Jumat, 19 Maret 2021

Sejarah Papua (32): Sejarah Suku Dani di Lembah Baliem, Pedalaman Papua; Sejarah Kota Wamena di Kabupaten Jayawijaya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Papua dalam blog ini Klik Disini

Seperti suku Asmat, suku Dani di Papua juga dikenal luas. Penduduk suku Dani mendiami lembah terkenal, Lembah Baliem di pedalaman Papua. Seperti suku Amungme di masa lampau seakan terisolasi di pedalaman, suku Dani juga terisolasi dan tidak memiliki akses ke pantai (dunia luar). Oleh karena itu penduduk suku Dani untuk waktu yang lama memiliki cara hidup yang tetap orisinil. Gambaran itu masih terlihat hingga kini.

Penduduk suku Dani mendiami wilayah Pegunungan Tengah di pedalaman Papua, di wilayah Kabupaten Jayawijaya dengan ibu kota di Wamena (di lembah Baliem). Kabupaten Jayawijaya sendiri dibentuk pada tahun 1965 dengan bupati pertama M Harahap (1965-1968). Pada tahun 2002 Kabupaten Jayawijaya dimekarkan dengan membentuk tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara dengan ibu kota Karubaga, Kabupaten Pegunungan Bintang dengan ibu kota Oksibil dan Kabupaten Yahukimo dengan ibu kota Dekai. Dalam perkembangannya dilakukan pemekaran pada tahun 2008 yaitu pemekaran dari wilayah Kabupaten Jayawijaya dan sebagian wilayah kabupaten pemekaran pertama dengan membentuk empat kabupaten baru, yakni Kabupaten Mamberamo Tengah dengan ibu kota Kobakma; Kabupaten Yalimo, dengan ibu kota Elelim; Kabupaten Lanny Jaya, dengan ibu kota Tiom; Kabupaten Nduga. dengan ibu kota Kenyam. Dengan pemekaran-pemekaran tersebut, penduduk suku Dani sendiri kini hanya berada di wilayah Kabupaten Jayawijaya dan sebagian yang lain berada di Kabupaten Puncak Jaya.

Lantas bagaimana suku Dani? Sudah barang tentu sudah ada yang menulisnya. Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejauh data baru ditemukan, penulisan narasi sejarah suku Dani di Lembah Baliem (kini Kabupaten Jayawijaya) tidak pernah berhenti. Lalu apa pentingnya sejarah suku Dani? Tidak hanya karena nama suku Dani sudah dikenal luas, juga penduduk suku Dani pemilik portofolio terpenting dari kabupaten Jayawijaya yang sekarang. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Suku Dani di Lembah Baliem

Pada era Hindia Belanda, penduduk Papoea belum teridentifikasi sebagai penduduk yang dibedakan menurut suku. Hal ini karena studi antropologis belum ada yang dilakukan untuk penduduk Papoea. Pemerintah maupun para pedagang (bahkan sejak era VOC) yang berinteraksi di kota-kota pantai hanya melihat penduduk Papoea atas dasar penduduk yang bermukim di wilayah pantai dan penduduk yang berdiam di pedalaman. Wilayah pedalaman untuk kali pertama diketahui pada tahun 1922 berdasarkan suatu ekspedisi Wilheliina Top atau Carstenz Top (lihat De Preanger-bode, 15-03-1922). Pengetahuan ini juga termasuk nama (lembah) Baliem dan sungai Wamena.

Ekspedisi (resmi pemerintah) ini dipimpin oleh Overste Laut Kremer yang dikawal oleh satu detasemen militer yang dipimpin oleh Kapoiteit Infanteri J van Arkel. Dalam ekspedisi ini turut ahli geologi Dr Hubrecht. Tim ekspedisi ini dibantu oleh sebanyak 34 orang Dayak. Sedangkan detasemen militer dibantu oleh 41 orang Dayak. Eskepdisi ini berlangsung dari tanggal 1 Oktober 1921 dan berakhir tanggal 1 Januari 1922. Ekspedisi ini berjalan sukses dapat mendaki puncak Wilhelmina. Pendakian puncak Carstenz ini merupakan yang kedua, sebelumnya dilakukan dari selatan oleh ekspedisi Prancis yang dipimpin oleh Herderschee.

Eskpedisi ke Wilhelmina ini dilakukan dari pantai utara melalui muara sungai Membramo ke arah hulu di pedalaman. Nama-nama geografis yang dicatat dalam laporan ekspedisi ini didahului nama sungai Dika dan sungai Djapellimboet dan kampong Timorini pada tanggal 12 Oktober dan tanggal 15 di kampong Donda. Pada tanggal 17 stay di Panarah. Kemudian tanggal 19 di Aap Toli. Tanggal 20 memasuki wilayah Koeboe dan tanggal 24 mencapai Noega dan keesokan harinya menuju kampong Tamak (ketinggian 1.750 M). Pada tanggal 1 November tiba di kampong Noreagobak (masih lanskap Koeboe), tanggal 8 di kampong Toegobak. Tanggal 10 berada di ketinggian 2.400 M kampong pertama dari Baliem (pos militer dibangun). Keesokan harinya dilanjutkan dan stay di kampng Tora (pertemuan Tiom dan Baliem). Sementara Luitenant Dros di Tora tim ekspedisi ke Baliem dan bertemu penduduk yang dipandu oleh pemandu Wamgimeh.

Pemandu penduduk asli bernama Wamgimeh. Di Donda dibuat pos militer sementara yang dipimpin oleh Luitenant Drost. Sedangkan tim eksepdisi melanjutkan perjalanan, saat inilah dari pos Donda diketahui bahwa di Lembah Baliem memiliki penduduk yang padat (relatif dengan wilayah yang sudah mereka lalui dari pantai utara) namun belum diketahui sexara pasti. Catatan inilah boleh jadi nama Baliem dan Wamena disebut dalam publikasi. Dalam hal ini, nama Baliem adalah nama wilayah (lembah) sedangkan nama Wamena hanya dicatat sebagai nama sungai. Tentu saja ada nama kampong yang disebut Wamena (tim ini tidak sampai ke sana).

Pada tanggal 18 di Pieremeh, anak sungai kecil di sebelah kanan Baliem. Lebih dari 30 Km medan tak berpenghuni memisahkan ekspedisi dengan titik yang dituju tim ekspedisi. Pada tanggal 22 pukul setengah satu, dengan bantuan parang, tim turun ke dasar sungai Wamena dan memasuki pos militer yang dibangun di tepi sungai ini. Pada tanggal 23 mereka beristirahat dan sebagian besar orang Papua yang ikut membantu pulang tetapi mereka berjanji akan membawa babi dan ubi. Keesokan harinya orang Dayak berangkat bersama Wamgimèh. Tanggal 25 November jalan melewati lapisan batu pasir yang menjadi bagian punggung pertama dari Central Chain (Pegunungan Tengah). Kawasan ini menjadi batas anatar utara dan selatan (pedalaman) Papua.

Salah satu anggota tim ekspedisi tersebut menulis pada surat kabar De Preanger-bode, 25-03-1922 memberi kesan bahwa jalan menuju target ekspedisi melalui ladang yang dibangun dengan baik dan kampung-kampung yang makmur. Semuanya menunjukkan bahwa orang Papua sangat makmur di daerah ini. Pemandangan ke utara di lembah Baliem yang dalam dengan lereng menurun dan desa-desa tersembunyi sangat indah dari sini. Lurus Utara naik di tepi kiri Balien, Moli dan Bonnom, dua gunung menurun cukup curam ke sungai, di mana jalan berkelok ke atas terlihat jelas. Penduduk Baliem mengaku hidup bersahabat dengan orang Papua di selatan Rantai Tengah. Menurut saya, area pendaratan yang cocok untuk bidang tanah juga bisa dibangun di dataran tinggi Baliem yang berawa. Singkatnya, kami mendapatkan area pesawat berikut untuk bagian dari Papua Tengah ini: pesawat air: di Danau Habbema, Sungai Idenburg dekat Prauwenbivak; pesawat darat: Dataran Kubu – alang-alang, dataran tinggi Baliem, keduanya harus dipersiapkan dulu. Bahwa eksplorasi selanjutnya dari N. van den Central Chain Papua dapat dilakukan dengan pesawat,

Salah satu yang penting dari ekspedisi ini, selain pendakian puncak Carstenz adalah pengenalan awal tentang wilayah pedalaman Papua di dataran tinggi, terutama di Lembah Baliem. Dalam hal ini identifikasi untuk pendaratan pesawat yang sesuai sudah diidentifikasi, paling tidak untuk titik awal pendaratan di danau Habema (sebelah barat kota Wamena yang sekarang). Inilah awal sejarah kota Wamena dan kabupaten Jayawijaya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar