*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Menulis sejarah itu ibarat menusuk benang basah ke lobang jarum. Itu semua bermula karena data-data sejarah kita sudah lampau dan sudah lama pula terendam dalam air. Membangkitkan data sejarah ke permukaan dari dalam air lebih sulit dari dalam tanah. Oleh karena menemukan jalan buntu, dan adakalanya kita bosan dengan sejarah yang bersifat ilmiah maka terbuka peluang bagi kita untuk membebaskan diri dan mencoba pengalaman baru dengan sejarah yang bersifat non ilmiah. Kalau kita tidak menemukan, paling tidak kita dapat terhibur. Situasi ini dapat disajikan dalam bentuk pantun (puisi) sejarah atau roman (novel) sejarah. Tetapi jelas itu tidak memiliki nilai sejarah.
Menulis sejarah itu ibarat menusuk benang basah ke lobang jarum. Itu semua bermula karena data-data sejarah kita sudah lampau dan sudah lama pula terendam dalam air. Membangkitkan data sejarah ke permukaan dari dalam air lebih sulit dari dalam tanah. Oleh karena menemukan jalan buntu, dan adakalanya kita bosan dengan sejarah yang bersifat ilmiah maka terbuka peluang bagi kita untuk membebaskan diri dan mencoba pengalaman baru dengan sejarah yang bersifat non ilmiah. Kalau kita tidak menemukan, paling tidak kita dapat terhibur. Situasi ini dapat disajikan dalam bentuk pantun (puisi) sejarah atau roman (novel) sejarah. Tetapi jelas itu tidak memiliki nilai sejarah.
Analisis sejarah tidak sepenuhnya
bersifat vertikal (indepth). Analisis sejarah juga tidak sepenuhnya bersifat
horizontal (comparative). Analisis sejarah haruslah dikombinasikan antara yang
bersifat vertikal dengan yang bersifat horizontal.
Dalam dunia ilmiah, hal
yang sangat kompleks dapat disederhanakan dalam dua dimensi saja yang secara
diagramatik menghubungkan nilai-nilai pada sumbu vertikal dengan nilai-nilai
pada sumbu horizontal. Dalam bahasa matematis y=f(t) yang mana t adalah waktu
dan y adalah nilai kejadian. Serial waktu dari nilai kejadian ini yang kerap
disebut sejarah (time-series). Jika pada waktu yang sama nilai kejadian
diperbandingkan maka fungsiya menjadi t=f(y1, y2, y3,..yn). Pendekatan spasial
ini dapat disebut sebagai sejarah (comparative). Jika dianalis pada waktu yang
berbeda-beda akan didapatkan sebuah panel sejarah yang komprehensif (bersifat
kontekstual). Pendekatan panel ini akan menunjukkan nilai kejadian pada waktu yang
berbeda relatif dari satu tempat ke tempat lain. Dengan kata lain, sejarah itu sejatinya
dipahami tidak hanya secara absolut (vertikal) dan juga tidak hanya secara
relatif (horizontal), tetapi secara konstekstual (ruang dan waktu).
Sebagai contoh dalam hal ini tugu
yang diperlihatkan dalam gambar: Tugu tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di
Butenzorg; demikian juga tugu tidak hanya di Bogor tetapi juga di Jogjakarta.
Hasil analisis panel serupa ini menjadi lebih luas (bersifat relatif). Kenyataannya,
analisis sejarah cenderung bersifat absolut (lebih sempit). Hal ini yang
cenderung mengundang perdebatan. Kejadian-kejadian alam bersifat relatif,
apalagi kejadian-kejadian sosial.
Dalam penulisan sejarah,
karena data yang digunakan cenderung data lampau, maka dalam penulisan sejarah,
kita akan berhadapan dengan ketidakpastian. Hal ini karena data hilang atau memang
tidak terdata. Pendekatan deduktif dalam analisis sejarah adakalanya menemukan
jalan buntu. Oleh karena itu, pendekatan yang paling mudah digunakan dalam
penulisan sejarah adalah dengan cara induktif. Dalam bahasa sekarang, analisis
sejarah, azas yang berlaku adalah ‘data membentuk judul’, bukan ‘judul mencari
data’. Pendekatan deduktif dalam penulisan sejarah cenderung mengundang
spekulasi bahkan godaan untuk mengarang. Jelas menulis sejarah bukanlah
mengarang. Namun teknik mengarang sering diterapkan dalam penulisan sejarah.
Hasil penulisan sejarah serupa ini tidak jarang dijadikan sebagai rujukan dalam
berperilaku. Padahal sejarah yang dirujuk tidak kredibel (salah).
Pantun sejarah atau
roman (novel) sejarah adalah cara masyarakat untuk mengungkapkan sejarah, Namun
cara itu bukan metode ilmiah. Namun lucunya, dalam penulisan sejarah banyak
yang menggunakan sumber-sumber semacam ini seperti mitologi dan legenda. Data-data
sumber ini tidak dapat diverifikasi karena tidak berhasil menunjukkan angka
tahun, bulan atau hari. Padahal analisis sejarah memerlukan presisi yang tinggi
soal waktu (date) yakni waktu yang berbeda untuk memperbandingkan suatu hal
(kejadian sejarah). Demikian juga halnya muncul persoalan dalam sumber
narasumber. Jurnalistik saja menganut azas cover both side, apalagi analisis
sejarah.
Puisi sejarah |
Sebelum melakukan analisis sejarah lebih
lanjut dan untuk menghilangkan kebuntuan ada baiknya kita berpantun sejarah
lebih dahulu (lihat teks). Berpantun sejarah akan mencairkan kebekuan. Kebekuan
bukan tujuan analisis sejarah. Analisis sejarah untuk mencerdaskan bangsa.
Dalam sejarah kota-kota
di Indonesia, pendekatan yang digunakan dalam analisis sejarah kota yang
bersangkutan cenderung bersifat absolut (vertikal). Tidak ada kota yang
melakukan pendekatan relatif (horizontal). Maka, setiap kota merasa unggul
dibanding sejarah kota lain. Hal yang paling konyol data yang digunakan tercampur
dengan sumber-sumber yang berasal dari pantun dan roman sejarah. Akibatnya, sebagai
contoh, oleh karena tidak ada satu metodologi yang seragam untuk menentukan
hari lahir kota, maka ada kota yang terlalu tua dan ada kota yang terlalu muda.
Itulah roman sejarah kota-kota di Indonesia yang lebih mengedepankan hanya unsur romantisnya
saja.
Mataram di Malioboro dan Padjadjaran di Pakuan
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Fort Padjadjaran di Buitenzorg, Fort
Vredeburg di Jogjakarta
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar