dua adalah
Amir Hoesin Siagian, Djamaloeddin dan Hoemala. Sementara Aminoedin Pohan,
Moerad Loebis dan Bahder Djohan dari kelas tiga naik ke tuingkat satu medik.
Sedanhkan yang naik ketingkat dua medik adalah Djabangoen, Untuk yang naik ke
kelas tiga Aboebakar dan Anas. Untuk yang naik ke kelas empat Amir dan Marie
Thomas. Untuk yang naik ke kelas lima Abdoel Moenir dan Mohammad Djamil. Yang
naik ke kelas enam adalah Mansoer dan Baderil Moenir.
De Preanger-bode,
28-10-1919 melaporkan bahwa Achmad Saleh dari Taloe yang telah disebutkan ke
Weltevreden, dengan ketersediaan untuk komite kesehatan di sana. Lalu kemudian
Achamd Saleh dipindahkan ke Tandjong Karang.Lalu kemudian Achmad Saleh pada
tahun 1920 dipindahkan dari Tandjong Karang ke Tandjoeng Poera (De Sumatra
post, 02-12-1920). Masih pada tahun 1920 Abdoel Radjid dipindahkan ke Padang
Sidempuan, untuk menggantikan Soeib Paroehoeman yang dipindahkan dari Padang
Sidempuan ke Solok. Soeib Paroehoeman lulus STOVIA tahun 1917 (adik kelas Dr.
Achmad Saleh). Paroehoeman kemudian dipindahkan ke Batavia (1920) dan dipindahkan
lagi tahun 1921 ke Manado. Achmad Saleh dipindahkan dari Tandjong Poera ke
Laboehan Deli (De Sumatra post, 19-12-1921). Sjoeib Paroehoeman kemudian
dipindahkan lagi tahun 1924 ke Midden Java lalu atas prestasinya tahun 1926 .
Sjoeib Paroehoeman ditugaskan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Sjoeib
Paroehoeman lulus dari Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 dengan promotor
Prof. Dr. Schuffner.
Dalam perkembangannya
Volksraad yang baru, dimana pribumi diakomodir melalui pemilihan, tetapi (pulau)
Sumatra hanya dijadikan satu ‘dapil’ dan hanya satu wakil ke Volksraad di
Pedjambon. Meski demikian adanya, kandidat dari Sumatra yang muncul sangat
banyak dalam ‘pemilu’ pertama tersebut (lihat De Sumatra post, 05-01-1921).
Salah satu kandidat yang muncul adalah Dr. Abdoel Hakim di Padang.
Dalam daftar kandidat ini adalah
Abdoel Hakim, dokter swasta di Padang,
Abdoel Moeis, wartawan di Weltevreden, Dr. Abdoel Rasjid Siregar,
Inlandsch Docter di Penjaboengan (Tapanoeli); Abdoel Rivai, dokter swasta, Darwis
gelar Datoek Modjolelo, demang di Manindjau, res. SWK, Ibrahim Datoek Tan Malaka, guru di Senembah,
Tandjong Morawa, lsmail, guru di Medan, Kajamoedin Harahap gelar
Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan, Loetan gelar Datoek Rangkaja
Maharadja, demang di SWK, Abdoel Firman Siregar galar Mangaradja Soangkoepon,
anggota dewan kota di Sibolga, Hadji A. Salim, editor Neratja di Djocjakarta,
Soetan Mohamad Zain, pemimpin redaksi Volkslectuur di Weltevreden, Mohamad
Roesad gelar Soetan Pepatih di Padang, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia, guru di Kota Nopan (Tapanoeli)’. Nama-nama tersebut merupakan
tokoh-tokoh penting di West Sumatra, Tapanoeli dan Oost Sumatra. Dari daftar
ini terdapat empat alumni Belanda: Abdoel Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon,
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Tan Malaka dan Mohammad Zain.
Dalam kongres berikutnya
tahun 1921 turut hadir ketua Jong Sumatranen (Bond) cabang Tapanoeli, Parada
Harahap dan ketua cabang West Sumatra, M. Hatta. Pembina Sumatra Bond di Padang
adalah Dr. Abdoel Hakim, sedangkan Pembina Sumatranen Bond di Sibolga adalah
Dr. Abdoel Karim (Abdoel Hakim dan Abdoel Karim sama-sama sekelas di Docter
Djawa School di Batavia).
De Sumatra post, 14-01-1922 |
Dr. Abdoel Hakim
dipindahkan ke Boyolali. Namun tidak lama kemudian, Dr. Abdoel Hakim
dipindahkan ke Laboehan Deli (De Preanger-bode, 10-07-1923). Dr. Abdoel Hakim
gelar Soetan Isrinsah menggantikan Dr. Achmad Saleh yang dipindahkan ke Medan. Dr.
Abdoel Hakim juga bertanggung jawab untuk layanan medis di koloni kusta di
Poelaoe Si Tjanang (pusat rehabilitasi kusta ini didirikan oleh Dr. Mohammad
Daoelaj pada tahun 1910 yang sekarang telah diakuisi oleh pemerintah). Jabatan
Achmad Saleh di Kota Medan adalah direktur Stadsverband, rumah sakit kota (De
Sumatra post, 07-08-1923). Pada saat habis masa jabatan Radja Goenoeng sebagai
anggota dewan kota (gemeenteraad) Kota Medan, muncul beberapa kandidat
diantaranya Dr. Achmad Saleh dan guru Tjik Nang (De Sumatra post, 19-11-1923).
Radja Goenoeng selain anggota dewan juga masih merangkap sebagai penilik
sekolah di Residentie Oostkust Sumatra.
Komite Kota penyelenggaran pemilihan
di Medan dibentuk tahun 1917 sebagai wujud dari permulaan sistem pemilihan
secara demokrasi (tidak lagi ditunjuk). Komite ini (semacam KPU masa ini) bertugas
untuk menyelenggarakan pemilihan. Anggota dewan kota pertama yang terpilih
untuk Kota Medan adalah Radja Goenoeng. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng
adalah mantan guru di Tapanoeli, penilik sekolah di Medan, alumni Kweekschool
Fort de Kock. Radja Goenoeng lulus di Fort de Kock tahun 1899 (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 25-01-1899). Kelak pada tahun 1909 Abdoel Azis gelar Soetan
Kenaikan diterima di Kweekschool Fort de Kock. Setelah lulus Kweekschool Fort
de Kock, Abdul Azis tidak menjadi guru seperti Radja Goenoeng, tetapi berangkat
ke Buitenzorg untuk melanjutkan pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian
(landbouwschool). Abdul Aziz Nasoetion pada tahun 1913
lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad,
06-08-1913). Sekolah yang lama kuliahnya tiga
tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian
(Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti
Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor
(Middelbare Landbouwschool).
Dalam proses
pemilihan anggota dewan kota
(gemeenteraad) di Medan akhirnya yang terpilih adalah dokter Achmad Saleh (De
Sumatra post, 27-11-1923). Dr. Achmad Saleh mengalahkan guru Tjik Nang. Ini
dengan sendirinya, Dr. Achmad Saleh akan menggantikan seniornya Kajamoedin
Harahap gelar Radja Goenoeng. Mengapa Dr. Achmad Saleh dapat memenangkan suara
pemilih secara telak?
Kota Medan, sudah sejak lama
dipenuhi oleh migran dari Angkola dan Mandailing. Ini sehubungan dengan
pemisahan Residentie Tapanoeli dari Province Sumatra’s Westkust pada tahun
1905. Residentie Tapanoeli menjadi berdiri sendiri. Sejak itu tujuan migran
Tapanoeli mulai bergeser dari ibukota Padang. Para pengusaha asal Mandailing
dan Angkola sebagian investasinya dipindahkan dari Padang ke Medan. Salah satu
pengusaha tersebut adalah Dja Endar Moeda (pemilik surat kabar Pertja Barat dan
majalah Insulinde). Warga Mandailing dan Angkola di Medan pada tahun 1907
mendirikan organisasi Sarikat Tapanoeli untuk mengimbangi kekuatan ekonomi
orang-orang Tionghoa. Ketua Sarikat Tapanoeli adalah Saleh Harahap gelar Dja
Endar Moeda dan wakilnya Mohammad Jaqoub
Nasution alias Sjech Ibrahim (namanya populer setelah pulang dari Mekkah).
Sarikat Tapanoeli kemudian pada kahir tahun 1909 mendirikan surat kabar Pewarta
Deli sebagai organ sarikat. Pada tahun 1909 ini juga Kota Medan diringkatkan
menjadi Kota (Gemeente), Lurah pertama di Kota Medan, Pasar Kesawan diangkat
yakni Sjeh Ibrahim. Pada tahun 1915 Residentie Oostkust Sumatra yang beribukota
Medan ditingkatkan menjadi provinsi (dan sebaliknya Province Sumatra;s Westkust
dilikuidasi menjadi hanya setingkat residentie yang namanya menjadi Residentie
West Sumatra). Pada tahun 1917 sehubungan dengan sistem demokrasi pemilihan
anggota dewan, anggota dewan dipilih (tidak ditunjuk lagi). Tidak semua warga
memilih. Para pemilih adalah individu din dalam kota yang ditentukan berdasarkan
tingkat pendapatan tertentu. Jumlah pemilih yang cukup banyak dari Mandailing
dan Angkola di Medan yang menjadi faktor penting terpilihnya Radja Goenoeng dan
Dr. Achmad Saleh.
Pada tahun 1924 Abdoel
Hakim dipindahkan kembali ke Padang (kembali) sebagai kepala dinas kesehatan
Padangsch Benelanden. Pada saat kembali ke Padang ini, anak Dr. Abdoel Hakim,
bernama Egon Onggara Hakim diberangkatkan studi ke Belanda (lihat De Gooi- en
Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924). Egon Hakim masih belia baru
tamat ELS. Amir Sjarifoeddin sudah sejak tahun 1921 berada di Belanda. Amir
Sjarifoeddin juga melanjutkan sekolah menengah ke Belanda setelah lulus ELS di
Medan. Egon Hakim tidak sendiri tetapi bersama saudara sepupunya yang tamat ELS
di Tandjong Karang bernama Gele Haroen (anak Dr. Haroen Al Rasjid). Mereka
berdua menyusul kakak Gele Haroen bernama Ida Loemongga (kelahiran Padang) yang
diterima di fakultas kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1922 (Mohammmad
Hatta setelah kongres Jong Sumatranen di Padang 1921 langsung berangkat ke
Amsterdam). Sementara itu, Abdoel Hakim kembali menjadi anggota dewan Kota
Padang.
Sorip Tagor pendiri
Sumatra Sepakat di Belanda tahun 1917, setelah selesai studi kembali ke tanah
air tahun 1921 dengan gelar dokter hewan (Dr) di Utrecht. Sorip Tagor
sebelumnya adalah alumni dan asisten dosen di Veartsen School di Buitenzorg
(lulus 1912). Pada tahun Sorip Tagor pulang, Alinoedidn Siregar gelar Radja
Enda Boemi, lulus Recht School di Batavia dan menjadi pegawai di Landraad Medan
berangkat ke Belanda studi tingkat doktoral. Radja Enda Boemi meraih gelar
doktor (Ph.D) di bidang Hukum di Universiteit Leiden tahun 1925. Tahun 1926 Dr.
Sjoeib Paroehoeman tiba di Belanda untuk studi dokter spesialis. Beberapa tahun
kemudian, Ida Loemongga (sepupu Egon Hakim) juga meraih gelar doktor (Ph.D) di
bidang kedokteran tahun 1930 di Universiteit Amsterdam. Setahun sebeumnya
(1929) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sepupu Amir Sjarifoeddin) menyusul
tiba di Belanda untuk studi doktoral (meraih gelar Ph.D tahun 1933). Pada tahun
1931 menyusul Dr. Aminoedin Pohan dan Dr. Diapari Siregar untuk mengambil
dokter spesialis di Belanda.
Dr. Achmad Saleh dari
Medan dipindahkan ke Fort de Koek (De Sumatra post, 09-11-1926). Pada saat yang
bersaman Dr. Pirngadi asisten dosen di STOVIA dipindahkan ke rumah sakit Kota
Medan. Setahun sebelumnya (1925), di Loeboeksikaping (Pasaman) didirikan
sekolah pertanian oleh Abdul Azis Nasution. Sekolah ala Abdul Azis Nasution ini
tidak hanya unik, tetapi juga mampu memberi manfaat langsung bagi
siswa-siswanya. Dalam praktek, sambil terus belajar, siswa-siswa diminta
kerjasama dengan masyarakat sekitar untuk menyediakan lahan dan para siswa yang
mengerjakan dengan ilmu yang dipelajari dengan cara bagi hasil. Hasil pendapatan
siswa lalu ditabung di kantor pos agar nantinya ketika mereka lulus para
lulusan sudah memiliki modal sendiri.
Setelah Abdul Azis Nasution lulus
Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg, diangkat
pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman,
Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis beberpa tahun
hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian
(landbownormaalscholen) di Padang Panjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah
ini macet karena kondisi keuangan pemerintah. Meskipun sekolah pertanian di Padang
Panjang macet, Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru tetaplah guru,
pertanian juga tetaplah pertanian. Anak-anak Padang Sidempuan, sebagaimana
alamiahnya, akan terus berkembang dan akan berkonsentrasi pada bidangnya
dimanapun mereka berada. Abdul Azis kemudian lalu berinisiatif mendirikan
sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah
pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan
agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya
sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah
Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari
Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
21-12-1925). Surat kabar tersebut mengutip berita tersebut dari koran berbahasa
Melayu, Bintang Timoer, pimpinan Parada Harahap. Diceritakan di Koran ini bahwa
di Lubuk Sikaping telah didirikan sekolah pertanian swasta dengan kurikulum
Islam. Ini adalah bagian dari perjalanan jurnalistik ke Sumatra, ketika berada
di Lubuk Sikaping, Parada Harahap cukup lama di sekolah Abdul Azis Nasution
ini. Saat itu jumlah keseluruhan siswa ada sebanyak 55 siswa, yang berasal dari
Bengkulu, Palembang, Aceh, Lampoengsche serta dari afdeeling-afdeeling pantai
Sumatra bagian barat dan bagian timur. Disebutkan kurikulum tidak berbeda dengan
kurukulum Normaalschool. Beberapa pelajran seperti botani, zoologi, fisika,
geografi, aritmatika, bahasa Melayu, sejarah umum Hindia, geometri dan
menggambar, diluar kimia, pengetahuan tentang penyakit tanaman, pengetahuan
tentang penyakit peternakan dan ternak, geologi, ekonomi, survei, pertolongan
kesehatan, pertanian teoritis dan praktis, dengan budidaya tertentu seperti
kopi, karet, kelapa, kakao, padi, kentang,
vanili, jagong, dll. Untuk kelas pertama diajarkan bahasa Arab dan
sebagai dasar untuk pengetahuan Islam. Dalam pendidikan agama kelas dua
pendidikan agama sudah advance. Juga kurikulum mencakup bahasa Inggris, bahasa
Belanda dan pelajaran adat istiadat. Artikel-artikel ini kemudian menjadi
bagian dari buku yang diterbitkan oleh Parada Harahap dengan judul Dari Pantai
ke Pantai yang terbit tahun 1926 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926).
Buku ini menjadi ringkasan dari pengalaman yang diperoleh oleh pengalaman
Parada Harahap selama perjalanannya dari Bengkulu ke Aceh, Pulau Penang, Kuala
Lumpur, Singapura dan kemudian Jambi dan Palembang. Bagian pertama adalah
wacana yang diberikan pada pantai timur Sumatra dan sisanya akan dibahas dalam
bagian kedua dengan banyak ilustrasi yang memberikan pembaca wawasan bidang
sejarah, ekonomi dan politik dari bagian wilayah-wilayah yang dijelaskan,
termasuk di dalamnya tentang legenda tentang asal-usul Minangkabau dan kasus
poligami yang berkuasa, disamping kondisi di Batak tentunya.
Adik Dr. Achmad Saleh bernama
Ramah Saleh yang dulu hadir dalam kongres Jong Sumatranen pada tahun 1919
dengan topik Nasionalisme tidak meneruskan studinya di STOVIA. Ramah Saleh
lebih memilih untuk kuliah di sekolah guru di Batavia. Setelah lulus sekolah
guru, Ramah Saleh mengikuti pendidikan akta guru Hulpacte dan lulus (Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 09-06-1925). Pada tahun 1925 Ramah Saleh diangkat
menjadi guru kelas tiga di HIS Padang terhitung tanggal 12 Juli 1925 (Bataviaasch
nieuwsblad, 01-07-1925). Pendirian sekolah HIS Padang merupakan salah satu
usulan yang muncul dalam kongres Jong Sumatranen tahun 1919 di Padang.
Ramah Saleh setelah beberapa waktu
di HIS Padang dipindahkan ke HIS Meester Cornelis (kini Jatinegara). Selain
menjadi guru Ramah Saleh di Batavia Ramah Saleh ikut komite perempuan termasuk di
dalam komite ini Marie Thomas dan Djajadiningrat (Het Vaderland : staat- en
letterkundig nieuwsblad, 11-08-1928). Ramah Saleh guru kelas tiga di HIS
Meester Cornelis dipindahkan menjadi guru kelas dua di HIS Oengaran (De
Indische courant, 30-06-1930). Selanjutnya guru Ramah Saleh dipindah dari
Oengaran ke Blora (De Indische courant, 27-09-1932). Berdasarkan permintaan
sendiri guru kepala sekolah Ramah Saleh di Blora pensiun. Setelah pensiun dari
guru pemerintah, Ramah Saleh akan mengajar di Kartinischool di Cheribon (Bataviaasch
nieuwsblad, 22-06-1934).
Ramah Saleh telah
mengikuti jejak seniornya Alimatoes Saadiah. Namun Alimatoes Saadiah tidak
menjadi guru pemerintah tetapi guru swasta di Padang. Alimatoe Saadiah lulus
dari sekolah guru (Kweekschool) di Fort de Kock (lihat Leeuwarder courant,
22-06-1903). Sekolah swasta ini didirikan tahun 1895 oleh seorang pensiunan
guru, Dja Endar Moeda. Inisiatif pendirian sekolah swasta ini di Padang karena
banyak penduduk usia sekolah tidak tertampung d sekolah negeri (pemerintah). Pada
tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi percetakan dan surat kabar Pertja Barat
dan tahun itu mendirikan surat kabar Tapian Na Oeli dan majalah Insulinde. Dengan
adanya percetakan, guru Dja Endar Moeda banyak menulis buku umum dan buku
pelajaran. Saleh Harahap gelar (Mengara)Dja Endar Moeda juga membuka toko buku
di Padang. Dja Endar Moeda adalah ayah dari Alimatoes Saadiah.
Alimatoes Saadiah menikah tahun 1903
di Kota Padang.dengan Dr. Haroen Al Rasjid (saudara sepupu Dr. Abdoel Hakim). Haroen
Al Rasjid yang lulus Docter Djawa School tahun 1902 ditempatkan di Kota Padang.
Anak mereka yang pertama lahir di Padang yang diberi nama Ida Loemongga.
Keluarga muda ini kemudian pindah ke Sibolga. Di Sibolga adik Ida Lomongga
lahir tahun 1910 yang diberi nama Gele. Setelah delapan tahun mengabdi sebagai
dokter pemerintah (di Padang dan Sibolga), Dr. Haroen Al Rasjid meminta pensiun
dini dan kemudian pindah ke Telok Betong untuk membuka dokter praktek. Ida
Lomongga tahun 1930 meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di
Universiteit Amsterdam. Alimatoes Saadiah sudah lama tidak menjadi guru tetapi
ikut membantu suami mengelola klinik di Telok Betong dan Tandjong Karang,
tetapi paling tidak telah berhasil membimbing pendidikan putrinya menjadi
perempuan Indonesia pertama bergelar Ph.D. Juga berhasil membimbing putranya
Gele Haroen meraih sarjana hukum (Mr) di Universiteit Leiden (Gele Haroen kelak
menjadi Residen Lampoeng).
Keluarga-keluarga
tersebut telah bertransformasi menjadi keluarga transnasional. Dalam praktek
mengikuti pepatah baru: dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Dalam
penamaan kode (silsilah) keluarga juga mengalami modifikasi: Egon Hakim (dari
Abdoel Hakim); Gele Haroen (dari Haroen Al Rasjid); dan Chaerul Saleh (dari
Achmad Saleh); dan kemudian Eny Karim (dari Abdoel Karim).
Locoburgemeester Gemeete Padang dan Minangkabauraad
Setelah Dr. Abdoel Hakim
dari Deli dipindahkan kembali Padang tahun 1924, Dr. Abdoel Hakim kembali
menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Ini untuk periode yang kedua
kali Abdoel Hakim sebagai anggota dewan di Kota Padang. Ini dengan sendirinya
Dr. Abdoel Hakim akan disebut sebagai anggota senior (wethouder). Demikian juga
Dr. Achmad Saleh yang dipindahkan sebagai dokter pemerintah dari Deli ke Fort
de Kock tahun 1926, lalu kemudian Dr. Achmad Saleh diangkat menjadi anggota
dewan (gemeenteraad) Fort de Kock (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 15-07-1927). Dr. Achmad Saleh juga disebut wethouder karena
sebelumnya di Deli, Achmad Saleh sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad)
Medan.
Di dewan kota Medan
terdapat anggota dewan kota senior bernama Abdoel Hakim Harahap yang mengawali
anggota dewan pada tahun 1930. Abdoel Hakim Harahap adalah rekan seperjuangan
Dr. Achmad Saleh di dewan kota. Saat Dr. Achmad Saleh dipindahkan ke Fort de
Kock Abdoel Hakim Harahap kelahiran Saroelangoen, Djambi masih tetap terpilih
untuk periode ketiga. Abdoel Hakim Harahap adalah alumni sekolah ekonomi
(handelschool) di Batavia, lulus tahun 1927. Abdoel Hakim Harahap menyelesaikan
sekolah MULO di Kota Padang sebelum melanjutkan studi ke Batavia (kelak Abdoel
Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama pasca pengakuan
kedaulatan RI). Pada tahun 1927 di Batavia, Hasan Harahap gelar Soetan Pane
Paroehoem lulus ujian bagian pertama akte notaris dan kemudian tahun 1929 lulus
ujian bagian kedua akte notaris dan berhak mendapat lisensi register notaris.
Umunya notaris adalah orang Eropa/Belanda tetapi ada lima orang pribumi yang
bestatus notaris termasuk Soetan Pane Paroehoem. Kelak ketika Mr. Egon Hakim
dan kawan-kawan mendirikan Universitas Pantjasila di Padang tahun 1951 (cikal
bakal Universitas Andalas) dan Gubernur Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap
mendirikan Universitas Sumatra Utara tahun 1952 yang membuat akte pendiriannya adalah
Soetan Pane Paroehoeman.
Portofolio Dr. Abdoel
Hakim juga semakin tinggi mengingat baru-baru ini lima utusan pribumi ke
Belanda termasuk diantaranya Abdoel Hakim di Padang. Utusan ini untuk membahas
program mayoritas penduduk pribumi di Hindia Belanda. Empat tokoh pribumi
lainnya adalah Husein Djajadiningrat (West Java), Raden Hadiwidjojo (Midden en
Oost Java), Ratoelangi (Manado/Minahasa) dan Mr. Todoeng Harahap dari Tapanoeli
(lihat De Indische courant, 11-04-1928). Dalam hal ini Dr. Abdoel Hakim
mewakili West Sumatra.
Trio Volksraad van Padang Sidempoean |
Popularitas Dr, Abdoel
Hakim di Padang dan sekitarnya juga diperkuat dengan sangat dekatnya Abdoel
Hakim ke berbagai lapisan masyarakat. Dr. Abdoel Hakim juga adalah Presiden
sarikat sepakbola Minangkabau dan IPE=Inlandsch Padang Elftal (lihat De Sumatra
post, 08-12-1928). Sementara itu, sukses Abdoel Azis Nasution gelar Soetan
Kenaikan untuk meningkatkan pendidikan pribumi di West Sumatra mendapat
apresiasi tinggi di Afdeeling Padang Sidempuan. Pada tahun 1929, dalam periode
pemilihan kandidat untuk dewan pusat (Volksraad) tahun 1930, nama Abdoel Azis
Nasution muncul sebagai kandidat wakil Tapanoeli (dari afd. Mandheling en
Ankola), bersama Dr. Abdul Rasjid dan Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D untuk bersaing
dengan incumbent Dr. Alimoesa Harahap yang telah berada satu periode di
Pejambon (lihat De Indische courant, 24-10-1929). Inilah cara masyarakat di
Mandheling en Ankola menghargai prestasi para anak-anak Padang Sidempuan di
rantau. Namun, Abdul Azis Nasution kalah bersaing dengan Dr. Abdul Rasjid yang
terpilih menggantikan posisi Dr. Alimoesa Harahap di Pejambon. Untuk posisi
anggota Volksraad dari Oostkust Sumatra kembali terpilih Mangaradja
Soeangkoepon (abang kandung dari Dr. Abdoel Rasjid Siregar). Satu lagi yang
menjadi anggota Volksraad mewakili golongan pendidikan adalah Mr. Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Direktur Normaal School di Meester
Cornelis (posisi yang pernah dipegang oleh Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan). Total ada tiga kelahiran Padang Sidempoean di Volksraad. Jika memperhatikan peci
hitam (lihat foto): terkesan ada kode antara MH Thamrin, Dr. Abdoel Rasjid, Mr.
Mangaradja Soeangkoepon dan Ir. Soekarno (yang tengah berada di pengasingan di
Flores).
Gebrakan pertama Dr.
Achmad Saleh sebagai anggota dewan di Fort de Kock adalah memimpin tujuh orang
komite di Fort de Kock untuk melakukan protes terhadap keanggotaan Minangkabau
di Volksraad (De Indische courant, 13-09-1929). Anggota Volksraad yang mewakili
Minangkabaou, Mr. Datoek Kajo dianggap tidak representatif. Untuk pemilihan
Volksraad tahun 1930 harus dicari jalan keluar. Sementara itu, di Kota Padang
Dr. Abdoel Hakim tahun 1931 dipilih dan diangkat pemerintah untuk menjabat
Wakil Wali Kota (locoburgemeester) Kota Padang (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 09-12-1931). Pengangkatan Dr. Abdoel Hakim ini dianggap suatu
kejutan.
Het nieuws van den dag voor NI, 09-12-1931 |
Sebagaimana MH. Thamrin
menjadi Wakil Wali Kota Batavia yang juga anggota dewan, maka di Kota Padang
pribumi yang memiliki portofolio tertinggi adalah Dr. Abdoel Hakim.
Satu-satunya warga Padang yang layak untuk memimpin warga Kota Padang sebagai
Wakil Wali Kota adalah Dr. Abdoel Hakim. Di Batavia, MH Thamrin hanya menjadi
locoburgemeester sebentar saja, tetapi Dr. Abdoel Hakim memegang posisi ini
hingga tahun 1942 (suatu waktu yang sangat lama; Dr. Abdoel Hakim tidak
tergantikan).
Sebuah pertemuan
diadakan di gedung Kweekschool di Fort de Kock yang dihadiri sebanyak 400
delegasi. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang mengundang semua asosiasi
Eropa dan asosiasi pribumi dari Port de Koek, Fort van der Capellen dan Padang.
Pertemuan ini dipimpin oleh Residen West Sumatra. Dalam pertemuan yang dihadiri
oleh sebanyak 400 orang turut hadir Mr. Ripin Anggota Volksraad dan Dr. Achmad
Saleh (De Sumatra post, 04-01-1932). Pertemuan ini dalam rangka reformasi
pembangunan di daerah Minagkabau.
Anak Dr. Abdoel Hakim, Egon
Hakim akhirnya menyelesaikan studi di Universiteit Leiden di bidang hukum dan
mendapat gelar Meester (MR) tahun 1933. Egon Hakim kelahiran Sibolga pulang ke
tanah air dan lalu kemudian diangkat sebagai pengacara (advocaat en procureur)
di Kantor Raad van Justitie di Kota Padang (De Indische courant, 31-05-1935).
Pada tahun-tahun ini Egon Hakim menikah dengan putri MH Thamrin. Dua pribumi
yang menjadi locoburgemeester menjadi ‘besanan’.
Dr. Achmad Saleh atas
kesetiaannya dan pengabdiannya diberi bintang de Ksetrie gouden ster (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1935). Dr. Achmad Saleh
kemudian dipindahkan dari Fort de Kock ke Sibolga sebagai kepala Dienst
Volksgezondheid (De Indische courant, 12-06-1936). Dr. Achmad Saleh
menggantikan posisi Dr. Sjoeib Paroehoeman (lulusan dokter spesialis tahun 1930
di Belanda) yang dipindahkan ke Riouw untuk bertindak sebagai dokter regional
di tempat Dr. Gremmee (De Sumatra post, 01-07-1936). Selanjutnya, Dr. Achmad Saleh
dipindahkan dari Sibolga ke Gouvernements Centrale Burgerlijke Ziekenlweg di
Soerabaia, sebagai dokter Gouvernements Indisch di Kantor Layanan Kesehatan
Masyarakat (De Indisch courant, 16-08-1937). Pada bulan Desember 1941 ketika
militer Jepang sudah mulai merangsek ke Indonesia, Dr. Achmad Saleh termasuk
salah satu dokter yang ikut dimobilisasi untuk mengantisipasi korban perang di
Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 16-12-1941).
Setelah sekian tahun,
nama Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan muncul ke ranah publik di Minangkabau
dan dicalonkan untuk menjadi anggota dewan daerah yang disebut Minangkabau Raad
(lihat Sumatra post, 26-07-1938). Abdul Azis yang sudah populer dan merakyat
itu dengan mulus menuju Padang (lihat De Sumatra post, 14-01-1939). Boleh jadi,
dari 32 orang anggota dewan, Abdul Azis Nasution bukan satu-satunya yang
berasal dari Tapanoeli yang menjadi anggota dewan di ranah Minangkabau.
Anggota dewan umumnya orang-orang
Belanda dan tokoh-tokoh Minangkabau. Tionghoa diwakili oleh satu orang bernama
Tjo Sim Soe (Letnan China). Dalam sidang-sidang selanjutnya, Abdul Azis
Nasution memimpin rekan-rekannya di dewan agar pemerintah menarik buku 'Lakeh
Pandai' sebagai buku pelajaran atau buku bacaan di ranah Minangkabau (lihat De
Sumatra post, 15-06-1939). Mengapa buku tersebut ingin ditarik dari peredaran
tidak dijelaskan.
Keluarga Abdoel Hakim di Padang dan Keluarga
Achmad Saleh di Medan
Dr. Abdoel Hakim dan Dr.
Achmad Saleh diberi umur panjang. Pada tahun 1905, saat Achmad Saleh masuk
Docter Djawa School, Abdoel Hakim dan Abdoel Karim lulus Docter Djawa School.
Pada saat pendudukan Jepang, Dr. Abdoel Hakim membuka klinik kesehatan di
Padang, sebagaimana saudara sepupunya di Lampoeng, Dr. Haroen Al Rasjid.
Sementara, Dr. Achmad
Saleh di Soerabaja membantu adik kelasnya di Docter Djawa School, Dr. Radjamin
Nasution. Achmad Saleh masuk Docter Djawa School tahun 1905 sedangkan Radjamin
Nasution masuk Docter Djawa School tahun 1906. Radjamin Nasution adalah alumni
ELS Padang Sidempoean seperti Dr. Abdoel Hakim. Setelah lulus Radjamin Nasution
ditempatkan di bea dan cukai untuk urusan kesehatan. Setelah berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain, pada tahun 1929 Radjamin Nasution kemudian
terpilih menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Soerabaja tahun 1931. Pada tahun
ini juga Dr. Radjamin Nasution bersama teman dekatnya di STOVIA, Dr. Soetomo
menidirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan pada tahun 1935 PBI mengajak Boedi
Oetomo bergabung dan kemudian PBI berubah nama menjadi Partai Rakyat Indonesia
(Parindra). Pada tahun 1938 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota
Volksraad dari Parindra bersama MH Thamrin. Pada saat pendudukan Jepang di kota
Soerabaja yang memiliki portofolio tertinggi adalah Dr. Radjamin Nasution lalu
diangkat pemerintah militer Jepang sebagai Wali Kota Soerabaja. Sementara Dr.
Achmad Saleh pada tahun 1937 dipindahkan dari Sibolga ke dinas kesehatan Soerabaja.
Pada tahun ini seorang lulusan NIAS, Dr. Amir Hoesin Siagian gelar Mangaradja
Parlaoengan ditempatkan di dinas kesehatan Soerabaja (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 11-01-1937). Dokter muda asal Sipirok ini kemudian menikah
dengan salah satu putri Dr. Radjamin Nasution yang juga seorang dokter lulusan
NIAS (kelak menjadi guru besar Fakultas Kedokteran UI). Pada tahun 1941 seorang
lulusan sekolah apoteker di Batavia bernama Ismail Harahap ditempatkan di Soerabaja.
Ismail Harahap yang lahir di Padang
Sidempuan adalah ayah dari Andalas Harahap gelar Datoe Oloan atau lebih dikenal
sebagai Ucok AKA. Andalas Harahap lahir
di Soerabaja, 25 Mei 1943. Sebagaimana etnik Mandailing dan Angkola cukup
banyak di Taloe en Tjoebadak (Pasaman); di Soerabaja dan sekitarnya juga cukup
banyak etnik Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Selatan). Berdasarkan Sensus
Penduduk 2010, jumlah penduduk Jawa Timur yang berasal dari Tapanuli Selatan
(subetnik Angkola dan subetnik Mandailing) tercatat sebanyak 30.904 jiwa.
Jumlah ini memang tidak ada artinya dibandingkan dengan etnik Jawa sebanyak
29.824.950 jiwa dan etnik Madura sebanyak 6.568.438 jiwa. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan etnik non Jawa/Madura (pendatang), maka penduduk asal
Tapanuli Selatan di Jawa Timur adalah nomor tiga terbanyak setelah etnik
Tionghoa (236.124 jiwa) dan etnik Sunda
(45.262 jiwa). Etnik Bali sendiri yang cukup dekat dengan Jawa Timur hanya sebanyak
19.316 jiwa.
Kini, di akhir hidup
mereka, Dr. Abdoel Hakim tetap di Padang, Dr. Achmad Saleh kembali ke Medan. Dr.
Abdoel Hakim yang sudah mulai pensiun dan lebih dekat dengan cucu-cucu di
Padang, namun karena terjadi kekosongan pimpinan setelah tertembaknya wali kota
Aziz Chan, Dr. Abdoel Hakim kembali dipanggil untuk menjadi Wali Kota Padang
(lihat Algemeen Indisch dagblad, 09-08-1947). Ketika diumumkan gencatan
senjata, dan mulai dilakukan proses konferensi KMB di Den Haag, Dr. Abdoel
Hakim mulai lega. Dr. Abdoel Hakim yang umurnya yang sudah menua, sedikit
tersenyum karena situasi dan kondisi akan menjadi damai . Kini, anaknya Egon
Hakim mulai memainkan peran di Kota Padang.
Di Kota Padang, dalam
proses penyerahan kedaulatan RI (27 Desember 1949), Egon Hakim duduk sebagai sekretaris
dan ayahnya Dr. Abdoel Hakim sebagai wakil ketua komite Sumatra Barat (lihat
Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949). Komite ini bertugas untuk serah
terima dari pihak Belanda kepada pihak RI dibawah pengawasan PBB. Sementara di
Fort de Kock (Bukittinggi) pada saat penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda tanggal
7 Desember Komite yang menerima di pihak Republik adalah Mr. Nasroen, Eny Karim
dan Basjrah Lubis (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 10-12-1949). Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda
(1949) Eny Karim, anak Dr. Abdoel Karim (teman sekelas Dr. Abdoel Hakim di
Docter Djawa School) diangkat sebagai Wali Kota Bukittingi, sedangkan Basjrah
Lubis diangkat menjadi pembantu Gubernur di Sumatra Utara. Basjrah Lubis
berasal dari Taloe. Di Padang Sidempoean yang menerima penyerarahan kedaulatan
RI adalah Moeda Siregar dan Radja Djoengdjoengan Lubis. Moeda Siregar diangkat
menjadi Bupati Tapanoeli Selatan di Padang Sidempoean (1950-1951) dan
digantikan oleh Radja Djoengdjoengan Lubis (1951-1954). Moeda Siregar menjadi
Residen Sumatra Timur (1951-1954) dan Wali Kota Medan (1954-1958). Radja
Djoengdjoengan Lubis menjadi Bupati Tapabuli Tengah (1954-1958). Basjrah Lubis
menjadi Wali Kota Medan (1961-1964). Radja Djoengdjoengan Lubis menjadi
Gubernur Sumatra Utara (1960-1963). Radja Djoengdjoengan adalah abang kandung
Basjrah Lubis. Di wilayah lainnya, yang menerima penyerahan kedaulatan RI
Lampoeng adalah Mr. Gele Haroen (sepupu Egon Hakim) lalu diangkat menjadi
Residen Lampoeng. Sementara di Bengkoelen yang menerima penyerahan kedaulatan
adalah Mr. Dr. Hazairin Harahap. Catatan: Hazairin lahir di Fort de Kock,
setelah memperoleh gelar doktor hukum diangkat menjadi Ketua Landraad di Padang
Sidempoean tahun 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hazairin Harahap diangkat
menjadi Ketua Dewan Tapanuli Selatan. Pada tahun 1946 diangkat menjadi Bupati
Tapanuli Tengah menggantikan Soetan Koemala Pontas. Pada masa pasca agresi
militer Belanda pertama (1947) Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Pertahanan
mengangkat Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer Sumatra (bagian) Utara; Hazairin
diangkat sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatra (bagian) Selatan; dan Mr.
Nasroen sebagai Gubernur Militer Sumatra Tengah. Mr. Hazairin dan Mr. Nasroen
sekelas dengan Amir Sjarifoeddin di Rechts Hoogeschool Batavia.
Setelah pengakuan
kedaulatan RI, Dr. Abdoel Hakim tetap menjadi Wali Kota Padang (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 13-01-1950). Dr. Abdoel Hakim adalah republiken
sejati. Meski berada di dalam kerangkeng ‘Belanda’ Dr. Abdoel Hakim masih berjiwa
nasionalis. Dr. Abdoel Hakim memulai karir politiknya sebagai Ketua National
Indisch Partiji di West Sumatra (pimpinan Dr. Tjipto Mangoen koesoemo). Namun, Dr.
Abdoel Hakim diminta datang ke Djakarta untuk menemui Mohamad Hatta (Perdana
Menteri). Mohammad Hatta meminta Dr. Abdoel Hakim tetap menjadi Wali Kota
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
11-02-1950). Hubungan baik Mohammad Hatta dan
Abdoel Hakim sudah terbentuk sejak lama, sejak kongres Jong Sumatranen di
Padang tahun 1919 (Dr. Abdoel Hakim sebagai pembina kongres).
Setelah tiba di Padang, meski M.
Hatta meminta untuk tetap menjadi Wali Kota, namun keputusan keluarga agar Dr.
Abdoel Hakim bersitirahat untuk penyembuhan sakitnya. Keluarga tampaknya
memutuskan agar Abdoel Hakim melepaskan jabatan wali kota tersebut. Keputusan
ini telah disampaikan ke Dewan dan dewan menerima lalu disetujui (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 20-02-1950). Dr. Abdoel Hakim lengser
kepabon dengan status pension.
Pada saat pengakuan
kedaulatan RI, Dr. Achmad Saleh diangkat sebagai kepala dinas kesehatan di
Residentie Madioen (Nieuwe courant, 22-03-1950). Dr. Achmad Saleh sudah lama
bertugas sebagai dokter di Jawa Timur, pindah dari Sibolga tahun 1937.
Sementara itu di Padang Mr. Egon Hakim bersama teman-temanya mendirikan sekolah
tinggi hukum (yang menjadi cikal bakal Universitas Andalas).
Het nieuwsblad voor Sumatra
22-08-1951: ‘Perguruan Tinggi di Padang. Hari ini, perguruan tinggi hukum
pertama di Sumatera ‘Pancasila’ di Padang resmi dibuka. Pada upacara tersebut
hadir Prof. Dr. Hazairin Harahap. Para dosen yang akan memberikan kuliah di
sekolah tinggi itu Dr. Haroen al Rasyid, Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, Mr. Mak
Kin San dan Mr. Nazaruddin. Sejauh ini sudah 80 mahasiswa yang terdaftar’. Het
nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1952: ‘Di hadapan lima menteri dan pengunjung sangat
banyak pagi ini secara resmi membuka fakultas kedokteran dari Universitas
Sumatera Utara di Medan oleh Ketua Dewan Pimpinan Yayasan, Gubernur Abdoel
Hakim Harahap. Dalam pidatonya Abdoel Hakim Harahap menenkankan tentang
pentingnya pembentukan fakultas ini untuk Sumatera Utara dan menyatakan harapan
bahwa inisiatif penting ini akan menghasilkan buah yang baik. Ada keinginan
untuk mencapai tujuan ini, karena sebuah universitas di Medan adalah keinginan
dari orang-orang dari seluruh Sumatera Utara, ini ditunjukkan keinginan yang
tercermin dalam sumbangan sukarela dari Rp. 1 per orang dari semua penduduk.
Gubernur Abdoel Hakim Harahap mengharapkan kerjasama yang baik dari semua pihak
dalam mempersiapkan pelaksanaan pekerjaan penting ini. Batu pondasi lalu diletakkan’.
Dr. Achmad Saleh dari
Residentie Madioen dimutasi menjadi kepala dinas kesehatan di Malang (De vrije
pers : ochtendbulletin, 02-02-1952). Boleh jadi Gubernur Abdoel Hakim Harahap
berharap Dr. Achmad Saleh kembali ke Medan untuk membantunya di bidang
kesehatan. Kini, Abdoel Hakim Harahap yang menjabat sebagai Gubernur Sumatra
Utara sejak 12 Januari 1951 memerlukan putra-putra daerah yang terbaik di
bidangnya, termasuk Dr. Achmad Saleh untuk membangun sistem kesehatan yang baru
di Provinsi Sumatra Utara. Pendirian Fakultas kedokteran Universitas Sumatra
Utara dananya sedang dikumpulkan dari seluruh masyarakat Sumatra Utara. Namun, Dr.
Achmad Saleh awalnya akan dipindahkan ke Palembang (De vrije pers :
ochtendbulletin, 08-07-1954) tetapi baru tahun 1954 Dr. Achmad Saleh dipromosikan
menjadi Inspektur Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 14-10-1954). Satu per satu anak rantau akhirnya kembali ke Medan.
Abdoel Hakim Harahap kelahiran Sarolongen, Djambie 15 Juli 1906 dan Dr. Achmad
Saleh kelahiran Taloe, Sumatra’s Westkust 1890. Lalu kemudian menyusuk Ir. Tarip Abdullah Harahap, alumni THS
Bandoeng 1939 diangkat tahun 1957 menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Sumatra Utara.
Belum lama (kembali) di Medan, Dr
Ahmad Saleh dikabarkan telah meninggal dunia (Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1955). Dr. Achmad Saleh gelar
Engkoe Radja Machoedoem meninggal di Medan tanggal 19 Desember 1954 dalam usia
65 tahun. Almarhum Dr. Achmad Saleh dimakamkan disamping kuburan putrinya Maidaniah
(yang meninggal tahun 1926 ketika Dr. Achmad Saleh berdinas di Medan. Dr. Achmad
Saleh meninggalkan seorang istri, Noerisam dan empat orang anak: Chairul Saleh
di Bonn; Boechari Saleh di Djakarta; Hafidz Saleh di Djakarta; Raisis Saleh di
Djakarta; dan Afwani Saleh di Bandoeng. Catatan: Hafisz Saleh diterima di HBS di
HBS Soerabaja tahun 1939 (De Indische courant, 22-05-1939); Raisis Saleh naik
kelas dua di HBS Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 03-06-1941). Bertunangan
di Bandoeng Afwani Saleh dari Madioen dengan R. Soebiantoro (De vrije pers:
ochtendbulletin, 08-08-1952). Boechari Saleh dan Raisi Saleh lulus sekolah mode
dan kecantikan Selecta di Soerabaja. Guru untuk kecantikan Ny. Soetan Parlaoengan
sementara untuk guru mode adalah Go Giok
Nio (De vrije pers: ochtendbulletin, 19-01-1953). Menikah R. Soebiantoro dan
Afwani [Saleh] (Djakarta) (De vrije pers: ochtendbulletin, 22-06-1953).
Generasi Ketiga: Mr. Egon Hakim dan
Mr. Chaerul Saleh
Egon Hakim dan Chaerul
Saleh adalah generasi ketiga dari dua keluarga dokter di Padang. Kakek Egon
Hakim adalah lulusan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato di Afdeeling
Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust.
Kakek Chaerul Saleh adalah lulusan sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock,
Afdeeling Agam, Residentie Padangsch Bovenlanden, Province Sumatra’s Westkust.
Kweekschool Fort de Kock didirikan
tahun 1856 oleh Asisten Residen Afdeeling Agam, JAW van Ophuijsen (mantan
Controleur Afdeeling Natal, Residentie Tapanoeli). Kweekschool Fort de Kock
adalah sekolah guru kedua di Nederlandsch Indie (yang pertama didirikan si
Soeracarta, 1851). Pada tahun 1857 adik kelas Dr. Asta (dokter pribumi pertama
dari laur Jawa) Willem Iskander melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan
akta guru berlisensi Eropa. Setelah lulus tahun 1861, Willem Iskander
mendirikan sekolah guru di Tanobato tahun 1862. Pada tahun 1864 pemerintah
mengakui keunggulan sekolah guru yang diasuh oleh Willem Iskander dan kemudian
diakuisi pemerintah menjadi kweekschool negeri (sekolah guru yang ketiga di
Nederlandsch Indie). Pada tahun 1873 Kweekschool Tanobato ditutup karena Willem
Iskander diminta pemerintah di Batavia membawa tiga guru muda untuk studi di
Belanda (Banas Lubis dari Tapanoeli, Raden Soerono dari Soeracarta dan Sasmita
dari Madjalengka). Di Belanda Willem Isaknder juga melanjutkan studi untuk
mendapatkan akte kepala sekolah lisensi Eropa, yang akan diproyeksikan menjadi direktur
sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879. Salah satu guru
di Kweekschool Padang Sidimpoean, Charles Adrian van Ophuijsen (anak JAW van
Ophuijsen) dipromosikan menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean. Charles
Adrian van Ophuijsen selama delapan tahun di Padang Sidempoean lima tahun
terakhir menjadi direktur. Tiga murid terbaik Charles Adrian van Ophuijsen
adalah Dja Endar Moeda, Soetan Casjangan dan Mangaradja Salamboewe. Guru Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda tahun 1905 dan pada
tahun 1908 mendirikan perhimpunan Indonesia (Indisch Vereeniging) yang menjadi
cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta
(1926-1930). Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr Asta
(dokter pertama yang berasal dari luar Jawa) editor pribumi kedua di Pertja
Timoer di Medan (1902-1908). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah editor
pribumi pertama di Pertja Barat di Padang tahun 1897. Dja Endar Moeda adalah
mertua Dr. Haroen Al Rasjid (sepupu Dr. Abdoel Hakim). Dja Endar Moeda juga
adalah kakek Dr. Ida Loemongga, Ph.D, perempuan Indonesia pertama bergelar
doktor (Ph.D) tahun 1930 di Universiteit Amsterdam di bidang kedokteran.
Sejak tahun 1892 tidak
ada lagi sekolah guru di Afdeeling Mandailing dan Angkola, karena Kweekschool
Padang Sidempoean ditutup karena anggaran pemerintah defisit. Namun pemerintah
membuat kebijakan bahwa anak usia sekolah di Mandailing dan Angkola diberi
kesempatan memasuki sekolah Eropa, ELS Padang Sidempoean. Untuk siswa yang
lulus sekolah negeri (pribumi) diarahkan untuk melanjutkan studi ke Kweekschool
di Fort de Kock. Lulusan ELS Padang Sidempoean umumnya melanjutkan studi ke
Docter Djawa School.
Sejumlah lulusan Kweekschool Fort de
Kock asal Mandailing dan Angkola yang terkenal antara lain Radja Goenoeng,
Soetan Kenaikan dan GB Joshua. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng masuk Kweekschool
Fort de Kock tahun 1895 dan lulus akhir tahun 1898 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 25-01-1899). Setelah berdinas cukup lama di Tapanoeli, Radja
Goenoeng yang sudah menulis banyak buku pelajaran diangkat menjadi penilik
sekolah di Medan tahun 1915. Pada tahun 1918 Radja Goenoeng terpilih sebagai
anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan, pribumi yang pertama. Sementara Abdoel
Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan masuk Kweekschool Fort de Kock tahun 1909. Abdul
Azis tidak menjadi guru seperti Radja Goenoeng, tetapi berangkat ke Buitenzorg
untuk melanjutkan pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian (landbouwschool). Abdul
Aziz Nasoetion pada tahun 1913 lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga di Landbouw
School (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Pada tahun ini Lanbouw School
diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul
Aziz lulus Middelbare Landbouwschool pada tahun 1914 dan kemudian diangkat
pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman,
Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdoel Azis beberapa tahun
hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian
(landbownormaalscholen) di Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah
ini macet karena kondisi keuangan pemerintah. Meskipun sekolah pertanian di
Padang Pandjang macet, Abdoel Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru
tetaplah guru, pertanian juga tetaplah pertanian. Abdul Azis kemudian lalu
berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman.
Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan
pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang
Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut
dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari Universitas Al Azhar di Kairo (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sejak itu nama Abdoel Azis Nasution gelar
Soetan Kenaikan menjadi sangat populer di West Sumatra dan terpilih menjadi
anggota Minangkabau Raad tahun 1938. Sedangkan Gading Batoebara atau GB Joshua
setelah lulus Kweekschool Fort de Kock melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool
di Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung
dan menjadi guru di HIS swasta di Sipirok (tempat kelahirannya). Setelah
beberapa kali mutasi, GB Josua di Medan karena berhasil merancang HIS di
Doloksanggoel, pemerintah memberi apresiasi dan memberi beasiswa kepada GB
Joshua untuk melanjutkan studi tahun 1929 ke Belanda di Groningen. Setelah
mendapat akte Lager Onderwijs tahun 1931 GB Josua kembali ke Medan (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, 01-12-1931). Di Medan, GB Joshua
mendirikan HIS swasta ((De Sumatra post, 02-07-1932). Pada tahun 1934 sekolah
ini menjadi Joshua Instituut (De Sumatra post, 03-05-1934). Sekolah ini
meluluskan siswa-siswa yang mampu bersaing memasuki sekolah MULO. Dalam pemilihan
anggota dewan kota di Medan tahun 1936 GB Josua dan Abdoel Hakim Harahap
terpilih (lihat De Sumatra post, 04-04-1936). Kelak, GB Joshua tahun 1952 diangkat
sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Noord Sumatra (De nieuwsgier,
29-04-1952). Sementara yang menjadi Gubernur Sumatra Utara adalah Abdoel Hakim
Harahap (rekannya dulu di dewan kota Medan). Sebagaimana telah disebutkan Dr.
Achmad Saleh diangkat menjadi Inspektur Kesehatan Provinsi Sumatra Utara tahun
1954.
Mr. Egon Hakim dan Mr. Chaerul
Saleh adalah kelanjutan generasi awal, generasi guru dari kakek masing-masing. Dari
generasi guru melahirkan generasi dokter (Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Achmad
Saleh). Dan, kini muncul generasi ketiga, generasi ahli hukum: Mr. Egon Hakim
dan Mr. Chaerul Saleh. Mereka ini adalah bagian dari tokoh-tokoh penting antar
generasi. Salah satu sepupu Egon Hakim adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D,
lulusan Universiteit Leiden dengan suma cum laude yang menjadi penasehat hukum
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta di Djogjakarta. Dalam agresi militer
Belanda tahun 1948, Masdoelhak Nasution diculik intel/polisi Belanda dan
kemudian ditembak mati di Djogjakarta (PBB di New York marah besar, karena
militer Belanda membunuh intelektual muda). Selain itu, ahli hukum yang juga
terkenal adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi meraih gelar doktor
(Ph.D) di Universiteit Leiden pada tahun 1925 (pribumi pertama ahli hukum
bergelar doktor). Pada generasi ketiga ini, selain Mr. Egon Hakim, Mr.
Masdoelhak Nasoetion, Ph.D dan Mr. Chaerul Saleh serta Mr. Radja Enda Boemi,
Ph.D, juga terdapat ratusan tokoh-tokoh yang tersebar di seluruh Indonesia,
termasuk Mr. Amir Sjarifoeddin, Jenderal Abdoel Haris Nasution, Kolonel
Zulkifli Lubis, Adam Malik dan Mr. Boehanoeddin Harahap serta Arifin Harahap (adik
Amir Sjarifoedin, menteri terlama di era Soekarno).
De Tijd De Maasbode, 21-10-1967 |
Generasi-generasi ini
telah berkembang sejak era guru Willem Iskander dan guru Charles Adrian van
Ophuijsen. Charles Adriaan van Ophuijsen (Indo Belanda) meneruskan cita-cita
Sati Nasution alias Willem Iskander. Semnagat membangun Charles Adrian van
Ophuijsen kemudian diteruskan oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dan Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan. Sangat menarik apa yang pernah dikatakan oleh
Soetan Casajangan, bahwa setiap orang harus tekun agar tetap intelek, karena
menurutnya dalam filosofi Batak jiwa itu berada di kepala (bukan di hati).
Surat kabar Telegraaf mewawancara
Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907
(hanya mengutip beberapa saja di sini): ‘…Mengapa Anda mengambil risiko jauh
studi kesini (Belanda) meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria (raja),
yang seharusnya sudah pension jadi guru dan Anda juga harus rela meninggalkan
anak istri yang setia menunggumu?…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak
yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru [Charles
Adrian van] Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan
melemah pada semua sendi kehidupan (akibat penajajahan)... Saya punya rencana
pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie
(baca: bangsa Indonesia)...Saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini
(Belanda) agar bisa belajar lebih banyak..di kampong saya kehidupan pemuda
statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah
(laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)…mereka menghibur diri dengan menari
(juga tortor) yang diringi dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel
gong….Anda tahu dalam filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di
kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’
Spirit Willem Iskander
sangat melekat pada jiwa penduduk muda di Afdeeling Mandailing en Angkoloa
(Agdeeling Padang Sidempoean). Buku karya Willem Iskander berjudul
Siboeloe-boeloes, Siroemboek-roemboek yang terbit tahun 1872 hingga kini masih
digunakan di sekolah-sekolah. Sudah barang tentu, Soetan Casajangan juga sangat
hormat kepada Willem Iskander, karena ayah Soetan Casajangan (dan juga ayah Dr.
Abdoel Hakim) adalah murid langsung Willem Iskander.
Pemahaman yang dimaksud Soetan
Casajangan bahwa jiwa itu ada di kepala menunjukkan setiap orang harus terus
mengasah pikiran dan menguji pemikiran. Dalam konteks masa tersebut, Soetan
Casajangan mencoba mensintesis bahwa belajar dan berorganisasi adalah faktor
penting kemajuan. Persatuan dan kesatuan dengan dilandasi oleh intelektualitas
adalah modal utama meningkatkan kemakmuran pribumi (dan mengentaskan penjajah).
Setiap orang dapat berpartisipasi bahwa dengan jiwa itu ada di kepala maka setiap
orang dapat menuntut ilmu walaupun itu jauh ke negeri Belanda, Fort de Kock,
Batavia, Buitenzorg. Setiap orang dapat mengaplikasikannya dimanapun berada. Prinsip
dasar ini menjadi khas orang-orang Mandailing dan Angkola yang dengan sendirinya
menjadi terbiasa merantau tidak kembali, hanyut bagaikan air sungai (perantau
hanyut). Oleh karenanya pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung
sangat sesuai dengan perantau Tapanoeli umumnya, khususnya Mandailing dan
Angkola. Bumi dan lagit itu ada di Padang Sidempoean, Fort de Kock, Padang,
Sawahloento, Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Djogjakarta, Soerabaja, Medan dan
lainnya. Dengan begitu sangat memungkinkan terciptanya persatuan dan kesatuan
nasional. Prinsip dasar inilah yang kelak memunculkan nama-nama tokoh besarL
Abdoel Hakim di Padang, Haroen Al Rasjid di Telok Betong, Parada Harahap di
Batavia dan Radjamin Nasution di Soerabaja serta Sakti Alamsjah di Bandoeng.
Mr. Egon Hakim dan Mr.
Chaerul Saleh sebagai generasi ketiga sangat dekat satu sama lain dengan Adam
Malik. Ini karena faktor Parada Harahap. Penggagas pendirian organisasi
nasional adalah Parada Harahap tahun 1927. Organisasi nasional tersebut disebut
Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat
PPPKI. Organisasi ini diketuai oleh MH Thamrin dan sekretaris adalah Parada
Harahap. Kantor/gedung PPPKI dibangun di lahan yang disediakan oleh MH Thamrin
di Gang Kenari. Parada Harahap yang mempertemukan Mr. Egon Hakim (putra Dr.
Abdoel Hakim) dengan putri MH Thamrin (kebetulan MH Thamrin dan Dr. Abdoel
Hakim sama-sama locoburgemeester). Parada Harahap sangat mengenal dua keluarga
ini. Parada Harahap, ketua Jong Sumatranen Tapanoeli yang turut hadir dalam
kongres 1919 dam 1921 di Padang sudah mengenal keluarga Dr. Abdoel Hakim. Saat
itu pembina kongres Jong Sumatranen adalah Dr. Abdoel Hakim. Parada Harahap
sejak 1927 adalah kepala kantor/gedung PPPKI (Parada Harahap, pengusaha
termasuk donator kuat bersama pengusaha MH Thamrin dalam pembangunan gedung
PPPKI). Oleh karena rumah mertua Mr. Egon Hakim tidak jauh dari kantor/gedung
PPPKI, Mr. Egon Hakim, alumni sekolah hukum di Belanda tahun 1934 sangat intens
bertemu, terutama pemuda-pemuda asal Sumatra di gedung PPPKI ini (gedung
pertemuan orang-orang politik), termasuk Amir Sjarifoeddin, Mohammad Jamin,
Hazairin, SM Amin Nasution dan Abdoel Abbas Siregar (tokoh-tokoh pemuda yang
terlibat langsung Kongres Pemuda 1928), tentu saja Chaerul Saleh dan Adam Malik
(anak buah Parada Harahap di bidang pers; dan anak buah Amir Sjarifoeddin dan
Mohammad Jamin di bidang partai politik). Ir. Soekarno juga kerap bertandang
dari Bandoeng ke gedung Gang Kenari ini. Di kantor ini hanya tiga foto yang
dipajang Parada Harahap di dinding, yakni: Diponegoro, Soekarno dan Mohammad
Hatta (Parada Harahap sudah mengenal Mohammad Hatta di kongres Jong Sumtranen
tahun 1919 dan 1921).
Chaerul Saleh naik dari
kelas satu ke kelas dua di HBS Medan (De Sumatra post, 29-04-1932). Chaerul
Saleh naik dari kelas tiga ke kelas empat (De Sumatra post, 26-05-1934). Satu
kelas dengan Chairoel Saleh hampir semua adalah Eropa/Belanda dan Tionghoa dan hanya
beberapa pribumi antara lain Aminoeddin Jacharia Pohan, Amir Hamzah Harahap dan
Amir Hamzah Siregar. Chairoel Saleh pindah ke Koning Willem III School di
Batavia. Chairoel Saleh lulus ujian akhir tahun 1937 (Bataviaasch nieuwsblad, 15-06-1937). Pada tahun 1937 ayah
Chairoel Saleh (Dr, Achmad Saleh) dipindahkan dari Sibolga ke Soerabaja. Chairoel
Saleh langsung melnjutkan studi ke Rechtshoogeschool Batavia. Setahun kemudian,
Chairoel Saleh lulus tingkat pertama (De Indische courant, 06-10-1938).
Chairoel Saleh ikut kompetisi tenis mahasiswa berpasangan dengan Nasution (Bataviaasch
nieuwsblad, 27-11-1939). Pada tahun imi, Arifin Harahap (adik Amuir
Sjarifoeddin) lulus sekolah hukum (Recht Hooge School) di kampus Chaerul Saleh
(lihat De Indische courant, 19-08-1939).Amir Sjarifoeddin sendiri lulus Rechts
Hoogeschool tahun 1935. Chairoel Saleh belum sempat menyelesaikan studinya sudah
muncul Jepang yang menaklukkan Belanda (1942).
Parada Harahap yang dulu
(sejak 1927 lahirnya PPPKI) menggadang-gadang Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
sebagai kandidiat pemimpin Indonesia, akhirnyanya diselesaikan oleh Chaeroel
Saleh, Adam Malik dan kawan-kawan dari kelompok pemuda Menteng 31. Chaeroel
Saleh dan kawan-kawan menculik Soekarno dan Mohammad Hatta dan memaksanya untuk
membacakaan Prokamasi Kemerdekaan Indonesia esoknya pada pagi tanggal 17
Agustus 1945. Adam Malik memberikan teks proklamasi kepada Mochtar Lubis untuk
membawanya ke Bandoeng. Pada malam hari pukul 7 Sakti Alamsjah Siregar, penyiar
Radio Bandoeng di Malabar membacakan teks proklamasi yang dibawa Mochtar Lubis.
Siaran Radio Bandoeng tersebut kemudian terdeteksi di Djogjakarta dan di
Australia. Sejak itu, kabar Indonesia telah merdeka menjadi tersebar luas.
Parada Harahap adalah
inisiator para revolusiner untuk bekerjasama dengan Jepang. Sejak sahabatya,
sejatinya ‘anak didik politik praktis’ Parada Harahap yakni Ir. Soekarno
ditangkap tahun 1933 dan akan dibuang ke Flores, Parada Harahap yang tidak
memiliki hutang kepada Belanda marah besar dan lalu memimpin tujuh revolusioner
ke Jepang, termasuk diantaranya Mohammad Hatta yang baru pulang ke tanah air
setelah selesai studi di Belanda. Parada Harahap dan kawan-kawan berangkat
tanggal 13 November 1933. Ketika rombongan kembali dari Jepang dan turun di
pelabuhan Tnadjong Perak Soerabaja tanggal 7 Januari, bersamaan juga di Batavia
Ir. Soekarno diberangkatkan ke Flores. Setelah beberapa waktu di Soerabaja
(yang dikawal oleh Radjamin Nasution dan Dr. Soetomo) para revolusioner dari
Jepang kembali ke rumah masing-masing di Batavia, Medan, Bandoeng dan Pekalongan.
Namun tidak lama kemudian Parada Harahap dan Mohammad Hatta ditangkap di
Batavia. Di pengadilan, Parada Harahap dan Mohammad Hatta lolos karena konsulat
Jepang ikut memberikan kesaksian bahwa Parada harahap dan kawan-kawan tidak
terbukti bersalah. Namun Mohammad Hatta masih dikenakan pasal lain yang
menjeratnya seperti Soekarno. Mohammad Hatta dikaitkan tulisan di media Daulat
Rakjat, organ Pendidikan Nasional Indonesia. Setelah ditangkap pagi hari,
tempat tinggal Mohammad Hatta di Gang Kebon Djerok No 37, Sawah Besar
digeledah. Mohammad Hatta dibawa ke markas besar Polisi untuk menjalani
interogasi awal dan kemudian ditahan di penjara di Struiswijk (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1934. Akhirnya Mohammad Hatta diasingkan ke
Digoel. Pada tahun 1938 Parada Harahap dan MH Thamrin (besan Dr. Abdoel Hakim) mencoba jalur politik di
parlemen untuk meringankan hukuman Soekarno dan Mohammad Hatta. Saat itu
anggota Volksraad yang pro demokrasi antara lain MH Thamrin, Mangaradja
Soengkoepon, Dr. Abdoel Rasjid dan Soetan Goenoeng Moelia. Akhirnya keringanan
hanya diberi pemindahan tempat pengasingan: Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir
dari Digoel ke Banda dan Soekarno dari Flores ke Bengkoelen. Pilihan tempat
Bengkolen awalnya untuk Soekarno dan Mohammad Hatta, namun karena Mohammad
Hatta berasal dari Sumatra, akhirnya hanya Soekarno yang ke Bengkoelen. Pilihan
Bengkoelen dimaksudkan, meski terkesan tempatnya terpencil, tetapi sangat
memungkinkan bagi tokoh-tokoh revolusioner untuk berkomunikasi ke Bengkoelen
dari tempat terdekat. Di Telok Bentoeng terdapat dua pengacara revolusioner Mr.
Gele Haroen dan Mr. Abdoel Abbas Siregar; di Padang terdapat pengacara
revolusioner Mr. Egon Hakim (anak Dr. Abdoel Hakim). Pada tahun ini beslit Amir
Sjarifoeddin sebagai pengacara baru keluar dengan wilayah kerja Soekaboemi. Di
kota ini sudah sejak lama bermukim Sorip Tagor. Amir Sjarifoeddin dan Mohammad
Jamin kemudian membuka firma hukum di Batavia. Parada Harahap adalah mentor
politik praktis semua pengacara revolusioner ini. Pada saat pendudukan Jepang,
mudah ditebak: semua orang Belanda merangsek dan terkonsentrasi ke selatan Jawa
dan barat Sumatra. Saat-saat panik Belanda atas kedatangan militer Jepang,
pemerintah kolonial Belanda di Sumatra mengumpul ke Kota Padang (pelaboehan
Telok Bajoer); yang berada di Jawa bagian barat mengumpul di Bandoeng dan
Soekaboemi (pelaboehan Pelaboehan Ratoe). Semua itu agar memungkinkan evakuasi
Belanda ke Australia. Saat-saat evakuasi Belanda inilah Mohammad Hatta dan
Soetan Sjahrir ke Soekaboemi dan Soekarno ke Padang. Saat-saat situasi tidak
menentu inilah Parada Harahap melakukan kontak ke Soekabomi dengan tokoh revolusioner (Mohammad Hatta,
Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin) dan Egon Hakim menyelamatkan Soekarno di
Padang. Dalam perkembangannya terjadi proses kerjasama Parada Harahap, Soekarno
dan Mohammad Hatta dengan pemimpin militer Jepang (inilah kerjasama kedua para
revolusioner dengan Jepang, yang pertama tahun 1933). Namun dalam proses
kerjasama ini Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir menolak.
Jelang hari kemerdekaan
Indonesia, sejatinya, tokoh revolusioner Indonesia pemegang portofolio tertinggi
adalah Amir Sjarifoeddin, namun sulit ditemukan para pemuda karena Amir
Sjarifoeddin berada di tahanan militer Jepang di Malang yang dijaga ketat. Hal
ini karena, sejatinya, Soekarno dan Mohammad Hatta portofolionya di mata pemuda
sudah sangat menurun karena telah bekerjasama dengan militer Jepang. Sementara
para pemuda yang digalang oleh Chaeroel Saleh dan kawan-kawan sudah melakukan
perlawanan, sebagaimana juga telah dilakukan oleh Amir Sjarifoeddin dan Soetan
Sjahrir di masa pendudukan Jepang. Para kelompok pemuda yang bekerja di media
militer Jepang (di bawah koordinasi Parada Harahap) seperti BM Diah (Pohan),
Adam Malik Batoebara), Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (Siregar). Akhirnya
hanya Sakti Alamsjah yang bertahan dan dimutasi ke Radio Bandoeng.
Perlawanan yang
dilakukan oleh Amir Sjarifoeddin sangat keras di Soerabaja. Akibatnya
intel/polisi militer Jepang menangkap Amir Sjarifoeddin dan menahannya bulan
Januari 1943. Pemerintah militer Jepang memutuskan Amir Sjarifoeddin harus
dihukum mati. Mengetahui hal ini, Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta yang
telah bekerjasama dengan Jepang melakukan lobi dan akhirnya Amir Sjarifoeddin
hanya dikenakan hukuman seumur hidup dan kemudian di tahan di kamp militer
Jepang di Malang. Lagi-lagi, Parada Harahap berusaha meringankan hukuman bagi
para revolusioner, seperti sebelumnya terhadap Sokarno dan Mohammad Hatta.
Setelah sekutu/Amerika
Serikat menjatuhkan bom di kota Hirosima dan Nagasaki, pemerintah Jepang
mengalami sock. Kaisar Jepang dengan terpaksa menyerah. Pada saat pengumuman
menyerah ini oleh Kaisar, di negara-negara jajahannya seperti Indonesia pidato
kaisar tersebut sengaja disembunyikan. Pada tanggal 14 Agustus saat pidato
kaisar itu semua jaringan listrik padam. Namun kapal-kapal besar yang bersandar
di Tandjong Priok yang memiliki sistem listrik masih bisa mendengar siaran
radio dari negara lain. Berita-berita orang kapal inilah yang beredar ke
daratan, termasuk para pemuda. Chaeroel Saleh mulai mengambil peran dalam menculik
Soekarno dan Mohammad Hatta dan memaksa untuk memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Dalam situasi menegangkan ini juga berperan Adam Malik dan BM Diah.
De West, voor Suriname, 08-03-1951 |
Saat pembentukan pemerintahan pasca
proklamasi kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pede. Mereka berdua
dalam posisi dilematis. Soekarno dan Mohammad Hatta cooperative selama
pendudukan Jepang harus berhadapan dengan sekutu/Inggris yang tengah bertugas
pembebasan interniran Belanda dan pelucutan senjata dan evakuasi militer
Jepang. Untuk meyakinkan sekutu/Inggris, Soekarno dan Mohammad Hatta mau tak
mau harus meminta militer Jepang untuk membebaskan dan menjemput Amir
Sjarifoeddin yang masih berada di kamp militer Jepang di Malang. Posisi yang diinginkan
Soekarno yang ideal bagi Amir Sjarifoeddin di kabinet yang baru adalah Menteri
Informasi. Dengan penempatan ini maka Amir Sjarifoeddin (yang anti Jepang, yang
kalah dalam perang) akan sering muncul di publik (dan menjadi sinyal baik bagi
sekutu/Inggris sebagai pemenang perang). Amir Sjarifoeddin bersedia, selamatlah
muka Soekarno dan Mohammad Hatta.
Kelompok Chaeroel Saleh
yang netral (melawan Jepang, juga anti Sekutu) melihat kepemimpinan Soekarno
dan Mohammad Hatta sangat lemah dan dianggap kurang berintegritas. Ketika
Soekarno dan Mohammad Hatta mempersilahkan dengan baik sekutu/Inggris melakukan
tugasnya, dan Amir Sjarifoeddin yang muncul sebagai propagandis Republiken yang
anti Jepang, Kelompok Chaeroel Saleh justru mulai melancarkan serangan terhadap
kantong-kantong sekutu/Inggris.
Itu ternyata tidak cukup bagi
pemerintahan Soekarno. Struktur pemerintahan akhirnya diubah dari pemerintahan
presidentil menjadi pemerintahan parlementer (partai). Kabinet Soekarno
dibubarkan dan kemudian muncul tokoh revolusioner lainnya yang mana Soetan
Sjahrir (yang sehaluan dengan Amir Sjarifoeddin yang anti Jepang) menjadi
perdana menteri pada tanggal 14 November 1945 (tiga hari setelah puncak perang
Soerabaja). Amir Sjarifoeddin memiliki posisi yang semakin menguat, tidak hanya
Menteri Penerangan (nama sebelumnya Menteri Informasi) tetapi juga sebagai Menteri
Keamanan Rakyat. Dua pemimpin PSI (Partai Sosialis Indonesia) Soetan Sjahrir
dan Amir Sjarifoeddin menjadi dua matahari dalam kabinet. Soetan Sjahrir juga
merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Fungsi mereka
berdua menjadi sangat sentral saat itu (persoalan politik ditangani Soetan
Sjahrir dan persoalan keamanan ditangani oleh Amir Sjarifoeddin. Dari daftar kabinet,
termasuk Menteri Pengadjaran (kini Pendidikan) yang diisi oleh Mr. Soetan
Goenoeng Moelia (sepupu Amir Sjarifoeddin).
Soetan Sjahrir (Linggarjati):
Chaeroel Saleh Ditangkap
Kabinet Soetan Sjahrir menghadapi persoalan yang semakin kompleks. Di satu sisi, tugas sekutu/Inggris terhadap pembebasan inteniran Belanda dan pelucutan militer Belanda belum selesai, sudah mulai Belanda merecokin yang dipimpin van Mook. Sementara di sisi lain, perlawanan rakyat terjadi dimana-mana terhadap sekutu/Inggris, juga perlawanan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang meragukan pemimpin Indonesia yang ada. Perdana Menteri Soetan Sjahrir, yang anti Jepang terkesan membuka ruang kerjasama dengan Belanda terus melakukan manuver di belakang sekutu/Inggris. Kelompok-kelompok yang menganggap lebih patriot, seperti Kelompok Chaeroel Saleh mengesampingkan kehadiran Soetan Sjahrir dan terus melakukan upaya-upaya untuk membebaskan rakyat dari kehadiran penjajah. Akhirnya Soetan Sjahrir diculik.
Dalam situasi dan kondisi ini, perlawanan
rakyat terus digalang seperti Kelompok Pemoeda Chaeroel Saleh dan Volksfront
(yang dipimpin Tan Malaka). Pada fase ini Amir Sjarifoeddin terus
mengkonsolidasikan barisan keamanan rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Soedirman. TKR
perhatiannya menjadi terbagi selain untuk membantu evakuasi militer Jepang juga
harus berada di tengah penduduk yang memunculkan laska-laskar rakyat. Orang-orang
Kelompok Chaeroel Saleh dan orang-orang Jerman di Batavia banyak yang ditangkap
dan dijebloskan ke kamp sekutu/Inggris di Pulau Onrust (Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 05-02-1946). Hal ini juga menambah beban bagi kabinet yang dipimpin
Soetan Sjahrir. Lalu kabinet Soetan Sjahrir dirombak dan beberapa nama
kementerian diubah (Maret 1946). Menteri Informasi diubah menjadi Menteri Penerangan
yang dijabat Moh. Natsir. Menteri Keamanan Rakyat diubah menjadi Menteri
Pertahanan yang (tetap) dijabat Amir Sjarifoeddin. Menteri Pengajaran Soetan
Goenoeng Moelia menjadi Menteri Muda Pengajaran. Pada saat ini di Jawa (saja)
terdapat 36.653 orang Jepang, sedangkan para interniran Belanda sebanyak 14.000
yang ditangkap Jepang dan 16.000 yang ditangkap Republiken dan kelompok-kelompok
independen lainnya. Orang Jepang akan dievakuasi ke (pulau) Galang (selatan
Singapoera) dan interniran ke Batavia, Semarang dan Soerabaja.
Pejabat Pemerintah 1945: Sumatra Barat/Mandailing-Angkola |
Nieuwe courant, 06-07-1946: ‘Tan
Malakka menyiapkan kudeta. Radio Djokja malam lalu yang dianggap organ Republik
memberitakan tentang penculikan Sjahrir. Menurut radio Djokja, Tan Malaka
Soebardjo, Soekarni, Muhammad Yamin dan Mr. Iwa Koesoema Soemantri yang
dianggap para pemimpin oposisi. Menutur rencana mereka akan dieksekusi oleh
komandan divisi dari TRI di Djokja, Soedarsono, (harus dibedakan dengan Menteri
Soedarsono). Sementara pernyataan yang relevan dari republik di Departemen
Penerangan, kemarin diumumkan. Pernyataan itu mengatakan bahwa dalam lingkungan
pemerintahan republik gelagat kemungkinan tindakan Tan Malaka telah lama
diramalkan dan karena itu ditangkap beberapa waktu lalu terhadap Tan Malaka
Abikoesno dan Charoel Saleh. Selama penangkaran mereka didapatkan keterangan untuk
mendapatkan Soebardjo, Gatot, Soemantri dan lain-lain, di mana mereka akan
mempersiapkan coup d'etat, Tan Malaka dan para pembantunya menyebar agitasi bahwa
dengan mengklaim bahwa Sjahrir dan orang-orang Indonesia lainnya cooperative Belanda
dan telah menjual Indonesia dan hanya hanya
memberi pengakuan secara de facto republik (hanya) di Jawa dan Sumatera. Rencana
lainnya bahwa Wakil Presiden (Mohamamd Hatta) dan menteri lainnya akan
dibebaskan dari jabatan mereka, sementara Presiden (Soekarno) dan komandan
tertinggi akan dipertahankan untuk sementara waktu, sampai kabinet yang baru
dibentuk dan cukup kuat. Lalu kemudian akan menyingkirkan presiden dan panglima
tertinggi. Para konspirator memiliki sendiri komposisi kabinet baru sebagai
berikut: Presiden Minister, Tan Malaka; Wakil, Soebardjo: Menteri Dalam Negeri,
Soediarto; Kehakiman, Soepomo; Agama, Wahid Hasim; Sosial, Chairoel Saleh; Keuangan:
Maramis; Pendidikan, Ki Hadjar Dewantoro; Informasi. Moh. Yamin. Menurut
pernyataan dari Kementerian Pendidikan (Soetan Goenoeng Moelia) pemerintah
percaya bahwa konspirasi ini memiliki banyak fakta pendukung. Aksi sudah ada
sejak 3 Oktober tahun lalu, dimulai ketika Sukarni memberi tahu presiden bahwa
menurut dia, Tan Malakka adalah orang yang tepat untuk memimpin revolusi. Tak
lama setelah itu muncul eenheidsgroep (satuan kelompok) yang berarti fakta
bahwa menciptakan kesenjangan antara rakyat dan pemerintah. Kudeta itu sudah
pada bulan Februari tahun ini terlihat selama pertemuan KNI pusat di Solo. Mereka
gagal, namun, Kementerian Informasi
kemarin membuat pernyataan yang meminta orang-orang untuk membantu republik dalam
penangkapan elemen berbahaya bagi republik’.
Dalam situasi dan
kondisi yang komplek tersebut RI semakin terdesak oleh Belanda/NICA. Ibukota RI
terpaksa dipindahkan ke Djogjakarta. Di Djogjakarta struktur kabinet diubah
lagi (tanggal 2 Oktober 1946). Posisi Amir Sjarifoeddin tetap sebagai Menteri
Pertahanan. Untuk meredakan ketegangan, pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan
Indonesia-Belanda dan hasilnya disepakati persetujuan gencatan senjata tanggal 14
Oktober yang kemudian diagdendakan perundingan lebih lanjut (yang nantinya
disebut Perundingan Linggarjati tanggal 11 November 1946 dan hasilnya ditandatangani
15 November 1946 dan perjanjian kedua belah pihak ditandatangani tanggal 25
Maret 1947.
Rombongan terakhir Pemerintah
Republik Indonesia yang hijrah dari Jakarta.Batavia ke Djogjakarta dipimpin
oleh Mr. Arifin Harahap (adik Amir Sjarifoeddin, Menteri Pertahanan). Rombongan
terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari rombongan
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan dan Kementerian Perhubungan
(Komunikasi). Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djogja
yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946). Menteri
Pertahanan Amir Sjarifoeddin bersama Letkol Zulkifli Lubis mulai merancang
desain organisasi TNI.
Benar apa yang telah
diperjuangkan oleh Kelompok Chaeroel Saleh dan elemen lainnya bahwa Indonesia
telah tergadai. Isi perjanjian Linggar Jati tiga butir pertama: (a) Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan
Madura; (b) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1
Januari 1949; dan (c) Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS.
Sejak itu suara-suara pro kontra makin meruncing. Sejumlah partai tidak setuju
termasuk Masjumi dan PNI.
Tekanan terhadap pemerintah RI
mencapai puncaknya. Kabinet Perdana Menteri Soetan Sjahrir harus berakhir. Pada
tanggal 3 Juli 1947 Amir Sjarifoeddin diangkat menjadi Perdana Menteri (untuk
menggantikan Soetan Sjahrir). Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin tetap merangkap
sebagai Menteri Pertahanan.
Amir Sjarifoeddin (Renville): Chaeroel
Saleh Berjuang 100 Persen
Seperti halnya saat
Soetan Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Amir Sjarifoeddin juga menghadapi
berbagai persoalan, persoalan yang tidak kunjung reda bahkan persoalan semakin
komplek, baik dalam upaya menekan penetrasi Belanda maupun permasalahan yang
muncul di internal republik Indonesia. Pada tanggal 15 Juli 1947 muncul
instruksi HJ van Mook agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis
demarkasi. Instruksi ini diabakain RI lalu muncul ultimatum van Mook. Dengan
meningkatnya jumlah personil militer Belanda, lalu kemudian Belanda melakukan operasi
militer di Jawa dan Sumatera. Operasi ini dimulai 21 Juli 1947 (dan berakhir 5
Agustus 1947). Operasi militer Belanda yang disebut aksi polisional dianggap pemerintah
RI telah melanggar butir Perjanjian Linggarjati. Tindakan aksi polisionil
Belanda ini bahkan mengabaikan peringatan PBB.
Dewan Keamanan PBB lalu membentuk
Komisi Tiga Negara untuk menyelesaikan permasalahan Belanda vs Indonesia.
Tanggal 17 Agustus 1947 Pemerintah RI dan Belanda menerima Resolusi PBB dan
dilakukan gencatan senjata (lagi) pada tanggal 25 Agustus 1947. Dalam fase ini
struktur kabinet Amir Sjarifoeddin dirombak (November 1947). Perundingan
dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin PM Amir
Sjarifoeddin (sebagaimana sebelumnya PM Soetan Sjahrir ke perundingan
Linggarjati). RI yang semakin tertekan hanya dapat memperjuangkan hasil yang
lebih sedikit. Perjanjian yang disebut Perjanjian Renville lalu ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948. Isi perjanjian itu adalah (1) Belanda hanya
mengakui Jawa tengah, Jogjakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik
Indonesia, (b) Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah
Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, dan (3) TNI harus ditarik mundur dari
daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dampak dari perjanjian yang semakin tidak menguntungkan ini, kabinet Amir
Sjarifoeddin harus dibubarkan dan digantikan dengan kabinet baru yang dipimpin
oleh Mohammad Hatta (pada tanggal 29 Januari 1948).
Mohammad Hatta (KMB/RIS): Pejuang Kemerdekaan Amir Sjarifoeddin Ditembak Mati
Konsekuensi dari
perjanjian Renville mau tak mau juga harus dituruti oleh PM Mohammad Hatta.
Yang paling kentara adalah Divisi Siliwangi yang berbasis di Jawa Barat yang
berada dibawah komando TNI Kolonel Abdoel Haris Nasution harus mengungsi ke
Jawa Tengah/Djogjakarta. Pelaksanaan hijrah ini selesai pada 22 Februari 1948.
Rombongan pertama tiba di Jogjakarta pada 11 Februari 1948 yang disambut
Panglima Jenderal Soedirman. Sementara itu beberapa kelompok perlawanan rakyat
melakukan gerilya, seperti Hizbullah dengan komandannya Zainul Arifin Pohan dan
Kelompok Kartosoewirjo. Sementara Chaeroel Saleh, Adam Malik dan kawan-kawan
masih berada di tahanan.
Tentara Nasional
Indonesia (TNI) didesain oleh Amir Sjarifoeddin dan Kolonel Zulkifli Lubis pada
tahun 1946 di Djogjakarta. Pada saat itu Amir Sjarifoeddin masih menjabat
sebagai Menteri Pertahanan (sebelumnya benama Menteri Keamanan Rakjat) dalam
Kabinet Soetan Sjahrir. Organisai TNI ini kemudian disempurnakan oleh Menteri
Pertahanan Hamengkoeboewono IX (kabinet Hatta I) dan Kolonel Abdoel Haris
Nasution (lihat Algemeen Handelsblad, 07-02-1958).
Sebagaimana halnya,
Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang terus mendapat tekanan, pemerintah di
bawah pimpinan PM Mohammad Hatta semakin panik. Belanda hanya mengakui
Djogjakarta dan Jawa (sebagian) Tengah dan sisanya di Sumatra membuat ruang
bergerak semakin sempit. Saat inilah para tahanan Kelompok Chaeroel Saleh dari
persidangan terakhir tanggal 3 Juli 1946 disidangkan kembali (lihat Nieuwe
courant, 17-04-1948). Dewan Perang di Djokjakarta memutuskan untuk menjatuhkan
hukuman, antara lain: Soedarsono 12 tahun penjara, Moh.
Yamin 12 tahun, Iwa Kusoema Soemantri 6 tahun, Dr. Bcentaran 6 tahun, Chaeroel
Saleh 5 tahun dan Adam Malik 3 tahun.
Pembela HAM mengajukan semacam banding dan sesi pengadilan akan diadakan lagi
pada tanggal 29 April.
Fungsi penghubung antara Belanda dan
Republik Indonesia tetap dipertahankan keberadaan Sekretariat Republik
Indonesia (semancam kedubes). Kepala kantor sekretariat untuk Djokja adalah
Setiadjit dan di Batavia tetap dijabat oleh Mr. Arifin Harahap (Nieuwe courant,
27-04-1948).
Kabinet Mohammad Hatta
di Djogjakarta terus mendapatkan tekanan tidak hanya dari luar (Belanda) tetapi
juga dari elemen bangsa. Di Madioen terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para
elemen oposisi. Pemberontakan ini lebih dikenal sebagai Pemberontakan PKI 1948
atau Peristiwa Madioen. Peristiwa pemberontakan komunis ini terjadi tanggal 18
September 1948. Pemberontakan ini merupakan reaksi dari pihak oposisi terhadap
hasil Perjanjian Rinville semasa Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, tetapi
tetap dituruti oleh kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad
Hatta. Para elemen oposisi ini menginginkan RI 100 persen, tidak hanya
Djogjakarta/Midden Java dan sebagian kecil Sumatra. Untuk mengatasi persoalan
ini TNI melakukan penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel Abdoel Haris Nasution.
Sementara TNI terbelah perhatiannya,
Belanda mulai melancarkan serangan ke kubu RI dan menghabisi TNI. Belanda tidak
peduli lagi dengan isi Perjanjian Renville. Serangan dimulai di Djogjakarta
pada pagi tanggal 19 Desember 1948. Dalam serangan militer ini, intel/polisi
juga menyusup dan yang pertama diculik adalah Mr. Masdoelhak, Ph.D di rumahnya
di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak
Nasution (penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta) di rantai dengan
penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa
berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah. Akhirnya setelah beberapa
waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu
keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor.
Masdoelhak tewas ditempat (lihat De waarheid, 25-02-1949). Dewan Keamanan PBB
marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa yang berkantor di New York
meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas
kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Djogjakarta 21 Desember 1948. Reaksi
cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar dan dilansir di London
sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor
Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip
pernyataan pers dari kepala kantor Republik Indonesia di London yang
pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia,
diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa
diadili’. Instruksi PBB segera dituruti Kerajaan Belanda dan kemudian dilakukan
sidang pengadilan (lihat De waarheid, 25-02-1949). Sementara itu pemimpin RI
(Sokarno dan Mohammad Hatta diatangkap lalu diasingkan ke Bangka dan
Brastagi/Parapat.
Dalam kekosongan
pemerintahan ini kemudian muncul pemerintahan darurat RI di Bukittinggi. TNI
sendiri masih menjalankan fungsinya di berbagai tempat untuk melawan agresi
militer Belanda. Dalam hal ini, sesuai kebijakan baru Jenderal Spoor, TNI harus
dimusnahkan, tetapi dalam kenyataannya militer Belanda tidak berhasil di
sejumlah tempat terutama di wilayah Tapanuli Selatan yang dipimpin oleh Letkol
Kawilarang dan Major Ibrahim Adji (anak buah Kolonel Abdoel Haris Nasution).
Belanda yang telah melanggar perjanjian Renville kemudian mendapat kecamatan
internasional termasuk PBB. Kelompok-kelompok di luar TNI juga melakukan
perlawanan.
Algemeen Handelsblad, 21-11-1949: ‘Pertemuan
Kelompok Tan Malaka, Daeoel Islam Kartosuwirjo dan Gerilya 17 Agustus.
Pertemuan di Soekaboemi dihadiri oleh Chairul Saleh (penghubung antara Tan
Malaka dan Darul Islam), Wahidin Nasution (komandan Divisi Gerilya 17 Agustus) dan
perwakilan dari Kartosuwirjo (pemimpin Darul Islam di Jawa Barat). Kemudian
muncul tanggal perebutan kekuasaan yang bergeser hingga 1 Februari 1950. Kesatuan
Divisi Gerilya 17 Agustus meliputi antara lain komponen Bamburuntjing dan API-88
dan sudah beroperasi di selatan Batavia di Buitenzorg, sebagian Krawang, dan di beberapa wilayah Bandung’.
Akhirnya dilakukan
gencatan senjata dan diagendakan untuk melakukan konferensi (KMB) di Den Haag.
Gencatan senjata ini mengakhiri pertempuran di Benteng Huraba di Padang Sidempoean,
suatu benteng yang tidak pernah tertembus militer Belanda menuju ibukota RI di
pengungsian di Bukittinggi. Benteng Huraba ini tidak jauh dari kampung halaman
Kolonel Abdoel Haris Nasution.
Persiapan dan pelaksanaan konferensi
ini akhirnya berakhir pada tanggal 2 November 1949. Isi perjanjian KMB ini adalah
sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia
jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi
dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat
sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. (2) Republik Indonesia Serikat
menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rancangan
konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Nederland (3) Kedaulatan akan
diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Penyerahan kedaulatan RI
ini oleh Belanda terlaksana pada tanggal 27 Desember 1949. Sebelumnya, telah
dibentuk pemerintahan yang disebut Pemerintahan RIS pada tanggal 20 Desember
1949 yang mana sebagai Presiden adalah Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad
Hatta.
Ternyata tidak semua elemen bangsa
menerima isi perjanjian KMB tersebut. Salah satu kelompok yang menolak keras
isi perjanjian tersebut adalah kelompok Chaeroel Saleh. Kelompok yang dipimpin
Chaeroel Saleh ini masih konsisten dengan perjuangan 100 persen RI. Dalam isi
perjanjian KMB masih ada keterlibatan asing (Belanda) dan tidak utuhnya
Indonesia karena Irian Barat masih sepenuhnya bagian Belanda. Untuk itu
kelompok Chaeroel Saleh melakukan gerilya di selatan Buitenzorg dan Banten.
Sayap militer kelompok Chaeroel Saleh ini disebut Brigade 17 Agustus 1945
dibawah komandan Wahidin Nasution.
Kolonel Abdoel Haris Nasution
(NKRI): Chaeroel Saleh Disekolahkan ke Swiss dan Jerman
Negara Republik Indonesia yang diperjuangkan sejak 1927 dan diproklamiskan pada 17 Agustus 1945, berdasarkan perjanjian KMB negara menjadi terbelah dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pada intinya RI hanya sebagian kecil (yang terdapat di Djogjakarta sekitarnya dan sebagaian wilayah pantai barat Sumatra) dan lainnya sebagai negara-negara federal yang justru menjadi negara boneka Belanda. Pada masa pemerintahan RIS ini pasukan Divisi Silewangi mulai melancarkan aksi penumpasan yang bertentangan dengan pemerintah (TNI).
De Tijd : godsdienstig-staatkundig
dagblad, 17-02-1950: ‘Pemimpin
perlawanan ditangkap di Banten. Kepada UP Polisi Indonesia di Djakarta telah
menangkap Chaerul Saleh, yang menyebut dirinya panglima tertinggi Tentara
Rakjat, organisasi militer oposisi yang memiliki wilayah operasinya di Provinsi
Banten, yang dianggap merupakan pendukung (gerakan 100 persen) Tan Malakka, yang
dulu telah melakukan dalam penculikan mantan Perdana Menteri Soetan Sjahrir
pada tanggal 3 Juli 1946. Selama perang gerilya melawan angkatan bersenjata
Belanda (Agresi Militer Belanda 1948), Chaeroel Saleh memimpin sekelompok
pejuang di Banten, dan baru-baru ini TNI memulai aksi (penumpasan) terhadap
formasi militernya’.
Terhadap penangkapan
Chaeroel Saleh in Mochtar Lubis berupaya melakukan persuasi kepada pemerintah
dan TNI. Boleh jadi ini dimaksudkan Mochtar Lubis jangan sampai kecolongan
kembali TNI/Pemerintah justru membunuh pejuangnya sendiri tanpa diadili lebih
dahulu seperti yang dilakukan terhadap (mantan perdana menteri) Amir
Sjarifoeddin.
Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-02-1950:
‘Surat kabar Indonesia Raja, pimpinan Mochtar Lubis merasa sedih bahwa saat ini
tidak ada persatuan yang erat antara pemerintah dan rakyat. Alasan kesenjangan
antara pemerintah dan rakyat adalah perjanjian KMB itu sendiri, yang telah
mendesak rakyat Indonesia oleh keberadaan pengaruh asing. Terlepas dari BFO,
sebagian besar penduduk tidak setuju dengan perjanjian KMB, konflik telah
muncul di pihak-pihak yang mendukung perjanjian KMB, dan orang Masyumi menentang
dan juga kelompok-kelompok oposisi yang menentang dan menolak perjanjian KMB. Penerimaan
perjanjian KMB dapat dianggap sebagai taktik perang. Pemerintah juga harus
berani mengambil langkah-langkah untuk menghindari konsekuensi yang merugikan. Kami
tidak melihat mengapa pemerintah menangkap Chairul Saleh yang megusung konstruksi
negara berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Pada intinya, soal inilah yang
terjadi. Yang merupakan bagian besar dari masyarakat Indonesia. Selama ada
pertarungan hukum untuk cita-cita dan tidak ada senjata digunakan melawan RIS,
tidak ada alasan untuk menangkap Chairul Saleh, karena langkah tersebut tidak
membawa orang lebih dekat ke aturan; sebaliknya, justru karena inilah celah
antara pemerintah dan kelompok oposisi semakin melebar’.
Pembebasan yang
dilakukan terhadap Chaeroel Saleh dan kawan-kawan tanpa proses sempat
menimbulkan reaksi. Pembebasan ini sebelumnya telah disetujui parlemen. Jumlah
tahanan politik yang dibebaskan sebanyak 950 orang. Sejumlah perwira marah dan menganggap
pembebasan ini sewenang-wenang (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 12-06-1951).
Perdana Menteri Soekiman dan beberapa menteri juga ternganga. Namun reaksi yang
terus mengalir akhirnya hanya 400 orang yang dibebaskan termasuk Chaeroel Saleh.
Atas reaksi itu kembali Chaeroel Saleh ditangkap (De Volkskrant, 15-06-1951).
Upaya-upaya pembebasan baru sedikit mulus ketika Menteri Pertahanan dijabat
Hamengkoboewono IX (teman dekat Abdoel Haris Nasution). Akhirnya Chaeroel Saleh
dibebaskan dan Chairul Saleh akan dikirim ke Swiss dengan tugas belajar (De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-09-1952).
Kepala Staf Angkatan Darat Abdoel
Haris Nasution tampaknya anteng saja. Boleh jadi yang bereaksi keras adalah
para anak buahnya yang dalam hubungan ini telah ikut dalam operasi ketika
menangkap Chaeroel Saleh. Pikiran Abdoel Haris Nasution seakan sudah disuarakan
oleh Mochtar Lubis. Lantas mengapa semudah itu membebaskan tahanan politik?
Saat itu yang menjadi ketua komisi pertahanan di parlemen adalah Zainul Arifin,
mantan panglima Hizbullah di Jawa Barat. Apakah pembebasan ini telah menjadi
ada pembicaraan secara adat? Bukankah Abdoel Haris Nasution berasal dari
Kotanopan, ibu Zainul Arifin juga dari Kotanopan; dan ayah Chaeroel Saleh dari
Taloe (dekat Kotanopan)? Dan, Chaeroel Saleh tidak hanya dibebaskan, juga
dikirim ke laur negeri untuk tugas belajar. Alasan ditangkap Chaeroel Saleh
pada tahun 1950 karena sebelumnya Chaeroel Saleh menentang hasil KMB yang
dipimpin oleh Mohammad Hatta lalu bergerilya di luar Djakarta. Secara politis
saat itu Chaeroel Saleh menentang pemerintahan Perdana Menteri (RIS) Mohammad
Hatta. Nasib Chaeroel Saleh nyaris seperti yang dialami oleh pejuang kemerdekaan
Amir Sjarifoeddin (berjuang RI 100 persen, ditangkap, tanpa diadili lalu
ditembak mati). Chaeroel Saleh, pejuang kemerdekaan tidak sempat ditembak mati
malahan diberi tugas belajar ke luar negeri. Bagaimana ini bisa terjadi? Hukum
adat diberlakukan.
Sistem pemerintah meski
disebut RIS (negara-negara federal plus RI) dalam kenyataannya para republiken
tetap menganggap RI masih eksis. Akibatnya ketika RIS presidennya adalah
Soekarno dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang beribukota di Djakarta di
satu pihak, di pihak lain RI juga memiliki presiden sendiri yakni Assat.dengan
Perdana Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Andoel Hakim Harahap
yang beribukota di Djogjakarta. Ketika RIS dibubarkan dan kembali ke RI dengan
membentuk NKRI, Soekarno dan Mohammad Hatta kembali menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. Kabinet Mohammad Hatta (RIS) dan kabinet Abdoel Halim (RI) juga
bubar. Kabinet baru dibentuk tanggal 6 September 1950 dengan perdana menteri
yang baru (NKRI) yakni Mohammad Natsir.
Para Republiken di Sumatra Timur
melakukan protes terhadap dua pemerintahan ini. Lalu muncul kongres rakyat di
Medan pada bulan April 1950. Kongres Rakyat ini dipimpin oleh Dr. Djabangoen
Harahap dan GB Joshua Batubara. Keputusan Kongres adalah membubarkan Negara Sumatra
Timur (NST) dan dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari
sinilah muncul istilah NKRI kali pertama. Melihat gejolak di Sumatra Timur, kabinet
yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta mulai gamang. Lobi-lobi yang
dilakukan Wali NST Dr. Tengkoe Mansoer dan pemimpin Negara Indonesia Timur untuk
tetap berbentuk RIS hampir diterima Mohammad Hatta. Saat inilah Soekarno
berubah pikiran. Soekarno telah menyadari telah mengingkari cita-cita para
pejuang (membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan). Soekarno juga melihat (seperti
yang dilihat para Republiken di Sumatra Timur) ada kejanggalan isi perjanjian
KMB dan bentuk negara RIS. Pentolan-pentolan Republiken di Sumatra Timur ini
terhubungan dengan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdoel Hakim Harahap.
Akhirnya Soekarno setuju dengan gerakan republiken di Sumatra Timur dan lalu
membubarkan RIS dan berupaya untuk merebut Irian Barat. Proses politik yang
berjalan alot sehingga semua negara federal dibubarkan dan terbentuklah NKRI
dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dengan terbentuknya
NKRI, juga dengan sendirinya pemerintah RI di Djogjakarta membubarkan diri.
Ibukota RI kembali ke Djakarta.
Abdoel Hakim Harahap
tidak lama menganggur. Ketika proses pembentukan Provinsi Sumatra Utara selesai
(pasca dibubarkannya negara federal NST) pada tanggal 25 Januari 1951 Abdoel Hakim Harahap diangkat sebagai
Gubernur Sumatra Utara yang pertama. Abdoel Hakim Harahap pada saat itu adalah
pemilik portofolio paling tinggi untuk posisi Gubernur Sumatra Utara. Selain
Abdoel Hakim Harahap sebagai inisiator pembentukan NKRI (sewaktu masih menjabat
Wakil Perdana Menteri terakhir di Djogjakarta), Abdoel Hakim Harahap juga
adalah mantan Residen Tapanoeli (di era agresi militer Belanda II). Abdoel
Hakim Harahap dan Mohamamad Natsir juga sama-sama tokoh Masyumi.
Abdoel Hakim Harahap menyelesaikan
pendidikan MULO di Padang, lalu dilanjutkan ke Prins Hendrik School di Batavia.
Selanjutnya Abdoel Hakim Harahap mengikuti pendidikan ekonomi/perdagangan di
Batavia, lulus tahun 1927 dan langsung ditempatkan di Bea dan Cukai di Kota
Medan. Sudah barang tentu Abdoel Hakim Harahap telah mengenal Abdoel Hakim
sebagai anggota dewan di kota Padang. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap di Padang
semasa MULO (yang juga sekolah Mohammad Hatta) sebagai bagian dari Jong
Sumatranen cabang Padang (yang telah melakukan kongres di Padang tahun 1919 dan
1921). Di Batavia, sewaktu SMA di Prins Hendrik School (juga sekolah Mohammad
Hatta) Abdoel Hakim Harahap juga menjadi anggota Islamieten Bond. Delegasi ke
KMB yang dipimpin oleh Mohammad Hatta tahun 1949, Abdoel Hakim Harahap bertindak
sebagai penasehat ekonomi delegasi Indonesia. Saat itu selain Abdoel Hakim
Harahap adalah Residen Tapanoeli, juga sangat berpengalaman di bidang ekonomi
di era kolonial Belanda. Setelah tujuh tahun menjadi anggota dewan kota
(gemeenteraad) Medan (1930-1937), Abdoel Hakim Harahap sebagai pejabat Bea dan
Cukai di Medan dimutasi ke Kementerian Ekonomi di Batavia. Selanjutnya Abdoel
Hakim Harahap dipromosikan menjadi kepala bidang ekonomi di Province West Java
dan kemudian dipindahkan sebagai kepala bidang ekonomi di Groot Indie
(Indonesia Timur) di Makassar hingga pendudukan Jepang (militer Jepang tetap
mempertahankan jabatannya). Saat ayah Abdoel Hakim Harahap, Mangaradja Gading
meninggal dunia di Padang Sidempoean, keluarga Abdoel Hakim Harahap berangkat
ke padang Siempoean. Namun Abdoel Hakim Harahap tidak kembali ke Makassar,
tetapi militer Jepang di Tapanoeli mengangkat Abdoel Hakim Harahap sebagai
Ketua Dewan Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng. Pengalaman-pengalaman
praktis inilah yang menyebabkan Abdoel Hakim Harahap menjadi penasehat ekonomi
delegasi Indonesia ke Den Haag (Mohammad Hatta sendiri meski sarjana ekonomi
tetapi secara praktik di pemerintahan belum teruji). Keutamaan lain sebagai
penasehat delegasi, Abdoel Hakim Harahap juga menguasai tiga bahasa: Belanda,
Inggris dan Perancis (bahasa yang diperlukan dalam konferensi di Den
Haag).
Saat Chaeroel Saleh
studi di luar negeri muncul persoalan baru. Chaeroel Saleh tidak dalam posisi
melawan pemerintah. Akan tetapi Mochtar Lubis dengan surat kabarnya Indonesia
Raja menuntut Soiekarno bertanggung jawab terhadap ribuan orang Indonesia
secara sia-sia selama pendudukan Jepang. Persoalan yang diapungkan oleh Mochtar
Lubis bukan soal cooperative dengan Jepang, tetapi kebijakan Soekarno sebagai
pemimpin PUTERA yang mengorganisir tenaga kerja paksa (romusha) yang
menyebabkan banyak yang meninggal. Akibat tuduhan itu perseteruan Soekarno dan
Mochtar Lubis makin hari makin meningkat. Surat kabar Indonesia Raja dibreidel.
Mochtar Lubis kemudian memimpin demonstrasi kebebasan pers. Mochtar Lubis pada
akhirnya ditangkap, ditahan dan diajukan ke meja hajau. Dari barisan militer
yang dipimpin Kepalda Staf AD Kolonel Abdoel Haris Nasution juga melakukan aksi
demonstrasi yang melawan pemerintah yang mulai melenceng dari cita-cita
proklamasi kemerdekaan RI. Sejumlah anggota parlemen terlalu dalam merecokin
pemerintah dan beberapa menteri dituduh melakukan korupsi (saat mana kondisi
ekonomi pemerintah dan masyarakat yang belum kunjung membaik). Untuk tetap mendukung
merebut kembali Irian Barat dari Belanda, para petinggi militer tetap
mengkonsolidasikan persatuan. Sebab tidak mungkin merebut Irian Barat jika
tidak ada persatuan.
Aksi militer yang
dilakukan ini dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952. Tuntutan Abdoel Haris
Nasution dan kawan-kawan adalah bubarkan parlemen dan ganti kabinet yang baru.
Soekarno tidak bergeming. Akhirnya Kolonel Abdoel Haris Nasution dipecat dan
Soekarno mengabil alih pimpinan militer. Uniknya, Soekarno mengangkat Bambang
Sugeng sebagai pengganti Abdoel Haris Nasution namun tidak kapabel. Lalu
diangkat Kolonel Zulkifli Lubis tetapi pelantikannya gagal karena tidak ada
petinggi militer yang menghadiri upacara pengangkatan (lihat Algemeen
Handelsblad, 07-02-1958). Pada saat terjadi demo tanggal 17 Oktober 1952 di
depan Istana Merdeka, Kolonel Zulkifli Lubis berada di dalam istana bersama
Presiden Soekarno. Kemudian, tidak hanya Abdoel Haris Nasution yang dipecat,
juga Major Jenderal TB Simatoepang. Pada akhirnya juga Menteri Pertahanan,
Hamengkoeboewono IX diganti di jajaran kabinet (sejak 2 Juni 1953). Posisi
Hamengkoeboewono langsung diambil alih Perdana Menteri Wilopo pada tanggal 2
Juni 1953 (lihat Algemeen Handelsblad, 07-02-1958).Sejak itu di beberapa
wilayah terjadi pemberontakan.
Abdoel Haris Nasution
boleh jadi merasa sudah bersekolah tinggi di bidang militer hingga mencapai
pangkat Jenderal, tetapi juga sadar bahwa Chaeroel Saleh belum menyelesaikan
studinya di Fakultas Hukum. Pendidikan adalah dasar kemajuan seperti dalam
filosofi Batak bahwa jiwa itu ada di kepala yang pernah disebut Soetan
Casajangan. Demikian juga Sati Nasution alias Willem Iskander yang mendorong
setiap orang pergi ke sekolah (1873). Spirit itulah yang dengan sendirinya cara
Abdoel Haris Nasution mengasingkan Chaeroel Saleh ke Swiss/Jerman. Di Swiss/Jerman
akan dapat diterima karena Chaeroel Saleh tidak memiliki masalah dengan Jerman.
Dengan situasi dan kondisi yang tidak terganggu di Jerman, Chaeroel Saleh dapat
dengan tenang menjalankan studi di bidang hukum.
Saat-saat dirumahkan ini, Abdoel
Haris Nasution menyusun kurikulum sendiri di rumah untuk menulis buku. Buku
yang ditulis Abdoel Haris Nasution ini selama menganggur dikenal dengan judul
Pokok-Pokok Perang Gerilya. Chaeroel Saleh dan Abdoel Haris Nasutin sibuk
dengan sednirinya menghadapi kesibukan masing-masing dengan kajian
masing-masing.
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Perdana Menteri Boerhanoeddin
Harahap: Abdoel Hakim Harahap Mendamaikan Militer
Situasi dan kondisi
bernegara setelah Persitiwa 17 Oktober 1952 dan Kolonel Abdoel Haris Nasution
dicopot dari jabatannya semakin memburuk. Pemerintahan semakin gamang, rakyat
semakin menderita dan situasi di wilayah-wilayah tertentu semakin memanas. Dampaknya
dalam pemerintahan, kabinet Wilopo harus dibubarkan dan digantikan kabinet
baru, Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini juga tidak bertahan lama,
akhirnya PNI dan Ali Sastroamidjojo menyerah dan muncul kabinet baru dari
mayoritas Masyumi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap.
Chaeroel Saleh setelah menyelesaikan
studinya di Bonn, kembali ke tanah air. Chaeroel Saleh tidak sempat melihat hari-hari
terakhir ayahnya Dr. Achamd Saleh. Sejak
tahun 1952 Chaeroel Saleh tidak diizinkan pulang karena statusnya sebagai orang
yang diasingkan. Dr. Achmad Saleh meninggal dunia di Medan tanggal 19 Desember
1954.
100 Tokoh Asal Mandailing dan Angkola |
Apakah ini pilihan sulit? Jelas
sulit. Saat demosntrasi tahun 1952 di depan Istana, Kolonel Abdul Haris
Nasution ada di tengah-tengah para demonstran, sedangkan Kolonel Zulkifli Lubis
menemani Soekarno di dalam istana. Dari demosntrasi ini Major Jenderal TB
Simatupang dan Kolonel Abdoel Harris Nasution dicopot, sedangkan Kolonel
Zulkifli Lubis tetap menjadi setia Soekarno. Dalam pilihan ini Abdoel Hakim
Harahap dengan berbagai pertimbangan memilih Abdoel Haris Nasution dan menyodorkan
nama kepada PM Boerhanoeddin Harahap. Apakah ini membuat gusar Soekarno? Jelas.
Akan tetapi Boerhanoeddin Harahap tidak mau sendiri ke Istana menghadap
Soekarno dengan membawa Kolonel Abdoel Haris Nasution. Boerhanoeddin Harahap
mengajak ketua parlemen bidang pertahanan, yang juga mantan komandan laskar
Hizbullah di Jawa Barat di era perang kemerdekaan yang mempelopori berdiriya
Partai NU bernama Zainul Arifin Pohan. Presiden Soekarno sangat dekat dengan
Zainul Arifin Pohan (PNI dan Partai NU lagi bulan madu) ketika partai Masyumi
pimpinan Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet. Zainul Arifin Pohan, kelahiran
Barus dari pihak ibu masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan keluarga
Abdoel Haris Nasution di Kotanopan. Inilah alasan mengapa Abdoel Hakim Harahap
memilih Kolonel Abdoel Haris Nasution daripada Zulkifli Lubis. Soekarno
akhirnya setuju dengan jaminan Boerhanoeddin Harahap dan Zainul Arifin Pohan.
Posisi KASAD terisi kembali, pangkat Abdoel Haris Nasution dinaikkan menjadi
Major Jenderal. Bagaimana dengan Kolonel Zulkifli Lubis? Mendongkol. Kelak,
Zainul Arifin Pohan (1963) tertembak disamping Soekarno yang mana yang menjadi
target sebenarnya adalah Soekarno, lalu meninggal dunia. Kolonel Zulkifli Lubis
mendukung gerakan PRRI/Permesta. Abdoel Haris Nasution tetap setia kepada
Soekarno (hingga munculnya G30 S/PKI 1965).
Tunggu dekripsi lengkapnya
Dwi Tunggal, Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal: Abdoel Haris Nasution,
Chaeroel Saleh dan Adam Malik Menjadi Kepercayaan Soekarno
Tunggu dekripsi
lengkapnya
Semakin menguatnya posisi
Soeharto (dan semakin melemahnya posisi Soekarno), kelompok Soeharto
menyingkirkan pendukung Soekarno, kecuali Abdoel Haris Nasution dan Adam Malik.
Sebanyak 15 menteri Soekarno ditangkap pada tanggal 18 Maret 1966. Mereka ini
ditahan tanpa proses pengadilan. Chaeroel Saleh dalam penderitaanya di penjara.
Diberitakan meninggal di penjara tanggal 8 Februari 1967.
Apa yang dialami oleh
Chaeroel Saleh (di bawah pemerintahan Soeharto) seakan berulang setelah
sebelumnya pada era pemerintahan Perdana Menteri Mohammaad Hatta (Kabinet Hatta
I: 29 Januari 1948 sampai dengan 4
Agustus 1949) yang mana Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawan ditangkap dan ditahan
tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 19 Desember, beberapa orang yang akan dieksekusi yang pertama ditembak
mati adalah Amir Sjarifoeddin. Amir Sjarifoeddin tewas ditembak mati pada
tanggal 19 Desember 1948. Dua hari sesudahnya pada tanggal 21 Desember 1948 Mr.
Masdoelhak Nasution, Ph.D, penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta ditembak
mati oleh intel/militer Belanda. Agresi Militer Belanda dilakukan pada tanggal
19 Desember 1948, pada momen pertama sejumlah intelektual Indonesia diculik dan
yang pertama ditembak mati adalah Masdoelhak Nasution. Cara yang dilakukan oleh
pemerintah RI terhadap Amir Sjarifoeddin sama persis apa yang dilakukan oleh
militer Belanda terhadap Masdoelhak Nasution. Metode fasis. Itu belum cukup.
Sebagaimana aparat (oknum) pemerintah RI yang telah membunuh anak bangsanya sendiri
Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawan dan juga Chaeroel Saleh dan kawan-kawan, intel/militer
Belanda juga telah melakukan pembunuhan keji terhadap intelektual muda
Indonesia Ida Nasution yang diculik dan lalu dibunuh pada Maret 1948. Ida Nasution
adalah seorang esais, kritikus andal, Ida Nasution saat itu bestatus mahasiswa
Universiteit Indonesie, pendiri dan presiden Persatoen Mahasiswa Universitas
Indonesie (PMUI). Sangat tragis.
Posisi Chaeroel Saleh
sebelum ditangkap adalah Wakil Perdana Menteri III/Wakil Perdana Menteri/Ketua
MPRS. Untuk mengisi kekosongan ketua MPRS ini diangkat Abdoel Haris Nasution.
Namun persoalan masih tersisa. Chaeroel Saleh secara perlahan-lahan dibunuh dan
akhirnya meninggal di penjara. Mohammad Hatta pernah mengataan setelah
hubunganya retak dan berpisah dengan Soekarno pada tahun 1958 ‘Revolusi telah
gagal’. Yang jelas revolusi telah memakan korban: Amir Sjarifoeddin, Masdoelhak
Nasution dan Chaeroel Saleh. Sebagaimana terlihat nanti: Meninggalnya Soekarno
juga telah menjadi korban revolusi yang gagal.
Masdoelhak Nasution telah dianugrahi
gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006. Ir. Soekarno gelar Pahlawan Nasional
bari diberikan pada tahun 2012. Bagaimana dengan pejuang kemerdekaan, Amir
Sjarifoeddin dan Chaeroel Saleh? Apakah hanya Tuhan yang mengetahui dan memberi
kehormatan kepada Amir Sjarifoeddin? Yang jelas Amir Sjarifoeddin telah
mendapat gelar adat di kampungnya dengan gelar Soetan Goenoeng Soaloon.
Catatan: soaloon=tidak terkalahkan.
Diantara pejuang
kemerdekaan (Angkatan 1945) dari golongan pemuda-pemuda yang dulu memicu
Proklamasi RI yang antara lain Chaeroel Saleh, Adam Malik dan BM Diah hanya
Adam Malik yang terus berkarir sebagai bagian dari pemerintahan.BM Diah bari mendapat
posisi menteri pada Kabinet Ampera I (07-1966/10-1967) BM Diah sebagai Menteri
Penerangan. BM Diah juga masih dipercaya sebagai Menteri Penerangan pada
kabinet Ampera II (10-1967/06-1968).
Dalam rezim Soekarno hanya empat orang
yang menjabat paling lama yakni Abdoel Haris Nasution, Chaeroel Saleh, Arifin
Harahap dan Adam Malik. Keempat orang ini seakan menunjukkan orang-orang yang
paling setia dengan Soekarno. Pada rezim Soeharto, Chaeroel Saleh dan Abdoel
Haris Nasution tamat. Ketika Chaeroel Saleh dikirim ke bui, Abdoel Haris
Nasution masih dipercaya rakyat untuk menjadi Ketua MPRS (menggantikan posisi
Chaeroel Saleh). Arifin Harahap, adik Amir Sjarifoeddin masih dipercaya oleh
Presiden Soeharto dengan mengangkat Mr. Arifin Harahap sebagai Duta Besar
Indonesia untu negara Alzajair.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Empat Orang Kepercayaan Presiden Soekarno
|
||||
Kabinet
|
Chaeroel Saleh
|
Abdoel Haris
Nasution
|
Arifin Harahap
|
Adam Malik
|
Djuanda
04-1957
07-1959
|
Menteri Negara Urusan Veteran
|
Kepala Staf AD
|
||
Kerja I
07-1959
02-1960
|
Menteri Pembangunan/ Menteri Muda Perindustrian Dasar
dan Pertambangan
|
Menteri Keamanan dan Pertahanan
|
Menteri Muda Perdagangan
|
|
Kerja II
02-1960
03-1962
|
Menteri Pembangunan/ Menteri Perindustrian Dasar dan
Pertambangan
|
Menteri Keamanan Nasional/Menteri/Kastaf AD
|
Menteri Perdagangan
|
|
Kerja III
03-1962
11-1963
|
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan/ Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat (MPRS)
|
Wakil Menteri Pertama/Koordinator Pertahanan/Keamanan’
Menteri/Kepala Staf Angkatan Darat
|
Menteri Urusan Anggaran Negara
|
|
Kerja IV
11-1963
08-1964
|
Wakil Perdana Menteri III/ Menteri Koordinator Pembangunan/ Menteri
Perindustrian Dasar dan Pertambangan/ Ketua MPR
|
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan
|
Menteri Urusan Anggaran Negara
|
Menteri Perdagangan
|
Dwikora I
08-1964
02-1966
|
Wakil Perdana Menteri III/ Menteri Koordinator Pembangunan/ Menteri Urusan
Minyak & Gas Bumi/ Ketua MPRS
|
Menteri Koordinator/Kepala Staf Angkatan Bersenjata
|
Menteri Negara
|
Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin
|
Dwikora II
02-1966
03-1966
|
Wakil Perdana Menteri III/ Wakil Perdana Menteri/Ketua MPRS
|
Menteri diperbantukan pada Menteri Urusan Bank Sentral
|
Wakil Perdana Menteri III (ad interim)/ Menteri Luar Negeri & Hubungan Ekonomi Luar Negeri (ad interim)/
Menko Diperbantukan Pada Presiden Urusan Hubungan Ekonomi Luar Negeri
|
|
Dwikora III
03-1966
07-1966
|
Ketua MPRS
|
Asisten II Waperdam untuk Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan
|
Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sosial dan Politik/
Menteri Luar Negeri
|
|
Ampera I
07-1966
10-1967
|
Ketua MPRS
|
Menteri Utama bidang Politik/ Menteri Luar Negeri
|
||
Ampera II
10-1967
06-1968
|
Ketua MPRS
|
Menteri Luar Negeri
|
||
Pembangunan I
06-1968
03-1973
|
Menteri Luar Negeri
|
|||
Pembangunan II
03-1973
03-1978
|
Menteri Luar Negeri
|
|||
Pembangunan III
03-1978
03-1983
|
Wakil Presiden
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar