*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Di
pulau Papua terdapat teluk besar. Teluk Cendrawasih. Di depan teluk besar ini
terdapat sejumlah pulau, dua pulau besar yakni pulau Japen dan pulau Biak.
Pulau-pulau seakan pengahalamg dari arus laut dari luatan Pasifik ke dalam
pulau. Berdasarkan peta topografi yang sekarang, pulau Papua zaman kuno tidak
segemuk sekarang, tetapi sangat ramping (dari Papua Nugini hingga Raja Ampat)
seperti pulau Sumatra (yang juga sangat ramping pada zaman kuno).
Peta pulau Papua tertua baru muncul pada era Portugis.
Peta pulau Papua semakin lebih disempurnakan pada era Belanda (VOC). Pada
peta-peta Portugis, gambaran pulau Papua diidentifikasi sebagai pulau yang
ramping. Namun, boleh jadi penggambaran pulau yang ramping tersebut oleh
pelaut-pelaut Portugis didasarkan peta-peta lama dari sumber lain. Sebagaimana
diketahui pemetaan sudah dilakukan sejak era Ptolomeus abad ke-2. Sungai-sungai
besar di pulau Papua hanya ditemukan di bagian tengah, apakah yang mengalir ke
pantai utara (seperti sungai Membramo dan sungai Sepik di Papua Nugini) maupun
yang mengalir ke pantai selatan (seperti sungai Digul dan sungai Bensbach di
Papua Nugisni)
Lantas
bagaimana sejarah teluk-teluk di pulau Papua? Seperti disebut di atas, teluk
Cendrawasih adalah teluk besar yang dihalangi oleh pulau Japen dan pulau Biak
dari arah lautan Pasifik. Selain itu ada juga teluk-teluk kecil yang sudah
dikenal sejak lama seperti teluk Bintuni
dan teluk Wondama. Tentu saja juga ada teluk-teluk lain di wilayah Papua
Nugini. Lalu bagaimana sejarah teluk di pulau Papua? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Peta Teluk di Pulau Papua
Sejak Pelaut-Pelaut Portugis
Sejarah
geografi kerap memiliki tantangan sendiri. Di satu sisi, kejadiannnya sudah
lama (sejak zaman kuni), karena itu data yang tersedia sangat minim. Namun
tentu saja hal itu tidak bisa dianggap begitu saja. Sedangkan di sisi lain,
gambaran masa kini tentang peta geografi, terutama dari aspek tofografi
mengundang minat yang tinggi untuk menghubungkan masa kini dan masa lampau dalam
kajian analisis sejarah geografi. Seperti artikel-artikel sebelum ini, yang
memfokuskan pada keberadaan teluk, dan kini teluk-teluk yang berada di pulau
Papua. Teluk besar Cendrawasih, apakah zaman doeloe sebesar masa kini?
Pada peta-peta era Portugis, mengindikasikan
pulau Papua sudah dikenal baik di Eropa. Gambarn yang ada tentang peta pulau
Papua berbentuk lebih ramping dari sekarang, dari barat laut ke tenggara.
Peta-peta ini tentulah disalin olejh pelaut-pelaut Portugis dari sumber-sumber
lama. Tidak seperti peta Sumatra dan peta Jawa yang pada era Belanda (VOC)
nama-nama tempat banyak relatif terhadap Kalimantan yang merujuk pada nama
India (Boedha-Hindioe(, Jumlahnya semakin berkurang ke arah Timur (Sulawesi,
Maluku dan Papua). Nama-nama tempat di (pulau) Sulawesi dan Maluku cenderung
merujuk ke (pulau) Sumatra, sedasngkan nama-nama tempat yang dikenal di Papua
(tidak banyak), nyaris tidak mengindikasikan Boedha-Hindoe tetapi lebih ke
Sumatra.
Wujud
teluk-teluk di pulau Papua baru tergambarkan dengan baik pada akhir Portugis
dan awal Belanda. Peta-peta era Portugis akhir (Belanda awal) gambaran bentuk
pulau Papua sudah lebih disempurnakan. Kontribusi pelaut-pelaut Portugis dan
Belanda signifikan dalam pembuatan peta-peta baru. Pada peta Belanda (VOC)
wilayah Papua belum teridentifikasi sepenuhnya. Ada beberapa kawasan yang tidak
dikunjungi (tidak diidentifikasi). Kawasan tersebut adalah pantai utara Papua
di posisi teluk Cendrawasih yang sekarang. Kawasan lain yang belum
diidentifikasi adalah pantai timur Papua (wilayah Papua Nugini yang sekarang).
Yang sudah diidentifikasi di pulau Papua
adalah bagian kepala burung (yang berdekatan dengan Maluku), pantai utara di
sekitar dimana sungai Membramo bermuara dan pulau Britania. Sedangkan wilayah
pantai barat (daya) terutama berada di sekitar kawasan dimana pernah dibangun
benteng Belanda (wilayah Kaimana dan sekitar). Wilayah Merauke tidak/belum
dipetakan, sementara selat Torres (yang memisahkan Papua dan Australia) tidak dilalui
navigasi pelayaran. Meski demikian, di wilayah selat Torres sudah dikunjungi
dari utara (Maluku) dan dari wilayah selatan (Nusa Tenggara) yang dalam hal ini
diasosiasikan dengan nama-nama tempat di pantai selatan Papaua dan pulau-pulau
di selat Torres. Wilayah navigasi ini diduga hanya untuk navigasi pelayaran
regional (Nusantara). Yang menjadi jalur navigasi pelayaran internasional
(terutama setelah kehadiran pelaut-pelaut Eropa), kalur navigasi adalah dari
pantai utara/timur Papua dan pantai timur Australia hingga ke selatan dan
seterusnya menuju Afrika Selatan (melalui lautan India). Jalur navigasi pelayaran
internasional (khususnya pelaut-pelaut Eropa mengikuti pola pergeerakan angin
Munson, karena tonase kapal-kapal berat dengan kapal-kapal yang relatif besar).
Lantas mengapa tidak didekati pelaut-pelaut Portugis dan Belanda di wilayah
teluk Cendrawasih yang sekatang dan pantai timur Pupua Nugini? Apakah
wilayah/kawasan itu bersifat perairan dangkal dan banyak kawasan rawa=rawa?
Apakah juga di sekitar selat Torres banyak rawa-rawa?
Keberadaan
nama-nama tempat yang diidentifikasi dalam peta-peta (lama) haruslah dipandang
dari dua aspek, yakni aspek keselamatan dalam navigasi pelayaran dan aspek
dimana terjadi intensitas perdagangan (domestik/regional). Pantai utara di
teluk Cendrawasih dan panyai timur Papua Nugini tidak didientifikasi karena
terkait dengan dua aspek navigasi pelayaran perdagangan tersebut.
Sungai-sungai besar di pulau Papua hanya
bermuara ke pantai utara dan pantai selatan. Di pantai selatan terdapat sungai
Digoel dan sungai Benbach, sedangkan di pantai utara bermuara sungaiu Membramo
dan sungai Sempi. Sungai-sungai besar ini menjadi faktor penyebab munculnya
rawa-rawa di wilayah pantai karena membawa massa padat (sampah tumbuhan dan
lumpur) dari wilayah pegunungan di pedalaman, yang diduga kartena sudah adanya
aktivitas manusia yang sangat intens. Rawa-rawa yang terbentuk itulah yang
kemudian bertransformasi membentuk darata (yang banyak ditemukan gambut).
Secara spesifik wilayah kawasan teluk Cendrawasih yang sekarang, tidak ada sungai
besar, tetapi diduga kuat telah menjadi wilayah tangkapan air dari arus
sungai-sungai di pantai utara terutama sungai Membramo akibat arus air laut
dari lautan Pasifik. Sebagai wilayah tangkapan air, menjadi tempat sampah laut
yang membentuk rawa-rawa. Kawasan rawa-rawa di sekitar teluk Cenrawasih yang
sekarang diduga kuat yang bertransformasi menjadi daratan adalah kawasan pesiir
utara teluk, dan mungkin yang lebih pentinh, terbentuknya daratan yang
menghubungkan pulau-pulau Papua sebelumnya menjadi menyatu. Wilayah kawasan
yang menjadii daratan ini adalah area di sekitar leher kepala burung (pada masa
kini di wilayah teluk Wondama dan teluk Bintuni). Besar dugaan teluk
Cendrawasih awalnya bukan suatu teluk tetapi perairan/laut biasa, tetapi karena
daratan yang terbentuk menghubungan pulai Papua dengan wilayah kepala burung di
leher kepala burung menjadi terbentuk wujud teluk Cebdrawasih. Hal yang kurang
lebih sama di pantai selatan (selat Torres), teluk yang ada bukan teluk alami
tetapi terbentuk karena proses sedimentasi jangka panjang yang membentuk
daratan dengan pola yang mirip teluk.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Bagaimana Teluk Cendrawasih
Zaman Kuno?
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan
aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel
sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or
perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar