*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Pada masa ini marga menjadi kata generik untuk nama keluarga (family name). Tidak hanya untuk orang Batak, untuk orang Arab, orang Tionghoa tetapi seluruh bangsa Indonesia. Penggunaan nama marga di Indonesia secara administratif awalnya muncul pada era kolonial dan semakin intens dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian, jika diperhatikan ke belakang, asal-usul pembentukan marga berbeda satu sama lain.
Pada masa ini marga menjadi kata generik untuk nama keluarga (family name). Tidak hanya untuk orang Batak, untuk orang Arab, orang Tionghoa tetapi seluruh bangsa Indonesia. Penggunaan nama marga di Indonesia secara administratif awalnya muncul pada era kolonial dan semakin intens dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian, jika diperhatikan ke belakang, asal-usul pembentukan marga berbeda satu sama lain.
Praktek penggunaan marga sesungguhnya secara
sosial jauh sebelum orang-orang Eropa/Belanda mempopulerkannya diantara
orang-orang non-Eropa di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Namun, bagaimanapun,
orang-orang Eropa/Belanda yang mendorong kebutuhan marga di belakang nama untuk
orang-orang non-Eropa terutama Arab, Tionghoa dan pribumi. Lalu muncul gagasan
pembentukan marga baru (yang harus disahkan oleh pemerintah) termasuk diantara
orang-orang yang Batak yang telah memiliki marga. Nah, untuk menambah
pengetahuan mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Transformasi Marga dan Pembentukan Marga Baru
Pada tahun 1889 muncul di Jogjakarta seorang
pribumi mendaftarkan namanya menjadi nama keluarga (lihat Nederlandsche
staatscourant, 23-08-1889). Nama pribumi tersebut adalah Kassian yang dalam
sehari-hari menyebut dirinya sebagai Chepas. Kassian, seorang fotografer
namanya kerap ditulis dengan nama Kassian Chepas. Kassian Chepas mengajukan
namanya di Djokjokarta pada tanggal 14 Juni 1888 yang ditujukan kepada Gubernur
Jenderal untuk dirinya dan putranya Sem dan Tarif agar disahkan memiliki nama
keluarga Cephas. Permintaan ini kemudian dikabulkan pemerintah (lihat
Nederlandsche staatscourant, 31-12-1889).
Pemerintah
sejak 1883 mengakomodir bagi pribumi untuk mendaftarkan nama untuk dijadikan
menjadi nama keluarga dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni
dikeluarkannya Ordonansi 30 Juli 1883 (Indisch Staatsblad No. 192). Mangapa
muncul ordonansi ini tidak diketahui secara jelas. Akan tetapi diduga karena
ada dorongan dari pribumi, karena penulisan nama keluarga di belakang menjadi
semacam keharusan bagi orang-orang Eropa/Belanda.
Sebelumnya penulisan nama-nama orang pribumi
hanya didasarkan pada nama kecil, nama gelar atau gabungan keduanya. Nama gelar
ini sudah umum secara adat digunakan orang pribumi teutama di Jawa dan Sumatra.
Secara khusus di Jawa dan Minangkabau, nama gelar ini digabungkan dengan nama
(tingkat) jabatan (dalam struktur pemerintahan tradisional). Di daerah
Tapanoeli, nama-nama jabatan tradisional ini kurang menonjol.
Di
daerah Soenda (Jawa) jabatan atau posisi sosial tersebut paling tidak terbagi
dua belas tingkatan, yakni 1. Adipati, 2. Aria, 3. Toemenggoeng, 4. Demang, 5.
Raden, 6. Ngabei, 7. Maas, 8. Rangga, 9. Condoran, 10. Patih atau bendahara, 11,
Ombo atau kepala, 12. Mandor atau Loerah (lihat Tijdschrift voor Neerland's
Indie, 1856). Di daerah Minangkabau jabatan-jabatan ini antara lain panghoeloe,
doebalang, malim dan manti. Untuk setiap orang dewasa (setelah menikah) di
dalam masing-masing suku (kaum) memiliki gelar sendiri-sendiri yang dalam
pepatah lama disebut ‘ketek banamo gadang bagala’. Untuk gelar bagi jabatan
tertentu di dalam kaum memiliki gelar (pusaka) tersendiri (lihat Sumatra-bode, 18-05-1922).
Penulisan nama di daerah Tapanoeli khususnya di
Afdeeling Angkola en Mandailing adalah nama kecil dan atau nama gelar. Di daerah
Jawa nama kecil ini menghilang sehubungan dengan ditabalkannya nama gelar,
sementara di Sumatra (Tapanoeli dan Minangkabau) nama kecil adakalanya tetap
disebut meski ada yang lambat laun hanya ditulis nama gelarnya saja. Penggunaan
nama marga belum lazim.
Penggunaan
nama marga di belakang nama awalnya jarang digunakan dalam penulisan nama. Yang
umum adalah nama kecil plus nama gelar. Misalnya, Radjioen gelar Soetan
Kasajangan. Dalam hal ini Radjioen adalah nama kecil, Soetan Kasajangan adalah
nama gelar. Sementara ayahnya bernama Tagor gelar Maharadja Soetan. Sedangkan
nama kakeknya hanya ditulis Patoean Soripada. Patoean adalah jabatan dan
Soripada adalah nama gelar. Dalam hal ini nama kecil kakeknya jarang dipakai
sehingga tidak pernah ditemukan dalam penulisan nama dan hanya disebut Patoean
Soeripada. Di Afdeeling Mandailing en Angkola umumnya gelar seseorang umumnya ditambahkan
dengan mengabil nama kekek (ompung), bukan ayah. Oleh karena itu gelar Radjioen
dalam hal ini adalah Soetan Kasajangan Soeripada. Radjioen gelar Soetan
Kasjangan (Soripada) tidak pernah ditemukan menambahkan nama marganya
(Harahap). Dalam penulisan nama marga hanya muncul sebagai keterangan seperti Radjioen
gelar Soetan Kasajangan (Soeipada) marga Harahap. Jadi, penggunaan nama marga
di belakang nama belum lazim.
Penggunaan nama marga di belakang nama awalnya
terdeteksi di kalangan misionaris. Para misionari adakalanya sudah menyebut
nama seseorang pribumi dengan notasi nama kecil plus nama marga (tidak dengan
menggunakan nama gelar).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Asal-Usul Marga Batak
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar