*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Sejak jaman kuno, ada beberapa
suku bangsa (etnik) di nusantara yang bukan pelaut, diantaranya orang Bali dan orang
Batak. William Marsden (1811) heran mengapa orang Batak bukan pelaut padahal
teluk Tapanoeli selain banyak ikannya adalah pelabuhan terbaik di pantai barat
Sumatra. Heinrich Zollinger (1847) menyatakan pantai-pantai Bali banyak ikannya
dan teluk-teluknya banyak yang dapat dijadikan pelabuhan yang baik, tetapi
orang Bali bukan pelaut. R van Eck (1878) menyatakan orang Bali bukan pelaut,
karena itu mereka tidak pernah meninggalkan tanah mereka atas kehendak sendiri.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, orang Bali mendatangkan ikan dari
orang Bugis dan orang Mandar.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk, 2010 di
Provinsi Jawa Timur tercatat hanya lima etnik asli yang menjadi penduduk asli
Jawa Timur, yakni Jawa, Madura, Osing,
Bawean, dan Tengger. Dari 37,476,757 jiwa penduduk Jawa Timur, persentase
terbesar adalah etnik Jawa (79.58 persen) yang disusul kemudian etnik Madura
(17.53 persen). Tiga etnik asli lainnya, Osing di Banyuwangi (0.76 persen), Bawean
(0.19 persen) dan Tengger (0.13 persen). Sedangkan etnik pendatang sendiri
hanya sebanyak 1.81 persen saja dari total penduduk Provinsi Jawa Timur.
Persentase etnik pendatang terbesar adalah etnik Tionghoa (0.73 persen) dan kemudian pada urutan berikutnya adalah
etnik Batak (0.15 persan) dan etnik Sunda (0.12 persen). Ini berarti etnik Batak
merupakan penduduk terbanyak kedua di luar penduduk asli. Jika persentase etnik
Batak di Provinsi Jawa Timur sebesar 0.15 persen maka ini setara dengan 56.215
jiwa. Jumlah ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan etnik Jawa dan
etnik Madura yang masing-masing 29.824.950 jiwa dan 6.568.438 jiwa. Namun jika
jumlah etnik Batak di Jawa Timur dibandingkan dengan etnik Tionghoa (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa)
dan etnik Bali (19.316), jumlah
etnik Batak ini menjadi begitu berarti (signifikan). Keberadaan etnik Batak
sendiri di Jawa Timur tidak hanya terdapat di ibu kota provinsi (Kota Surabaya)
tetapi juga tersebar merata di semua kabupaten/kota di Jawa Timur.
Pada Sensus Penduduk tahun 1920 di Jawa jumlah
etnik Batak sebanyak 868 jiwa dan etnik Bali sebanyak 607 jiwa. Lalu
mengapa pada masa ini (berdasarkan Sensus Penduduk 2010) orang Bali di Jawa
Timur relatif begitu sedikit jika dibandingkan orang Batak? Padahal Bali begitu dekat
dengan Jawa Timur (hanya dibatasi oleh selat). Apakah ini suatu anomali? Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Orang Bali di Jawa Era VOC
Di Batavia (dan sekitarnya) banyak ditemukan
kampong Bali dan kampong Jawa pada era VOC. Kampong ini diidentifikasi sesuai
penghuninya. Selain kampong Jawa dan kampong Bali juga ada kampong Ambon,
kampong Makassar, kampong Bugis, kampong Tambora, Kampong Manggarai, kampong
Bangka, kampong Banda(n) dan kampong Melajoe. Ada juga kampong Koja, kampong
Pakojan serta kampong Bidara Tjina dan kampong Malaka. Tidak ditemukan kampong
Minangkabau, kampong Atjeh dan kampong Batak.
T van Eck (1878) |
Pada era VOC orang Bali sudah tersebar di
berbagai tempat bahkan hingga pulau Sumatra. R van Eck (1878) mengutip catatan statistik
tahun 1778 orang Bali di Batavia tidak kurang dari 13.000 orang. Jumlah ini
tentu sangat besar pada masa itu. N van der Tuuk (1871) seorang ahli bahasa berbakat
yang melakukan studi bahasa Bali meyakini bahwa struktur bahasa Melayu di
Batavia dipengaruhi oleh bahasa Bali. Pada awal era VOC, penduduk pribumi kota
(stad) Batavia menurut van der Tuuk pada dasarnya adalah orang Bali (membedakan
dengan orang Eropa-Belanda).
R van
Eck (1878) juga mengutip surat pemerintah VOC di Batavia pada awal 1665 yang
berisi larangan impor budak-budak Bali dalam yurisdiksinya. Sebagaimana
diketahui yurisdiksi terbesar VOC saar itu adalah stad Batavia (plus
benteng-benteng di berbagai tempat). Menurut
R van Eck meski larangan telah diperketat pada tahun 1715, namun karena keserakahan
para pedagang dan terutama para raja Bali menjadi tidak efektif. Oleh karena
itu ratusan budak tetap masuk Batavia dengan harga rata-rata 20 tikar Spanyol. Hal
ini juga karena orang-orang Eropa-Belanda sendiri juga sikap anti-perbudakan
ini meski didasarkan atas dasar umat manusia belaka, tetapi para budak itu
dianggap terlalu banyak kebaikannya apakah sebagai pembantu rumah tangga atau tentara,
orang Bali bahkan diaggap paling disenangi karena sikapnya jika dibandingkan
dari yang lain yang gampang marah. Kedamaian di doloni menjadi sesuatu yang
bernilai.
Gambaran
ini menjadi sebab mengapa orang Bali begitu banyak di stad Batavia. Penjualan
budak Bali kepada VOC di Batavia paling tidak sudah diketahui pada tahun 1661
(lihat Daghregister 5 Agustus 1661). Budak yang
didatangkan ke Batavia selain dari Bali berasal dari berbagai tempat seperti
Arakan (Birma), Mauritius, Madagaskar, Timor dan Macassar. Bagaimana
perdagangan budak ini terus berlangsung juga dapat dibaca pada catatan Kasteel
Batavia misalnya surat berbahasa Melayu, Goesti Made dari Karangasem en
Selaparang kepada Yang Mulia (Hunne Hoog Edelheden) diterima di Batavia pada 26
Januari 1792 yang isi suratnya adalah pemberitahuan pengiriman kapten Tiongkok
di kapal yang memuat daging kering, kulit sapi, kayu cendana dan sarang
burung...juga disebutkan bahwa terakhir kali orang Cina itu pergi dengan 100
budak Bali. Surat lainnya adalah surat berbahasa Melayu yang ditulis pada
Shaban 1218 ke-18 diterima di Batavia pada tanggal 9 Mei 1804 yang isinya
adalah permintaan untuk meminjam untuk jangka waktu tiga bulan untuk dikirim
satu kapal layar, lima pentjalang besar dan sepuluh yang kecil dengan
perlengkapannya, persenjataan dan amunisi yang terdiri dari serbuk, peluru,
bom, granat dan semua hal seperti itu, yang sangat sulit didapat, karena ia
ingin berperang dengan Sasak di Lombok dan pengawasan di laut. Setelah perang
berakhir dengan pertolongan Tuhan (!), dia akan mengembalikan semua yang
dipinjam dengan hadiah 300 hingga 400 budak.
Praktek
perdagangan budak ini bahkan masih terus berlangsung hingga era Pemerintah
Hindia Belanda sudah sangat ketat membatasinya. Beberapa berita dapat dikutip
sebagai berikut: Leydse courant, 09-11-1838: ‘Kasus perdagangan budak telah
ditemukan di Batavia, yang tidak pernah terjadi selama bertahun-tahun. Pada
tanggal 2 September, kapal Portugis, Margarida, dengan kapten TA. d'Aquina yang
akan menuju Macao yang merapat di Batavia, ditemukan di dalam kapal sebanyak 46
orang penduduk asli dari bagian Portugis di Timor. Menurut sang kapten,
orang-orang ini akan diberangkatkan untuk belajar agama Kristen di Macao dan
dilatih dalam beberapa profesi! Namun, ternyata pretensi ini tidak benar, dan
beberapa orang berpendapat di Batavia bahwa keterangan itu hanyalah dalih. Sebab
setelah dibawa ke darat diduga secara diam-diam akan dijual sebagai budak.
Nakhoda kemudian ditahan sambil menunggu penyelidikan menyeluruh dari masalah
ini’. Utrechtsche courant, 28-11-1836: ‘Perdagangan budak di sekitar perairan
Lombok (selat Lombok) masih terus eks, terutama dari kerajaan-kerajaan di Bali’.
Perdagangan budak tampaknya sangat menguntungkan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Batak di Jawa, Orang Jawa-Bali di Sumatra
Kampong Bali di Batavia begitu penting sehingga
nama kampong ini dijadikan sebagai nama district di Batavia (District Kampong
Bali). Ibu kota Batavia (Hoofdplaats Batavia) terdiri dari tujuh district:
Ouder en Zuider voorstad; Ooster district (Jacatra en Weltevreden); Molenvliet,
Nordwijk en Kongsplein; Zuidwester; Wester; Chineesch Kamp; dan Kampong Bali. Berdasarkan
statistiek tahun 1845 secara keseluruhan pendududk Hoofdplaats Batavia sebanyak
59.483 jiwa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847). Jumlah ini terdiri
dari Eropa-Belanda 2.969 jiwa, Cina 17.207 jiwa, pribumi 38.744 jiwa dan Arab
563 jiwa.
Di luar
Hoofdplaats Batavia terdiri dari tiga wilayah (kwartier): Ooster, Wester dan
Zuider.Secara keseluruhan Hoofdplaats Batavia dan tiga kwartier pada tahun 1845
jumlah penduduk sebanyak 278.767 jiwa. Dari total ini termasuk duiantaranya
sebanyak 2.374 orang militer dan 2,376 budak. Jumlah penduduk ini telah
meningkat jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1813 sebanyak 161.345 jiwa.
Pada tahun 1838 tercatat sebanyak 271.299 jiwa yang terdiri dari Eropa-Belanda
3.383 jiwa, Cina 33.982, pribumi 230.997, Arab 627 dan budak 2.408. Selama
tujuh tahun terakhir masih terlihatada penambahan jumlah budak (jumlah ini
tampaknya kontribusi dari kelahiran). Keterangan ini juga mengindikasikan bahwa
pengiriman budak ke Batavia sudah benar-benar dihentikan (namun pemilikan budak
yang ada masih dimungkinkan). Sebagaimana diketahui pembebasan budan baru
diratifikasi pada tahun 1860an.
Orang Batak baru terdeteksi adanya pada tahun
1854. Disebutkan dua siswa dari Afdeeling Mandailing en Angkola Residentie
Tapanoeli tiba di Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran yang diadakan
di rumah sakit militer di Weltevreden (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa inilah
siswa pertama yang diterima dari luar Jawa di sekolah kedokteran yang disebut
Docter Djawa School (kini berada di RSPAD). Lalu pada tahun 1856 dua lagi siswa
dari Afdeeling Mandailing en Angkola di sekolah kedokteran tersebut. Mereka berempat
ini diduga adalah orang Batak pertama di Batavia.
Pada
tahun 1857 seorang lulusan sekolah di Afdeeling Mandailing en Angkola bernama
Si Sati [Nasution] berangkat studi ke Belanda untuk mengikuti pendidikan guru.
Dia berangkat dari Padang dengan kapal laut ke Amsterdam. Pada tahun 1860 Si
Sati alias Willem Iskander lulus dan mendapat akta guru dan kembali ke tanah
air pada tahun 1860. Willem Iskander dengan kapal yang lebih besar dari
Amsterdam menuju Batavia. Hal ini untuk bertemu pejabat departemen pendidikan sehubungan
dengan rencananya membuka sekolah guru di kampongnya di Tanobato, Mandailing. Si
Sati di Batavia stay selama satu bulan sebelum pulang ke kampong halaman. Sekolah
guru yang di Tanobato dibuka pada tahun 1862 (sebagai sekolah guru ketika di
Hindia Belanda). Si Sati alias Willem Iskander aalah pribumi pertama yang studi
ke Belanda.
Penduduk Batavia dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Dalam statistiek 1867 jumlah Hoofdplaats Batavia di tujuh district
secara keseluruhan dicatat sebanyak 99.759 jiwa. Nama kampong Bali masih
disebut nama district. Tiga kwartier yang lainnya telah ditingkatkan menjadi
dua Afdeeeling: Afdeeling Meester Cornelis dan Afdeeling Tangeran
(Westkwartier). Afdeeling Meester Cornelis terdiri dari empat district: Meester
Cornelis, Kebajoran, Bekasi dan Tjabangboengin. Dua district yang disebut pertama
sebelumnya disebit Zuidkwartier dan dua district yang disebut terakhir
sebelumnya disebut Oostkwartier.
Jumlah
penduduk Afdeeling Meester Cornelis sebanyak 185.123 jiwa, sementara jumlah
pendudukan Afdeeling Tangerang sebanyak 257.145 jiwa. Afdeeling Tangerang terdiri
dari tiga district (Oosterdistrict, Zuiderdistrict dan Noorderdistrict). Jumlah
penduduk district Meester Cornelis 66.331 jiwa; district Kebajoran 45.362 jiwa,
district Bekasi 67.132 jiwa dan district Tjabangboengin 6.298 jiwa.
Tampaknya pendataan tahun 1867 ini adalah catatan
statistik penduduk Batavia yang terakhir sebelum dilaksanakannya pendataan yang
lebih komprehensi Sensus Penduduk tahun 1920. Sensus ini dapat dikatakan sensus
pertama di Hindia Belanda. Sebelumnya pendataan yang dilakukan atas dasar
registrasi (catatan penduduk yang dikumpulkan dari daftar kampong atau desa).
Pada
sensus yang diadakan pada tahun 1920 ini kelompok penduduk diperinci menurut
suku bangsa. Kelompok Eropa terdiri dari Belanda, Inggris, Jerman, Jepang,
Amerika dan sebagainya. Kelompok Cina dan Arab masing-masing tetap satu
kelompok tersendiri. Kelompok lainnya dikeluarkan kelompok Kling (Bengali)
menjadi kelompok sendiri. Untuk pribumi yang sebelumnya satu kelompok diperinci
ke dalam suku bangsa (etnik) seperti Jawa, Soenda, Madoera, Minangkabau, Bugis,
Makassar, Mandar, Ambon, Papoea, Atjeh, Bali, Sasak, Timor, Batak dan
sebagainya. Kelompok Timor termasuk pulau-pulau lainnya seperti Flores, Soemba
dan Solor. Kelompok Soenda termasuk Batavian (Betawi?) dan
Depokker. Kelompok Bali termasuk Bali Aga.
Dalam rangkuman statistik Sensus Penduduk 1920
disarikan kelompok suku bangsa yang berada di (pulau) Jawa dan luar Jawa. Orang
Jawa sebanyak 22.866.277 jiwa di pulau Jawa dan yang berada di luar Jawa
sebanyak 520.559 jiwa. Kelompok suku bangsa terbanyak kedua adalah orang Soenda
dan kemudian disusul orang Madoera. Setelah orang Madoera suku bangsa terbanyak
(di atas satu juta) berturut-turut adalah Minangkabau (1.452.895 jiwa), Bugis
dan Timor. Jumlah suku bangsa Bali sebanyak 962.454 jiwa tidak termasuk 607
jiwa di Jawa. Jumlah suku bangsa Batak sebanyak 986.855 jiwa tidak termasuk
sebanyak 868 jiwa di Jawa. Jumlah penduduk Bali dan Batak relatif berimbang.
Jumlah penduduk Bali adalah terbanyak kedelapan dan Batak yang ketujuh.
Seperti ditampilkan pada grafik di atas, jumlah
migran terbanyak di Jawa adalah orang Minahasa (Sulawesi Utara) sebanyak 9.453.
Mereka ini tersebar di Batavia, Midden Java dan Oost Java. Migran kedua
terbanyak adalah orang Ambon sebanyak 6.076. Mereka ini adalah umumnya (keluarga)
militer. Lalu migran terbanyak berikutnya berturut-turut adalah Bugis,
Palembang, Makassar, Timor, Mandar dan plus Atjeh. Suku bangsa tersebut semua
adalah pelaut-pelaut yang terkenal sejak kampau. Suku bangsa Bali dan Batak
bukan pelaut, tetapi jumlah migrannya di pulau Jawa terbilang cukup banyak.
Orang Bali di Jawa sebanyak 607 jiwa dan orang Batak sebanyak 868 jiwa. Orang
Bali umumnya di Soerabaja dan orang Batak umumnya di Batavia. Suku bangsa
lainnya yang bukan pelaut adalah Minangkabau dan Sasak. Orang Minangkabau di
Jawa hanya delapan orang; orang Sasak tidak ditemukan di Jawa. Lantas pertanyaan
berikutnya adalah apakah ada orang Bali di Sumatra?
Jumlah penduduk menurut suku bangsa (etnik) di Jawa, 1920 |
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar