*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Satu peristiwa penting pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah konferensi petinggi militer si-Indonesia di Jogjakarta. Konferensi ini menghasilkan satu keputusan penting tentang integritas TNI yang dilakukan di Gedung Negara Jogjakarta pada tanggal 25 Februari 1955. Inilah peristiwa penting yang terakhir di Jogjakarta. Hasil konferensi in kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Yogyakarta 1955.
Satu peristiwa penting pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah konferensi petinggi militer si-Indonesia di Jogjakarta. Konferensi ini menghasilkan satu keputusan penting tentang integritas TNI yang dilakukan di Gedung Negara Jogjakarta pada tanggal 25 Februari 1955. Inilah peristiwa penting yang terakhir di Jogjakarta. Hasil konferensi in kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Yogyakarta 1955.
Diadakannya konferensi ini beraawal
dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu militer menganggap parlemen terlalu
banyak campur tangan untuk urusan pemerintahan lalu melakukan demonstrasi ke
Istana yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Kolonel Abdul
Haris Nasution. Konsekuensi demonstrasi ini Abdul Haris Nasution dirumahkan.
Oleh karena Jenderal TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik
Indonesia (KASAP) mendukung demonstrasi kemudian juga ikut dirumahkan.
Belakangan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX mengundurkan diri. Untuk
mengisi posisi yang lawong, KASAD ad-Interim diangkat Kolonel Bambang Sugeng
dengan pangkat Mayor Jenderal dan sebagai WAKASAD diangkat Kolonel Zulkifli
Lubis. TNI menjadi terbelah: Faksi Nasution dan Simatupang vs Faksi Supeno dan
Lubis. Bambang Sugeng yang netral menginisiasi terwujudnya persatuan dan
kesatuan di TNI yang berujung pada konferensi di Jogjakarta 25 Februari 1955.
Lantas apakah setelah konferensi
dan fakta integritas TNI ditandatangani pada tanggal 25 Februari 1955 semuanya
berjalan normal? Ternyata tidak. Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12
Agustus 1955) tidak berhasil mengatasi kisruh di tubuh TNI. Pada era Kabinet
Burhanuddin Harahap (sejak 12 Agustus 1955) ketegangan antara dua kubu yang dipimpin
oleh Nasution dan kubu yang dipimpin oleh Lubis mulai menemukan titik terang.
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap meminta Menteri Negara (pertahanan) Abdul
Hakim Harahap untuk mendamaikan dua kubu. Perdamaian tercipta dengan kembalinya
Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi KASAD.
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
(partai PNI) pernah meminta Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin Pohan (partai
NU) untuk mendamaikan antara kubu Nasution dan kubu Lubis. Hal ini dilakukan
seteleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri gagal melakukannya. Namun anehnya
Zainul Arifin Pohan gagal mempertemukan Nasution dan Lubis, padahal ketiganya
(Pohan, Nasution dan Lubis) sejatinya berasal dari kampung yang sama di
Kotanopan (Tapanuli Selatan). Baru setelah era Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap (partai Masjumi) yang mana Menteri Negara Pertahanan Abdul Hakim
Harahap (partai Masjumi) berhasil mendudukkan Nasution dan Lubis dalam satu meja. Berhasil. Abdul
Hakim Harahap sendiri sebelumnya adalah Residen Tapanoeli (1947-1949), Wakil
Perdana Menteri RI, kabinet RI terakhir di Jogjakarta (1950) dan Gubernur
Sumatra Utara (1951-1953).
.
.
Konferensi TNI dan Piagam Jogjakarta:
25 Februari, 1955
Sebanyak 400 orang
perwira TNI di Jakarta menandatangani Piagam Integritas Tentara (Handvest van
de gaafheid van het leger). Penandatanganan piagam yang juga disebut Piagam
Jogjakarta (Djokjakarta Charter) ini dilakukan di hadapan para pejabat tinggi
negara termasuk Presiden Sukarno. Piagam ini adalah kesimpulan dari sebuah
konferensi (lihat De Volkskrant, 28-02-1955).
De Volkskrant, 28-02-1955 |
Pada saat Konferensi di
Jogjakarta, piagam tersebut hanya ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan
Darat, Mayor Jenderal Bambang Sugeng di hadapan semua perwira angkatan darat yang
telah mengambil bagian dalam konferensi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-02-1955).
Java-bode, 26-02-1955 |
Setelah upacara
penandatanganan berakhir, Presiden Sukarno berbicara selaku panglima tertinggi angkatan
bersenjata RI. Presiden mengatakan ketika dia melihat upacara dan ketika dia
mendengar teks piagam dibacakan, berterima kasih kepada Tuhan atas fakta bahwa
tentara memiliki keinginan yang tulus untuk bersatu kembali dan berterima kasih
kepada para perwira atas upaya besar yang telah mereka lakukan di konferensi,
yang telah menghasilkan hasil yang begitu baik. Dengan penandatanganan piagam,
para perwira telah menyatakan diri mereka dengan sepenuh hati siap untuk dengan
setia melaksanakan apa yang dinyatakan dalam piagam. Dapat diperkirakan bahwa
kesulitan-kesulitan yang mendasar akan dapat diatasi dan apa yang disebut
krisis dalam ketentaraan mungkin merupakan sesuatu dari masa lalu karena
pembentukan dan penandatanganan piagam.
Kepala Staf Angkatan Darat Mayor
Jenderal Bambang Sugeng juga mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan hasil
konferensi yang keputusannya sebagai berikut: Kesatuan adalah syarat penting
untuk integritas dalam suatu organisasi secara umum dan dalam ketentaraan pada
khususnya. Kesatuan ini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kekuatan organisasi
dan untuk menjamin keberlanjutan keberadaannya. Baru-baru ini kita harus
mencatat bahwa ada perbedaan dalam pasukan yang memiliki pengaruh buruk pada
persatuan itu. Pada dasarnya perbedaan pendapat dalam suatu organisasi adalah
sesuatu yang normal dan bahkan berbuah untuk pengembangannya jika hanya
diselesaikan dengan negosiasi dalam suasana toleransi dapat menghargai satu
sama lain dengan peningkatan organisasi dalam pikiran. Jika ini bukan
masalahnya, maka perbedaan pendapat yang disebutkan di atas dapat berubah
menjadi kontradiksi dan mungkin mengarah pada tabrakan. Dengan tentara mereka
dapat berubah menjadi konflik bersenjata. Negosiasi dapat menyelesaikan
kesulitan yang kita hadapi. Ribuan janji tidak dapat menjamin persatuan dan
integritas jika tidak datang dari lubuk hati setiap prajurit. Jika kita
memeriksa sejarah pasukan kita, jelas bahwa ada dan masih ada unsur-unsur yang
belum sepenuhnya teratasi atau setidaknya mengurangi saling pengertian kita.
Unsur-unsur yang disebutkan adalah sebagian bersifat organisatoris dan sebagian
lagi bersifat spirit. Akibatnya, Kepala Staf direkomendasikan untuk mengambil
tindakan yang diperlukan kesatuan unit dan integritas tentara. Diantara hal-hal
lain, disarankan untuk memberikan pelatihan yang sama dan menarik perhatian
anggota angkatan bersenjata, bahwa mereka dilarang untuk berpartisipasi aktif
dalam politik.
Pada konferensi ini tentang
Peristiwa 17 Oktober [1952] diputuskan, demi kepentingan kesatuan tentara,
untuk memusatkan masalah ini pada pemerintah, dengan mempertimbangkan efisiensi
pengaruh pemerintahan dua orang Soekarno-Hatta, sebagai jaminan perasaan,
keadilan dalam arti luas dari kata itu. Semua keputusan yang diambil oleh
pemerintah bekerja sama dengan mekanisme dua orang Soekarno-Hatta akan diikuti.
Untuk memfasilitasi solusi apa pun, Kepala Staf direkomendasikan untuk
mengambil langkah-langkah persiapan yang diperlukan dengan membuat mutasi dalam
tentara. Pemerintah dan otoritas dua orang Soekamo-Hatta akan direkomendasikan
untuk solusi dari 17 Oktober [1952] dapat direalisasikan sebelum tanggal 17
Agustus 1955.
Peristiwa 17 Oktober 1952: Abdul
Haris Nasution, TB Simatupang dan Hamengkubuwono IX
Tunggu deskripsi
lengkapnya
PRRI 15 Februari, 1958: Dwi Tunggal Soekarno-Hatta,
Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar