*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Meski
Maluku adalah kepulauan namun cukup banyak ditemukan gunung. Gunung tertinggi
adalah gunung Binaia di pulu Seram dengan tinggi 3.027 M dan tertinggi kedua gunung
Kapalatmada di pulau Buru dengan tinggi 2.700 M dan ketiga gunung Buku Sibela di
pulau Bacan dengan tinggi 2.111 M. Hanya itu, selebihnya hanya tinggi kurang
dari 2.000 M. Meski demikian cukup banyak gunung rendah yang tergolong gunung
api. Deretan gunung api ini berada di utara dan di selatan (pada gugus cincin
api Pasifik).
Gunung-gunung api di wilayah Maluku selatan
adalah api di pulau Teon, pulau Nila, dan pulau Serua. Tidak jauh dan yang
cukup dikenal adalah gunung Banda Api. Di wilayah Maluku Utara yang tergolong
gunung api adalah gunung Gamalama (1.715 M) di pulau Ternate, gunung Gamkonora (1.571
M) dan gunung Ibu (1.377 M) di pulau Halmahera (barat) dan gunung Dukono (1.259
M) di pulau Halmahera (utara) dan gunung Makian (1.300 M) di pulau Makian. Di
wilayah lain ada satu gunung api di Maluku Barat Daya (gunung Wurlali, 868 M).
Ini mengindikasikan bahwa di bagian tengah kepulauan Maluku terbilang aman,
tetapi di wilayah utara dan wilayah selatan dengan adanya gunung api memberi
jalan kepada pulau-pulau yang subur yang di masa lampau terkenal dengan
rempah-rempah (pala dan cengkeh).
Lantas
bagaimana sejarah gunung-gunung kepulauan Maluku? Seperti disebut di atas, kepulauan
Maluku banyak gunung api yang terdapat di pulau-pulau yang subur (asal dari
rempah-rempah). Setelah produk kuno kamper dan kemenyan berlalu di zaman kuno,
sebelum muncul komodi lada, penghasil komodidi berharga untuk diekspor ke Eropa
adalal pala dan cengkeh dari Maluku. Itulah sejarah awal gunung-gunung di
kepulauan Maluku. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Gunung-Gunung di Maluku: Nama-Nama
Zaman Kuno
Nama
gunung tertinggi di pulau Maluku disebut Binaia (di pulau Seram). Nama Binaia
ini mirip nama Minanga atau Binanga, yang diduga kuat nama pelabuhan Kerajaan
Aru (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M dan prasasti Laguna di Luzon 900 M). Binanga
sendiri sebagai pelabuhan Kerajaan Aru tepat berada di pertemuan sungai Panai
dan sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Ibu kota Kerajaan Aru diduga kuat
berada di pedalaman di antara gunung Lubu Raja dan gunung Malea (tempat dimana
kini ditemukan situs candi Simangambat yang dibangun pada abad ke-8).
Kerajaan Aru diduga sudah eksis jauh di zaman
kuno (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3). Keberadaan Kerajaan Aru ini diduga
terkait dengan catatan geografi Ptolomeus abad ke-2 yang menyebut sentra
produksi kamper di Sumatra bagian utara. Catatan Tiongkok pada abad ke-2
menyebut utusan Raja Yeh-Tiao telah menghadap Kaisar untuk membuka pos
perdagangan di Yeh-shin (beberapa peneliti Yeh-tiao adalah Sumatra dan Yeh-shin
adalah Annam, tidak jauh dari ditemukan prasasti Vo Cahn). Selanjutnya
berdasarkan literatur Eropa pada abad ke-5 menyatakan kampet diekspor melalui
pelabuhan yang disebut Barus. Pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra. Aru,
B-aru-s dan B-aru-mun diduga kuat merujuk pada kata ‘aru’ yang diartikan
sebagai ‘sungai’ (rivier). Pada prasasti Kedukan Bukit 682 disebut Raja yang
datang dari Minanga bernama Dapunta Hyang Nayik. Sementara nama raja (kerajaan)
Sriwijaya disebut Dapunta Hyang Srijayanaga (lihat prasasti Talang Tuo, 684 M)
dan Raja di Jawa disebut Dapunta Seilendra (lihat prasasti Sijomerti awal abad
ke-8).
Nama Seram (di kepulauan Maluku) sudah dicatat dalam teks Negarakertagama
(yang ditulis pada tahun 1365 M). Nama tempat yang dicatat di sekitar (pulau)
Seram adalah Muar dan Ambwan (Amboina?) serta Wandan (Banda?) di selatan, Hutan
Kadali (Buru?) di barat dan Maloko (Maluku?) di atas (lihat Prof Ken, 1919).
Berdasarkan prasasti Watu Tunti di Bima disebut Raja Saparua, Sang Haji
(Sangaji?). Dalam hal ini nama gunung tertinggi di (kepulauan) Maluku yang
disebut Binaia berada di pulau Seram dekat dengan pulau Amboina, Muar dan
Saparua. Pada era Hindoe Bodha nama tempat yang penting kerap dikaitkan dengan
gunung tinggi (seperti di Minahasa dengan gunung Empung dan di Toraja dengan
gunung Latimojong).
Berdasarkan Mendes Pinto yang pernah
berkunjung ke ibu kota Kerrajaan Aru pada tahun 1537 di Panaju (Panai?)
mencatat jumlah tentara Keajaan Aru sebanyak 15.000 orang yang mana sebanyak
7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Brroenai dan Luzon. Mendes Pinto juga
menyebut militer Kerajaan Aru diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor (beragama
Islam yang berasal dari Afrika Utara seperti Maroko, Mauritania dan Tunisia).
Koloni orang Moor di selat Malaka berada di Muar (selatan kota Malaka). Nama
Muar atau Moar merujuk pada nama Moor. Nama Muar di kepulauan Maluku mirip
dengan nama Muar di Semenanjung (Malaka). Boleh jadi nama Maloko atau Maluku
juga merujuk pada nama Malaka. Nama Malaka sendiri adalah sebutan orang-orang
Moor untuk kota Malaya (yang merujuk pada nama Himalaya). Keberadaan
orang-orang Moor di Semenajung sudah lama ada, bahkan jauh sebelum Ibnu
Batutah, seorang Moor asal Tunisia berkunjung ke kota-kota di selat Malaka (dan
juga Tiongkok) pada tahun 1345.
Nama
Binaia, seperti disebut di atas, mirip nama Binanga, kota di pertemuan sungai
Panai dan sungai Barumun. Salah satu pelabuhan Kerajaan Aru di utara adalah
Ambo-aru (kini Jambu Air) mirip Amboina, Nama Muar tempio doeloe di kepulauan Maluku
menghilang dan pulau itu kini lebih dikenal sebagai pulau H-aru-ku dan nama
Hutan Kadali menjadi pulau B-aru (kini lebih dikenal pulau Buru). Maluku
sendiri merujuk Malaka dan Wanda kemudian disebut sebuah bandar (pelabuhan) di
pulau Neira (kini lebih dikenal Banda Neira). Dengan demikian, diduga kuat
sudah ada jalur navigasi pelayaran perdagangan sejak era kamper dan kemenyan,
dari Sumatra bagian utara (Kerajaan Aru) hingga ke (kepulauan) Maluku jauh
sebelum Kerajaan Majapahit membina hubungan dagang dari Jawa ke kepulauan
Maluku. Jangkauan navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru ini, diduga yang
menjadi sebab mengapa pulau di tenggara pulau Banda disebut pulau Aru (di laut
Aru-furu). Orang-orang Moor kelak menjadi cikal bakal (bangsa) Moro di
Mangindanao (Filipina).
Pengaruh navigasi pelayaran perdagangan orang-orang Moor ini begitu luas
di Hindia Timur sejak awal. Mereka inilah yang menggantikan peran navigasi
pelayaran pedagangan awal orang-orang India (era Hindoe Boedha) untuk
menghubungkan Hindia Timur dengan Eropa. Orang-orang Moor ini tidak punya
negara lagi di Eropa (stateless) pasca Perang Salib. Orang-orang Moor telah
memiliki kebudayaan tinggi di Eropa dengan kota-kota mereka yang terkenal
Cordoba dan Andalusia. Pelaut-pelaut Moor dapat dikatakan adalah pendahulu
(predecesson) pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol. Dalam beberapa tulisan
disebutkabn pelaut-pelaut Moor masih mendampingi pelaut-pelaut Portugis pada
awal navigasi pelayaran perdagangan Portugis hingga mencapai (kota) Malaka pada
tahun 1509. Oleh karena orang Moor stateles maka mereka menetap dimana ada
sumber perdagangan (ibarat dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung).
Ciri-ciri kota-kota yang diinisiasi oleh pedagang-pedagang Moor sebagai
pelabuhan biasanya menggunakan awalan Ma (Manila, Makao, Mangindanao, Manado, Makasar,
Maluku (kini Ternate), Makian, Mangarai bahkan hingga Maori. Sementara
tempat-tempat dimana komunitas Moor cukup banyak disebut orang lain sebagai Muar
atau Moro (seperti Amoerang, Morotai, Morowali, Moresby dan sebagainya).
Sedangkan komunitas orang Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) disebut Minanga,
Aru, Daruba, dan mungkin dalam hal ini Haruku, Saparua dan Binaia serta Amboina)
Peta-peta
Portugis mengudentifikasi pulau Halmahera dengan nama Batachini del Moro dan
pantai barat pulau yang berhadapan dengan pulau Ternate dan Tidore sebagai
Custa del Moro (pantai Moro). Tidak begitu jelas mengapa pulau Hale-Mahera
diidentifikasi sebagai pulau Batachini del Moro. Namun jika diperhatikan nama
yang terkandung dalam nama tempat ini seakan ingin menyebut tiga nama: Bata[k],
China dan Moro. Dalam perkembangannya, pada peta-peta baru (VOC) identifikasi
nama geografi Batachini del Moro sebagai Halmahera dan pulau di utaranya
diidentifikasi sebagai pulau Morotai (dimana di dalam pulau disebut nama tempat
Daruba).
Dalam peta-peta awal Portugis identifikasi
peta berasal dari arah utara (sebelah utara ekuator). Sebagaimana diketahui
ketika Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, tiga kapal Portugis langsung
menujuk Maluku melalui pantai selatan Sumatra terus ke pantai utara Jawa dan
seterusnya utara pulau-pulau Nusa Tenggara dan kemudian ke Maluku. Lalu pada
tahun 1514 pelaut-pelaut Portugis telah membuka hubungan dagang dengan Tiongkok
di pulau Tunmmen. Namun terjadi perselisihan pada tahun 1520 yang menyebabkan
pelaut-pelaut Portugis terusir dari Tiongkok dan kemudian pelaut-pelaut
Portugis menjalin hubungan dagangan dengan Broenai (dan juga dengan Manila)
pada tahun 1521. Lalu pada tahun 1524 pelaut-pelaut Spanyol dari Amerika
selatan melalui lautan Pasifik tiba di Zebu (Filipina). Situasi inilah yang
kemudian menjadi intens navigasi pelayaran perdagangan di utara ekuator. Yang
dalam peta lengkap pertama Portugis dibuat arahnya dari utara (Mare de la
China-Laut China). Di horizon paling selatan diidentifikasi Timor dan Ambon (kurang
tepat, mungkin Manggarai). Pada bagian depan peta ini diidentifikasi nama Zebu
dan Mindanao dan di sebalah barat Zolo (Sulu?), Sarigan (Basilan?) dan Sanghi
(Sangihe?). Lalu lebih ke selatan lagi di sekitar garis wkuator diidentifikasi
pulau Tidore dan Bachan, Machan, Ternate dan lainnuya. Kemudian lebi ke selatan
lagi diidentifikasi nama Ambon dan Banda. Juga nama Noesa Toloe dan Mahua. Lalu
di sebelah barat nama Buru dan pulau besar sebagai Celebes. Last but not least,
pada pulau besar di kepulauan Maluku diidentifikasi dengan nama Gilolo.
Di
pulau Halmahera atau Batachini del Moro, pada peta lebih awal hanya
diidentifikasi nama Gilolo, Boleh jadi koding yang dibuat pelaut-pelaut
Portugis ini untuk mengeja nama Djailolo (Raja Ilolo?). Dalam hal ini dapat
dikatakan sudah terindentifikasi nama-nama penting yang diduga juga nama-nama
kerajaan (Gilolo, Ternate, Tidore, Machan, Bachan, Buru, Ambon, Banda dan Nusa
Toloe) plus di Filipina (Zebu, Mindanao)
Selain gunung-gunung di pulau kecil, di pulau
Halmahera atau Batachini de Moro atau Gilolo terdapat beberapa gunung (lihat
tabel). Diantara gunung-gunung ini diduga kuat nama gunung Jailolo yang dikenal
lebih awal, karena lokasinya yang dekat ke laut di pantai barat. Gunung ini
diduga merujuk pada nama gunung raja, raja dari pulau (Dja Ilolo). Lalu ada
bama gunung Ibu kemudian gunung Tobaru. Ini mengindikasikan bahwa semua gunung
di pulau Halmahera berada di wilayah utara (kabupaten Halmahera Barat ibukota
di Jailolo dan kabupaten Halmahera Utara ibukota di Tobelo’ dan kabupaten
Morotai ibu kota Daruba), Dengan gunung-gunungnya terbilang tinggi tinggi, besar
dugaan populasi penduduk dimulai dari arah utara ini. Tidak jauh sari wilayah
ini di pulau-pulau kecil terbentuk populasi penduduk di pulau Ternate, pulau
Tidore dan lainnya.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Maluku Era Modern: Rempah-Rempah
Era Eropa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Thank you for the article!
BalasHapus