*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ada dua masjid besar di Yogyakarta yang memiliki nilai sejarah penting, yaitu Masjid Kauman dan Masjid Syuhada. Masjid Kauman dibangun tahun 1779 ketika pedagang-pedagang Islam (Arab) bermukim dan semakin banyak di Jogjakarta. Pemukiman pedagang-pedagang Arab (muhajirin) tersebut disebut kauman. Sedangkan Masjid Syuhada dibangun tahun 1950 ketika orang-orang Belanda semakin hilang dan kembali ke Belanda pasca pengakuan kedaulatan Indonesia. Nama masjid disebut untuk menghormati para syuhada Indonesia yang gugur dalam melawan Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Ada dua masjid besar di Yogyakarta yang memiliki nilai sejarah penting, yaitu Masjid Kauman dan Masjid Syuhada. Masjid Kauman dibangun tahun 1779 ketika pedagang-pedagang Islam (Arab) bermukim dan semakin banyak di Jogjakarta. Pemukiman pedagang-pedagang Arab (muhajirin) tersebut disebut kauman. Sedangkan Masjid Syuhada dibangun tahun 1950 ketika orang-orang Belanda semakin hilang dan kembali ke Belanda pasca pengakuan kedaulatan Indonesia. Nama masjid disebut untuk menghormati para syuhada Indonesia yang gugur dalam melawan Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Masjid Kaoeman di Jogjakarta, 1874 |
Ada perbedaan waktu
selama 171 tahun ketika Masjid Kauman didirikan tahun 1779 dengan Masjid
Syuhada didirikan tahun 1950. Selama itu pula banyak peristiwa penting di Jogjakarta
dalam kaitannya dengan penjajahan. Satu yang terpenting adalah perang yang
dilancarkan oleh para kaum ulama yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro
(1825-1830). Bagaimana itu dapat terhubung satu sama lain? Mari kita telusuri.
Masjid Syuhada: Masjid Para Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Wakil Perdana Menteri
Abdul Hakim Harahap mengundang sejumlah pihak di kantor Wakil Perdana Menteri
RI di Jogjakarta. Hal yang ingin dibicarakan adalah soal rehabilitasi dan
rekonstruksi nasional. Dua hal pokok yang dibicarakan adalah pembangunan
fasilitas sosial diantaranya masjid dan melisting para pejuang dan
menyatukannya dalam satu makam pahlawan. Inilah awal mula pembangunan masjid
baru di Jogjakarta yang kemudian namanya disebut Masjid Syuhada. Lokasi yang
dipilih adalah di wilayah lingkungan elit Eropa/Belanda (sejak tahun 1923
ketika jalan akses dan jembatan dibangun dari Jalan Malioboro).
Abdul Hakim Harahap adalah
satu-satunya di dalam kabinet RI di Jogjakarta dari Partai Masyumi. Abdul Hakim
Harahap adalah satu-satunya di dalam kabinet yang ikut bergerilya dalam perang
kemerdekaan. Abdul Hakim Harahap sebagai Residen Tapanoeli memimpin para
pejabat pemerintah di Tapanoeli di pengungsian untuk membantu TNI dalam perang
melawan Belanda (Agresi Militer Belanda II). Setelah gencatan senjata, dalam
persiapan ke KMB di Den Haag, Abdul Hakim Harahap baru menarik napas. Banyak
TNI dan pejabat yang gugur dalam perang, tidak terhitung jumlahnya penduduk
yang ikut mendukung perlawanan. Abdul Hakim Harahap, mantan pejabat ekonomi di
era kolonial Belanda yang menguasasi tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan
Prancis) menjadi penasehat ekonomi ke KMB. Sepulang dari Den Haag, Abdoel Hakim
Harahap langsung ke ibukota RI di Jogjakarta. Abdoel Hakim Harahap termasuk
yang tidak setuju dengan isi perjanjian KMB dengan membentuk RIS. Di
Jogjakarta, Abdul Hakim Harahap diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri RI yang
diresmikan pada tanggal 21 Januari 1950.
Mendengar kabar bahwa di
Jogjakarta (wilayah RI) tengah digodok persiapan pembangunan Masjid Syuhada
oleh sebuah kepanitiaan, di Djakarta (ibukota RIS) pada tanggal 10 Juli muncul keinginan
untuk membangun sebuah masjid di Bandoeng (wilayah federal). Masjid ini disebut Masjid Agoeng. Tidak
diketahui siapa yang mengusulkan tetapi yang jelas kepanitiaan pembangunan
Masjid Agoeng di Bandoeng adalah Ir. H. Mohamad Enoch. Desain masjid tersebut
adalah desain masjid yang pernah dibuat oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 (yang
saat itu Soekarno masih kuliah di THS Bandoeng).
Usulan pembangunan Masjid Agoeng di
Bandoeng besar dugaan adalah Ir. Soekarno (Presiden RIS di Djakarta). Dugaan
ini berdasarkan kepanitiaan dibentuk di Djakarta dan desain yang digunakan
adalah karya Ir. Soekarno sendiri. Dalam kepanitiaan, Ir. H. Mohamad Enoch
berkoordinasi dengan Presiden Soekarno.
Jogjakarta dan Tapanoeli
adalah wilayah RI paling setia (Republiken). Sementara Sumatra Timur adalah salah
satu wilayah federal yang disebut Negara Sumatra Timur (negara boneka Belanda).
Namun di Negara Sumatra Timur jumlah Republiken dan jumlah pendukung federalis cukup
berimbang. Dalam hitungan bulan setelah berdirinya RIS, mulai ada kasak-kusuk
antara Jogjakarta (Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim) dengan dua tokoh
Republiken di Medan yaitu Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. GB Joshua Batubara.
Bulan April para
Republiken di Medan melakukan kongres di Medan yang disebut Kongres Rakyat.
Hasil kongres ini mengusulkan ke pusat agar di Negara Sumatra Timur diadakan Referendum.
Isi Referendum adalah Bubarkan Negara Sumatra Timur dan Bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Djakarta molohok. Yang paling kaget adalah Perdana
Menteri RIS Mohamad Hatta, tetapi tidak demikian dengan Presiden Soekarno.
Boleh jadi karena Ir. Soekarno belum lama dari Medan dari tempat pengasingan di
Parapat, diasingkan sejak Agresi Militer II di Djogjakarta Desember 1948.
Utusan kelompok
federalis datang ke pusat menemui Perdana Menteri Mohamad Hatta untuk
menghalang-halangi desakan referendum. Beberapa kali Mohamad Hatta berkilah dan
mengulur-ulur waktu untuk referendum tetapi desakan para Republiken untuk
referendum semakin menguat. Akhirnya Djakarta (ibukota RIS) tak berdaya dan
menyetujui referendum. Tentu saja Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta Abdul
Hakim Harahap tersenyum. Dalam referendum, Republiken menang sebagai
konsekuensinya Negara Sumatra Timur dibubarkan dan bentuk yang berlaku di
Sumatra Timur adalah Negara Kesatuan (RI).
Situasi terbaru yang
terjadi di Sumatra Timur membuat daerah lain terbangun. Kondisi terbaru di
Sumatra Timur menjadi rujukan wilayah-wilayah federal lainnya untuk kembali ke
negara kesatuan. Pusat (Pemerintahan RIS di Djakarta) kewalahan dan lalu muncul
desakan dari berbagai kalangan terutama dari KNIP/parlemen untuk kembali ke
negara kesatuan. Lalu pemerintah memutuskan RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI
sebelum tanggal 17 Agustus 1950. Kabinet Mohamad Hatta lalu dibubarkan dan
Presiden Soekarno menunjuk Mohamad Natsir untuk menyusun kabinet baru.
Sebagaimana halnya Abdul
Hakim Harahap, Mohamad Natsir juga adalah pemimpin Masjumi. Inilah kemenangan
Masjumi yang ingin 100 persen RI (NKRI). Presiden Soekarno tentu saja lebih
menyukai NKRI daripada federalis (RIS). Pemikiran ini sudah muncul ketika
Soekarno setelah selesai dipilih dan disumpah sebagap Presiden RIS di
Djogjakarta pidato (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 19-12-1949). Satu kalimat penting yang terdapat dalam pidato
Sukarno ini adalah: ‘...Kemarin saya dipilih oleh dewan perwakilan Republik
Indonesia dan negara-negara federal di RIS. Akan lebih baik jika pemilihan yang
lebih langsung dapat diselenggarakan oleh rakyat, yang dipilih langsung oleh
rakyat... Selama lebih dari tiga puluh tahun
saya telah berbagi perasaan nasional rakyat kita. Saya adalah pelayan rakyat,
bukan tuan mereka. Itulah sebabnya saya berjanji untuk melayani rakyat dan
negara saya... saya mengatakan bahwa semua harus
dinamis. Semuanya (harus) mengalir, tidak ada yang tetap, Itulah mengapa RIS
bukan tujuan akhir kita. Semoga Tuhan memberkati kita dan menjadikan kita
bangsa yang hebat....’.
Bagian kalimat terakhir
Sukarno inilah yang diduga diterjemahkan secara eksplisit oleh para tokoh Republiken
di Sumatra Timur (Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. GB Joshua Batubara) yang tentu
saja didukung Jogjakarta (Wakil Perdana Menteri RI Abdul Hakim Harahap).
Sebagai catatan, Dr. Djabangoen Harahap, Mr. GB Joshua Batubara dan Abdul Hakim
Harahap sudah saling kenal lama. Pada tahun 1930 Dr. Djabangoen Harahap kepala
divisi penyakit kusta di rumah sakit di Medan dan Abdul Hakim Harahap kepala
cabang bea dan cukai Medan yang juga
anggota dewan kota Medan mendirikan klub sepakbola Sahata yang juga keduanya
sekaligus pemain. Pada tahun 1936 kepala sekolah Joshua Institute Mr GB Joshua
Batubara menjadi anggota dewan kota ketua klub Sahata didelegasikan Abdul Hakim
Harahap kepada GB Joshua Batubara sehubungan dengan dipindahkannya Abdul Hakim
Harahap tahun 1937 menjadi pejabat ekonomi di West Java di Bandoeng. Ketiganya
berasal dari Padang Sidempoean.
Nama Abdul Hakim Harahap
tidak terdapat dalam Kabinet Natsir, karena Abdul Hakim Harahap dipersiapkan
untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara. Kementerian Dalam Negeri masih bekerja di
Sumatra Timur dan Tapanoeli untuk proses integrasi menjadi Provinsi Sumatra
Utara. Meski demikian, urusan pembangunan Masjid Syuhada di Jogjakarta tetap
berjalan lancar karena sudah beberapa bulan sebelumnya dibentuk kepanitiaan
yang dipimpin oleh Wali Kota Jogjakarta, Mr. Soedarisman. Abdul Hakim Harahap
sendiri masih berada di Jogjakarta.
Pada tanggal 21 September 1950 ada
empat menteri (terakhir) yang dilantik di Djakarta, termasuk Menteri Dalam
Negeri Mr. Assat (mantan Presiden RI di Jogjakarta). Setelah dilantik,
kunjungan pertama ke daerah yang dilakukan Mr. Assat adalah Jogjakarta. Besar
dugaan Mr. Assat ke Jogjakarta karena semata-mata alasan peletakan batu pertama
pembangunan Masjid Syuhada. Boleh jadi karena rekan-rekannya sesama Republiken,
masih banyak yang berada di Jogjakarta seperti Abdul Hakim Harahap (pemimpin
Masjumi). Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat (Partai Sosialis Indonesia) didampingi oleh Menteri
Keuangan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (pemimpin Masjuimi).
Sementara persiapan
pembangunan Masjid Agoeng di Bandoeng masih digodok, pada tanggal 25 September di
Jogjakarta diadakan peletakan batu pertama untuk pembangunan Masjid Sjuhada. Acara
peletakan batu pertama ini dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat dan
Menteri Keuangan Mr. Syafroeddin Prawiranegara yang didampingi oleh Wali Kota
Jogjakarta Mr. Soedarisman. Selain itu acara ini juga dihadiri oleh perwakilan
dari berbagai kantor pemerintah dan organisasi. Mr. Assat melakukan peletakan
batu pertama. Dalam acara ini surat/pesan Presiden Ir. Soekarno dibacakan oleh Kepalda Daerah Jogjakarta, Pakoe Alam.
Sultan Hamengkoeboewono tentu
saja tidak bisa hadir dalam acara ini. Boleh jadi karena kesibukan di Djakarta.
Sebagaimana diketahui Sultan Hamengkoeboewono adalah Wakil Perdana Menteri dan
juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Ketidakhadiran Sultan
Hamengkoeboewono tampaknya sudah cukup terwakili oleh Pakoe Alam sebagai tokoh
masyarakat Jogjakarta. Sultan Hamengkoeboewono yang juga bertindak sebagai
Koordinator Pertahanan (kini semacam Menko) dan Abdul Haris Nasution, Kepala
Staf Angkatan Perang RI sedang
membicarakan persiapan pemindahan Kementerian Pertahanan dari Djakarta ke
Bandoeng. Dua pejabat ini sangat super sibuk sehubungan dengan dievakuasinya
semua militer Belanda yang berada di seluruh Indonesia termasuk kaburnya
Westerling dan persoalan Daroel Islam di Preangarer. Pada berikutnya Wakil
Perdana Menteri Sultan Hamengkoe Boewono ke Bali terkait dengan adanya
kerusuhan sebelumnya.
Dengan demikian sah
Masjid Syuhada mulai dibangun. Batu pertama pembangunan sudah diletakkan. Itu
terjadi tidak lama setelah euforia NKRI. Proklamasi NKRI pada tanggal 17
Agustus 1950 menandai semua orang Belanda harus kembali ke Belanda. Perjuangan
para Republiken selesai sudah. Pembangunan Masjid Syuhada adalah tonggak
penghormatan kepada para pejuang yang gugur (syuhada) di medan perang selama
perang kemerdekaan (1945-1949). Itulah riwayat awal pembangunan Masjid Syuhada
di Jogjakarta.
Pada tanggal 28-09-1951 ketika
Presiden Soekarno diundang UGM untuk menerima gelar doktor honoris causa di
Jogjakarta menyempatkan diri (di luar protokoler) melihat pembangunan Masjid
Syuhada. Uniknya ketika Soekarno melihat berkeliling seputar pembangunan
masjid, para pekerja tidak mengetahui bahwa yang berada di dekat mereka adalah
Presiden RI.
Pada tanggal 14-09-1952 di Djakarta,
Pakistan melalui kuasa usaha (semacam dubes) menyumbangkan 24 karpet untuk Masjid
Sjuhada di Jogjakarta dalam suatu upacara singkat di Kementerian Luar Negeri.
Dalam upacara ini disebutkan Masjid Syuhada di Jogjakarta akan dibuka (diresmikan)
pada tanggal 20 September yang mana disebutkan Presiden Sukarno akan hadir.
Tentu saja dalam
peresmian ini Sultan Hameng Koeboewono tidak bisa hadir di Jogjakarta. Hal ini
karena di Djakarta Sultan Hameng Koeboewono (Menteri Pertahanan) tengah menghadapi
kritik yang dilancarkan Kolonel Bambang Soepeno terhadap kebijakan Kementerian
Pertahanan yang dipimpin oleh Sultan Hameng Koeboewono. Kolonel Bambang Soepeno
mengirim surat ke parlemen yang diterima oleh Wakil Ketua Parlemen Mr. Tamboenan.
Kisruh ini berujung dengan demontrasi yang dipimpin KASAD Abdul Haris Nasution ke
istana tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan. Akibat demonstrasi ini
KASAD Abdul Haris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang (suksesi Jenderal
Sudirman) TB Simatoepan dirumahkan. Setelah merumahkan para jenderal tersebut
tidak lama kemudian Menteri Pertahanan Sultan Hameng Koeboewono mengundurkan
diri.
Pada saat kembali Partai
Masjumi ke pemerintahan, pada Kabinet Burhanuddin Harahap (1955), Abdul Hakim
Harahap, Gubernur Sumatra Utara dan Wakil Perdana Menteri RI terakhir di
Jogjakarta diangkat menjadi Menteri Negara (urusan pertahanan). Abdul Hakim
Harahap memanggil pimpinan dua kubu militer yang terus berseteru: kubu yang
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan kubu yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli
Lubis. Kesapakatan yang dibuat Abdul Hakim Harahap adalah memutuskan Mayor
Jenderal Abdul Haris Nasution kembali sebagai KASAD. Presiden Soekarno sedikit
bingung menuver yang dibuat Abdul Hakim Harahap, tetapi Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap menjamin situasi akan kondusif. Mantan Menteri Pertahanan,
Letnan Jenderal Sultan Hameng Koeboewono mulai tersenyum. Terbukti antara
Soekarno dan Abdul Haris Nasution tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata
uang. Hanya perisitiwa G 30 S/PKI 1965 yang memisahkan keduanya. Itulah riwayat
para pejuang-pejuang Republiken dari Jogjakarta.
Pembangunan Masjid
Syuhada adalah akhir keberadaan orang Eropa/Belanda dan akhir dari penjajahan.
Sebaliknya pembangunan Masjid Kaoeman dilakukan ketika VOC/Belanda orang-orang
Eropa/Belanda merangsek dari Soeracarta ke Djocjocarta, suatu fase yang mana
VOC/Belanda mulai membangun pemerintahan (koloni) di Djocjocarta. Saat itu
wilayah Soeracarta dan Djocjocarta di bawah satu pemerintahan yang dipimpin
oleh seorang Residen yang berkedudukan di Soeracarta (Solo). Untuk sekadar
catatan: Kraton Cartasoera dan benteng VOC/Belanda dipindahkan tahun 1745 ke
tempat yang baru yang kemudian dikenal sebagai Soeracarta (Solo).
Kota Djocjocarta (1771) |
Seiring dengan
pembangunan Kraton Jogjakarta dan perkembangan para pedagang-pedagang dari
Semarang terutama Arab dan Tionghoa juga mulai menyebar ke lingkungan Kraton
Jogjakarta. Basis perdagangan mereka di pedalaman selama ini berada di
Cartosoera/Soeracarta dan ibukota Mataram lama (Kota Gede). Sultan Jocjocarta
menempatkan pemukimanan para pedagang ini di luar pagar (lihat Lukisan 1771).
Pedagang-pedagang Arab di sisi pagar sebelah barat dan para pedagang Tionghoa
di sisi timur pagar. Area pemukiman Arab ini kemudian berkembang dan disebut
(perkampongan) Kaoeman; area pemukiman Tionghoa ini juga bekembang dan disebut
kampong Tjina.
Peta Fort Vredeburg 1893 |
Tidak diketahui kapan loji ini
dibangun. Yang jelas dibangun setelah pembangunan Kraton Jogjakarta dan setelah
terdapatnya pemukiman Tionghoa dan pemukiman Arab. Sebab pada dasarnya
pedagang-pedagang Arab dan Tionghoa adalah juga agen (pedagang) bagi pedagang
VOC/Belanda di loji (benteng). Lokasi dimana loji ini dibangun tepat berada di
sisi timur jalan ke utara dari pintu gerbang kraton. Logi ini kelak di era
Pemerintahan Hindia Belanda (pasca perang Pengeran Diponegoro) direnovasi
sehingga bentuknya menjadi seperti yang tampak sekarang.
Peta Aloon-aloon kraton dan masjid (1833) |
Setelah pagar kraton dimundurkan dan
terbentuk aloon-aloon, perkampongan Tionghoa tampak berada terpencil di sudut
aloon-aloon arah timur utara. Batas antara perkampongan Tionghoa dan loji yang
dibangun oleh VOC/Belanda terbentuk jalan (sebagai pemisah). Jalan ini kemudian
menjadi jalan besar yang memotong jalan utama dari arah kraton ke Toegoe.
Persimpangan jalan ini menjadi interchange baru. Lokasi logi menjadi berada di
hook persimpangan jalan yang terbentuk tersebut.
Pada era permulaan Pemerintah Hindia
Belanda (setelah VOC dibubarkan) pada tahun 1800an awal, arus pendatang
pedagang-pedagang Tionghoa semakin tinggi. Pada era pendudukan Inggris
(1812-1816) perkampongan Tionghoa muncul di utara loji di dua sisi jalan
Kraton-Toegoe. Lalu pada era Pemerintahan Hindia Belanda (kembali setelah tahun
1816) Residen Docjocarta yang sebelumnya berada di Boeloe (dekat Toegoe ke arah
Magelang) dipindahkan ke depan loji/benteng. Pembangunan kantor Residen dimulai
dan renovasi besar-besaran terhadap loji dilakukan. Pada saat ini sudah mulai
mengkristal pedagang di dalam satu lokasi yang berdekatan dengan loji. Lokasi
pusat transaksi di luar loji ini secara perlahan terbentuk pasar (pasar yang
kelak dikenal sebagai Pasar Beringharjo). Semakin populernya pasar baru ini, Pasar
Gede (kini Kota Gede) semakin meredup.
Pada era perang Perang Diponegoro
(1825-1830) para pedagang Arab dan para pedagang Tionghoa mengungsi ke Soeracarta
dan Semarang. Setelah usai perang, dan situasi dan kondisi kondusif, para
pedagang Arab dan Tionghoa kembali lagi bermukim di perkampongan masing-masing.
Jumlah pendatang pedagangan Arab dan Tionghoa ini semakin banyak. Demikian juga
para investor Eropa/Belanda juga mulai berdatangan. Perkampongan Tionghoa yang
berada di sudut aloon-aloon kemudian direlokasi ke perkampongan Tionghoa di
dekat pasar. Eks perkampoengan Tionghoa yang dekat dengan aloon-aloon menjadi
pemukiman baru untuk orang Eropa/Belanda. Pemukiman orang-orang Eropa/Belanda
juga meluas ke belakang benteng (Fort Vredeburg) yang berdampingan dengan
barak-barak militer. Fort Vredeburg lambat laun hanya difungsikan sebagai
pertahanan (titik kumpul jika terjadi perang). Perkantoran pemeritah berkembang
di depan benteng atau sekitar Kantor Residen yang berpusat pada simpang empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar