Senin, 11 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (21): Malioboro di Mataram dan Pakuan di Padjadjaran; Fort di Buitenzorg, Fort Vredeburg di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Menulis sejarah itu ibarat menusuk benang basah ke lobang jarum. Itu semua bermula karena data-data sejarah kita sudah lampau dan sudah lama pula terendam dalam air. Membangkitkan data sejarah ke permukaan dari dalam air lebih sulit dari dalam tanah. Oleh karena menemukan jalan buntu, dan adakalanya kita bosan dengan sejarah yang bersifat ilmiah maka terbuka peluang bagi kita untuk membebaskan diri dan mencoba pengalaman baru dengan sejarah yang bersifat non ilmiah. Kalau kita tidak menemukan, paling tidak kita dapat terhibur. Situasi ini dapat disajikan dalam bentuk pantun (puisi) sejarah atau roman (novel) sejarah. Tetapi jelas itu tidak memiliki nilai sejarah.

Analisis sejarah tidak sepenuhnya bersifat vertikal (indepth). Analisis sejarah juga tidak sepenuhnya bersifat horizontal (comparative). Analisis sejarah haruslah dikombinasikan antara yang bersifat vertikal dengan yang bersifat horizontal.

Dalam dunia ilmiah, hal yang sangat kompleks dapat disederhanakan dalam dua dimensi saja yang secara diagramatik menghubungkan nilai-nilai pada sumbu vertikal dengan nilai-nilai pada sumbu horizontal. Dalam bahasa matematis y=f(t) yang mana t adalah waktu dan y adalah nilai kejadian. Serial waktu dari nilai kejadian ini yang kerap disebut sejarah (time-series). Jika pada waktu yang sama nilai kejadian diperbandingkan maka fungsiya menjadi t=f(y1, y2, y3,..yn). Pendekatan spasial ini dapat disebut sebagai sejarah (comparative). Jika dianalis pada waktu yang berbeda-beda akan didapatkan sebuah panel sejarah yang komprehensif (bersifat kontekstual). Pendekatan panel ini akan menunjukkan nilai kejadian pada waktu yang berbeda relatif dari satu tempat ke tempat lain. Dengan kata lain, sejarah itu sejatinya dipahami tidak hanya secara absolut (vertikal) dan juga tidak hanya secara relatif (horizontal), tetapi secara konstekstual (ruang dan waktu).

Sebagai contoh dalam hal ini tugu yang diperlihatkan dalam gambar: Tugu tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di Butenzorg; demikian juga tugu tidak hanya di Bogor tetapi juga di Jogjakarta. Hasil analisis panel serupa ini menjadi lebih luas (bersifat relatif). Kenyataannya, analisis sejarah cenderung bersifat absolut (lebih sempit). Hal ini yang cenderung mengundang perdebatan. Kejadian-kejadian alam bersifat relatif, apalagi kejadian-kejadian sosial.

Dalam penulisan sejarah, karena data yang digunakan cenderung data lampau, maka dalam penulisan sejarah, kita akan berhadapan dengan ketidakpastian. Hal ini karena data hilang atau memang tidak terdata. Pendekatan deduktif dalam analisis sejarah adakalanya menemukan jalan buntu. Oleh karena itu, pendekatan yang paling mudah digunakan dalam penulisan sejarah adalah dengan cara induktif. Dalam bahasa sekarang, analisis sejarah, azas yang berlaku adalah ‘data membentuk judul’, bukan ‘judul mencari data’. Pendekatan deduktif dalam penulisan sejarah cenderung mengundang spekulasi bahkan godaan untuk mengarang. Jelas menulis sejarah bukanlah mengarang. Namun teknik mengarang sering diterapkan dalam penulisan sejarah. Hasil penulisan sejarah serupa ini tidak jarang dijadikan sebagai rujukan dalam berperilaku. Padahal sejarah yang dirujuk tidak kredibel (salah).

Pantun sejarah atau roman (novel) sejarah adalah cara masyarakat untuk mengungkapkan sejarah, Namun cara itu bukan metode ilmiah. Namun lucunya, dalam penulisan sejarah banyak yang menggunakan sumber-sumber semacam ini seperti mitologi dan legenda. Data-data sumber ini tidak dapat diverifikasi karena tidak berhasil menunjukkan angka tahun, bulan atau hari. Padahal analisis sejarah memerlukan presisi yang tinggi soal waktu (date) yakni waktu yang berbeda untuk memperbandingkan suatu hal (kejadian sejarah). Demikian juga halnya muncul persoalan dalam sumber narasumber. Jurnalistik saja menganut azas cover both side, apalagi analisis sejarah.

Puisi sejarah
Dulu tidak ada nama Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada di Kota Bandung dan tidak ada nama Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Kota Jogjakarta adalah salah satu bentuk nyata dalam berperilaku yang bersumber dari analisis sejarah. Padahal sumber sejarah itu sendiri sangat lemah karena data tidak bisa diverifikasi dan data diperlakukan sebagai analisis sejarah absolut. Oleh karenanya, adanya upaya menabalkan nama-nama jalan itu di masing-masing kota pada masa ini mengindikasikan bahwa analisis (produk) sejarah bersifat relatif, bukan absolut. Artinya relatif analisisnya dan relatif penerapannya.

Sebelum melakukan analisis sejarah lebih lanjut dan untuk menghilangkan kebuntuan ada baiknya kita berpantun sejarah lebih dahulu (lihat teks). Berpantun sejarah akan mencairkan kebekuan. Kebekuan bukan tujuan analisis sejarah. Analisis sejarah untuk mencerdaskan bangsa.

Dalam sejarah kota-kota di Indonesia, pendekatan yang digunakan dalam analisis sejarah kota yang bersangkutan cenderung bersifat absolut (vertikal). Tidak ada kota yang melakukan pendekatan relatif (horizontal). Maka, setiap kota merasa unggul dibanding sejarah kota lain. Hal yang paling konyol data yang digunakan tercampur dengan sumber-sumber yang berasal dari pantun dan roman sejarah. Akibatnya, sebagai contoh, oleh karena tidak ada satu metodologi yang seragam untuk menentukan hari lahir kota, maka ada kota yang terlalu tua dan ada kota yang terlalu muda. Itulah roman sejarah kota-kota di Indonesia yang lebih mengedepankan hanya unsur romantisnya saja.    

Mataram di Malioboro dan Padjadjaran di Pakuan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Fort Padjadjaran di Buitenzorg, Fort Vredeburg di Jogjakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar