*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Putri Presiden Soekarno, Presiden Megawati Sukarnoputri tinggal di kelurahan Kebagusan.Itu bagus, karena lingkungannya masih bagus. Tetangga terdekat kelurahan Kebagusan cukup banyak, yaitu: kelurahan Ragunan, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Pasar Minggu, Jati Padang dan Jagakarsa. Tujuh kelurahan ini ketika masih kampong pada tempo doeloe terhubung satu sama lain. Itu kebagusan yang lain. Seperti kata orang tempo doeloe, tempat itu tanah kebagusan (tanah kebaikan; bukan tanah bagus).
Putri Presiden Soekarno, Presiden Megawati Sukarnoputri tinggal di kelurahan Kebagusan.Itu bagus, karena lingkungannya masih bagus. Tetangga terdekat kelurahan Kebagusan cukup banyak, yaitu: kelurahan Ragunan, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Pasar Minggu, Jati Padang dan Jagakarsa. Tujuh kelurahan ini ketika masih kampong pada tempo doeloe terhubung satu sama lain. Itu kebagusan yang lain. Seperti kata orang tempo doeloe, tempat itu tanah kebagusan (tanah kebaikan; bukan tanah bagus).
Kampong Kebagoesan (PEditeta 1901) |
Lantas bagaimana sejarah
(kelurahan) Kebagoesan? Itu bermula dari sebuah kampong bernama Kebagoesan yang
berada di land Tandjong West, bukan di land Ragoenan (meski land Ragoenan lebih
dahulu terbentuk daripada land Tandjong West. Land Tandjoeng West beberapa kali
dimekarkan dan yang terakhir terbentuknya land Kebagoesan. Sedangkan land
Ragoenan sejak awal tidak pernah dimekarkan, hanya segitu-gitu saja. Pemilik
terakhir land Ragoenan adalah Lie Hin Pang. Ketika dia mencoba menaikkan sewa
tanah, penduduk penggarap (penyewa) demo ke Balai Kota (Stadhuis). Itu salah
satu keburukan yang terjadi di land Ragoenan. Akhirnya, demi kebagusan semua
pihak. Pemerintah membeli land Ragoenan dari Lie Hin Pang, lalu kemudian
disewakan kepada penduduk. Itulah mengapa, tanah Ragoenan adalah milik
pemerintah.
Sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kampong
Kebagoesan di Land Tandjoeng West
Kebagoesan
sebagai sebuah kampong, paling tidak sudah dipetakan pada tahun 1901 (lihat Peta
1901). Kampong Kebagoesan berada di land Tandjong West (kini Tnajung Barat). Sudah
barang tentu kampong Kebagoesan ini sudah terbentuk jauh sebelum tahun 1901.
Nama kampong Kebagoesan saat itu, tidak hanya di land Tandjoeng West
(Residentie Batavia), tetapi nama kampong Kebagusan juga ditemukan di tempat
lain, seperti di Bengkulu (diberitakan 1859); Tegal (1863); Lampong (1898) dan
Sumatra Timur (1915).
Kebagusan
berasal dari kata ‘bagus’. Penggunaan kata ‘bagus’ sudah umum dan banyak
digunakan sejak tempo doeloe (bersifat generik). Kata ‘bagus’ berasal dari
bahasa Melayu, bahasa yang sudah digunakan dalam perdagangan sejak tempo doeloe
(lingua franca). Penggunaan kata ‘bagus’ juga pada nama gelar, yaitu Ratoe
Bagoes (mereduksi menjadi Tubagus). Nama kampong Kebagoesan tentu saja tidak
otomatis berasal dari nama gelar Ratoe Bagoes. Sebab nama kampong Kebagusan
tidak hanya ditemukan di tanah partikelir (land) Tandjong West. Dalam hal ini
pada tempo doeloe ‘kebagusan’ diartikan sebagai (sinonim) ‘kebaikan’ seperti
misalnya ditemukan dalam surat kabar ‘semoga permainan baroe ini penoeh
kebagoesan’ (1880); ‘boeroe-boeroe datang liat ini kebagoesan, sebab ini’
(1881); ‘demi kebagoesan sarekat Islam, kita’ (1932); dan sebagainya. Singkat
kata: tempo doeloe ‘bagoes’ adalah ‘baik’ dan ‘kebagoesan’ adalah ‘kebaikan’.
Dengan kata lain, ‘bagoes’ dan ‘kebagoesan’ dihubungkan dengan sifat atau harapan.
Akan tetapi makna pada masa kini ‘bagus’ dan ‘kebagusan’ cenderung dihubungkan
dengan penilaian terhadap suatu objek (terutama barang/jasa). Dengan demikian,
Ratoe Bagoes adalah gelar untuk menunjukkan Raja yang baik, bukan raja yang
ganteng.
Pada Peta 1901 di sebelah barat land Tandjong
West adalah land Ragoenan; di sebelah selatan land Lenteng Agoeng; di sebelah
utara land Djati Padang en Kalibata; dan di sebelah timur, seberang sungai
Tjiliwong adalah land Tandjong Oost (kini Pasar Rebo). Wilayah kampong
Kebagoesan tidak hanya di sisi barat jalur rel kereta api tetapi juga sebagian
yang lain di sisi timur rel (boleh jadi kampong Kebagoesan terbelah dengan
adanya pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg pada tahun 1870). Oleh
karena jalur jalan kuno dari Pakuan-Padjadjaran ke Soenda Kelapa memotong jalur
kereta api tepat di stasion Tandjung Barat yang sekarang, maka kampong
Kebagoesan berada di jalur lalu lintas utama.
Masih dari Peta 1901, kampong besar di land Tandjong West
adalah kampong Tandjong West sendiri (di sekitar Poltangan pada masa ini).
Kampong Kebagoesan adalah kampong kecil. Kampong Kandang [Sapi] dan kampong
Djagakarsa masih jauh lebih besar dari kampong Kebagoesan.
Di jalur jalan kuno
inilah sejak tempo doeloe pada era VOC terbentuk sejumlah tanah-tanah
partikelir (landerien). Land yang terbentuk
di jalur kuno sisi barat sungai Tjiliwong diantaranya land Sering Sing
(Srengseng). Land ini dibuka oleh Cornelis Chastelein pada tahun 1695. Sebelumnya
dua land sudah terbentuk di Tjitajam dan Tjiniere. Dua land subur ini diusahakan
oleh sersan St. Martin.
Kisah St. Martin terkait dengan Hendrik
Lucasz Cardeel dan putrinya Christin Helena Cardeel di Banten. Ayah dan anak
ini masuk Islam, Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan
Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat dan dinikahi Soeltan Hadji.
Ketika Gubernur Jenderal VOC mengirim ekspedisi ke Banten yang dipimpin oleh
Sersan St. Martin untuk membebaskan tawanan tahun 1682, Letnan Mody seorang
tawanan yang dibebaskan ‘menculik’ Helena ke Batavia dan kemudian menikahinya.
Lalu kemudian, Hendrik Lucasz Cardeel menyusul putrinya ke Batavia. Ketika
Sultan Hadji berkuasa kembali meminta pangeran dan ratu mualaf itu diekstradisi
ke Banten, Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman (1681-1684) menolaknya.
Terhadap jasanya, Pemerintah VOC memberi hadiah lahan kepada Sersan St. Martin di Tjinere dan Pondok Terong (beberapa tahun sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan di Depok). Dalam perkembangannya Hendrik Lucasz Cardeel membeli lahan di dekat Tjinere. Setelah Hendrik Lucasz Cardeel meninggal tahun 1711, lahan tersebut diteruskan oleh putri semata wayangnya Helena. Namun nama Hendrik Lucasz Cardeel di tengah masyarakat sudah kadung dikenal sebagai Pangeran Wira Goena. Dari sinilah kemudian nama lahan itu dikenal sebagai land Ragoenan (pelafalan masyarakat dari Wira Goena). Land Ragoenan ini tetap dikelola oleh keluarga (keturunan) Cardeel dengan mengusahakan perkebunan buah-buahan (Algemeen Handelsblad, 28-07-1929).
Dalam perkembangannya, Cornelis Chastelein
membuka land baru di Depok. Land Sering Sing yang dianggap kurang memadai lalu
ditinggalkan (dijual). Cornelis Chastelein membeli lahan baru di Mampang
(sebelah utara land Depok). Seperti diketahui, kemudian land Depok dam land
Mampang pada tahun 1714 diwarisskan Cornelis Chastelein kepada para pekerjanya.
Land-land subur yang
terbentuk semakin meluas ke segala arah di wilayah hulu sungai Tjiliwong bahkan
sampai ke Tjiampea. Saat ini sudah terbentuk land Ragoenan, di sisi timur land
Tjinere, yang diusahakan Hendrik Lucasz Cardeel. Habis sudah lahan-lahan subur dan
setengah subur yang dapat dijadikan land. Hanya tersisa di sana sini lahan
kering dan kurang subur (karena sulitnya air).
Pada tahun 1750an dibentuk land baru di utara
land Sering Sing dan di timur land Ragoenan. Land baru ini disebut land
Tandjong West (di sisi timur sungai Tjiliwong sudah terbentuk land Tandjong
(Oost). Land Tandjong West ini tidak terlalu subur dan kering di musim kemarau.
Oleh karenanya pemilik land tidak mengusahakan pertanian tetapi mengusahakan
peternakan. Land Tandjong West kemudian identik dengan land (ranch) peternakan.
Land peternakan ini jauh lebih awal jika dibandingkan di Wild West Amerika,
tempat dimana para Cowboy bekerja.
Lokasi landhuis Tnadjong West (Peta 1901) |
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 lalu
diakuisisi oleh kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) dimulai program pembangunan
jalan pos (jalan poros) trans-Java dari Anjer ke Panaroekan melalui Buitenzorg
(di sisi timur sungai Tjiliwong). Program ini diintegrasikan dengan pembangunan
kota-kota dan pengembangan lahan-lahan pertanian.
Untuk membangun kota,
Daendels membeli lahan-lahan partikelir, termasuk land Bloeboer untuk membangun
kota Buitenzorg (kini Bogor) dan land Weltevreden untuk membangun kota
Weltevreden (Nieuwe Batavia). Untuk mengembangkan pertanian penduduk, Daendels
meningkatkan bendungan Katoelampa dan kanal irigasi sisi timur jalan pos
Batavia-Buitenzorg. Namun program ini terhambat karena pendudukan Inggris
(1811-1815). Lalu program ini dimulai pada tahun 1825. Selain kanal Katoelampa,
di Buitenzorg kemudian membangun kanal dari sungai Tjipakantjilan dari kampong Bondongan
melalui kampong Paledang menuju kampong Kedong Badang dan kampong Tjiliboet.
Pada tahun 1830 dilakukan pembangunan kanal irigasi
di sisi barat sungai Tjiliwong yakni dengan membendung sitoe Babakan dan
membuat kanal air melalui stasion Lenteng Agoeng yang sekarang menuju land
Tandjong West. Sejak adanya bendungan dan kanal ini land Tandjoeng West semakin
subur untuk pengembangan pertanian. Kanal ini tidak hanya mengairi land
Tandjong West tetapi juga membuat kanal (mundur) ke arah land Srengseng. Sejak
itulah land Tandjong West (termasuk land Srengseng) semakin makmur. Lantas
apakah sejak ini muncul kampong-kampong baru seperti kampong Kebagoesan dan
kampong Djagakarsa?
Kanal ini tepat melalui kampong Kebagoesan. Kanal ini
kini sering disebut Kali Baru, kanal yang diteruskan ke arah Pasar Minggu. Sebelum
menjadi kanal ke arah hilir, sesungguhnya kampong Kebagoesan adalah hulu sungai
Tjideng yang mana air dari dari Kebagoesan mengalir ke hilir di Pasar Minggu terus
ke Doerian Tiga, Kalibata dan Tegalparang lalu ke Koeningan, Menteng dan
betermu dengan Kali Krokoet di Pedjompongan di Tanah Abang. Hulu sungai Tjiden
inilah yang ditingkatkan menjadi terusan kanal dari kampong Kebagoesan.
Jauh sebelum adanya bendungan sitoe Babakan, pada era VOC
di Depok semasa Cornelis Chastelein sudah terbentuk kanal irigasi dengan
membendung sitoe Pitara yang airnya merupakan limpahan dari land Tjitajam. Pada
tahun 1850an bendungan sitoe Pitara jebol dan air bah ini menggenangi
persawahan dan pabrik batu bata (lio) yang berada di hilirnya yang kemudian
terbentuk sitoe (disebut sitoe Besar di dekat stasion Depok Baru yang
sekarang). Pemerintah membangun kembali bendungan sitoe Pitara yang disertai
dengan pembangunan kanal melalui arah barat dan berbelok ke utara menuju land
Tandjong West di Djagakarsa. Sebagian debit air ini dialirkan ke sitoe Babakan.
Sejak inilah terbentuk kampong atau land Tanah Baroe. Oleh karena land Tandjong
West menerima manfaat dari air sitor Pitara, pemilik land Tandjong West
memberikan konpensasi kepada Gemeente Depok sekian gulden setiap tahunnya.
Pembangunan baru bendungan sitoe Pitara juga memungkinkan
meningkatkan kanal irigasi di land Depok menuju ke arah hilir di land Pondok
Tjina. Seperti land Tandjong West sebelum 1830 adalah lahan kering, land Pondok
Tjina juga menjadi lahan subur karena adanya kanal irigasi. Lahan-lahan yang
berada di dataran yang lebih rendah dicetak sawah baru sementara lahan yang
lebih tinggi tetap menjadi lahan perkebunan (tetapi dengan adanya irigasi
menjadi lebih subur--tidak lagi kering di musim kemarau).
Pada tahun 1865 land Tjondet diketahui telah digabung
dengan land Ragoenan. Land Tjondet adalah pemekaran dari land Tandjong Oost. Tidak
diketahui siapa pemilik land Tjondet. Dengan penggabungan ini besar dugaan land
Ragoenan telah dijual oleh ahli waris Hendrik Lucasz Cardeel kepada pemilik
land Tjondet.
Land Tandjong Oost sejak lama telah dimiliki oleh kerabat
(suami dari putri) mantan Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777).
Riemsdijk tidak hanya mempunyai land di (land) Antjol, juga Riemsdijk adalah
pemilik land Tjiampea yang sangat subur. Sebelumnya juga diketahui Gubernur
Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sudah memiliki land
Weltevreden dan land Tjimanggies. Ahli waris Riemsdijk terus mempertahankan usaha
pertanian. Anak-anak Riemsdijk juga diketahui telah memiliki sejumlah land
seperti land Tjibinong, land Tjilodong, land Tjilangkap dan land Tapos.
Di land Tjondet en Ragoenan diketahui sudah
terbentuk wilayah urban atau wijk. Informasi diketahui pada sebuah iklan dimana
sebuah persil lahan dijual di wijk Tjindet en Ragoenan (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-05-1865).
Pembeli lahan tersebut diberitakan adalah kongsi Said Mohamad bin Aboe Bakar Aydiet,
Said Mohamad bin Achmad bi Hassan dan Mr. JH Toe Water senilai f91.000 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1865). Wijk ini adalah area Pasar Minggu yang
sekarang.
Area pasar ini sebelumnya masuk ke dalam wilayah land
Tandjong West. Pasar ini tentu saja sudah jauh berkembang jika dibandingkan tahun
1830an. Pasar ini sudah dicatat dalam Almanak 1834 sebagai pasar Tandjong West.
Pada tahun 1860 land Tandjong West diketahui telah dibeli/disewa oleh Lie Ing
Lie. Dan pasar ini yang kemudian disebut Pasar Minggu (karena buka hari Minggu)
dimiliki oleh swasta (sebuah kongsi yang didalamnya termasuk Lie Ing Lie).
Tanah partikelir (landerien) adalah lahan (land) yang
dimiliki oleh perorangan. Land adalah semacam negara dalam negara. Yang berkuasa
di dalam land bukanlah pemerintah tetapi pemilik land (landheer). Landheer
tidak hanya berkuasa pada lahan tetapi semua yang berada di atasnya termasuk
penduduk. Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) sangat kesulitan
mendapatkan lahan untuk membentuk pusat pemerintahannya. Hal itu karena di
sepanjang sungai Tjiliwong (dari Batavia ke Buitenzorg) hampir semua lahan
telah dimiliki swasta. Upaya pembelian pun dimulai dengan menyisihkan anggaran
pemerintah.
Pada tahun 1865 muncul gagasan untuk
pembangunan jalur kereta api dari Batavia hingga ke Buitenzorg. Namun
pertimbangannya sangat alot. Justru realisasi pembangunan jalur kereta api
dimulai di Semarang (hingga Ambarawa). Faktor keterlabatan ini diduga karena
faktor pembebasan lahan. Namun akhrnya realisasi jalur kerea api di wilayah
sungai Tjiliwong baru terjadi pada tahun 1869 meski masih terbatas hanya pada
ruas Batavia hingga Meester Cornelis (Boekit Doeri).. Pada tahun 1870
pemerintah setelah mendengar pertibangan Raad van Indie (semacam dewan pusat)
mengumumkan pembangunan jalur kereta api ruas Meester Cornelis hingga
Buitenzorg.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
21-05-1870: ‘Gubernur Jenderal setelah mendengar Raad van Nederlandsch Indie
mengumumkan lanjutan pembangunan jalur kereta api. Semua yang melihat atau
mendengar ini merespon Salut!...Sehubungan dengan pembangunan rel kereta api
dari Batavia ke Buitenzorg untuk penggunaan publik menuntut agar pengambilalihan
atas nama perusahaan kereta api terhadap lahan milik pribadi (land) yang
diperlukan untuk pembangunan jalan dari Batavia ke Buitenzorg, yakni untuk
sebagian jalan, mulai dari perbatasan divisi kota dan pinggiran dan divisi
Meester-Cornelis sebagai titik awalnya ke tenggara ke arah land-land Parapatan,
Menteng dan Tjikeni melalui land tetangga Pegangsangan dan melintasi land-land Matraman
dan Kampong Alangong dan kemudian terbagi dua yang pertama ke arah timur di
atas land Boekit-Doeri ke Tjiliwong di seberang pasar Meester Coruelis dan yang
kedua ke selatan setelah Boekit-Doeri melalui perkampongan Klein Malayoe dan
land-land Kampong Malajoe, Kebon Baroe, Tandjong Lengkong, Lengkong Dalem dan
Tjikoko, kemudian dengan sebuah tikungan yang melalui perkampongan (wijk) Pengadegan
di atas land Pabean Chilauw en Bangka diantara perkampongan (wijk) Kampong Djati
dan Kalibata di atas land-land Tjondet, Ragoenan dan Tandjong West, kemudian
melalui perkampongan (wjik) Tanah Agong dan dari land Tandjong West ke
perbatasan selatan Afdeeling Meester Cornelis (antara Srengseng dan Pondok Tjina).
Pembangunan jalur rel
kereta api dari Batavia hingga Buitenzorg selesai dan mulai dioperasikan pada
bulan Januari tahun 1873. Sejumlah halte/stasion telah dibangun antara
Batavia-Buitenzorg, dua diantaranya di land Tandjong West dan land Tanah Agong.
Perusahaan kereta api menabalkan nama dua stasion ini bukan dengan nama (land)
Tandjoeng West dan (land) Tanah Agoeng tetapi dengan nama pasarnya yakni Pasar
Minggoe dan pasar Lenteng Agoeng.
Jalur kereta api di kampng Kebagoesan (Peta 1901) |
Jalur kereta api juga telah membelah kampong
Kebagoesan. Sebagaimana terlihat pada Peta 1901 kampong Kebagoesan sebagian
besar berada di sisi barat rel dan sebagian yang lain di sisi timur rel
(sekarang di area ini lagi dibangun mal/apartemen). Kampong Kebagoesan tidak
hanya dibelah oleh kanal irigasi tetapi juga jalur rel kereta api. Meski
demikian, kampong Kebagoesan yang terpisah oleh jalur rel kereta api tetap
menjadi satu kesatuan kampong di land Tandong West. Dalam Peta 1901 ini juga
terindikasi nama land baru yakni land Djati Padang en Kalibata Poelo. Land baru
ini telah memisahkan kembali land Ragoenan seperti semula, sementara land
Tjondet dihapus (kembali menjadi bagian dari land Tandjong Oost seperti
sebelumnya). Nama land Tanah Agong telah diubah menjadi nama land Lenteng
Agoeng. Halte/stasion Lentegg Agoeng berada di land Lenteng Agoeng. Land Tanah
Agong sendiri adalah land pemekaran dari land Tandjong West. Halte/stasion Pasar
Minggoe berada di land Tandjong West.
Batas kampong Kebagoesan dan kampong Djati Padang (Peta 1901) |
Land Djagakarsa
dan NV Cultuur Mij. Kebagoesan
Batas-batas land adalah batas-batas yang
dipersepsikan sebagai batas administrasi wilayah. Belum ada batas-batas kampong
secara definitif. Oleh karena itu semua kampong berada di dalam batas land.
Namun karena ada banyak kampong yang lebih dulu ada dari land, maka sebuah
kampong wilayahnya dapat terpisah yang mana sebagian berada di dalam batas land
dan sebagian tetap berada di luar batas land. Adakalanya sebuah kampong,
wilayahnya berada di dua land yang telah dibedakan (berbeda).
Land Tandjong West sejak lama telah dijadikan nama suatu
wilayah adminstrasi, tetapi tidak semua lahan di batas administrasi itu adalah
milik pemilik land Tandjong West. Land Srengseng adalah lahan milik orang lain
tetapi secara administrasi dianggap sebagai bagian dari wilayah administrasi
land. Ini boleh jadi karena hanya semata-mata untuk keperluan kartografi. Oleh
karena itu land Srengseng berada di dalam batas land Tandjong West. Dalam peta
hanya land Tandjong West yang diidentifikasi sementara land Srengseng
diidentifikasi hanya sebagai nama navigasi saja sebagaimana nama kampong. Sedangkan
land Tanah Agong memiliki batas tersendiri, luasnya sangat kecil. Land Tanah Agoeng
adalah padat penduduk dan diangkap sebagai sebuah wijk (semacam kelurahan pada
masa ini).
Jual beli land diantara para pengusaha
(landheer) sering terjadi. Sejak era Gubernur Jenderal Daendels pembelian lahan
oleh pemerintah tetap terus dilakukan sesuai dengan ketersediaan anggaran
pemerintah. Pada tahun 1836 suatu lahan yang berada di wilayah administrasi land
Tandjoeng West dijual pemerintah ke publik, Land itu diberi nama land
Djagakartsa (lihat Javasche courant, 11-05-1836).
Pembentukan land dan penjualan ke publik ini diduga
karena lahan di Djagakarsa fungsinya telah meningkat sehubungan dengan adanya
pembangunan kanal. Siapa yang membeli/menyewa Land Djagakarsa, milik pemerintah
tersebut tidak diketahui. Tidak ada kabar berita siapa yang mengusahakan. Boleh
jadi land Djagjakarsa tidak laku karena luasnya yang terlalu kecil bagi
investor. Selain itu, pasokan air untuk
land Djagakarsa juga tidak terlalu memenuhi untuk keseluruhan.
Namun yang jelas nama land Tandjong West
tidak lagi berdiri sendiri tetapi sudah disebut dengan nama baru yakni land
Tandjong West en Djagakarsa (lihat Peta 1914). Pada Peta 1901 hanya
diidentifikasi sebagai land Tndjong West (saja). Hal yang juga teridentifikasi
pada Peta 1914 adalah bahwa land Djati Padang telah dipisahkan dari land
Kalibata lalu dihapus dan terbentuk land Ragoenan en Tjondet. Di sebearang
sungai Tjiliwong juga terlihat eksis kembali land Tjondet,
Lahan pemerintah dan lahan partikelir berbeda. Pembentukan
land partikelir dilakukan pada era VOC. Sebagian land partikelir telah dibeli
pemerintah. Sedangkan pembentukan land pemerintah dalam rangka peningkatan
penggunaan lahan dalam pembangunan pertanian. Penjualan lahan pemerintah adalah
penjualan lahan ke publik yang mengikuti aturan pemerintah (berbeda dengan
aturan yang diterapkan oleh pemilik land partikelir).
Pada tahun 1917 muncul berita tidak sedap
dari land Ragoenan. Para penggarap atau penyewa di land Ragoenan menunjukka
ketidakpusasn karena pemilik land telah menaikkan sewa lahan. Hal ini telah
meinimbulkan keresahan di masyarakat. Penduduk melakukan demo ke Balai Kota
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1917). Untuk menghindari
kemungkinan munculnya permssalahan yang lebih besar, pemerintah membeli land
Ragoenan.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1917: ‘Pagi ini sekitar 80 penduduk pribumi,
penduduk yang berada di land Ragoenan yang dimiliki oleh Mr. Lic Hin Pang,
berada di Balai Kota untuk mengeluh tentang kenaikan sewa tanah yang tidak
masuk akal, yang secara tiba-tiba dinaikkan dari f25 menjadi f80. Diperoleh
keterangan dari pihak yang kompeten bahwa ada kekacauan besar di land yang
bersangkutan dan bahwa disarankan untuk melakukan hal ini dengan cermat’.
Bataviaasch nieuwsblad, 26-07-1917 |
Pada tahun 1919 lahan pemerintah land
Djagakarsa mulai diusahakan dan ada investor yang berminat dan
mengeksploitasinya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1919). Sebuah
perusahaan besar dibentuk yang berbasis di Batavia yang bernama NV Landbouw
Maatschappij Tandjong West akan mengeksploitasi lahan pemerintah di Djagakarsa.
Perusahaan ini juga akan menambah lahan dengan mengeksploitasi land Kalibata di
Grobogan. Land Kalibata yang akan diusahakan itu adalah lahan yang dimiliki
oleh Said Abdulla bin Djafar Alhadat yang bertempat tinggal di land Kalibata
Kampong Djati.
Tidak lama kemudian pada tahun 1924 menyusul dibentuk perusahaan
baru yang bernama NV Cultuur Maatschappij Kebagoesan (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 06-06-1924). Disebutkan dengan keputusan pemerintah disetujui
pembentukan perusahaan NV Cultuur Maatschappij Kebagoesan.
Namun dalam perkembangannya diketahui bahwa dua
perusahaan pertanian ini dari waktu ke waktu membutuhkan banyak air yang lebih
banyak sehubungan dengan bertambahnya areal pertanian. Air yang bersumber dari
kanal sitoe Pitara dan kanal dari sitoe Babakan dianggap tidak mencukupi lagi
(terutama pada musim kemarau). Untuk memenuhi kebutuhan air tersebut,
perusahaan melalui pemerintah Batavia menegosiasikan agar air yang dipasok dari
kanal Pitara dapat ditingkatkan. Negosiasi ini sangat alot. Hasil keputusan
terakhir terjadi pada tahun 1930.
Gemeente Depok bersedia dengan konpensasi yang sangat
besar. sitoe Pitara harus ditutup, dan semua debit air dari hulu di land Tjitajam
dan Ratoedjaja dialirkan langsung ke sitor Pitara dialirkan langsung ke kanal Tanah
Baroe. Sehubungan dengan hal tersebut kanal juga diperlebar. Debit air yang
melalui Tanah Baroe ini sebagian langsung ke land Djagakarsa dan sebagian dialirkan
ke sitoe Babakan untuk meningkatkan debit air ke kanal Tandjong West. Sitoe
Pitara ditutup selama-lamanya dan tamat. Sitoe ini adalah warisan dari Cornelis
Chastelein sejak era VOC.
Sejak penutupan sitoe Pitara di Depok, debit air kanal
melalui land Djagakarsa dan kanal melalui land Tandjong West semakin besar.
Debit air yang tinggi ini pada gilirannya semakin memenuhi kebutuhan air di
hilir di seperti Pasar Minggoe, Doerian Tiga, Pantjoran, Tebet dan Menteng.
Sebagai wilayah
pertanian yang potensial di selatan Batavia, pemerintah Batavia terus
memperhatikan land Tandjong West dan sekitarnya. Jalan raya dari Batavia menuju
Pasar Minggu mendapat perhatian pada tahun 1930 (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 17-04-1930). Disebutkan dalam rapat dewan Raad Meester
Cornelis disepakati sejumlah keputusan (salah satu diantaranya) adalah untuk
pengelolaan jalan Pasar Minggoe ke wilayah perbatasan Buitenzorg di land
Tandjong West dan Djagakarsa. Sehubungan dengan peningkatan jalan ini, akses ke
land Djagakarsa ditingkat melalui jalan Joe yang sekarang (tidak lagi melalui
Lenteng Agoeng).
Peningkatan jalan perbatasan Batavia dan Buitenzorg tidak
hanya menguntungkan bagi Batavia tetapi memberikan manfaat langsung bagi
pemerintah Buitenzorg. Hubungan Depok dan sekitarnya semakin lancar ke Batavia.
Meningkatnya akses penduduk di Depok juga dapat meingkatkan kegiatan
perekonomian dan perdagangan di Batavia khususnya di land Tandjong West dimana
terdapat pasar yakni Pasar Minggoe (yang belakangan ini terus berkembang).
Tentu saja akan dirasakannya adanya arus barang dan orang di land Djagakarsa yang
semakin meningkat. Land Djagakarsa termasuk desa baru Tjigandjoer Tanah Baroe
akan lebih berkembang.
Dua perusahaan inilah yang membuka isiolasi
lahan-lahan yang selama ini belum digarap di land Tandjong West. NV Landbouw
Maatschappij Tandjong West terus berkibar, demikian juga NV Cultuur
Maatschappij Kebagoesan. Keberadaan perusahaan NV Cultuur Maatschappij
Kebagoesan ini masih eksis paling tidak hingga tahun 1955 (lihat Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-11-1955).
Disebutkan rapat tahunan pemegang saham NV Cultuur Maatschappij Kebagoesan diadakan
di kantor NV Nationale Trust Mij di djalan Nusantara 20 Djakarta, Woensdag 30
Novermber pukul 10.
Desa Kebagusan: Kebun Pertanian di Pasar Minggu
Secara historis area yang menjadi wijk Pasar
Minggoe termasuk land Tandjong West. Dalam perkembangannya lahan tersebut dijual
dan dipisahkan dari land Tandjong West. Akan tetapi dalam batas-batas
tradisional, lahan tersebut tetap masuk land Tandong West. Namun lambat laun
nama (wijk) Pasar Minggoe semakin populer sebab tidak hanya ada pasar tetapi
juga halte kereta api dibangun di wijk Pasar Minggoe. Dalam pembentukan
onderdistrict baru di District Kebajoran, nama yang digunakan adalah Pasar
Minggoe. Dengan kata lain, dari sudut masa lalu secara tradisional nama wilayah
adalah Tandjong West, tetapi dari sudut perkembangan baru (modern) nama Pasar
Minggoe yang digunakan sebagai nama wilayah.
Sehubungan dengan perkembangan yang pesat di Pasar
Minggoe, wilayah di selatannya menjadi tampak sedikit tertinggal. Wilayah
sekitar Pasar Minggoe berubah menjadi urban, sementara wilayah Tandjong West en
Djagakarsa tetap menjadi rural. Sementara perkembangan urban lainnya terjadi di
Lenteng Agoeng. Kampong Kebagoesan yang berada di tengah antara dua urban ini
menjadi jauh dari pusat keramaian.
Peta 1914 |
Sehubungan dengan penataan sistem
administrasi wilayah yang bertepatan dengan penyelenggaraan sensus penduduk
tahun 1930, kampong-kampong Kebagoesan (Besar, Wates dan Ketjil) dijadikan
sebagai satu desa. Desa lain yang terbentuk adalah desa Djati Padang, desa
Ragoenan dan desa Tandjong West. Sedangkan area urban Pasar Minggoe dijadikan
sebagai kelurahan (wijk).
Peta 1934 |
Peta 1940 |
Di onderdistrict Pasar Minggoe pemerintah
membangun laboratorium pertanian. Tiga lokasi yang ditetapkan adalah dua persil
di jalan raya Pasar Mienggoe-Ragoenan dan satu persil di kampong Oetan di
Ragoenan di taman Margasatwa yang sekarang (lihat Peta 1934)). Sebagaimana
diketahui land Ragoenan telah diakuisisi pemerintah sejak tahun 1917. Dua
persil lahan yang berada dekat Pasar Minggoe ini diduga adalah pembelian lahan
baru oleh pemerintah.
Menjelang berakhirnya kolonial Belanda, desa
Kebagoesan sudah jauh berkembang jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan Peta 1940 jalan akses ke desa Kebagoesan dari desa Djati Padang
sudah ditingkatkan. Dengan kata lain dari desa Kebagoesan yang berpusat di
kampong Kebagoesan Besar akses jalan mutunya sudah sama dengan jalan yang ada
di desa Djati Padang. Ini mengindikasikan bahwa desa Kebagoesan melalui jalan
di desa Djati Padang sudah jauh lebih berkembang jika dibandingkan dengan
kampong Kebagoesan di dekat rel kereta api.
Rumah Megawati Sukarnoputri |
Kelurahan Kebagusan, Pasar Minggu: Rumah Megawati
Sukarnoputri
Era kolonial Belanda berakhir setelah
terjadinya pendudukan militer Jepang pada tahun 1942. Bagaimana situasi dan
kondisi di desa Kebagoesan selama pendudukan Jepang tidak diketahui secara jelas.
Pendudukan Jepang hanya berlangsung singkat karena menyeah kepada Sekutu.
Saat situasi inilah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan
oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun tidak lama kemudian
kembali datang Belanda. Pemerintah RI di Djakarta harus pindah ke Jogjakarta
(sebagai ibukota baru di pengungsian) sementara rakyat dan tentara Indonesia
berperang melawan tentara NICA/Belanda. Area gerilya para pejuang Indonesia
termasuk di desa Kebagoesan.
Di era perang kemerdekaan inilah Fatmawati, istri
Presiden Soekarno melahirkan seorang putri di Jogjakarta yang diberi nama Dyah
Permata Soekawati Poetri alias Megawati Satyawati. Berita kelahiran putri
Presiden RI Soekarno diumumkan melalui radio Jogjakarta (De Volkskrant, 27-01-1947)
dan diberitakan kantor berita Antara yang dilansir surat kabar Nieuwe courant.
Nieuwe courant, 27-01-1947 |
Selanjutnya media lebih sering menulis dengan nama putri
Presiden dengan Megawati. Namun dalam perkembangannya nama putri Presiden
ditulis sebagai Megawati Sukarnoputri (lihat Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 24-01-1951). Penulisan nama Megawati Sukarnoputri muncul
sehubungan dengan berita acara ulang tahun keempat dari putri Presiden yang
diadakan di istana dengan mengundang ratusan anak-anak. Dalam acara ulang tahun
tersebut, setelah bermain dan menari di taman, film berwarna Bambi karya Walt
Disney diputar untuk para tamu kecil. Sejak inilah diduga nama Megawati Sukarnoputri
digunakan hingga ini hari.
.
.
Pada
era 'perang demokrasi', putri Presiden Sukarno yang telah menjadi tokoh politik
lebih memilih tinggal di kelurahan Kebagusan. Rumah Megawati itu kini berada di
jalan Kebagusan IV Dalam. Uniknya, sejak tinggal di Kebagusan pada tahun
1990an, Megawati selalu mencoblos di TPS yang berada di kelurahan Kebagusan
ini. Itu bagusnya, tidak ada buruknya memang.
Kecamatan Pasar Minggu dan Kecamatan Jagakarsa |
Rumah Megawati di kelurahan Kebagusan |
Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu |
Pasar Minggu dan Kebagusan; Tanjung Barat dan Lenteng Agung |
Dalam konfigurasi kecamatan Pasar Minggu dan
pembentukan kecamatan Jagakarsa, nama kampong Kebagoesan, nama desa Kebagoesan
dan nama kelurahan Kebagusan tidak pernah diperhitungkan. Kebagusan selalu
berada dalam baris terakhir di dalam daftar prioritas. Posisinya dari dulu
selalu berada di wilayah terpencil.
Batas kelurahan Lenteng Agung (Peta 1995) |
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah mengapa
batas kelurahan Kebagusan dan kelurahan Tanjung Barat tidak berimpit tetapi
disela oleh kelurahan Lenteng Agung (dari jalan Joe hingga jalan tol Simatupang
antara kanal dan rel kereta api). Itu semua bermula dari awal di masa lampau di
era VOC dalam pembentukan tanah-tanah partikelir (landerein). Setelah land
Sering Sing (Srengseng) dan land Tjinere terbentuk, dibentuk lagi land Ragoenan
(di sisi timur land Tjinere) dan land Tandjong West (di sisi utara land
Srengseng). Lahan-lahan marjinal antara land Tandjong West dan land Ragoenan
adalah sisa milik pemerintah VOC. Lahan pemerintah ini adalah lahan yang menjadi
wilayah kampong Kebagoesan dan kampong Djagakarsa. Pada tahun 1830 land
Tandjong West membangun bendungan di sitoe Babakan dan menarik kanal irigasi ke
hilir mengikuti sisi luar bagian barat land Tandjong West. Setelah adanya kanal
sebagian land Tandjong West dijual dan terbentuk land Tanah Agong. Batas land
Tanah Agoeng yang kemudian berganti nama menjadi land Lenteng Agoeng mulai dari
batas land Srengseng, bagian bawah stasion Lenteng Agoeng dan batas kanal di
sekitar jalan Joe hingga ke hilir. Dalam hal ini jalan kuno dan kanal adalah
wilayah land Tanah Agong/Lenteng Agoeng. Dalam tahap selanjutnya sehubungan
dengan pembangunan pasar Tandjong West dan perkembangan pasar tersebut yang
kemudian disebut Pasar Minggoe, area land Tandjong West yang telah menjadi
urban (wijk) dipisahkan dari land Tandjong West. Batas wijk Pasar Minggoe ini
di sisi selatan berimpit dengan batas land (wijk) Lenteng Agoeng di jalan tol
Simatupang yang sekarang. Batas antara wijk Pasar Minggoe dan land Tandjong
West adalah jalan kuno mulai dari depan Universitas Tama yang sekarang, Poltangan
hingga stasion Pasar Minggoe. Namun secara tradisional, kampong Kebagoesan
memanjang mulai dari sisi land Ragoenan. Lahan pemerintah dan land Tandjong
West. Oleh karena land Tandjong West dijual dan terbentuknya land Tanah
Agong/Lenteng Agoeng maka kampong Kebagoesan juga terdapat di land Tanah
Agong/Lenteng Agoeng. Pada saat penataan administrasi wilayah desa tahun 1930
kampong Kebagoesan mengalami penyusutan. Desa Kaboegasan yang dibentuk tahun
1930 hanya yang berada di lahan pemerintah. Sementara kampong Kebagoesan di
land Lenteng Agoeng (antara kanal dan rel) menjadi bagian dari wijk Lenteng
Agoeng. Sedangkan kampong Kebagoesan di land Tandjong West (sisi timur rel)
menjadi bagian dari desa Tandjong West. Karena itulah kelak nama stasion baru tidak disebut stasion Kebagusan, dan juga bukan stasion Lenteng Agung (Baru), tetapi stasion Tanjung Barat (toh juga Lenteng Agung sudah punya strasion sendiri).
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di
blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah
menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping
pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton
sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam
memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini
hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar