Senin, 11 November 2019

Sejarah Sukabumi (34): Surat Kabar yang Pertama di Sukabumi; Surat Kabar Siesta (1905) dan Sejarah Awal Pers Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah kota-kota adalah kehadiran media umum, surat kabar atau majalah. Keberadaan surat kabar atau majalah dapat dijadikan suatu indikasi apakah suatu kota sudah bersifat kosmopolitan. Syarat perlu munculnya media di suatu kota paling tidak karena adanya penerbit dan pembaca. Syarat cukupnya adalah para pembaca dari waktu ke waktu semakin meluas dan intensitas iklan meningkat (agar bisa bertahan dan berkesinambungan).

De locomotief, 24-01-1901
Surat kabar atau majalah sudah ada sejak era VOC. Namun surat kabar atau majalah tersebut umumnya berbahasa Belanda (yang ditujukan untuk orang Eropa/Belanda dan para elit pribumi). Pada tahun 1850 mulai terdeteksi adanya media berbahasa Melayu yang ditujukan untuk orang-orang Tionghoa dan pribumi. Awalnya media berbahasa Melayu ini diinisiasi oleh orang-orang Eropa/Belanda lalu diminati oleh orang-orang Tionghoa dan kemudian diikuti oleh orang-orang pribumi. Media-media berbahasa Melayu inilah yang kemudian menjadi persemaian awal dalam tumbuh dan berkembangnya pers Indonesia.     

Sehubungan dengan perkembangan awal pers di Hindia Belanda (baca: Indonesia) di masa lampau, apakah kota Soekaboemi  juga mengikuti tren kosmopolitan tersebut? Surat kabar atau majalah apa yang pertama dan sejak kapan bermula? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan perhatian kita untuk menelusuri sumber-sumber tempo doeloe. Mari kita lacak!

Poestaha Depok 12 November 2019
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Soekaboemische Snelpersdrukkerij

Pada tahun 1899 di Soekaboemi sudah diketahui keberadaan Soekaboemische snelpersdrukkerij (lihat De Preanger-bode, 25-11-1899). Dari namanya menunjukkan penerbitan dan percetakan. Soekaboemische snelpersdrukkerij diketahui telah memberi kontribusi yang sangat berarti di Soekaboemi dalam hal barang cetakan yang dibutuhkan pemerintah, swasta maupun masyarakat. Tidak diketahui siapa pemilik Soekaboemische snelpersdrukkerij.

Penerbit dan percetakan (snelpersdrukkerij) terdapat di sejumlah tempat. Di Kota Padang sejak 1900 sudah didirikan Insulinde snelpersdrukkerij yang dimiliki oleh Dja Endar Moeda. Ini berawal dari tahun 1895 ketika Dja Endar Moeda pensiun dari guru pemerintah dan mendirikan sekolah swasta di Padang. Dja Endar Moeda selain kepala sekolah, Dja Endar Moeda juga menulis buku pelajaran sekolah dan buku umum termasuk menulis roman (noval). Pada tahun 1897 sebuah romannya ditawarkan kepada penerbit dan percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer & Co). Penerbit menerima roman tersebut (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897). Akan tetapi juga (sebaliknya) Dja Endar Moeda ditawarkan untuk menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat. Ini ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda diketahui telah mengakuisi penerbit dan percetakan tersebut beserta surat kabar Pertja Barat. Pada tahun itu juga (1900), selain surat kabar Pertja Barat, Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu lainnya yakni surat kabar Tapian Na Oeli. Setahun kemudian Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulan yang diberi nama Insulinde (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-04-1901). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean, lulus tahun 1884.

Pada tahun 1901 pemilik penerbit dan percetakan Soekaboemische snelpersdrukkerij diketahui seorang Tionghoa bernama Lauw Tjing Bie (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 24-01-1901). Disebutkan bahwa Lauw Tjing Bie berniat menerbitkan majalah Melayu dengan nama Tiong Hoa Hwe Po di bawah naungan asosiasi Tiong Hoa Hwe Koan yang berbasis di Batavia.

Soerabaijasch handelsblad, 16-09-1901
Tidak diketahui apakah Lauw Tjing Bie benar-benar merealisasikan surat kabar berbahasa Melayu tersebut. Yang muncul di dalam pemberitaan adalah surat kabar/majalah berbahasa Cina Li Po (lihat Soerabaijasch handelsblad, 16-09-1901). Hal lainnya yang tidak diketahui sejak kapan Lauw Tjing Bie memiliki Soekaboemische snelpersdrukkerij, apakah Lauw Tjing Bie membangun dari awal atau membelinya dari pihak lain. Satu hal bahwa surat kabar/majalah Li Po besar dugaan dicetak oleh Soekaboemische snelpersdrukkerij.

Pada tahun 1905 surat kabar mingguan Siesta terbit di Soekaboemi (lihat De Preanger-bode, 19-01-1905). Disebutkan majalah ini diterbitkan dan dicetak oleh Soekaboemische Snelpersdrukkerij yang mana majalah itu dipimpin editor Ernst Herf. Penerbitan majalah dimaksukan untuk memberikan bacaan untuk Hindia. Tampaknya majalah ini bagus.

De Preanger-bode, 19-01-1905
Tidak diketahui apakah majalah mingguan Siesta ini berbahasa Melayu atau lainnya. Yang jelas editornya adalah seorang Eropa/Belanda. Dalam hal ini juga tidak diketahui apakah editor orang Eropa/Belanda tersebut pemilik penerbitan dan percetakan Soekaboemische Snelpersdrukkerij menggantikan Lauw Tjing Bie. Siesta bukanlah mahasa Melayu atau bahasa Soenda tetapi bahasa Belanda yang artinya tidur siang. Majalah mingguan Siesta ini bukanlah majalah berita tetapi lebih pada majalah untuk bacaan umum (lihat De Sumatra post, 02-03-1905). Pada masa ini kira-kira seperti majalah Femina yang mana juga majalah Siesta mengasuh rubrik sastra yang mencakup esai, cerita pendek dan puisi. Majalah Siesta yang terbit di Soekaboemi yang oplahnya sampai ke Sumatra, Bandoeng dan Jogjakarta tampaknya ditujukan kepada orang Eropa/Belanda dalam bahasa Belanda (lihat De Sumatra post, 14-10-1905). Sementara itu majalah Insulinde yang diterbitkan Snelpersdrukkeri Insulinde di Padang yang dieditori oleh Dja Endar Moeda adalah berbahasa Melayu yang berisi hal-hal praktis yang dapat dilakukan pribumi utamanya di bidang pertanian (semacam majalah Trubus). Pada bulan penerbir majalah Siesta di Soekaboemi akan mendirikan surat kabar yang baru di Jogjakarta (lihat De Sumatra post, 09-12-1905). Disebutkan surat kabar yang baru bernama De Waarheid (Siesta) akan menjadi surat kabar yang ketiga di Jogjakarta. Operasi pemilik majalah Siesta tampaknya telah relokasi ke Jogjakarta (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-05-1906). Namun tidak lama kemudian kehadiran Hert dan Siesta tidak lama karena terjadi delik pers antara majalah dengan salah satu pembaca. Kasus ini tersiar luas hingga ke Belanda.

Media-media yang pernah muncul di Soekaboemi tampaknya tidak berumur panjang. Yang tetap berumur panjang adalah penerbit dan percetakan Soekaboemische Snelpersdrukkerij. Perusahaan barang cetakan ini tidak hanya mencetak barang-barang cetakan juga memiliki outlet (toko) buku yang menjual buku-buku, majalah, surat kabar atau brosur-brosur. Toko (usaha) Soekaboemische Snelpersdrukkerij juga menjadi agen berbagai produk terutama yang terkait dengan peralatan kantor seperti mesin ketik. Portofolio Soekaboemische Snelpersdrukkerij di Soekaboemi terus meningkat dan bahkan sejak tahun 1916 Soekaboemische Snelpersdrukkerij kerap menjadi sponsor dan nama piala (cup) berbagai kejuaraan terutama lomba pacuan kuda.

Pada tahun 1917 Soekaboemische Snelpersdrukkerij diduga telah dimiliki oleh L Zecha. Keberadaan (keluarga) Zecha di Soekaboemi sudah muncul sejak 1907. Hingga tahun 1923 Soekaboemische Snelpersdrukkerij masih dimiliki oleh L Zecha.

Keberadaan perusahaan ini masih terdeteksi hingga 1931. Perusahaan ini belakang tampaknya lebih menonjol dalam bidang importir daripada percetakannya (importir pulpen tinta Parker). Dalam perkembangannya Soekaboemische Snelpersdrukkerij dipimpin oleh Chester Sim Zecha sebagai direktur (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1931). Pada tahun 1932  muncul permasalahan hukum di lingkungan Soekaboemische Snelpersdrukkerij (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1932).

Dalam kasus ini pihak Soekaboemische Snelpersdrukkerij menuntut seorang wartawan di Batavia karena memberitakan soal panganiayaan terhadap Lim Eng Kay di dalam percetakan. Dalam pengadilan yang dilakukan pihak Soekaboemische Snelpersdrukkerij membatah LEK sebagai karyawan Soekaboemische Snelpersdrukkerij dan tidak ada hubungannya dengan kematian LEK. Dalam pangadilan ini turut dihadirkan saksi-saksi diantaranya Law Tjeng Kit alias Maximiliaan Theodoor Zecha (salah satu pemegang saham di Snelpersdrukkerij dan Chester Sim Zecha serta Lawsim Zecha alias Louis Zecha (direktur Hotel Victoria).

Sejak kasus tersebut, nama Soekaboemische Snelpersdrukkerij di Soekaboemi tetap eksis. Satu hal yang terpenting  bahwa Soekaboemische Snelpersdrukkerij telah menerbitkan buku kecil (buklet) tentang Kota Soekaboemi dan sekitar (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1932).

Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1932
Buklet ini disusun oleh Vereeniging VVV Soekaboemi Bloei dengan judul Soekaboemi en Omstreken. Buku ini dengan kata pengantar setebal 67 halaman yang berisi semua fakta tempat di Soekabomi dan sekitarnya. Banyak perhatian telah diberikan pada deskripsi tentang khususnya traveling. Buku ini juga melampirkan peta jalan. Dalam buku ini, penulis menyebut Soekaboemi adalah ‘Kota Tersembunyi’, yang belum ditemukan. Ini adalah niatnya bahwa seseorang harus memahami kata-kata ini dengan kata-kata kiasan, karena meskipun perjalanan ke tempat yang indah ini belum banyak dilakukan, tapi akan memandu pelancong dan membawanya, Buklet itu dijual secara luas dengan harga yang hanya ditetapkan sebesar 25 sen. Penerbit dan percetakan Soekaboemische Snelpersdrukkerij telah memproduksinya dengan rapi.

Pada tahun 1933 muncul nama perusahaan baru bernama Lawsim Zecha en Co. Besar dugaan L Zecha adalah Lawsim Zecha. Pada tahun 1935 Lawsim Zecha en Co diduga pemilik saham terbesar dari NV Bouwmaatschappij ‘Victoria’ di Soekaboemi dimana L Zecha sebagai direktur (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-08-1935). Disebutkan rumah L Zecha berada di Groote Postweg, Soekaboemi. Soekaboemische Snelpersdrukkerij tampaknya mengalami mimpi buruk. Setelah sekian tahun Soekaboemische Snelpersdrukkerij mengalami masalah karena disita (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-01-1936). Akibat penerbit dan percetakan Soekaboemische Snelpersdrukkerij sementara tidak beroperasi dampaknya terasa bagi yang lain, surat kabar Soekaboemi Post juga tidak beroperasi. Antara percetakan Soekaboemische Snelpersdrukkerij dan penerbit Soekaboemi Post (Jones & Co Ltd) terjadi perselisihan. Dalam perkembangannya, seperti dilihat nanti Soekaboemische Snelpersdrukkerij tetap melanjutkan kegiatannya.

Sebagai catatan surat kabar Soekaboemi Post di Soekaboemi paling tidak sudah muncul pada tahun 1923 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-11-1923). Pada tahun 1923 untuk kali pertama dilakukan pengangkatan wali kota (burgemeester) Soekaboemi. Juga pada tahun ini rumah sakit kota dibuka. Surat kabar ini berbahasa Belanda dan terbit setiap hari (harian). Dalam kasus Soekaboemische Snelpersdrukkerij tidak disebutkan apakah surat kabar lainnya juga ikut berhenti beroperasi. Surat kabar tersebut adalah Het Nieuwsblad voor de West Preanger. Surat kabar yang dipimpin P van den Moosdyk mengalami mismanajemen tahun sebelumnya (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-04-1935). Hal ini diduga karena van den Moosdjik bepergian cukup lama setelah pernikahan (bulan madu ke Eropa?) Moodijk menikah di Soekaboemi pada bulan November 1934 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-11-1934). Saat dia kembali ke Soekaboemi ini Moosdijk menemukan surat kabarnya dalam masalah. Boleh jadi surat kabar ini telah berhenti. Sementara itu, pasca perselisihan antara pihak Soekaboemische Snelpersdrukkerij dan pihak surat kabar Soekaboemi Post, surat kabar ini tidak pernah teridentifikasi lagi. Sebagai catatan nama P van den Moosdyk yang beralamat di Soekaboemi termasuk salah satu nama-nama yang dinyatakan pailit oleh Raad van Justitie di Batavia.

Setahun kemudian, dalam rapat pemegang saham diketahui Ch  S Zecha dan M Th Zecha masing-masing sebagai komisaris dari NV ‘Victoria’ (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-09-1936). Hingga tahun 1938 L Zecha masih bertindak sebagai direktur NV Victoria (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-06-1938).

Keluarga Zecha ini tidak hanya pengusaha, ada juga yang berprofesi sebagai dokter. Dr. PS Zecha sebelunya membuka klinik di Amsterdam lalu kemudian di Soekaboemi (dan pada tahun 1939 sudah pindah ke Tanah Abang).

Pada tahun 1939 Louis Zecha dikabarkan meninggal dunia pada usia 60 tahun (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-04-1939). Lawsim Zecha alias Louis Zecha perintis Soekaboemische Snelpersdrukkerij di dalam keluarga Zecha telah memberi jalan sukses kepada anak-anaknya. Dalam situasi duka ini, karyawan Soekaboemische Snelpersdrukkerij turut memasang berita duka di surat kabar (lihat Bataviaasch nieuwsblad,   01-04-1939).

Louis Zecha sebelumnya menggunakan nama Lawsim Zecha. Pada tahun 1899 untuk kali pertama Soekaboemische Snelpersdrukkerij muncul di dalam pemberitaan. Pada tahun 1901 pemilik penerbit dan percetakan Soekaboemische snelpersdrukkerij diketahui seorang Tionghoa bernama Lauw Tjing Bie (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 24-01-1901). Disebutkan bahwa Lauw Tjing Bie berniat menerbitkan majalah Melayu dengan nama Tiong Hoa Hwe Po di bawah naungan asosiasi Tiong Hoa Hwe Koan yang berbasis di Batavia. Besar dugaan Lauw Tjing Bie mengubah nama (inisialnya) menjadi Lawsim Zecha. Dalam hal ini marga Lauw secara tradisional telah diubahnya dengan menabalkan nama marga baru yakni Zecha, Seperti umum dilakukan saat itu penabalan nama marga (family name) dilakukan melalui proses pengadilan.

Sejarah Awal Pers Indonesia

Pers Indonesia bermula dari surat kabar atau majalah berbahasa Melayu, apakah yang dikelola oleh orang-orang Eropa/Belanda atau Tionghoa dan pribumi. Dalam perkembanganya muncul surat kabar atau majalah berbahasa daerah. Awalnya semua media-media ini diawali oleh para investor orang-orang Eropa/Belanda dan Tionghoa.

Surat kabar berbahasa Melayu pertama terbit tahun 1856 di Surabaya yakni Soerat kabar Bahasa Melaijoe yang diterbitkan E. Fuhri & Co. Lalu pada tahun 1858 di Batavia terbit Soerat Chabar Batawie yang diterbitkan oleh Lange en Co. Surat kabar berbahasa Belanda juga terus bertambah. Surat kabar ketiga berbahasa Melayu terbit tahun 1860 di Batavai bernama Selompret Malajoe, Soerat Kabar Basa Malajoe Rendah yang diterbitkan oleh GCT van Dorp. Sejak itu surat kabar berbahasa Melayu terus bertambah dan berkembang. Surat kabar berbahasa Melayu yang terkenal di Batavia adalah Pembrita Betawie. Namun semua surat kabar atau majalah berbahasa Melayu tersebut sepenuhnya investasi orang-orang Eropa/Belanda.

Surat kabar berbahasa Melayu pertama yang investornya pribumi dimulai di Padang. Pada tahun 1900 Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda mengakuisi surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat beserta percetakannya. Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Bauner & Co). Saat akuisisi percetakan Pertja Barat ini, Dja Endar yang juga editor Pertja Barat langsung pada tahun itu menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oelie dan kemudian majalah (pembangunan dan pertanian) dwimingguan Insulinde.

Kedua media baru ini dipimpin langsung editor Dja Endar Moeda. Singkat kata: Dja Endar Moeda adalah investor pertama pribumi di bidang media. Dja Endar Moeda sebelumnya pernah mengatakan sekolah dan pers sama pentingnya. Pers juga dapat mencerdaskan bangsa. Surat kabar Pertja Barat sendiri terbit pertama kali tahun 1890 oleh seorang Jerman di Padang. Setelah beberapa tahun kemudian, manajemen Pertja Barat menemukan seorang mantan guru, Dja Endar Moeda yang telah membuka sekolah swasta sejak 1895 di Padang.

Sementara surat kabar Pertja Barat sudah diakuisisi orang pribumi, editor-editor pribumi mulai bermunculan. Selain Dja Endar Moeda di Padang (sejak 1900), editor Pertja Timor di Medan dipimpin oleh Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe (1902). Di Batavia muncul editor pribumi tahun 1903 di surat kabar Pembrita Betawie yakni Tirto Adhi Soerjo. Sampai sejauh ini sudah ada tiga editor pribumi di surat kabar berbahasa Melayu yang cukup diperhitungkan.

Pada tahun 1908 menggalang dana investasi dari kalangan pribumi. Upaya ini berhasil dengan menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Medan Prijaji. Boleh dikatakan grup investor Medan Prijaji dan Dja Endar Moeda pemilik surat kabar Pertja Barat dan surat kabar Tapian Na Oeli merupakan dua pribumi pertama yang mengawali kiprah pribumi di dalam investasi pers(uratkabaran). Pada tahun-tahun ini dua pribumi yang sedang menuntut ilmu di Belanda menjadi editor majalah bulanan Bintang Hindia. Abdu Rivai yang sejak 1903 menjadi editor Bintang Hindia karena kesibukan ujian akhir studi digantikan oleh Soetan Casajangan. Pada bulan Oktober 1908 diketahui Soetan Casajangan menggagas pendirikan asosiasi pelajar di Belanda yang diberi nama Indische Vereeniging. Radjioen Harahap gelas Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola, Tapanoeli).

Dalam perkembangannya tiga pionir tersebut menghilang. Mangaradja Salamboewe meninggal tahun 1908 di Medan. Sementara Tirto Adhi Soerjo meninggal di Bogor tahun 1914. Sedangkan Dja Endar Moeda setelah berhasil membidani surat kabar Pewarta Deli dan surat kabar Pembrita Atjeh pensiun (karena sudah menua). Lalu dalam perkembangannya jumlah editor pribumi semakin banyak jumlahnya. Demikian juga jumlah investasi pribumi di bidang media semakin banyak.

Daftar surat kabar dan majalah berbahasa Melayu (edisi 1929)
Pada tahun 1918 jumlah surat kabar berbahasa Melayu yang digawangi oleh pribumi di Jawa adalah sebagai berikut: Neratja (Batavia, Abdoel Moeis); Sinar Hindia (Semarang, Semaoen); Oetoesan Hindia (Soerabaja, Tjokroaminoto); Pesisir Oetara (Chirebon, Tajib) dan Kaoem Moeda (Bandoeng, Wignjadisastra). Sementara itu di Sumatra antara lain adalah sebagai berikut: Pewarta Deli (Medan, Soetan Parlindoengan); Oetoesan Melajoe (Padang, DS Maharadja); Tjahaja Sumatra (Padang, Sampono); Benih Merdeka (Medan, Moh. Joenoes); di Makassar adalah Sinar Matahari (Hitijahoebessy). Surat kabar berbahasa campuran Melayu dan Jawa terdapat di Solo (Darmo Kondo, Djawi Hisworo dan di Jogjakarta terdapat surat kabar berbahasa Jawa yang diberi nama Sri Mataram yang dipimpin oleh Djojo di Wirjo. Selain itu terdapat sejumlah majalah periodik diantaranya majalah berbahasa Soenda di Bandoeng dengan editor Darmakoesoema; Papaes Nonoman dengan editor Soeriamidjaja; Tjahja Pasoendan (Wignjadisastra)

Lalu apakah surat kabar atau majalah investasi pribumi di Soekaboemi? Pada tahun 1929 tercatat surat kabar berbahasa Melayu di Soekaboemi, Surat kabar tersebut diberi nama Warta Priangan dengan editor Khoe Sin Hoat. Selain itu di Soekaboemi terdapat majalah berbahasa Melayu yang diberi nama Organisasi Shong Tih Hui.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar