Rabu, 06 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (18): Sejarah Kereta Api Menuju Yogyakarta dari Semarang via Solo; Stasion Lempuyangan 1872 dan Tugu 1887


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Pembangunan jalur kereta api Semarang menuju Yogyakarta via Solo tidak sekaligus tetapi dilakukan secara bertahap. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Usulan pembangunan jalur Semarang ke Djocjocarta sudah muncul pada tahun 1862. Akan tetapi jalur kereta api di ke Djocjocarta baru tersambung pada tahun 1872 di Lempuyangan. Ada jarak waktu yang lama, 10 tahun antara ide dan realisasi.

Stasion kereta api Toegoe, Djocjocarta, 1890
Pengoperasian kereta api di Hindia Belanda (baca: Indonesia) pertama kali adalah Semarang-Kedong Djati tahun 1867. Jalur kedua antara Batavia ke Meester Cornelis (kini Jatinegara) pada tahun 1869. Lalu kemudian ruas Kedong Jari ke Solo selesai tahun 1871.  Ruas jalur kereta api Solo ke Djocjocarta terealisasi tahun 1872. Jalur kereta api Meester Cornelis ke Buitenzorg (kini Bogor) mulai dipoerasikan pada tahun 1873.

Di Djocjocarta stasion kereta api tidak hanya di Lempuyangan (Semarang ke Djocjocarta via Solo di sisi timur gunung Merapi). Stasion baru di Djocjocarta dibangun tahun 1887 di Toegoe. Stasion baru, Toegoe ini menjadi stasion transit untuk menuju tiga arah lainnnya yakni ke Megelang, ke Tjilatajap dan ke Bantoel. Satu fase lagi kemudian adalah pembangunan ruas Megelang-Ambarawa yang membuat Djocjakarta ke Semarang dari sisi barat gunung Merapi.   

Semarang Tambaksari - Lempoejangan (Docjocarta): Kedong Djati (1869; Solo (1871); Docjocarta (1872)

Rencana untuk membangun rel kereta api Semarang-Dnjocjocarta sudah muncul tahun 1862 (lihat Bataviaasch handelsblad, 27-08-1862). Disebutkan dekrit telah ditandatangani yangmana konsesi akan diberikan kepada Poolman cs untuk pembangunan rel dari Samarang ke Souracarta dan Djocjocarta.

Gagasan pembangunan kereta api sendiri sudah muncul pada awal tahun 1840an. Ide ini muncul setelah dianggap di pedalaman Jawa kondusif paling tidak dari aspek keamanan (pasca Perang Jawa). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 209 tanggal 28 Mei 1842 dimungkinkan swasta mengajukan proposal. Lalu dua perwira teknik ditunjuk untuk melakukan persiapan studi kelayakan pembangunan jalur kereta api Semarang-Kedoe- Vorstenlanden (lihat Journal de La Haye, 23-08-1843). Pada tahun 1845 proposal ini ditolak pemerintah. Hal ini karena sulit memenuhi 8.000 tenaga kerja untuk 20 tahun. Perencanaan baru muncul kemudian pada tahun 1860an.

Realisasi tahap pertama dilakukan untuk ruas Semarang-Tanggung (Kedoe) sepanjang 27 Km dengan stasion di Tambaksari. Tahap kedua ruas Tanggung-Kedong Jatie. Realisasi ini tahun 1867 sebagaimana dilaporkan surat kabar Algemeen Handelsblad, 10-08-1867. Disebutkan ruas Semarang dan Tanggoeng sudah memasuki perhitungan tarif kereta. Untuk ruas Tanggoeng-Kedongjati baru dilakukan percobaan pertama. Ruas rel kereta api Semarang-Kedong  Jatie ini adalah ruas rel pertama yang dibangun di Hindia Belanda.

Semarang-Kedoeng Djatti, berjarak 35 kilometer. Jumlah pelancong saat ini terdiri dari sekitar 3.500 penduduk pribumi dan sekitar 400 orang Eropa sebulan. Namun, statistik ini hanya berlaku untuk 2 bulan terakhir, yaitu di musim yang tidak menguntungkan. Pada saat kopi, gula dan panen nila tiba, transportasi ini mungkin akan lebih dari dua kali lipat (Arnhemsche courant, 23-07-1869).

Sementara itu pembangunan kereta api ruas Batavia-Buitenzorg direalisasikan pada tahun 1869. Pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg ini ditandai dengan pencangkulan pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 25 Oktober 1869. Pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg dibuat dua tahap. Tahap pertama Batavia (kini Jakarta Kota) ke Meester Cornelis (Djatinegara) yang dimulai tahun 1869 (dua tahun setelah Semarang-Tanggoeng). Setelah selesainya ruas Batavia-Meester Cornelis kemudian dilanjutkan ruas Meester Cornelis-Buitenzorg.

De locomotief, 25-02-1871
Setelah selesainya ruas Semarang Kedong Jatie, pembangunan tidak hanya diteruskan ke Soeracarta tetapi juga ke Ambarawa. Pembangunan rel kereta api ke Ambarawa terkait dengan produksi kopi di Ambarawa dan sekitar (seperti Banaran) dan juga untuk keperluan memudahkan pergerakan militer Semarang dengan garnisun besar di Ambarawa (Fort Willem I).

Setelah kereta api Semarang-Ambarawa beroperasi tahun 1869, pada tahun 1870 muncul desakan agar kereta ap dari Tanggoeng dilanjutkan ke Solo dan Djogjakarta (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-03-1870). Hal ini terutama untuk mendukung arus garam yang tidak efisien lagi dari Soerabaja ke Solo melalui transportasi sungai (angkutan balik dengan komodi kopi).

Realisasi jalur Kedong Jatie-Soeracarta sudah selesai dan pengoperasiannya dimulai pada bulan Januari 1871 (De locomotief, 25-02-1871). Tidak lama kemudian ruas Soeracarta-Djocjocarta sudah pada fase akhir. Panitia  pesta pembukaan sudah terbentuk tanggal 30 April di Djogjocarta (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-05-1872). Persiapan pesta pembukaan di Jocjocarta sudah rampung untuk seremoni pembukaan yang dilakukan pada tanggal 6 Oktober di gedung Societeit (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-09-1872).

De locomotief, 17-06-1872
Sementara itu pembangunan jalur kereta api ruas Batavia-Buitenzorg via Depok akhirnya selesai dan mulai beroperasi tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873). Sedangkan pembangunan ruas Tanggoeng-Kedoengdjati-Ambarawa baru selesai dan diresmikan pada tanggal 21 Mei 1873.

Jalur kereta api Semarang hingga Djogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1872 dengan jadwal yang sudah ditentukan untuk berhenti pada sejumlah stasion/halte (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-06-1872). Setelah beberapa tahun kemudian jalur kereta api dari Semarang/Ambarawa dengan Djogjakarta dibangun via Magelang.

Stasion Toegoe, Djocjocarta, 1887

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar