Minggu, 03 Januari 2021

Sejarah Aceh (39): Asal Usul Indrapuri di Atjeh; Indrapoera, Singapoera, Martapoera, Tandjoengpoera, Soekapoera, Telainapoera

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Bagaimana sejarah asal usul Indrapuri? Ada yang menyebut sudah tuha. Setua apa? Yang jelas namanya mirip Indrapura. Kita tidak sedang melakukan analisis toponimi, tetapi analisis geografi. Metode analisis geografi tidak lazim digunakan dalam penulisan sejarah. Akan tetapi sejarah masa lampau, zaman kuno sulit tersedia data untuk dianalisis. Hal itulah mengapa analisis arkeologi digunakan. Namun metode arkeologi juga sangat minim menyediakan data. Untuk itu perlu digunakan metode alternatif, dalam hal ini metodologi geografi.

Dalam memahami sejarah Indrapuri, kita tidak sedang mempelajari sejarah Jayapura. Nama Jayapura masih muda. Nama Indrapuri mirip dengan nama Indrapura. Nama Indrapuri hanya satu, hanya di Aceh. Nama Indrapura ada di beberapa tempat, di pantai timur Sumatra di kabupaten Batubara, Sumatera Utara dan di kabupaten Siak, Riau serta di pantai barat Sumatra di kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Yang juga mirip dengan Indrapuri adalah nama Indragiri. Selain Indrapura, yang mengguna nama ‘poera’ cukup banyak dan tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan semenanjung Malaya/Indochina. Di Sumatra ada nama Martapura (Lampung), Tanjungpura (Sumatera Utara) dan Telainapura (Jambi). Di Jawa ada nama Sukabpura di Jakarta Timur dan di Garut serta Tanjungpura (Karawang). Di Kalimantan ada Martapura di Kalimantan Selatan dan di kabupaten Kutai, Kalimantan Timur serta Tanjungpura di Kalimantan Barat. Last but not least: Singapura (Semenanjung Malaya), Indrapura (Vietnam) dan Amarapura (Myanmar).

Lantas apakah Indrapuri sama dengan Indrapura? Jika sama mengapa menjadi Indrapuri, bukan Indrapura? Yang jelas nama tempat tidak hanya diakhiri nama Pura, tetapi juga ada nama tempat yang diawali nama Bandar, seperti Bandar Lampung dan Bandar Sri Begawan. Yang mirip dengan nama Bandar adalah Banjar Masin dan Banda Aceh. Lho, koq! Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Kota Pura dan Puri

Pada peta-peta tertua (era Portugis), di ujung pulau Sumatra didentifikasi nama-nama tempat utama yang diduga kerajaan yakni Daya, Achem (Atjeh) Pedir (Pidie), Pacem (Pasai) dan Ambara (Ambuara, Ambuaru atau Jambu Aer), Di arah selatan sebelah barat Baroes (B-aroe-s) dan di sebelah timur Terra (Tanah) Daru serta Bancalis (Bengkalis). Sementara di sepanjang pantai barat Semenanjung antara lain diidentifikasi nama-nama Cuda (Kedah), Bera (Perak), Malacca dan Muar.

Seperti halnya di pulau Sumatra (utara khatulistiwa), nama Malaya merujuk pada nama India (Himalaya), Kota pelabuhan Malaya (India) ini kemudian disebut orang-orang Moor sebagai Malaka. Orang Moor adalah orang beragama Islam dari pantai utara Afrika (Mauritania, Morocco dan Tunisia) yang merupakan pendahulu (predecessor) Portugis. Orang Portugis kemudian mencatat nama Malaka dengan Malacca. Nama Malaya sendiri kemudian menjadi nama wilayah (Semenanjung). Orang Moor umumnya tinggal di Muar. Nama Muar merujuk pada pada nama Moor (Moar, Moear lalu Muar). Orang-orang Moor juga ada yang tinggal di Terra Daru (daerah aliran sungai B-aru-moen). Nama Daru merujuk pada nama Aru, yang orang-orang Portugis mencatatnya sebagai De Aru, menjadi D’aru dan kemudian menjadi Daru. Oleh karena itu dalam peta-peta Portugis dicatat nama Malacca, Muar dan Daru.

Nama-nama Daya, Pedir, Pasai dan Ambuara merujuk pada nama-nama India. Nama-nama Daru, Malaya, Bangkalis dan Baroes juga merujuk pada nama-nama India. Nama Atjeh dan Muar bukan berasal India, tetapi Muar merujuk pada orang Moor dan Atjeh merujuk pada orang Melayu (Atas, Ateuh, Atjih atau Atjeh). Oleh karena bahasa Melayu berasal dari bahasa Sanskerta (era Boedha-Hindoe), maka kota-kota pelabuhan Atjeh dan Muat adalah kota-kota baru, jauh setelah eksisnya kota-kota tua seperti Daya, Pidie atau Pedir, Pasai dan Ambuara serta Baroes dan Aru (Daru).

Lingua franca di era Boedha-Hindoe berbasis pada bahasa Sanskerta. Lingua franca ini kemudian disebut bahasa Melayu, yang merujuk pada nama Malaya (Malaka atau Malacca) sebagai Malayu atau Melayu. Orang-orang Inggris mencatat (semenanjung Malaya) sebagai Malay dan terakhir sebagai Malaysia. Orang-orang Belanda tetap mencatatnya sebagai Malaka (Moor) atau Malacca (Portugis). Bahasa Malaya atau Malayu inilah yang digunakan sebagai lingua franca di berbagai kota-kota pelabuhan termasuk di Atjeh. Pada awal terbentuknya kota-kota tua (Daya, Pidie, Pasai, Baroes dan Daru) bahasa lingua franca dalah bahasa Sanskerta. Beberapa warisan sisa kota kuno pada era Beodha-Hindoe adalah candi Simangambat di sungai Angkola (abad ke-8), candi Portibi di sungai Baroemoen (abad ke-11) dan candi Muara Takus di Bangkinang (abad ke-12). Nama-nama Angkola dan Baroemoen (di Tapanuli Selatan) dan Bangkinang merujuk pada nama-nama India. Aru dalam bahasa India selatan adalah sungai.

Dengan mengacu pada urutan lahir atau terbentuknya kota-kota di zaman kuno sehubungan dengan kehadiran pedagang-pedagang dari India, di wilayah penduduk asli di Sumatra terbentuknya kota-kota baru, tidak di pantai tetapi berada di pegunungan di dekat danau-danau yang kaya sumber daya alam (tambang dan hasil hutan) dan banyak populasi (penduduk yang padat). Area candi di Angkola, Baroemoen dan Bengkalis adalah pusat kota-kota (metropolitan) di zaman kuno (era Boedha-Hindoe).

Pusat-pusat kota zaman kuno (era Boedha-Hindoe) di pedalaman Sumatra tidak jauh dari area populasi penduduk asli yang padat di dekat danau. Danau-danau pegunungan tersebut di pulau Sumatra adalah danau Siais (Angkola) tidak jauh dari candi Simangambat dan candi Portibi-Padang Lawas. Ke arah selatan danau Maninjau (tidak jauh dari candi Muara Takus), danau Singkarak (Solok), danau Kerinci dan danau Ranau (Komering, Lampong). Ke arah utara danau Toba, danau Takengon (kini danau Laut Tawar) dan danau Tangse (telah mengering). Penduduk asli yang berdiam di dekat danau-danai tersebut memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Nama-nama danau Tangse, Takeongon, Toba, Siais, Maninjai, Singkarak, Kerinci dan Ranau merujuk pada nama-nama India. Demikian juga nama gunung di pedalaman Sumatra banyak yang merujuk pada nama India seperti gunung Saeulwah Agam (Salawa Agam), gunung Raja (Raya di Aceh), gunung Loser (Leuser), gunung Sinabung (Gayo dan Karo), gunung Raja dan gunung Malea (Angkola), gunung Pasaman dan sebagainya. Tentu saja nama-nama sungai juga merujuk pada nama India seperti sungai Raba, sungai Pidie, sungai Ambuara (Jambu Air) dan sungai Singkil (Singhil).

Pada zaman kuno (era Boedha-Hindoe) sebagaimana juga teridentifikasi pada peta-peta tua era Portugis bahwa pulau Sumatra masih ramping (tidak selebar yang sekarang), ramping yang bertupu (berpusat) pada rantai gugus pegunungan berbaris (kini Bukit Barisan) yang kaya sumber daya alam (tambang dan hasil hutan yang subur akibat aktivitas vulkanik). Sementara kota-kota Daya, Pedir, Pasai dan Ambuara belum terbentuk karena masih berupa pantai yang berawa dan teluk berperaiaran laut dangkal.

Aktvitas yang intens di kota-kota pedalaman (produksi tambang dan pembakaran lahan untuk pertanian) menyebabkan terjadinya proses sedimentasi di muara-muara sungai dan teluk dangkal. Volume perdagangan yang semakin besar dan lalu lintas navigasi pelayaran yang semakin intens (dari manca negara) menyebabkan munculnya kota-kota pelabuhan di dekar muara sungai di sekitar teluk. Kota-kota inilah kota-kota pantai pertama pada era Boedha-Hindoe terutama di Sumatra, Jawa dan Borneo serta Semenanjung dengan menggunakan nama poera (merujuk pada nama India). Di Sumatra ada nama Martapoera (Lampong), Telainapoera (Djambi), Indrapoera (Siak), Indrapoera (Kerinci), Singapoera (Semenanjung), Tanjoengpeora dan Martapoera (Borneo), Soekapoera dan Taandjoengpoera (Jawa), Indrapoera, Tandjoengpoera (Sumatra Utara). Nama-nama yang juga sebagai poera tetapi tidak menggunakan nama ‘poera’ adalah Muara Tebo, Palembang, Indragiri, Bengkalis, Panai, Kisaran, Kampai (Hamparan Perak), Ambuara (Teluk atau Lhok Nibong), Pasai (Lhoksukon), Pedir (Pidie), Daya, Labo (Meulaboh), Singkil (Singhil), Baroes, Loemoet, Sangkunur, Linggabajoe (Batang Natal), Oedjoenggading, Pasaman, Tikoe, Anai dan Pauh. Di pantai utara Sumatra adalah Lamuri (Lamor merujuk pada nama India) yang diduga kini Indrapoeri (Indrapoera).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Kota Bandar dan Banda

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar