*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Kadipaten Pakualaman, kini lebih dikenal sebagai Kecamatan Pakualaman di Kota Jogjakarta. Namun di masa lampau, kecamatan ini adalah sebuah kerajaan yang persis benar-benar berada di tengah-tengah wilayah Kesultanan Jogjakarta. Di Hindia (baca: Indonesia) ‘kerajaan di dalam kerajaan’ itu tidak lazim. Tetapi, faktanya di wilayah Jogjakarta benar adanya.
Kadipaten Pakualaman, kini lebih dikenal sebagai Kecamatan Pakualaman di Kota Jogjakarta. Namun di masa lampau, kecamatan ini adalah sebuah kerajaan yang persis benar-benar berada di tengah-tengah wilayah Kesultanan Jogjakarta. Di Hindia (baca: Indonesia) ‘kerajaan di dalam kerajaan’ itu tidak lazim. Tetapi, faktanya di wilayah Jogjakarta benar adanya.
Pakoe Alaman (Peta 1903) |
Wilayah Pakualaman tidak
hanya Kadipaten Pakualaman di Kota Jogjakarta tetapi juga wilayah Adikarto yang
berada di wilayah pantai selatan Jawa. Namun yang tetap menarik untuk diketahui
adalah bagaimana Kadipaten Pakualaman melepaskan diri dari Jogjakarta dan
bagaimana peran Colonel Gillespie, Komandan Inggris dalam hal ini. Mari kita
telusuri.
Colonel Gillespie vs Daendels: Proklamasi, 31 Januari
1812
Setelah terjadi
penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Inggris (India
Timur), Letnan Gubernur Raffles mulai menjalankan pemerintahan yang ditandai
suatu proklamasi yang dilakukan di Molenviel, Batavia pada tangga 21 Januari
1812 (lihat Java government gazette, 29-02-1812). Dalam proklamasi ini Dewan
Kehakiman dan Polisi disahkan. Proklamasi ini menggunakan dua bahasa, Inggris
dan Belanda. Tiga tokoh utama yang hadir dalam proklamasi ini adalah Lieutenant
Governor, Mr. Muntinghe (ketua dewan) dan Colonel Gillespie. Proklamasi ini
dihadiri oleh banyak penduduk pribumi.
Java government gazette, 29-02-1812 |
Java government gazette adalah surat
kabar berbahasa Inggris yang telah menggantikan surat kabar berbahasa Belanda
sebelumnya. Edisi pertama surat kabar Java government gazette adalah tanggal 29-02-1812
yang di dalamnya diberitakan proklamasi pemerintahan Inggris di Hindia dimulai.
Surat kabar ini adalah satu-satunya dan terbit dua kali sepekan. Surat kabar
inilah yang memberitakan hari demi hari tentang persitiwa yang terjadi yang
kini menjadi sumber sejarah Indonesia selama pendudukan Inggris.
Sebelum semuanya datang,
Colonel Gillespie adalah pemimpin tertinggi di Batavia. Colonel Robert Rollo
Gillespie adalah pemimpin perang saat penaklukan Belanda di Batavia yang
berpusat di Meester Cornelis (Java government gazette, 28-03-1812). Saat itu
Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda adalah Daendels. Di kalangan
orang-orang Eropa/Inggris, Colonel Gillespie disebut sebagai Pahlawan Meester
Cornelis. Pada saat ini boleh dikatakan Colonel Gillespie adalah panglima
tertinggi di Jawa.
Robert Rollo Gillespie sejatinya sudah
dinaikkan pangkatnya dari Colonel menjadi Majoor Generaal sejak tanggal 1
Januari 1812. Ini sesuai keputusan dari kantor War Office tanggal 31 Desember
1911. Dalam keputusan sebanyak 23 Lieutenant Generaal menjadi Generaal; 16 Majoor
Generaal menjadi Lieutenant Generaal; 30 Colonel menjadi Majoor Generaal,
termasuk Robert Rollo Gillespie; 36 Lieutenant Colonel menjadi Colonel; 82 Majoor
menjadi Lieutenant Colonel; dan 30 Captain menjadi Majoor (lihat Java
government gazette, 22-08-1812).
Setelah proklamasi (pemerintahan
pendudukan Inggris) militer Inggris yang (masih) terfokus di Jawa, langkah
pertama yang dilakukan oleh Colonel Gillespie adalah membereskan batu sandungan
(kraton) Djocjocarta. Sebab, wilayah-wilayah lain di Jawa di luar Docjpcarta
relatif tidak ada penentangan, bahkan terkesan dari seluruh wilayah mendukung
Inggris (yang dianggap relatif lebih adil jika dibandingkan VOC/Pemerintah Hindia
Belanda), kecuali (kraton) Djocjocarta yang tidak senang dengan kehadiran
Inggris. Sejarah Soeltan Agong seakan kembali di era pendudukan Inggris. Sultan
Hamengkoeboewono II terinspirasi dari kakek buyutnya Soeltan Agoeng yang dulu
berani melawan VOC/Belanda.
Colonel Gillespie
langsung memimpin ekspedisi ke Palembang (lihat Java government gazette, 18-04-1812).
Disebutkan pasukan di bawah Colonel Gillespie sangat bersemangat dalam
perjalanan menuju ke Palembang ini. ‘Selama minggu terakhir kinerja yang
sangat memuaskan telah diterima tentang kemajuan expediton yang belakangan berlayar
dari Batavia, di bawah Colonel Gillespie. Pasukan dengan semangat tinggi dan
diharapkan untuk mencapai tujuan mereka’.
Salah satu wujud kemeriahan
terbentuknya pemerintahan di Jawa, pada tanggal 4 Juni diadakan pesta
peringatan ulang tahun Raja ke-74 di Batavia (Java government gazette, 06-06-1812).
Perayaan ini diadakan di lapangan Goenoeng Sahari. Pasukan Weltevreden di bawah
komando Colonel Eales melakukan parade militer. Perayaan ini dipimpin oleh
Muntinghe dan Gillespie yang dihadiri sekitar 300 orang. Muntinghe membacakan
semacam pujian untuk raja dan kerajaan dan lalu kemudian diikuti Robert Rollo
Gillespie memberi ucapan selamat satu per satu kepada: 1. Radja,..5. Lord
Wellington, 6. Lord Minto. 7. Sir George Nugent, 8. Colonel Gillespie, 9. Sir
Samuel Auchmuty, 10. Mr. Raffles, 11. Mr. Muntinghe. Dari daftar urutan ini
mengindikasikan bahwa Colonel Gillespie memiliki kedudukan yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan Mr. Raffles dan Mr. Muntinghe.
Lieutenant Governor pada
tranggal 6 Juni 1812 mengirim surat dari Gouvernment House di Semarang kepada
Colonel Gillespie untuk ucapan terimakasih berkat sukses yang telah diraih di
Palembang (Java government gazette, 13-06-1812). Surat ini ucapan terimakasih
ini dikirimkan setelah Lieutenant Governor Raffles membaca laporan Colonel Gillespie.
Lieutenant Governor Raffles berkedudukan di Semarang diduga terkait dengan
negosiasi pemerintah (Inggris) dengan (kraton) Sultan Djocjocarta.
Colonel Gillespie dan pasukan
berangkat ke Palembang setelah mendapat laporan bahwa Residen Palembang (orang
Belanda) dan beberapa orang Eropa telah dibunuh oleh Pangeran Ratoe di Palembang.
Sultan Palembang tidak kuasa menahan anaknya Pangeran Ratoe melakukan
pembantaian terhadap otoritas Belanda di Palembang. Colonel Gillespie berhasil
mengendalikan situasi. Catatan: Pangeran Ratoe kelak dikenal sebagai Soeltan
Mahmoed Badaroeddin II (lihat serial artikel sejarah Kota Palembang dalam blog
ini).
Colonel Gillespie
kembali ke medan perang sehubungan dengan semakin meningkatnya eskalasi politik
anatar Inggris dan (kraton) Sultan Djocjocarta. Colonel Gillespie berhasil
menaklukkan kraton Djocjocarta pada tanggal 20 Juni 1812. Kembali Lieutenant
Governor Raffles dari Semarang mengirim surat ucapan terimakasih kepada Colonel
Gillespie dan pasukannya (lihat Java government gazette, 04-07-1812). Dalam
surat bertanggal 28 Juni 1812 tersebut pujian kepada Colonel Gillespie. Surat
ini merupakan respon terhadap laporan yang dibuat oleh Colonel Gillespie.
Java government gazette, 04-07-1812 |
Pasca proklamasi pemerintahan
Inggris di Batavia tanggal 21 Januari 1812, Lieutenan Governor Raffles mengangkat
residen untuk 16 residentie yang ditetapkan. Residen untuk Residentie
Djocjocarta adalah Crawford. Langkah pertama yang dilakukan oleh Residen atau
Controleur (sebagaimana halnya pada era Belanda) adalah melakukan kontak
kerjasama (diplomasi) dengan pemimpin lokal yang dalam hal ini Sultan
Djocjocarta (Sultan Hamengkoeboewona II). Namun dalam diplomasi ini terjadi
buntu. Residen dan stafnya mulai menyusun strategi yang dituangkan dalam
proklamasi yang disampaikan kepada Sultan (pada tanggal 18 Juni 1812). Sultan
menolak. Tentu saja Sultan menolak. Pemerintahan pendudukan Inggris merasa
memiliki legitimasi setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda. Sebab selama ini
Belanda menganggap Kesultanan Djocjocarta berada di bawah kekuasaannya. Klaim
inilah yang dimajukan Inggris ke Sultan. Sebaliknya Sultan merasa memiliki
otoritas dan kekuasaan terhadap kerajaannya. Setelah penolakan proklamasi yang
disodorkang Inggris, Sultan mulai memperkuat pertahanan kraton dan menunjukkan
perlawanan. Sikap dan tantangan dari Sultan ini diduga yang menjadi pangkal
perkara perang.
Pangeran Natakoesoema vs Sultan
Hamengkoeboewono II: Babad Pakoe Alam
Setelah Sultan
Hamengkoeboewono II ditangkap dan Pengeran Adipati naik tahta menjadi sultan
untuk menggantkan ayahnya. Pangeran Adipati diberi gelar sultan sebagai
Hamengkoeboewono III. Dalam situasi dan kondisi ini kemudian Pangeran
Natakoesoema mengambil keuntungan dengan mengajukan pembebasan dari Kraton Djocjocarta
sebagai negeri yang merdeka dengan bersedia memberikan dukungan terhadap
Inggris. Sultan baru yakni Sultan Hamengkoeboewono III tak berdaya. Kesepakatan
dengan Pangeran Natakoesoema dilihat Inggris sebagai hal yang menguntungkan.
Inilah pangkal perkara munculnya perjanjian (plakat) suatu bentuk perjanjian
yang didalamnya termasuk legalitas formil dengan mengangkat Pangeran
Natakoesoema sebagai raja (adipati) dengan penetapan wilayah tertentu dengan
gelar Pakoe Alam. Wilayah kerajaan baru ini kemudian disebut Kadipaten Pakoealaman
pada tanggal 29 Juni 1813 (setahun setelah kejatuhan Sultan Hamengkoeboewono
III).
Peta 1833 |
Babad Pakoe Alam (1812) |
Pakoe Alam II (Foto 1870) |
Satu peninggalan
(warisan) yang penting dari Pakoe Alam I (Pangeran Natakoesoema) adalah Babad
Pakoe Alam yang dibuat pada tahun 1812. Babad ini berkisah tentang banyak hal.
Babad ini dibuar pasca jatuhnya Sultan Hamengkoeboewono II dan sebelum pengangkatan
dan pelantikan Pangeran Natakoesoema sebagai Pakoe Alam I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar