Kamis, 07 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (19): Piagam Jogjakarta Ditandatangani di Gedung Agung Jogjakarta 25 Februari 1955; AH Nasution vs Z. Lubis


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Satu peristiwa penting pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah konferensi petinggi militer si-Indonesia di Jogjakarta. Konferensi ini menghasilkan satu keputusan penting tentang integritas TNI yang dilakukan di Gedung Negara Jogjakarta pada tanggal 25 Februari 1955. Inilah peristiwa penting yang terakhir di Jogjakarta. Hasil konferensi in kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Yogyakarta 1955.

Diadakannya konferensi ini beraawal dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu militer menganggap parlemen terlalu banyak campur tangan untuk urusan pemerintahan lalu melakukan demonstrasi ke Istana yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Kolonel Abdul Haris Nasution. Konsekuensi demonstrasi ini Abdul Haris Nasution dirumahkan. Oleh karena Jenderal TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) mendukung demonstrasi kemudian juga ikut dirumahkan. Belakangan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX mengundurkan diri. Untuk mengisi posisi yang lawong, KASAD ad-Interim diangkat Kolonel Bambang Sugeng dengan pangkat Mayor Jenderal dan sebagai WAKASAD diangkat Kolonel Zulkifli Lubis. TNI menjadi terbelah: Faksi Nasution dan Simatupang vs Faksi Supeno dan Lubis. Bambang Sugeng yang netral menginisiasi terwujudnya persatuan dan kesatuan di TNI yang berujung pada konferensi di Jogjakarta 25 Februari 1955.  

Lantas apakah setelah konferensi dan fakta integritas TNI ditandatangani pada tanggal 25 Februari 1955 semuanya berjalan normal? Ternyata tidak. Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) tidak berhasil mengatasi kisruh di tubuh TNI. Pada era Kabinet Burhanuddin Harahap (sejak 12 Agustus 1955) ketegangan antara dua kubu yang dipimpin oleh Nasution dan kubu yang dipimpin oleh Lubis mulai menemukan titik terang. Perdana Menteri Burhanuddin Harahap meminta Menteri Negara (pertahanan) Abdul Hakim Harahap untuk mendamaikan dua kubu. Perdamaian tercipta dengan kembalinya Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi KASAD.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (partai PNI) pernah meminta Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin Pohan (partai NU) untuk mendamaikan antara kubu Nasution dan kubu Lubis. Hal ini dilakukan seteleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri gagal melakukannya. Namun anehnya Zainul Arifin Pohan gagal mempertemukan Nasution dan Lubis, padahal ketiganya (Pohan, Nasution dan Lubis) sejatinya berasal dari kampung yang sama di Kotanopan (Tapanuli Selatan). Baru setelah era Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (partai Masjumi) yang mana Menteri Negara Pertahanan Abdul Hakim Harahap (partai Masjumi) berhasil mendudukkan Nasution dan Lubis dalam satu meja. Berhasil. Abdul Hakim Harahap sendiri sebelumnya adalah Residen Tapanoeli (1947-1949), Wakil Perdana Menteri RI, kabinet RI terakhir di Jogjakarta (1950) dan Gubernur Sumatra Utara (1951-1953).
    
Konferensi TNI dan Piagam Jogjakarta: 25 Februari, 1955

Sebanyak 400 orang perwira TNI di Jakarta menandatangani Piagam Integritas Tentara (Handvest van de gaafheid van het leger). Penandatanganan piagam yang juga disebut Piagam Jogjakarta (Djokjakarta Charter) ini dilakukan di hadapan para pejabat tinggi negara termasuk Presiden Sukarno. Piagam ini adalah kesimpulan dari sebuah konferensi (lihat De Volkskrant, 28-02-1955).

De Volkskrant, 28-02-1955
Konferensi yang berakhir tanggal 25 Februari di Jogjakarta dilakukan oleh para perwira TNI untuk meredakan ketegangan dan menciptakan ketenteraman terutama disebabkan oleh Peristiwa 17 Oktober 1952. Piagam itu menyatakan bahwa persatuan dan kesatuan kini telah dipulihkan dan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 akan diselidiki lebih lanjut oleh pemerintah, yang setelah berkonsultasi dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta, harus mencari solusi sebelum tanggal 17 Agustus 1955.

Pada saat Konferensi di Jogjakarta, piagam tersebut hanya ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Bambang Sugeng di hadapan semua perwira angkatan darat yang telah mengambil bagian dalam konferensi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-02-1955).

Java-bode, 26-02-1955
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-02-1955: ‘Piagam integritas tentara di Jogja ditandatangani. Di Gedung Negara di Jogjakarta hari Jumat (25-02-1955) pukul 20.00 [WIB. piagam untuk integritas tentara dalam sebuah upacara ditandatangani secara simbolis. Piagam ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Bambang Sugeng di hadapan semua perwira yang telah mengambil bagian dalam pertemuan perwira Angkatan Darat yang turut dihadiri Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta, Perdana Menteri Ali Sastroamuijojó, Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin Pohan, Ketua Parlemen Sartono, Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri Menteri Penerangan Dr. FL Tobing, Ketua Komisi Pertahanan Parlemen, Zainul Baharuddin dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution yang sebagaimana dilaporkan sebelumnya tidak ikut serta dalam pertemuan itu. Upacara penandatanganan berlangsung dalam suasana yang sangat khidmat dalam keheningan yang diterangi dengan hanya dua obor sebagai penerangan, akibatnya aula itu, tempat upacara berlangsung terlihat temaram. Pukul 20.03 lampu-lampu dipadamkan di aula dan pada saat yang sama Mayor Sumantri masuk perlahan-lahan dengan memegang piagam dengan kedua tangan terentang di depannya yang diapit oleh dua tentara yang masing-masing membawa obor. Sebelum piagam ditandatangani, pertama-tama isi piagam dibacakan yang diterangi oleh cahaya kedua obor tersebut.

Setelah upacara penandatanganan berakhir, Presiden Sukarno berbicara selaku panglima tertinggi angkatan bersenjata RI. Presiden mengatakan ketika dia melihat upacara dan ketika dia mendengar teks piagam dibacakan, berterima kasih kepada Tuhan atas fakta bahwa tentara memiliki keinginan yang tulus untuk bersatu kembali dan berterima kasih kepada para perwira atas upaya besar yang telah mereka lakukan di konferensi, yang telah menghasilkan hasil yang begitu baik. Dengan penandatanganan piagam, para perwira telah menyatakan diri mereka dengan sepenuh hati siap untuk dengan setia melaksanakan apa yang dinyatakan dalam piagam. Dapat diperkirakan bahwa kesulitan-kesulitan yang mendasar akan dapat diatasi dan apa yang disebut krisis dalam ketentaraan mungkin merupakan sesuatu dari masa lalu karena pembentukan dan penandatanganan piagam.

Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Bambang Sugeng juga mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan hasil konferensi yang keputusannya sebagai berikut: Kesatuan adalah syarat penting untuk integritas dalam suatu organisasi secara umum dan dalam ketentaraan pada khususnya. Kesatuan ini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kekuatan organisasi dan untuk menjamin keberlanjutan keberadaannya. Baru-baru ini kita harus mencatat bahwa ada perbedaan dalam pasukan yang memiliki pengaruh buruk pada persatuan itu. Pada dasarnya perbedaan pendapat dalam suatu organisasi adalah sesuatu yang normal dan bahkan berbuah untuk pengembangannya jika hanya diselesaikan dengan negosiasi dalam suasana toleransi dapat menghargai satu sama lain dengan peningkatan organisasi dalam pikiran. Jika ini bukan masalahnya, maka perbedaan pendapat yang disebutkan di atas dapat berubah menjadi kontradiksi dan mungkin mengarah pada tabrakan. Dengan tentara mereka dapat berubah menjadi konflik bersenjata. Negosiasi dapat menyelesaikan kesulitan yang kita hadapi. Ribuan janji tidak dapat menjamin persatuan dan integritas jika tidak datang dari lubuk hati setiap prajurit. Jika kita memeriksa sejarah pasukan kita, jelas bahwa ada dan masih ada unsur-unsur yang belum sepenuhnya teratasi atau setidaknya mengurangi saling pengertian kita. Unsur-unsur yang disebutkan adalah sebagian bersifat organisatoris dan sebagian lagi bersifat spirit. Akibatnya, Kepala Staf direkomendasikan untuk mengambil tindakan yang diperlukan kesatuan unit dan integritas tentara. Diantara hal-hal lain, disarankan untuk memberikan pelatihan yang sama dan menarik perhatian anggota angkatan bersenjata, bahwa mereka dilarang untuk berpartisipasi aktif dalam politik.

Pada konferensi ini tentang Peristiwa 17 Oktober [1952] diputuskan, demi kepentingan kesatuan tentara, untuk memusatkan masalah ini pada pemerintah, dengan mempertimbangkan efisiensi pengaruh pemerintahan dua orang Soekarno-Hatta, sebagai jaminan perasaan, keadilan dalam arti luas dari kata itu. Semua keputusan yang diambil oleh pemerintah bekerja sama dengan mekanisme dua orang Soekarno-Hatta akan diikuti. Untuk memfasilitasi solusi apa pun, Kepala Staf direkomendasikan untuk mengambil langkah-langkah persiapan yang diperlukan dengan membuat mutasi dalam tentara. Pemerintah dan otoritas dua orang Soekamo-Hatta akan direkomendasikan untuk solusi dari 17 Oktober [1952] dapat direalisasikan sebelum tanggal 17 Agustus 1955.

Peristiwa 17 Oktober 1952: Abdul Haris Nasution, TB Simatupang dan Hamengkubuwono IX

Tunggu deskripsi lengkapnya

PRRI 15 Februari, 1958: Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar