*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Bagaimana
sejarah asal usul Indrapuri? Ada yang menyebut sudah tuha. Setua apa? Yang jelas namanya mirip Indrapura. Kita tidak
sedang melakukan analisis toponimi, tetapi analisis geografi. Metode analisis
geografi tidak lazim digunakan dalam penulisan sejarah. Akan tetapi sejarah
masa lampau, zaman kuno sulit tersedia data untuk dianalisis. Hal itulah
mengapa analisis arkeologi digunakan. Namun metode arkeologi juga sangat minim
menyediakan data. Untuk itu perlu digunakan metode alternatif, dalam hal ini
metodologi geografi.
Dalam memahami sejarah Indrapuri, kita tidak
sedang mempelajari sejarah Jayapura. Nama Jayapura masih muda. Nama Indrapuri mirip
dengan nama Indrapura. Nama Indrapuri hanya satu, hanya di Aceh. Nama Indrapura
ada di beberapa tempat, di pantai timur Sumatra di kabupaten Batubara, Sumatera
Utara dan di kabupaten Siak, Riau serta di pantai barat Sumatra di kabupaten
Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Yang juga mirip dengan Indrapuri adalah nama
Indragiri. Selain Indrapura, yang mengguna nama ‘poera’ cukup banyak dan
tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan semenanjung Malaya/Indochina.
Di Sumatra ada nama Martapura (Lampung), Tanjungpura (Sumatera Utara) dan Telainapura
(Jambi). Di Jawa ada nama Sukabpura di Jakarta Timur dan di Garut serta Tanjungpura
(Karawang). Di Kalimantan ada Martapura di Kalimantan Selatan dan di kabupaten
Kutai, Kalimantan Timur serta Tanjungpura di Kalimantan Barat. Last but not
least: Singapura (Semenanjung Malaya), Indrapura (Vietnam) dan Amarapura
(Myanmar).
Lantas
apakah Indrapuri sama dengan Indrapura? Jika sama mengapa menjadi Indrapuri, bukan Indrapura? Yang jelas nama tempat tidak hanya diakhiri nama
Pura, tetapi juga ada nama tempat yang diawali nama Bandar, seperti Bandar
Lampung dan Bandar Sri Begawan. Yang mirip dengan nama Bandar adalah Banjar
Masin dan Banda Aceh. Lho, koq! Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama Kota Pura dan Puri
Pada
peta-peta tertua (era Portugis), di ujung pulau Sumatra didentifikasi nama-nama
tempat utama yang diduga kerajaan yakni Daya, Achem (Atjeh) Pedir (Pidie),
Pacem (Pasai) dan Ambara (Ambuara, Ambuaru atau Jambu Aer), Di arah selatan
sebelah barat Baroes (B-aroe-s) dan di sebelah timur Terra (Tanah) Daru serta
Bancalis (Bengkalis). Sementara di sepanjang pantai barat Semenanjung antara
lain diidentifikasi nama-nama Cuda (Kedah), Bera (Perak), Malacca dan Muar.
Seperti halnya di pulau Sumatra (utara
khatulistiwa), nama Malaya merujuk pada nama India (Himalaya), Kota pelabuhan
Malaya (India) ini kemudian disebut orang-orang Moor sebagai Malaka. Orang Moor
adalah orang beragama Islam dari pantai utara Afrika (Mauritania, Morocco dan
Tunisia) yang merupakan pendahulu (predecessor) Portugis. Orang Portugis
kemudian mencatat nama Malaka dengan Malacca. Nama Malaya sendiri kemudian
menjadi nama wilayah (Semenanjung). Orang Moor umumnya tinggal di Muar. Nama
Muar merujuk pada pada nama Moor (Moar, Moear lalu Muar). Orang-orang Moor juga
ada yang tinggal di Terra Daru (daerah aliran sungai B-aru-moen). Nama Daru
merujuk pada nama Aru, yang orang-orang Portugis mencatatnya sebagai De Aru,
menjadi D’aru dan kemudian menjadi Daru. Oleh karena itu dalam peta-peta
Portugis dicatat nama Malacca, Muar dan Daru.
Nama-nama
Daya, Pedir, Pasai dan Ambuara merujuk pada nama-nama India. Nama-nama Daru,
Malaya, Bangkalis dan Baroes juga merujuk pada nama-nama India. Nama Atjeh dan
Muar bukan berasal India, tetapi Muar merujuk pada orang Moor dan Atjeh merujuk
pada orang Melayu (Atas, Ateuh, Atjih atau Atjeh). Oleh karena bahasa Melayu
berasal dari bahasa Sanskerta (era Boedha-Hindoe), maka kota-kota pelabuhan
Atjeh dan Muat adalah kota-kota baru, jauh setelah eksisnya kota-kota tua
seperti Daya, Pidie atau Pedir, Pasai dan Ambuara serta Baroes dan Aru (Daru).
Lingua franca di era Boedha-Hindoe berbasis
pada bahasa Sanskerta. Lingua franca ini kemudian disebut bahasa Melayu, yang
merujuk pada nama Malaya (Malaka atau Malacca) sebagai Malayu atau Melayu.
Orang-orang Inggris mencatat (semenanjung Malaya) sebagai Malay dan terakhir
sebagai Malaysia. Orang-orang Belanda tetap mencatatnya sebagai Malaka (Moor)
atau Malacca (Portugis). Bahasa Malaya atau Malayu inilah yang digunakan
sebagai lingua franca di berbagai kota-kota pelabuhan termasuk di Atjeh. Pada
awal terbentuknya kota-kota tua (Daya, Pidie, Pasai, Baroes dan Daru) bahasa
lingua franca dalah bahasa Sanskerta. Beberapa warisan sisa kota kuno pada era
Beodha-Hindoe adalah candi Simangambat di sungai Angkola (abad ke-8), candi
Portibi di sungai Baroemoen (abad ke-11) dan candi Muara Takus di Bangkinang (abad
ke-12). Nama-nama Angkola dan Baroemoen (di Tapanuli Selatan) dan Bangkinang
merujuk pada nama-nama India. Aru dalam bahasa India selatan adalah sungai.
Dengan
mengacu pada urutan lahir atau terbentuknya kota-kota di zaman kuno sehubungan
dengan kehadiran pedagang-pedagang dari India, di wilayah penduduk asli di
Sumatra terbentuknya kota-kota baru, tidak di pantai tetapi berada di
pegunungan di dekat danau-danau yang kaya sumber daya alam (tambang dan hasil
hutan) dan banyak populasi (penduduk yang padat). Area candi di Angkola,
Baroemoen dan Bengkalis adalah pusat kota-kota (metropolitan) di zaman kuno
(era Boedha-Hindoe).
Pusat-pusat kota zaman kuno (era
Boedha-Hindoe) di pedalaman Sumatra tidak jauh dari area populasi penduduk asli
yang padat di dekat danau. Danau-danau pegunungan tersebut di pulau Sumatra
adalah danau Siais (Angkola) tidak jauh dari candi Simangambat dan candi
Portibi-Padang Lawas. Ke arah selatan danau Maninjau (tidak jauh dari candi
Muara Takus), danau Singkarak (Solok), danau Kerinci dan danau Ranau (Komering,
Lampong). Ke arah utara danau Toba, danau Takengon (kini danau Laut Tawar) dan
danau Tangse (telah mengering). Penduduk asli yang berdiam di dekat danau-danai
tersebut memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Nama-nama danau Tangse,
Takeongon, Toba, Siais, Maninjai, Singkarak, Kerinci dan Ranau merujuk pada
nama-nama India. Demikian juga nama gunung di pedalaman Sumatra banyak yang
merujuk pada nama India seperti gunung Saeulwah Agam (Salawa Agam), gunung Raja
(Raya di Aceh), gunung Loser (Leuser), gunung Sinabung (Gayo dan Karo), gunung
Raja dan gunung Malea (Angkola), gunung Pasaman dan sebagainya. Tentu saja
nama-nama sungai juga merujuk pada nama India seperti sungai Raba, sungai
Pidie, sungai Ambuara (Jambu Air) dan sungai Singkil (Singhil).
Pada
zaman kuno (era Boedha-Hindoe) sebagaimana juga teridentifikasi pada peta-peta
tua era Portugis bahwa pulau Sumatra masih ramping (tidak selebar yang
sekarang), ramping yang bertupu (berpusat) pada rantai gugus pegunungan
berbaris (kini Bukit Barisan) yang kaya sumber daya alam (tambang dan hasil
hutan yang subur akibat aktivitas vulkanik). Sementara kota-kota Daya, Pedir,
Pasai dan Ambuara belum terbentuk karena masih berupa pantai yang berawa dan
teluk berperaiaran laut dangkal.
Aktvitas yang intens di kota-kota pedalaman
(produksi tambang dan pembakaran lahan untuk pertanian) menyebabkan terjadinya
proses sedimentasi di muara-muara sungai dan teluk dangkal. Volume perdagangan
yang semakin besar dan lalu lintas navigasi pelayaran yang semakin intens (dari
manca negara) menyebabkan munculnya kota-kota pelabuhan di dekar muara sungai
di sekitar teluk. Kota-kota inilah kota-kota pantai pertama pada era
Boedha-Hindoe terutama di Sumatra, Jawa dan Borneo serta Semenanjung dengan
menggunakan nama poera (merujuk pada nama India). Di Sumatra ada nama
Martapoera (Lampong), Telainapoera (Djambi), Indrapoera (Siak), Indrapoera
(Kerinci), Singapoera (Semenanjung), Tanjoengpeora dan Martapoera (Borneo),
Soekapoera dan Taandjoengpoera (Jawa), Indrapoera, Tandjoengpoera (Sumatra Utara).
Nama-nama yang juga sebagai poera tetapi tidak menggunakan nama ‘poera’ adalah Muara
Tebo, Palembang, Indragiri, Bengkalis, Panai, Kisaran, Kampai (Hamparan Perak),
Ambuara (Teluk atau Lhok Nibong), Pasai (Lhoksukon), Pedir (Pidie), Daya, Labo
(Meulaboh), Singkil (Singhil), Baroes, Loemoet, Sangkunur, Linggabajoe (Batang
Natal), Oedjoenggading, Pasaman, Tikoe, Anai dan Pauh. Di pantai utara Sumatra
adalah Lamuri (Lamor merujuk pada nama India) yang diduga kini Indrapoeri
(Indrapoera).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Nama Kota Bandar dan Banda
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar