*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Artikel ini tidak berbicara soal paparan Sahul, akan tetapi bagaimana bentuk
(pulau) Papua pada zaman kuno. Pada artikel sebelum ini, pulau-pulau besar di
Indonesia, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi berbeda bentuknya sekarang
dibandingkan zaman kuno. Lalu apakah pulau Papua juga berbeda bentuk yang
sekarang dengan bentuk zaman kuno? Nah itu yang terpenting untuk diselidiki daripada
hanya sekadar penyelidikan benar tidaknya paparan Sahul. Dalam hal ini apakah gunung
dan sungai memberi kontribusi dalam perubahan bentuk pulau Papua?
Di pantai utara pulau Papua khususnya di teluk Wondana dimungkinkan
terjadi perubahan bentuk pulau. Namun itu tidak terjadi. Mengapa? Hal itu
karena tidak ada sungai besar yang bermuara ke teluk Wondana. Sungai besar
menjadi salah satu faktor penting menyebabkan garis pantai berubah. Muara-muara
sungai besar di pantai utara Papua terdapat di timur teluk yakni sungai
Membramo dan sungai Tami (dekat perbatasan Papua Nugini). Sungai-sungai besar
lainnya terdapat di arah timur di
wilayah Papua Nugini. Di pantai selatan Papua juga terdapat sungai besar antara
lain sungai Digul di bagian barat daya (bermuara ke laut Arifuru) dan sungai
Moreshead yang bermuara ke selat Torres, selat yang memisahkan pulau Papua
dengan Australia. Lalu apakah sungai-sungai besar tersebut telah mengubah
bentuk pulau Papua? Kita mulai dengan milihat bentuk pulau Papua sendiri
bagaikan seekor burung yang memiliki tulang belakang yang terbagi menjadi
bagian kepala, leher, badan dan ekor. Pada tulung-tulung ini sejak zaman kuno
tidak berubah hingga sekarang, tetapi otot atau dagingnya yang melar bahkan
pada bagian badan sebelah bawah sangat melar seakan burung itu sedang bunting.
Dari penglihatan sepintas ini kita sebenarnya sudah mendapatkan gambaran awal
bentuk pulau papua pada zaman kuno
Lantas bagaimana sejarah gunung dan sungai di (pulau) Papua? Seperti
disebut di atas, pulau Papua juga diduga telah berubah bentuk jika dibandingkan
sekarang dengan zaman kuno. Lalu sejak kapan perubahan bentuk itu terjadi? Satu
hal yang masih tersisa dari warisan zaman kuno di pulau Papua adalah gunung
yang bersalju (namun mulai menipis). Dari kawasab inilah beberaoa sungai besar
bermuara ke pantai utara dam pantai barat daya Papua. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan
dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Teluk Wondana dan Selat Torres: Gunung Salju vs Gunung Api
Mungkin
banyak yang menganggap penting hubungan antara gunung dengan sungai, atau
sebaliknya. Faktanya sungai adalah jembatan antara pegunungan dan lautan. Di gunung-gunung
tinggi sungai berhulu dan mengalirkan air hingga jauh ke muara di pantai. Seperti
pada artikel-artikel sebelum ini tentang di Sumatra dan Jawa, diduga kuat muara
sungai Membramo di pantai utaa Papua telah bergeser ke arah laut dan semakin
menjauhi gunung-gunung tinggi dan sungai (Memberamo) menjadi lebih panjang sekarang
dibanding pada zaman kuno. Dalam hal ini, penting memperhatikan muara sungai
Membramo di pantai utara pulau Papua adalah pangkal jalur navigasi pelayaran
dari lautan (pantai) ke pedalaman (pegunungan). Sungai Mamberamo berhulu di pegunungan
Jayawijaya, pegunungan yang puncaknya bersalju.
Sungai Mamberamo adalah suatu sungai yang
keberadaannya belum lama dicatat dalam sejarah navigasi pelayaran dan sejarah
geografi. Panjang sungai Mamberamo 670 Km. Sungai Mamberamo jelas sungai yang
panjang, yang itu berarti air mengalir dari pegunungan di pedalaman (kabupaten
Sarmi) melalui berbagai wilayah geografi sebelum menemukan jalan ke muara di
pantai (laut). Sungai Membramo pada masa ini melewati sembilan kabupaten dan
bermuara di pantai utara pulau Papua di kabupaten Membramo Raya.
Puncak
gunung yang bersalju ini kini lebih dikenal sebagai puncak Jaya. Kawasan pantai
barat Papua ini kali pertama dikunjungi oleh pedagang-pedagang VOC pada tahun
1623 yang dipimpin oleh Kaptein Jan Carstenz. Dalam ekspedisi ini peta dibuat
yang dilakukan oleh Arent Martensz de Leeuw, Dalam Peta 1623 diidentifikasi
Amboina, Banda, Pulau Kei dan Pulau Aru asal rute, yang melakukan ekspedisi
pertama ke pantai barat Papua menuju tempat yang diduga kuat kampong Mimika. Di
selatan kampong ini ditandai (muara) sungai (Muara sungai besar yang
diidentifikasi pada Peta 1623 diduga kuat adalah sungai di Timika atau kini
sungai Ajkwa). Ekspedisi ini melakukan navigasi ke arah selatan melewati pulau
Frederik Hendrik dan Merauke hingga Pulau Daru. Satu yang penting dalam peta
ini pegunungan (puncak) tinggi di pedalaman sudah diidentifikasi (kini puncak
Carstenz, sesuai nama komandan ekspedisi). Karena puncak Carstenz inilah yang
dapat dilihat dengan jelas dari pantai barat Papua, Catatan: Peta kuno ini sempat hilang
dan baru ditemukan pada tahun 1866 (lihat Nederlandsche staatscourant,
18-02-1866).
Muara sungai besar yang diidentifikasi pada
Peta 1623, berdasarkan Peta 1695 di sekitar muara sungai terdapat gosong yang
sangat luas dan hanya ada satu pulau yang didientifikasi. Pulau ini diduga
adalah pulau Mimika (yang menjadi pusat perdagangan di sekitar muara). Apa yang
menjadi penyebab terjadinya gosong yang luas ini diduga terdapat pertambangan sejak
zaman kuno, Kemungkinan terjadinya
pengaruh vulkanik karena pegunungan di hulu meletus kecil sekali karena hanya
pegunungan Arfak yang bersifat aktif. Pertambangan ini diduga menjadi faktor
penting mengapa pedagang-pedagang Moor memiliki pemukiman di pantai selatan
Papua ini seperti di teluk Triton (sekitar Kaimana yang sekarang) di Pulau Aru
dan di pulau Daru. Seperti di tempat lain, aktivitas penduduk yang intens di
pedalaman menjadi satu faktor penting mengapa teluk yang luas menjadi kawasan
daratan seperti Batavia, Semarag dan Soerabaja. Di wilayah Maluku seperti di
Amboina dan Ternate kasus gosong ini tidak ada, karena sungai besar tidak
ditemukan. Selain muara sungai Mimika yang mengalami proses sedimentasi jangka
panjang juga ditemukan di muara sungai Digul dan di muara sungai Membramo.
Sungai
Membramo kali pertama dikunjungi oleh orang Eropa pada era Hindia Belanda. Tidak
disebutkan dimana muara sungai sebagai pintu masuk. Ekspedisi tersebut
menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman yang disebut ekspedisi Wilheliina Top
atau Carstenz Top (lihat De Preanger-bode, 15-03-1922).
Muara sungai Membramo kini masuk wilayah
kabupaten Membramo Raya dengan ibu kota di Burmeso. Antara ibu kota ini dengan
myara sungai terdapat danau yang disebut danau Rombebai. Mengapa namanya disebut
Rombebai diduga merujuk pada nama Belanda Rombe Baai (bai=teluk. Jadi danau di
teluk Rombe. Lalu apakah danau ini tempoe doeloe adalah suatu teluk dimana
sungai Membramo bermuara? Sangat mungkin karena ketinggi wilayah sekitar danau
hanya 20 meter dpl. Danau ini tepat berada di sisi timur sungai Membramo. Besar
dugaan danau ini adalah perairan yang terjebak di sekitar muara sungai Membramo
(sebelum muara yang sekarang). Sementara di sisi sebelah barat sungai dekat
danau terdapat rawa yang terhubung ke pantai barat yang memperkuat dugaan ini. Muara
sungai Membramo ini di masa lampau mungkin lebih jauh ke pedalaman hingga kota
Burmeso yang sekarang. Hal ini dapat diperhatikan karena ada sungai dari
Burmeso yang terhubung ke pantai barat (sungai Ruawai).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Paparan Sahul vs Selat Torres
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar