*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Lembaga sosial (social institution) sudah ada
sejak lama di jaman kuno seperti kerajaan dan subak. Lembaga sosial terkecil
adalah keluarga. Namun organisasi sosial masih terbilang baru untuk semua penduduk
di Indonesia. Lembaga cenderung disebut bersifat tradisi(onal) sedangkan organisasi
bersifat modern. Lembaga dan organisasi kurang lebih sama yang membedakan
sifatnya. Contoh organisasi misalnya sekolah, OSIS, perusahaan dan
pemerintahan. Kita sendiri hidup dalam berbagai organisasi-organisasi bahkan sejak
lahir (rumah sakit) hingga mati (TPU).
Dalam
sejarah Indonesia, yang sering disebut adalah organisasi sosial Boedi Oetomo.
Namun organisasi sosial masyarakat Indonesia banyak yang telah didirikan,
seperti Pagoejoeban Pasoendan, Kaoem Betawi, Perserikatan Nasional Indonesia,
Jong Java, Jong Batak dan lain sebagainya. Organisasi sosial ini ada yang
berubah menjadi organisasi partai. Organisasi-organisasi sosial ini mengambil
peran masing-masing dalam merajut persatuan yang kemudian terbentuk persatuan
yang lebih besar seperti PPPKI, Madjelis Rakjat Indonesia dan NKRI.
Lantas bagaimana dengan sejarah organisasi sosial
di (pulau) Bali? Yang jelas tempo doeloe
terdapat satu organisasi sosial yang terkenal di Bali yang diberi nama Bali
Darma Laksana. Seperti halnya Boedi Oetomo bukan yang pertama, di Bali juga ada
organisasi sosial yang lebih tua dari Bali Darma Laksana. Untuk itu, agar
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*
Organisasi Sosial (Societeit) Surya Kanta dan I Goesti Tjakra Tanaja
Dalam permulaan terbentuknya
organisasi-organisasi sosial di Hindia Belanda (baca: Indonesia) setiap wilayah
(kota) memiliki karakternya sendiri, prospek dan tantangan yang dihadapi. Lain
di Sumatra, lain pula di Jawa dan lain lagi di Bali. Yang jelas, penduduk mulai
maju, makin banyak yang berpendidikan dan banyak pula yang telah memiliki
pergaulan antara bangsa. Meski setiap wilayah berakar ke dalam, tetapi
pengetahuan mampu menyerap perkembangan yang terjadi di tempat lain untuk
diterapkan di wilayahnya. Satu perhatian yang mengemuka di ruang pengetahuan
dan pergaulan adalah keinginan untuk terwujudnya persatuan di dalam kelompok
sosial. Realisasi persatuan itu adalah mendirikan organisasi sosial.
Di
antara orang-orang Eropa-Belanda organisasi sosial itu sudah tumbuh sejak lama
dan telah berkembang di banyak kota-kota. Organisasi sosial pertama (societeit)
didirikan di Batavia yang diberi nama Societeit Harmonie. Organisasi sosial ini
semakin semarak di era pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1837
didirikan societeit di Padang. Pada tahun 1865 Societeit Harmonie di Soerabaja
dan pada tahun 1868 di Makassar. Dalam perkembangannya di Batavia muncul
organisasi sejenis di kalangan para mantan-mantan militer yang diberi nama
Societeit Concordia. Organisasi Societeit Concordia ini kemudian dikloning di Soerabaja
(1862) dan di Bandoeng (1879) tetapi kemudian bersifat umum (tidak terbatas di
antara para pensiunan militer). Di Buitenzorg sebelumnya sudah muncul societeit
tahun 1875. Di Medan societeit baru didirikan pada tahun 1887.
Organisasi
sosial (societeit) Eropa-Belanda ini dibentuk oleh para anggotanya sebagai
fungsi sosial dimana di societeit dilangsungkan kegiatan-kegiatan sosial
seperti pertunjukan musik, kegiatan olah raga dan sebagainya.Organisasi sosial
ini memiliki struktur kepemimpinan dan daftar anggota tetap dan anggota luas
biasa. Organisasi sosial ini memiliki statuta (AD-ART) yang mana diajukan ke
pemerintah untuk disahkan dan diizinkan melakukan kegiatan. Untuk societeit
yang lebih besar dapat dibagi ke dalam bidang-bidang tertentu (club) seperti sepak
bola, sepeda, pacuan kuda, seni dan bahkan ada bidang (club) yang terkait
dengan ilmu dan pengetahuan. Societeit besar tidak jarang yang mengundang grup
musik dari Eropa atau mengundang para pembicara untuk mempresentasikan topik
tertentu. Sebagai anggota dan untuk mendukung kelangsungannya dikutip iuran dan
setiap tahun diadakan rapat anggota dan pemilihan pengurus baru setiap dua atau
tiga tahun.
Pada tahun 1900 di Padang dibentuk organisasi
sosial diantara penduduk pribumi. Penggagasnya adalah Dja Endar Moeda, seorang pensiunan
guru yang menjadi pemilik dan pemimpin (editor) surat kabar berbahasa Melayu,
Pertja Barat. Organisasi sosial (societeit) di Padang ini disebut Medan
Perdamaian. Medan Perdamaian adalah organisasi sosial pertama kaum pribumi,
direktur pertamanya adalah Dja Endar Moeda.
Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda lahir di Padang Sidempoean (Tapanoeli) pada tahun
1861. Lulus sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean pada tahun 1884 yang
mana salah satu gurunya yang terkenal Charles Adriaan van Ophuijsen. Setelah berpindah-pindah tempat menjadi guru dan
setelah mengabdi selama delapan tahun meminta pensiun dini di Singkil dan
selanjutnya berangkat naik haji ke Mekkah. Sepulang dari Mekah menetap di
Padang dan mendirikan sekolah swasta di kota itu pada tahun 1895. Pada tahun
1897 ketika menawarkan novel terbarunya ke penerbit di Padang, dia juga
ditawari menjadi editor surat kabar mereka, surat kabarberbahasa Melayu bernama
Pertja Barat. Dja Endar Moeda menyanggupi. Lalu muncul statementnya bahwa
sekolah dan jurnalistik sama pentingnya karena sama-sama untuk mencerdaskan
bangsa. Pada tahun 1900 diketahui Dja Endar Moeda telah mengakuisisi pecetakan
dan surat kabar Pertja Barat. Pada tahun ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan
satu surat kabar berbahasa Melayu dengan nama Tapian Na Oeli (untuk sirkulasi
di Residentie Tapanoeli) dan juga satu majalan (bulanan) yang diberi nama
Insulinde (yang berisi atrtikel-artikel pembangunan, kemasyarakat dan
pertanian). Dengan portofolio yang tinggi di Padang, Dja Endar Moeda
menginisiasi pembentukan organisasi sosial (sosieteit) yang diberi nama Medan
Perdamaian.
Organisasi sosial (societeit) Medan Perdamaian tidak
bersifat eksklusif tetapi secara sadar dibentuk sebagai organisasi
trans-nasional, tidak hanya untuk warga Padang (Melayu dan Minangkabau) tetapi
juga mencakup penduduk Batak, Jawa, Madura dan Bali. Sebagai penggagas, Dja
Endar Moeda mengubah motto surat kabar Pertja Barat dengan motto ‘Oentoek
Segala Bangsa’ (untuk semua suku bangsa pribumi). Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda,
direktur Medan Perdamaian menyumbang sebanyak f14.490 untuk peningkatan kulitas
pendidikan di Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels en adv blad,
21-08-1902).
Sekolah
pertama kali di buka di Bali pada tahun 1872. Ini sesuai dengan surat Menteri
Koloni 13 Juni 1871 yang diterima di Buitenzorg pada tangga 19 Agustus 1871
yang berisi tentang pendirian sekolah pribumi (inlandsche School) di Boeleleng,
pulau Bali Residentie Banjoewangi (lihat Bataviaasch handelsblad, 23-08-1871).
Disebutkan dalam surat ini, sekolah di Boelelng akan dibuka pada tanggal 7
Januari 1872. Saat itu di Boeleleng adakan ibukota dimana Asisten Residen
berkedudukan dan seorang Controleur ditempatkan di Djembrana (Negara). Sejak
1871 di Boeleleng N van der Tuuk melakukan studi bahasa dan sastra Bali.
Boeleleng adalah kota pelabuhan terpenting di Bali dan Lombok. Sejak 1876 sudah
ada siswa lulusan Boeleleng yang melanjutkan studi ke Jawa.
Pada
tahun 1882 Bali dipisahkan dari Jawa (Banjoewangi) dan kemudian membentuk
Residentie Bali en Lombok dengan ibu kota di Boeleleng. Cabang Pemerintah
Hindia Belanda baru terbatas di Afdeeeling Boeleleng dan di afdeeeling
Djembrana. Sekolah pemerintah kemudian didirikan di Negara. Pada tahun 1895
dibentuk afdeeling Lombok dengan ibu kota Mataram. Status asisten residen Bali
en Lombok ditingkatkan menjadi Residen dimana di Lombok juga ditempatkan
seorang asisten residen (dan Controleur di Selong dan Praja). Sejak 1897 di
Selong didirikan sekolah. Beberapa tahun kemudian sudah ada beberapa siswa yang
melanjutkan studi pamong pradja ke Jawa (Mosvia) dan sekolah guru (kweekschool)
di Makassar.
Pada
tahun 1908 dibentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda di Zuid Bali sebagai satu
afdeeeling yang ditetapakn ibu kota di Denpasar dimana seorang Asisten Residen
ditempatkan, Sejak ini di Denpasar didirikan sekolah. Dengan demikian di
Residentie Bali en Lombok sudah terbentuk cabang pemerintahan dengan empat
afdeeeling: Boeleleng, Djembrana, Lombok dan Zuid Bali. Pulau Bali dengan
sendirinya mulai terhubung antara satu afdeeeling dengan afdeeling lainnya
dengan dibangunnya (ditingkatkannya) jalan trans Bali. Selama ini jalan kelas-1
hanya terbatas antara ruas Tjandikoesoema dengan Negara=Djembrana, ruas
Boeleleng dan Soekongenep (timur) dan ruas Boeleleng dengan Pengastoelan
(barat).
Pada bulan Mei 1908 sejumlah pemuda Jawa yang
kuliah di sekolah kedokteran (STOVIA) di Batavia yang dimotori Soetomo dkk mendirikan
organisasi sosial (societeit) yang diberi nama Boedi Oetomo. Dalam kongres
pertama yang diadakan pada awal bulan Oktober 1908 di Djogjakarta AD-ART Boedi
Oetomo disahkan. Namun yang menjadi persoalan, societeit ini diaokupasi oleh
golongan senior seperti bupati dan bangsawan lainnya. Para pemuda STOVIA gigit
jari. Hal ini karena cakupan Societeit Boedi Oetomo hanya terbatas di Jawa dan
Madoera. Societeit Boedi Oetomo ini disebut mirip (copy paste) dengan Societeit
Medan Perdamaian di Sumatra (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).
Rumor
tentang okupasi oleh golongan senior di Boedi Oetomo sudah beredar luas hingga
negeri nun jauh di sana di Belanda. Jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sudah
ada sebanyak 20 orang yang tersebar di berbagai kota. Salah satu diantara
mahasiswa tersebut Soetan Casajangan (non-Jawa) menginisasi dibentuknya
organisasi sosial (societeit) di Belanda. Dalam rapat yang diadakan di tempat
Soetan Casajangan di Leiden, diputuskan didirikan organisasi (mahasiswa) yang
diberi nama Indische Vereeniging pada tanggal 25 Oktober 1908 dengan aklamasi
mengangkat Soetan Casajangan sebagai presiden dan Raden Soemitro sebagai
sekretaris-bendahara. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah alumni
Kweekschool Padang Sidempoean (adik kelas dari Dja Endar Moeda).
Dalam
perkembangannya, Dr. Soetomo melanjutkan studi ke Belanda. Ketika Dr. Soetomo cs
menjadi pengurus Indische Vereeniging tahun 1821 mengubah nama organisasi
dengan nama Indonesiasche Vereeniging. Soetan Casajangan sendiri pulang ke
tanah air pada tahun 1915, Pada tahun 1921 menjabat sebagai Direktur sekolah
guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta). Lalu pada
tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah lagi nama organisasi Indische Vereeniging
dengan nama Perhimpoenan Indonesia (PI). Dr. Soetomo sendiri setelah selesai
studi dan mendapat gelar dokter setara Eropa kembali ke tanah air pada tahun
1924. Pada tahun 1924 ini Dr. Soetomo dkk di Soerabaja mendirikan klub studi
yang diberi nama Indonesiaas Studieclub (lihat De Indische courant, 14-07-1924).
Klub studi menerjemahkan persoalan penduduk pribumi, Sebagaimana Indonesiasche
Vereenigingdi Belanda, klub studi ini melakukan diskusi, analisis dan
presentasi dan menerbitkan media.
Pada tahun 1924 seorang terpelajar dari Boeleleng
bernama I Goesti Tjakra Tanaja mendirikan organisasi sosial (societeit) di Bali
yang diberi nama Surya Kanta. Organisasi Surya Kanta ini juga membentuk surat
kabar (bulanan) sebagai organ dari organisasi. Organisasi ini yang awalnya
digagas oleh I Goesti Tjakra Tanaja untuk mengusung kesetaraan ternyata sangat
diminati oleh kaum bangsawan. Persoalannya mirip yang dialami oleh Boedi Oetomo
yang diokupasi oleh golongan senior (para bangsawan). Seperti halnya Soetomo, tampaknya
I Goesti Tjakra Tanaja juga gigit jari. Misi pembentukan Surya Kanta (bersifat trans-nasional)
tidak jalan.
I
Goesti Tjakra Tanaja adalah alumni sekolah pamong pradja (OSVIA) di Jawa. Pada
tahun 1910 kepala district (penggawa) Soekasada-Pandji, afdeeeling Boeleleng
Goesti Njoman Raka meminta dengan hormat mengundurkan diri karena alasan
kesehatan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-11-1910). Lalu muncul dua kandidat
yakni Goesti Bagoes Mantra dan I Goesti Tjakra Tanaja. Untuk memilih satu
kemudian dewan adat (Raad van Kerta) melakukan rapat. Dalam sidang dipilih dan
ditetapkan dan I Goesti Tjakra Tanaja (lihat De Maasbode, 14-12-1910).
Tampaknya preferensi jatuh kepada I Goesti Tjakra Tanaja karena ia memiliki
pendidikan yang lebih tinggi (alumni OSVIA).
Dalam
perkembangannya diketahui bahwa I Goesti Tjakra Tanaja dipecat dari jabatannya
sebagai kepala district Soekasada, Boeleleng. Tidak diketahui secara jelas apa
yang menyebabkan dirinya dipecat. Tentu saja bukan karena kapasitas, sebab
untuk urusan pemerintahan dia telah memiliki ilmunya (sebagai lulusan OSVIA
Malang). Tentu saja pemecatan itu bersifat fatal yang boleh jadi membuat murka
pejabat Belanda atau para anggota dewan Raad van Kerta. Sejak pemecatan ini I
Goesti Tjakra Tanaja menyingkir ke Jawa. Satu tempat yang mungkin baginya di
Jawa adalah Soerabaja. Organisasi-organisasi sosial baru juga di Jawa bermunculan
seperti Pagoejoeban Pasoendan, Sumatranen Bond (1917, digagas oleh Sorip Tagor
Harahap di Belanda), Bataksche Bond (1919, digagas oleh Abdoel Rasjid Siregar
di Batavia), Kaoem Betawi dan sebagainya. Besar dugaan I Goesti Tjakra Tanaja
telah mengikuti presentasi-presentasi Indonesia Studiclub di Soerabaja yang
dipimpin oleh Dr. Soetomo yang kemudian memicunya kembali pulang ke Bali dan
lalu mendirikan organisasi sosial (societeit) Surya Kanta.
Afdeeling Boeleleng tidak hanya ibu kota
(Singaradja). Pelabuhan Boeleleng adalah pelabuhan transit ke berbagai tempat
yang ramai. Afdeeling Boeleleng sendiri termasuk yang paling heterohen
penduduknya di (pulau) Bali. Hubungan transportasi yang lancar ke Soerabaja
menyebabkan berbagai media mudah dibeli di Boeleleng. Oleh karena itu Boeleleng
adalah pintu perubahan di Bali (yang dalam hal ini soal isu-isu persatuan dan
politik berbangsa). I Goesti Tjakra Tanaja adalah salah satu tokoh muda Bali
yang cepat merespon itu. Meski dia terikat dengan tanah kelahiran, tetapi secara
pikiran dia terhubung ke dinamika di Jawa. I Goesti Tjakra Tanaja bagaikan
Soetan Casajangan van Tapanoeli dan Dr Soetomo van Java.
Di
Bandoeng, pada tahun 1926 Soekarno dan kawan-kawan juga berinisiatif mendirikan
studieclub yang diberi nama Algemeene Studie Club. Pada tanggal 7 November 1926
di Bandoeng diadakan pertemuan publik pertama Algenieene Studieclub dengan tema
‘Politiek en Economie in de Koloniale Overheersching’ (Politik dan Ekonomi di
dominasi kolonial). Pertemuan ini dilakukan di balairung yang dipenuhi sekitar
600 orang termasuk 15 orang perempuan pribumi (Bataviaasch nieuwsblad,
08-11-1926). Dalam pertemuan ini juga turut hadir Goenawan, Mohamad Sanoessi,
Soeprodjo, Soediro, Darmoprawiró, Dr Tjipto dan Dr. Douwes Dekker. pertemuan
itu dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangun Koesoemo. Sementara pada panel duduk Ir.
Anwari, Ir. Soekarno dan guru Kadmirah.
Parada Harahap, editor surat kabar Bintang Timoer
di Batavia mulai memperhatikan sepak terjang Ir. Soekarno dan memberitakannya
dan kemudian mengundangnya untuk mengirim tulisan ke surat kabar yang
dipimpinnya Bintang Timoer yang belum lama didirikan. Gayung bersambut. Parada
Harahap yang menjadi sekretaris Sumatranen Bond sudah sejak lama mengenal
Mohamad Hatta. Dr. Soetomo berutang budi kepada Parada Harahap.
Parada
Harahap yang masih berusia 17 tahun dipecat sebagai krani (juru tulis) di
sebuah perkebunan (plantation) di Deli tahun 1918. Ini bermula ketika Parada
Harahap sebagai krani tidak tahan melihat penderitaan kuli asal Jawa di
perkebunan-perkebunan Eropa-Belanda di Deli karena penerapan poenalie sanctie.
Lalu Parada Harahap melakukan penyelidikan dan laporannya dikirim ke surat
kabar Benih Mardika yang terbit di Medan. Laporan-laporan itu disarikan menjadi
beberapa artikel yang kemudian artikel-artikel di Benih Mardika itu dilansir
surat kabar Soeara Djawa. Lalu heboh di (pulau) Jawa. Akhirnya diketahui sumber
peberitaan itu, lalu Parada Harahap dipecat sebagai krani. Memang dasar
patriot, Parada Harahap tidak pulang kampong ke Padang Sidempoean tetapi
merantau ke Medan dan melamar menjadi wartawan di Benih Mardika dan anehnya
langsung diangkat sebagai editor pada tahun 1918. Sebelumnya Dr. Soetomo yang
ditempatkan di Tandjoeng Moerawa mengeluh melihat nasib kuli Jawa di Deli.
Setelah selesai bertugas di Deli dua tahun pada tahun 1915 kembali ke Jawa.
Ketika tiba di Batavia, Dr. Soetomo meminta Boedi Oetomo afdeeling (cabang)
Batavia yang diketuai Dr Sardjito untuk mengadakan rapat umum. Dalam rapat umum
ini, Dr. Soetomo berkeluh kesah tentang penderitaan kuli asal Jawa di Deli.
Dalam pidatonya Dr. Soetomo menggarisbawahi ‘kita tidak bisa hidup sendiri [hanya
terbatas di Jawa], banyak orang Tapanoeli yang terpelajar dan terdapat
dimana-mana. Penderitaan warga kita di Deli tidak bisa kita selesaikan sendiri’.
Setelah berita di Soeara Djawa yang mengutip Benih Mardika, pemerintah mulai
memperhatikan kesejahteraan kuli di perkebunan dengan perubahan aturan-aturan.
Oleh
karena surat kabar Benih Mardika dibreidel karena kasus perdata yang dialami
para pemimpinya, Parada Harahap tidak mau menganggur tetapi segera pulang
kampong dan mendirikan surat kabar di Padang Sidempoean pada bulan September
1919. Surat kabarnya diberi nama Sinar Merdeka dengan motto meningkatkan
keadilan penduduk. Pada tahun ini juga Sumatranen Bond mengadakan kongres
pertama di Padang. Ketua panitia kongres Amir, mahasiswa STOVIA dan pembina
kongres Dr. Abdoel Hakim Nasution, anggota dewan Gemeenteraad kota Padang). Parada
Harahap memimpin delegasi Tapanoeli ke kongres itu. Di sinilah Parada Harahap
pertama kali bertemu dengan Mohamad Hatta sebagai pemimpin delegasi kota
Padang. Pada kongres kedua tahun 1921 Parada Harahap kembali bertemu. Pada
tahun 1922 Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belanda. Oleh karena Sinar
Merdeka dibreidel karena delik pers, Parada Harahap pada tahun 1823 hijrah ke
Batavia dan mendirikan surat kabar yang diberi nama Bintang Hindia (pembinanya
adalah Dr. Abdoel Rivai dan Soetan Casajangan, keduanya adalah pentolan
Indische Vereeniging tempo dulu di Belanda). Pada tahun 1925 Parada Harahap
mendirikan kantor berita pribumi pertama yang diberi nama Alpena dengan
merekrut WR Soepratman sebagai editor. Sepulang Parada Harahap melakukan
kunjungan jurnalistik ke Sumatra dan Semenanjung Malaka dan membukukan serta
menerbitkannya pada tahun 1926. Pada tahun ini juga Parada Harahap mendirikan
surat kabar baru yang diberi nama Bintang Timoer.
Dalam konteks ini, Parada Harahap mulai
menggalang persatuan yang lebih besar, tidak hanya diantara
organisasi-organisasi kebangsaan (Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Kaoem Betawi,
Pasoendan dan lainnya), Parada Harahap juga ingin organisasi-organisasi
mahasiswa yang menjadi organ organisasi kebangsaan untuk menyatukan langkah
menuju Indonesia Merdeka. Inilah yang mendasari, mengapa Parada Harahap berambisi
segera mewujudkan persatuan yang lebih besar. Lalu Parada Harahap, sekretaris
Sumatranen Bond pada bulan September 1927 mengundang pemimpin
organisasi-organisasi sosial di rumah Dr. Hussein Djajadiningrat (salah satu
pentolan Indische Vereeniging). Dalam rapat ini disepakati dibentuk supra
organisasi yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan
Indonesia yang disingkat PPPKI. Dalam rapat ini hadir antara lain perwakilan
dari Pasoendan, Kaoem Betawi (MH Thamrin), Islamieten Bond, Bataksche Bond dan
Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) yang berpusat di Bandoeng diwakili oleh ketuanya
Ir. Soekarno serta Boedi Oetomo (secara sukarela diwakili Dr Soetomo). Secara aklamasi
pengurus diangkat sebagai ketua MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Tugas
pertama pengurus adalah membangun kantor-gedung dan persiapan untuk kongres
yang akan diadakan pada bulan September 1928.
Parada
Harahap pada satu sisi terus aktif membangun PPPKI, namun di sisi lain Parada
Harahap terus membendung serangan pers
Belanda soal tanah air milik nenek moyang, soal persatoean dan munculnya partai
politik. Anehnya, sebagian wartawan dari pers pribumi turut mendiskreditkan
Parada Harahap dan lebih memihak pers Belanda. Parada Harahap tentu tidak
sendiri, masih banyak orang-orang revolusioner seperti Soekarno dan Mohammad
Hatta yang berani bertarung dan bersuara garang di publik. Musuh utama yang
menjadi seteru polemik Parada Harahap adalah Karel Wijbrand (mantan editor
Sumatra post yang kini, seperti Parada Harahap berkarir/hijrah ke Batavia).
Pers Belanda terus menggarisbawahi statement-statement para revolusioner baik yang
terdapat di media (seperti Bintang Timoer) maupun di rapat-rapat besar.
Kantor-gedung
PPPKI selesai dibangun di Gang Kenari.
Lahannya adalah sumbangan dari milik MH Thamrin. Untuk biaya pembangunan Parada
Harahap menggalang dana dari para pengusaha pribumi di Batavia. Parada Harahap
adalah ketua organisasi perngusaha pribumi Batavia (semacam KADIN pada masa
ini). Rapat-rapat umum oleh berbagai perhimponena kebangsaan. Satu yang unik di
dalam gedung ini, Parada Harahap sebagai kepala kantor memajang tiga foto di
dinding yakni Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohamad Hatta. Di sekitar gedung ini
juga didirikan sekolah. Untuk sekadar diketahui gedung ini masih eksis hingga
ini hari.
Sebelum pembentukan PPPKI ini di Batavia, di Bali
organisasi sosial (societeit) Surya Kanta meski sudah memasuki tahun ketiga
namun respon penduduk tidak menyeluruh seperti organisasi-organisasi sosial seheboh
di Jawa dan Sumatra. Ada permasalahan rumit yang dilihat oleh I Goesti Tjakra
Tanaja. Surya Kanta hanya bersemangat di afdeeeling Zuid Bali dimana para
bangsawan dominan. Sebaliknya di Afdeeling Boeleleng di kampong halaman I
Goesti Tjakra Tanaja agak sedikit bermasalah. Sebagaimana diberitakan surat
kabar De Indische courant, 02-04-1927 ketika Surya Kanta mengadakan rapat di
Singaradja pada akhir bulan Desember 1926 hanya dua orang bangsawan yang hadir.
I Goesti Tjakra Tanaja sebagai ketua melihat tingkat ketertarikan yang rendah
ini dia menyatakan kekecewaannya. Rapat di Singaradja didominasi kalangan orang
biasa (sementara di Zuid Bali sebaliknya kalangan bangsawan yang dominan). Ada
perbedaan tarikan di antara dua wilayah ini (utara dan selatan). I Goesti
Tjakra Tanaja berharap sesuai misinya dalam membentuk organisasi satu sama lain
elemen masyarakat menyatu (membentuk persatuan dan kesatuan). Boleh jadi
permasalahan internal di Bali yang diduga menjadi sebab Surya Kanta tidak
terwakili di rapat pembentukan PPPKI di Batavia.
Dalam
persiapan Kongres PPPKI (senior) pada bulan September 1928, Parada Harahap
telah meminta Dr. Soetomo yang menjadi ketua panitia. Lalu penyelenggaraan
Kongres PPPKI diintegrasikan dengan kongres para pemuda yang akan diadakan pada
bulan Oktober 1928. Parada Harahap telah menginisiasi pembentukan komite
Kongres Pemoeda. Dalam susunan komite ini ditempatkan tiga tokoh pemuda yang
terhubung dengan Parada Harahap dan Dr Soetomo. Ketua komite adalah Soegondo
(ketua PPPI, organ pemuda PPPKI), sebagai sekretaris adalah Mohamad Jamin (dari
Jong Sumatranen Bond) dan sebagai bendahara adalah Amir Sjarifoeddin Harahap (dari
jong Bataksche Bond). Tiga orang ini kebetulan sama-sama mahasiswa di
Rechthoogeschool Batavia (yang mana sebagai dekan adalah Dr Husein
Djajadiningrat, Ph.D).
Meski demikian, tampaknya pada Kongres PPPKI yang
diadakan pada tanggal 29 dan 30 September 1928 perwakilan Surya Kanta hadir.
Hal ini karena selepas kongres, Parada Harahap yang dikutip surat kabar Belanda
menyebutkan kekecewaannya karena dalam kongres tidak hadir perwakilan Minahasa
dan Ambon.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bali Darma Laksana dan I Njoman Kadjeng
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar