Jumat, 01 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (145): Lubang Buaya, Seputar G 30 S/PKI 1965; Sejarawan dan Siapa Sebenarnya Pemilik Sejarah?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Diskusi sejarah dengan topik yang sama kerap berulang. Ada topik yang menjadi terang, ada juga yang samar-samar dan juga ada yang masih gelap. Salah satu topik yang tetap dibicarakan adalah seputar G 30 S/PKI. Namun yang kurang mendapat perhatian adalah sejarah tentang seputar Lubang Buaya, suatu desa di pinggir Jakarta pada seputar G 30 S/PKI. Lantas mengapa diskusi terus berulang? Karena masih bersifat pro-kontra? Lalu bagaimana para sejarawan menengahi dalam arti menjelaskan yang sebenarnya. Siapa pemilik sejarah?

 

Lubang Buaya adalah sebuah tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban Gerakan 30 September (PKI) pada 30 September 1965. Secara spesifik, sumur Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lubang Buaya pada terjadinya G30S saat itu merupakan pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia. Saat ini di tempat tersebut berdiri Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila, sebuah museum diorama, sumur tempat para korban dibuang, serta sebuah ruangan berisi relik. Selain itu juga terdapat rumah yang di dalamnya ketujuh pahlawan revolusi yang disiksa dan dibunuh. Dan juga terdapat mobil yang digunakan untuk mengangkut orang-orang (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Lubang Buaya pada seputar G 30 S/PKI? Seperti disebut di atas, Lubang Buaya menjadi penting pada seputar G 30 S/PKI karena menjadi tempat pembuangan korban tujuh jenderal dan perwira. Lalu bagaimana sejarah Lubang Buaya pada seputar G 30 S/PKI? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Lubang Buaya, Riwayat Tempo Dulu

Pada hari ini tanggal 5 Oktober 1965 sebanyak enam jenderal yang terbunuh akan dimakamkan di pemakaman kehormatan di Kalibata. Presiden Sukarno telah mengumumkan satu minggu berkabung untuk mereka dan perayaan Hari Angkatan Bersenjata tahunan telah ditunda hingga 10 November (lihat De Volkskrant, 05-10-1965). Disebutkan kuburan massal para jenderal ditemukan di desa Lobang Boeaja dekat pangkalan udara Halim. Penyelidikan mengungkapkan bahwa sisa-sisa jenazah menunjukkan tanda-tanda penganiayaan dan penembakan yang parah. Jenderal yang dibunuh adalah Jani, Harjono, Parman, Soeprapto, Soetojo dan Pahdjaitan. Jenazah Letnan Panggain (P Tendean?) juga ada di dalam kubur. Masih terdengar dari Jakarta bahwa putri Jenderal Nasoetion yang berusia enam tahun telah meninggal karena luka-lukanya. Anak itu terluka oleh peluru ketika pemberontak yang ingin menculik ayahnya, menembak anak itu.

Lebih lanjut disebutkan bahwa tentara ingin balas dendam karena kemarin (4 Oktober 1965, pen) kuburan massal enam jenderal ditemukan, termasuk Panglima Jani. Panglima angkatan bersenjata yang memimpin pembersihan di Jakarta dan sekitarnya, Brigadir Jenderal Soeharto, secara terbuka menuduh pimpinan angkatan udara atas pembunuhan ini. Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dituduh bertanggung jawab atas distribusi amunisi dan senjata dari gudang angkatan udara di Menteng Prapatan di Jakarta kepada 2.700 kader komunis khusus yang dilatih di sekitar bandara Halim. Senjata-senjata China itu dikatakan sebagian diselundupkan dan sebagian dibawa ke Indonesia oleh angkatan udara itu sendiri. Dhani secara khusus dipersalahkan atas fakta ini oleh tentara, yang juga menganggapnya bertanggung jawab langsung atas pembunuhan para jenderal.

Putri Jenderal Nasoetion ditembak dari jarak satu meter oleh tentara yang ingin menangkap ayahnya (lihat Algemeen Handelsblad, 08-10-1965). Istri Nasution menderita luka tembak yang serius (lihat Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 08-10-1965). Kantor berita Reuter melaporkan: Jenderal yang keras itu menangisi kuburan putrinya. Dia berkata, ‘Kamu mati sebagai tameng bagi ayahmu’. Seperti disebut di atas, yang diberitakan pada saat pemakaman pada tanggal 5 Oktober 1965 di Kalibata turut dihadiri Mayor Jrenderal Soeharto (lihat Algemeen Handelsblad, 08-10-1965).

Leeuwarder courant hoofdblad van Friesland, 08-10-1965: ‘Sekitar 500.000 orang mengambil bagian dalam rapat umum di Jakarta hari ini, menuntut tindakan diambil terhadap semua yang terlibat dalam ‘gerakan 30 September’. Menurut Radio Jakarta radio melaporkan bahwa sebuah pesan kemudian dikirim ke pejabat Presiden Soekarno, menuntut agar Partai Komunis dan semua pihak yang bersimpati pada ‘Gerakan 30 September’ dibubarkan dan semua menteri yang terlibat dalam G-30-S diberhentikan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh anggota dan perwakilan dari 44 partai politik dan ormas, menurut radio tersebut. Para pengunjuk rasa juga menuntut para menteri yang terlibat dalam ‘Gerakan 30 September’ diadili oleh pengadilan.

Bagaimana peristiwa terjadi pada hari-H (tanggal 1 Oktober 1965) terbunuhnya para jenderal sebelum penggalian di sumur Lubang Buaya pada hari Senin tanggal 4 Oktober 1965 tidak terlalu detail diberitakan. Berita ditemukan lokasi korban muncul pada tanggal 4 (Algemeen Handelsblad, 04-10-1965). Disebutkan Radio Jakarta melaporkan bahwa mayat enam jenderal Indonesia yang dibunuh oleh pemberontak telah ditemukan di kuburan umum di daerah yang disebut Loebang Boeaja, sebuah area di Jakarta. Salah satu jenazah adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Achmad Jani, menurut siaran yang didengarkan di Singapura. Korban lainnya adalah Mayjen Harjono, Soeprapto dan Soeparma serta Brigjen Soetojo Dikorko dan Panjaitan. Seorang anggota staf Jani, Letnan Tandian, juga ditemukan di kuburan. Pesan itu disampaikan oleh radio Jakarta tanpa penjelasan apapun.

Bagaimana proses ditemukan tempat korban di masukkan di sumur Lubang Buaya dapat diperhatikan pada keterangan Soekitman pada masa kini yang dapat dilihat di Youtube. Bagaimana pencarian sumur, penggalian sumur dan pengangkatan jenazah juga dapt diperhatikan pada keterangan para penggali sumur pada masa kini yang dapat dilihat di Youtube. Kisah para penggali ini terkesan alamiah.  

Sumber, yang mungkin satu-satunya, bagaimana penggambaran secara rinci peristiwa terbunuhnya para jenderal dan perwira diberitakan oleh surat kabar harian tentara Indonesia hari ini (lihat Amigoe di Curacao : weekblad voor de Curacaosche eilanden, 06-10-1965). Disebutkan secara rinci bagaimana enam jenderal dan seorang letnan tentara dibunuh oleh pemberontak komunis: ‘Pada Jumat dini hari, 1 Oktober, rumah Jenderal Achmad Jani, Panglima Angkatan Darat, ditembaki pemberontak. Tembakan itu di luar kediaman jenderal. Jenderal keluar dan dipukul, lalu dia dibawa pergi oleh tentara pemberontak. Mereka membawanya dengan jip ke Loebang Boeaja, dekat lapangan udara Halim dan menyiksanya di jalan. Di Loebang Booaja, jenazah Jenderal Jani dibuang ke sumur," demikian laporan harian TNI AD.

Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 08-10-1965: ‘Sebuah laporan yang diterima di Singapura dari Radio Jakarta menunjukkan bahwa tiga eksekutif partai komunis Indonesia telah ditangkap di Jakarta, yang mengaku telah mengambil bagian dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal Indonesia. Nama-nama yang ditangkap adalah Soetomo, Talrani dan Thartono’. Friese koerier: onafhankelijk dagblad voor Friesland en aangrenzende gebieden, 06-11-1965: ‘Sekitar dua puluh anggota partai komunis Indonesia yang mengikuti latihan militer di kamp pelatihan "Lobang Boeaja" tempat enam jenderal tentara Indonesia dibunuh telah ditangkap di Soekaboemi’

Tunggu deskripsi lengkapnya

Para Sejarawan dan Siapa Sebenarnya Pemilik Sejarah?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar