Senin, 30 November 2020

Sejarah Riau (19): Sungai Mati di Sungai Rokan; Apakah Muara Rokan Kanan dan Rokan Kiri Tanda Batas Laut Tempo Dulu?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini 

Di daerah aliran sungai Rokan begitu banyak sungai mati (aliran sungai yang terjebak karena terbentuk aliran arus baru). Sungai mati ini selain di pantai utara Jawa juga dimukan di pantai barat Borneo (di daerah aliran sungai Kapuas). Di daerah aliran sungai Musi dan sungai Batanghari juga ditemukan sungai mati. Adanya sungai mati mengindikasikan kerap terjadinya banjir di dataran rendah. Banjir sebagai luapan sungai dari pedalaman mengindikasikan muncul proses sedimentasi di hilir atau pantai (khususnya di teluk).

Pada masa lampau, pulau Sumatra yang sekarang tidak seluas tempo doeloe dan selat Malaka tidak sesempit yang sekarang. Sungai-sungai dari (pegunungan) Bukitbarisan ke pantai timur tidak sepanjang yang sekarang. Sungai Musi hanya sebatas Kota Palembang yang sekarang dan sungai Batanghari hanya sampai sebatas Kota Jambi yang sekarang. Semua sungai-sungai yang mengalir ke pantai timur telah menjadi faktor terjadinya proses sedimentasi jangka panjang yang membentuk atau memperluas pulau serta menutupi lautan menjadi daratan (rendah). Ini seakan sungai-sungai besar ke pantai timur terkesan kini lebih panjang jika dibandingkan tempo doeloe.

Pertanyaannya: apakah muara sungai Rokan Kanan dan sungai Rokan Kiri adalah suatu teluk di pantai tempo doeloe? Apakah pulau-pulau yang berada di teluk telah membengkak menjadi daratan dan kemudian jalan sungai ke pantai kini hanya menyisakan mulut muara sungai Rokan yang luas? Sungai Rokan Kanan menjadi arah navigasi ke candi Padang Lawas dan sungai Rokan Kiri ke candi Muara Takus. Candi Padang Lawas sendiri bermula dari arah pantai barat Sumatra di danau Siais. Bagaimana semua itu terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Terbentuknya Candi Muara Takus

Pantai barat Sumatra secara geografi tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan pantai timur Sumatra. Secara teoritis puncak-puncak daratan (kini pegunungan Bukit Barisan, seperti halnya juga di Jawa) adalah permukaan bumi yang naik lebih tinggi (akibat peristiwa tektonik atau vulkanik) yang di jaman es menjadi sisa daratan. Ketika vegetasi menyelimuti darata-daratan tersebut, tiba waktunya aktivitas alam dan mansia yang hebat sehingga di berbagai titik terjadi kebakaran dan pembakaran hutan. Erosi besar dimulai, proses sedimentasi terjadi dan kemudian terbentuk dasar laut yang dangkal menjadi dataran rendah berawa-rawa. Pada bagian akhir tahapan bumi inilah pulau Sumatra kedatangan orang asing (sebut saja dari India atau dari Tiongkok atau Indochina) yang berinteraksi dengan penduduk asli (pendahulu).

Secara teoritis, orang asing lebih unggul dalam berbagai aspek peradaban jika dibandingkan dengan penduduk lokal (penduduk asli). Keunggulan orang asing dalam pengertian organisasi, sponsor perdagangan dalam hubungannya dengan pengadaan alat navigasi dan barang dagangan, dan tingkat sosial seperti kelas pedagang atau tentara. Introduksi hal baru (ilmu dan pengetahuan) dan kesediaan penduduk asli menerima menyebabkan terbentuk koloni-koloni asing untuk tujuan perdagangan (pertukaran barang industri dengna komoditi alamiah dari hasil perburuan, penambangan dan pengumpulan hasil hutan). Pertumbuhan ekonomi perdagangan di koloni-koloni memicu arus barang dan orang semakin intens. Salah satu wujud kolonisasi yang masih bisa dilihat sekarang adalah sisa-sisa percandian pada era Boedha-Hindoe. Pusat-pusat koloni awal ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Borneo. Salah satu pusat koloni tertua di Sumatra diduga kuat terdapat di pantai barat Sumatra di sekitar danau Siais (Tapanuli).

Salah satu wujud interaksi perdagangan antara pendatang dengan penduduk asli (Sumatra) yang dapat dikenal pada masa ini adalah candi (atau bukti-bukti arkeologis lainnya). Dalam penulisan sejarah, situs candi dapat dijadikan data (bukti) sejarah, data yang dapat diperbandingkan di tempat lain (di India, Jawa dan Borneo). Namun data itu sangatlah samar-samar (memerlukan analisis dan asumsi-asumsi). Akan tetapi data samar-samar itu dapat diperkaya dengan bukti yang tidak tercatat tetapi eksis seperti tanda-tanda geologis (seperti tanjung, teluk dan muara sungai) dan nama-nama geografis (seperti nama tempat, nama sungai dan nama gunung atau nama danau). Deretan bukti ini juga dapat ditambahkan dari aspek linguistik, habit dan culture serta religi, dan bahkan raut muka dan warna kulit (ras).

Data sejarah kuno yang bersifat tekstusl (verbatim) sangatlah terbatas seperti tulisan dalam prasasti. Ini disebabkan medium tulisan yang rapuh tidak mampu bertahan pada berbagai jaman. Namun medium sosial (bahasa, habit dan religi) lebih kontinu karena diturunkan antar generasi (meski tidak dicatat). Ke dalam hal tersebut, dimensi geologis dan geografis dapat lebih memperkaya dan membuat fakta sejarah kuno seakin jelas. Data-data sejarah kuno non tekstual ini nyaris tidak digunakan selama ini karena semua berasumsi bahwa tinggi gunung, panjang sungai, luasanya daratan dianggap tidak berubah sepanjang masa. Dalam hal inilah kini asumsi-asumsi tersebut dibuka dan dijadikan hipotesis bahwa  panjang sungai jaman kuno tidak sepanjang sekarang dan luas pulau tidak selebar sekarang. Oleh karenanya hipotesis diperluas bahwa muara-uara sungai jauh ke dalam di jaman kuno dan tempat dimana koloni-koloni kuno lebih dekat ke laut (pantai)..

Tiga area percandian di (pulau) Sumatra paling tidak terdapat di tiga tempat: di Siabu (candi Simangambat) di Binanga (percandian Padang Lawas) dan di Rokan Hulu atau Kampar Hulu (candi Muara Takus). Keberadaan candi mengindikasikan koloni lebih stabil (menetap) dan indikasi penduduk asli yang banyak dan ketersediaan sumber-sumber ekonomi yang penting untuk perdagangan sangat melimpah. Candi sebagai rumah ibadah (religi) menandakan sudah terbentuknya sistem sosial yang lebih stabil (langgeng). Di atas sistem sosial yang stabil inilah kemudia berkembang sistem organisai (pemerintahan), pengembangan pertanian, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.

Salah satu instrumen dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah intoduksi tulisan dan penyimpanan hasil-hasil tulisan (poetaha atau poestaka)..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Muara Rokan Kanan dan Rokan Kiri Batas Laut

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar