Minggu, 03 Januari 2021

Sejarah Aceh (40): Sejarah Kerajaan Aceh di Krueng Atjeh dan Kerajaan Aru di Batang Baroemoen; Lamuri, Indrapuri dan Daru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah zaman kuno lebih sulit memahaminya karena faktor ketersedian data. Tidak demikian dengan kerajan (kesultanan) yang lebih muda. Sejak era Portugis, lebih-lebih pada era VOC (Belanda) eksistensi kerajaan-kerajaan muda lebih terinformasikan. Namun fakta tidak pernah mengubah sejarah. Yang berubah adalah narasi sejarah. Hal ini karena data baru ditemukan. Sejauh penggalian data terus dilakukan, sejauh itu pula narasi sejarah diupdate terus untuk menjelaskan fakta masa lampau di zaman kuno.

Tidak hanya narasi sejarah zaman kuno, narasi sejarah modern Indonesia terus diperbaiki secara terus menerus. Tentu saja ada data baru yang ditemukan yang lebih menjelaskan kejadian dan fakta yang (pernah) ada. Munculnya pro-kontra tentang narasi sejarah berbagai tepat yang terdapat di seluruh belahan muka bumi, bukanlah soal fakta masa lalunya tetapi justru data yang digunakan untuk menjelaskan fakta tersebut. Persoalan ini sangat jamak. Namun dalam kontroversi narasa sejarah modern, ketika datanya cukup tersedia, yang menjadi pangkal perkara adalah soal penafasiran dari data dan hasil analisis data. Penafasiran yang berbeda dapat karena lebih mengedepankan subjektivitas daripada objektivitas. Tapi sejarah tetaplah sejarah, karena fakta adalah fakta yang tidak bisa diubah. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data. Para peneliti sejarah bisa salah, tetapi tidak boleh bohong. Salah karena pemahaman yang salah.

Kerajaan Atjeh termasuk kerajaan yang sudah eksis dari zaman kuno. Hal ini karena kerajaan Atjeh sudah ditulis oleh para penulis-penulis pada era Portugis. Pada masa itu juga sudah banyak kerajaan-kerajaan yang eksis, salah satu diantaranya Kerajaan Aru. Untuk memahami dua kerajaan ini kita tidak perlu bantuan ahli arkeologi, karena sudah banyak tertulis pada era Portugis dan era VOC. Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Atjeh? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap ada baiknya kita pelajari sejarah Kerajaan Aru? Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Atjeh dan Kerajaan Aru: Era Portugis

Dalam berbagai tulisan disebut Kesultanan Aceh adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di utara pulau Sumatra, yang mana didirikan oleh Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang kemudian rajanya dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 8 September 1507. Kerajaan Atjeh dapat dikatakan kerajaan baru jika dibandingkan dengan kerajaan Lamuri.

Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571. Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh. Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan (lihat Wikipedia).

Kerajaan Lamuri awalnya adalah suatu kerajaan Hindoe. Pada masa ini disebutkan kerajaan Lamuri terletak di Lam Reh (kecamatan Mesjid Raya, kabupaten Aceh Besar). Nama Lamuri merujuk nama India (Lamori, Lamora atau Lambri). Bangsa asing menyebutnya dengan Ramni, Lanli dan Lanwuli. Kerajaan Lamuri inilah kemudian bertransformasi menjadi Kerajaan Atjeh.

Nama tempat Lamuri berada di lereng gunung Seilawah Agam di belakang pantai. Lamuri diduga kuat sebagai pelabuhan zaman kuno. Nama Seulawah Agam sendiri merujuk pada nama India. Dalam perkembangannya muncul nama tempat di arah tenggara di muara sungai Pidi namanya Pedi (Pedir). Sungai Pidi berhulu di pedalaman-pegunungan di Tangse. Oleh karena itu orang Pedir menyebut sungai Pedir, sedangkan orang pedalaman (di Tangse) sebagai sungai Pidi. Nama Tangse, Pedi dan Pidi keduanya merujuk pada nama India. Posisi GPS Pedir sendiri kini seakan di pedalaman, namun di masa lampau berada di muara sungai Pidi di pantai. Teluk di depannya kemudian terjadi proses sedimentasi jangka panjang sehingga teluk tertutup menjadi rawa kemudian menjadi darataan. Di daratan baru inilah kemudian terbentuk kampong Segli (kini Sigli). Sedangkan Lamuri (kini Lamreh) posisi GPS sendiri tetap berada di pantai (karena tidak ada sungai besar di Lamuri). Kemudian di arah tenggara muncul pelabuhan lain yakni Pasai dan Ambuaru. Idem dito dengan posisi GPS Pedir dan Sigli, kota pelabuhan Pasai berada di antara muara sungai Pasai dan muara sungai Ambuara dimana di tengah teluk terdapat suatu pulau. Oleh karena proses sedimentasi jangka panjang teluk menjadi daratan yan mendekat dengan pulau. Posisi GPS kerajaan Pasai ini kira-kira di teluk (Lhoksukon) dan di pulau kelak terbentuk kampong Lhokseumawe. Idem dito juga dengan posisi kerajaan Ambuaru di muara sungai Abuaru (kini Jambu Aer) berada di pantai (kini posisi GPS di sekitar Lhoknibong).

Lantas sejak kapan Kerajaan Atjeh relokasi ke tempat yang baru ke arah barat yang berada di hilir (muara) suatu sungai besar (sekitar Kampong Jawa yang sekarang). Tidak diketahui apa nama sungai besar tersebut. Sungai tersebut kemudian disebut menjadi sungai Krueng Atjeh (berhulu di pedalaman di pegununugan sekitar Tangse; sebagaimana sungai Pidi atau Pedir). Diduga kuat sejak relokasi inilah kemudian nama kerajaan menjadi Kerajaan Atjeh (1496?). Nama kerajaan Atjeh tidak merujuk pada nama India (karena masih baru), tetapi merujuk pada nama (bahasa) Melayu: Atas, Ateue menjadi Atjeh.

Kota tua di daerah aliran sungai besar ini adalah kota Indrapoera atau Indrapoeri. Kota ini terhubung ke pedalaman di Tangse. Dari namanya Indrapoera, sebagaimana Lamuri, Pidi-Pedir dan Tangse diduga merujuk pada nama India (era Hindoe). Dalam hal perdagangan, kota pelabuhan (kerajaan) Atjeh tidak hanya terhubung dengan induknya (Lamuri) juga dengan kota Indtrapoeri di pedalaman (sebagaimana halnya Pedir terhubung dengan Tangse melalui sungai Pidi dan (kerajaan) Pasai terhubung dengan Takengon di danau pedalaman melalui sungai Ambuaru atau Djambo Aer). Sebagaimana di pantai timur Atjeh (Lamuri, Pedir, Pasai dan Ambuaru), di pantai barat Atjeh juga terbentuk kota-kota pelabuhan (yang juga terjadi proses sedimentasi) yakni kerajaan Daya, kerajaan Labo (Meulaboh) dan kerajaan Singkil yang terhubung ke pedalaman di Tangse dan Takengon (dimana penduduk asli Gayo berada). Nama kota pelabuhan Daya, Labo dan Singkil atau Singh(il) ini juga merujuk pada nama India (era Hindoe),

Sementara kota-kota pelabuhan terbentuk (sebelum berbentuk kerajaan) di pantai (muara sungai), di wilayah pedalaman (pegunungan) Sumatra sudah lama terbentuk kerajaan-kerajaan. Dua kerajaan yang terbesar adalah Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabao. Kerajaan Aru di sekitar daerah aliran sungai Baroemoen (sekitar candi Padang Lawas, Tapanuli) dan Kerajaan Minangkabao di sekitar daerah aliran sungai Kampar (sekitar candi Muara Takus, Bangkinang).

Secara teoritis, pedagang-pedagang India di zaman kuno menyusuri (karena faktor kedekatan geografis) pantai barat Sumatra, terutama dalam perdagangan kooditi zaman kuno seperti emas, hasil hutan berupa kamper, kemenyan, damar dan gading serta kulit harimau. Untuk meningkatkan produksi perdagangan, para pedagang-pedagang ini kemudian berbaur dengan penduduk asli pedalaman dengan mebenntuk koloni-koloni di dekat danau-danau pegunungan yang diduga bermula di danau Siais (danau pegunungan paling dekat ke pantai). Beberap kampng kuno dekat danau dekat danau ini adalah Batoe Rombi dan Mosa. Nama Siais, Rombe dan Mosa terkait dengan nama India. Sungai yang beruara di danau dan melewati kampong-kampong ini disebut sungai Angkola (juga nama terkait India). Di hilir sungai Angkola ini di kawasan pertambangan emas (hingga kini) dibangun candi kuno, candi Simangambat yang diduga dibangun pada abad ke-8 (masih eksis hingga ini hari). Pada abad ke-11 di timur gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya) muncul kawasan metropolitan zaman kuno (kawasan percandingan Padang Lawas, yang candi-candinya masih eksis hingga ini hari). Ke arah utara pulau Sumatra pedagang=pedagang India memasuki pedalaman di sekitar danai Toba melalui Baroes dan di sekitar danau Takengon (kini danau Laut Tawar) melalui Singkil (Singhil). Lalu ke arah selatan Sumatra di danau Maninjau (Agam), danau Singkarak (Solok), danau Kerinci dan danau Ranau. Pada zaman kuno era Hindoe penduduk asli di sekitar danau-danau ini mengembangkan aksara sendiri yang mirip satu sama lain (aksara Gayo, aksara Batak, aksara Kerinci dan aksara Lampong). Lalu di atas ilmu pengetahuan yang sudah berkembang ini dibangun kota-kota metopolitan seperti di pusat percandian Padang Lawas (Tapanuli) dan candi Muara Takus (Bangkinang). Pasca era Hindoe inilah terbentuk kerajaan-kerajaan awal seperti Kerajaan Aru di Padang Lawas dan Kerajaan Minangkabao di Tanah Datar.

Dua kerajaan besar di Sumatra ini satu era dengan kerajaan besar Majapahit di Jawa (suksesi kerajaan Singhasari atau Singosari. Kerajaan Aru dan Kerajaan Miangkabao adalah suksesi kerajaan Sriwijaya (yang diduga berpusat di Palembang). Dalam berbagai tulisan disebutkan Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan oleh Kerajaan Cola di India. Untuk menguasai selat Malaka, pasukan Cola mengintegrasikan diri di daerah aliran sungai Baroemoen dimana sudah sejak lama terdapat kounitas India (yang berdampingan dengan orang-orang India daerah aliran sungai Angkola). Besar dugaan Kerajaan Cole menyerang Sriwijaya di Palembang karena ancaman bagi pusat komunitas India di daerah aliran sungai Baroemoen dan daerah aliran sungai Angkola (Tapanuli).

Di dalam Prasasti Kedukan Bukit (Palembang) bertarik 683 M ada indikasi di masa lampau Sriwijaya diserang oleh orang-orang India yang berpusat di daerah aliran sungai Baroemoen. Hal ini di dalam prasasti itu disebut pasukan itu berangkat dari Minanga. Nama ini adalah nama yang merujuk pada nama India. Minanga ini diduga berada di daerah aliran sungai Baroemoen, sebab pada masa ini di muara sungai Batang Pane di sungai Barumn terdapat nama kota Binanga (ibu kota kabupaten Padang Lawas).

Pasca era Boedha-Hindoe ini di daerah aliran sungai Baroemoen di sekitar area percandian muncul kerajaan baru yakni Kerajaan Aru sekitar tahun 1225. Ada penulis yang menyebut pada tahun 1299 Kerajaan Aru ini menjadi kerajaan Islam (kesultanan). Pada era orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara sudah memasuki selat Malaka. Sebelumnya, sebagai pendahulu orang beragama Islam, di pantai barat Sumatra sudah sejak lama kehadiran pedagang-pedagang orang-orang Arab dan Persia (seperti di Baroes). Orang-orang Moor ini berpusat di pantai barat Semenanjung Mlaya di Muar (tenggara Malaka).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kesultanan Atjeh Era VOC

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar