*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
TB Simatupang adalah Pahlawan Indonesia yang telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, mengikuti pendidikan militer di Akademi Militer di Bandoeng bersama Abdoel Haris Nasoetion dan AE Kawilarang. Mereka bertiga yang pribumi satu angkatan lulus dengan baik. Namun tidak lama kemudian terjadi pendudukan militer Jepang. Tamat sudah era Pemerintah Hindia Belanda. Pada era perang kemerdekaan ketiga mantan KNIL ini memiliki jabatan strategis dan sangat heroik berjuang. Kolonel TB Simatupang sangat dekat dengan Soeltan Djogjakarta, Hamengkoeboewono IX. Mengapa bisa begitu?.
Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Letnan Jenderal TB Simatupang? Seperti disebut di atas, Soeltan Djogjakarta sangat begitu dekat dengan Kolonel TB Simatupang dan Mojor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion di Djogjakarta. Masih di Djogjakarta, satu hal yang dilupakan adalah ajudan Soeltan Djogjakarta Hamengkoeboewono adalah Kapten (Infantri) Karim Lubis; sementara dokter pribadi Jenderal Soedirman adalah Overste (Letnan Kolonel) Dr W Hoetagaloeng. Lho, koq? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
TB Simatupang: MULO Taroetoeng, AMS Batavia dan KMA Bandoeng
TB Simatoepang, BTL dari pelabuhan Sibolga (ibu kota Residentie Tapanoeli) ke Batavia tahun 1937. TB Simatoepang lulus ujian akhir di sekolah MULO di Taroetoeng tahun 1937 (lihat De Sumatra post, 23-06-1937). Setelah lulus, TB Simatoepang segera berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi.
TB Simatoepang di Batavia diterima di sekolah AMS Salemba Afdeeling B di kkelas empat (SMA jurusan IPA). Pada tahun 1938 TB Simatoepang lulus ujian naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1938). Disebutkan di AMS Salemba Afd. B lulus ujian naik dari kelas empat ke kelas lima antara lain TB Simatoepang. Pada tahun 1939 TB Simatoepang lulus ujian naik ke kelas enam (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1939). TB Simatoepang lulus tepat waktu dan berhasil ujian akhir di AMS Salemba Afd B tahun 1940 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1940). TB Simatoepang, kelahiran Sidikalang tersebut tampaknya sukses belajar di Batavia, tempat dimana terdapat sekolah-sekolah yang sangat kompetitif (teman sekelas TB Simatoepang sebagain besar orang Cina dan orang Eropa/Belanda).
Pada tahun 1941 TB Simatoepang lulus di Akademi Militer di Bandoeng dengan kenaikan pangkan menjadi sersan militer (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-04-1941). Disebutkan berdasarkan keputusan Panglima tentara, diterima pada tahun kedua studi di KMA (akademi militer) untuk melanjutkan pelatihan untuk mendapatkan status (level) perwira profesional, yang mana saat ini TB Simatoepang dengan pangkat sersan milisi (untuk senjata genie).
Tampaknya angkatan TB Simatoepang ini tidak sepenuhnya menyelesaikan pendidikan lanjutan untuk mendapatkan akta perwira profesional. Hal ini karena pada bulan Desember 1941 invasi militer Jepang sudah memasuki wilayah Indonesia (baca: Hindia Belanda) yang mana pada akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Soebang. Meski demikian, TB Simatoepang dkk tampaknya tidak ditakdirkan mengabdi pada era Pemerintah Hindia Belanda tetapi pada era pendudukan militer Jepang dan era Republik Indonesia. Apakah ini kualat bagi Pemerintah Hindia Belanda yang selalu mengabaikan pemuda Batak untuk diterima sebagai tentara di jajaran militer Pemerintah Hindia Belanda sejak 1840 (sekitar satu abad).
Pada permulaan era Republik Indonesia (setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945), Menteri Penerangan yang merangkap sebagai Menteri Pertahanan/BKR Mr Amir Sjarifoeddin Harahap meminta eks KNIL Majoor Oerip Soemohardjo melatih sarjana yang masih muda sebanyak 17 orang untuk tentara di akademi militer di Djogjakarta (cikal bakal Akademi Militer RI di Magelang). Mereka yang dilatih itu dalam diangkat menjadi tentara Indonesia pertama dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel). Oerip Soemohardjo sendiri diberi pangkat Letnan Jenderal. Tenatara Indonesia pertama tersebut yang banyaknya 17 orang diantaranya Overste Dr Ibnoe Soetowo, Overste Ir MO Parlindoengan Siregar, Overste Mr Kasman Singodimedjo, Overste Dr Irsan Radjamin Nasution, Overste Dr Eri Soedewo. Overste Ir Tarip Abdoellah Harahap dan Overste Dr Willer Hoetagaloeng serta Overste Mr Arifin Harahap. Dalam situasi pada bulan November 1945.para pemimpian keamanan rakyat di berbagai daerah/kota pangkat tertinggi diberikan Kolonel antara lain Kolonel Abdoel Haris Nasution di Bandoeng, Kolonel Soedirman di Poerwokerto, Kolonel Soengkono di Soerabaja dan Kolonel TB Simatoepang serta Kolonel M Simbolon. Mereka yang disebut di atas semuanya berperan penting yang menjadi pilar dalam pembentukan tentara Indonesia (TRI/TNI) seiring dengan semakin meningkatnya eskalasi perang kemerdekaan. Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia (27 Desember 1949) Jenderal Soedirman yang sakit digantikan oleh Letnan Jenderal TB Simatoepang sebagai KASAP (Kepala Staf Angkatan Perang) dan Majoor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebagai KASAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Letjen Oriep pensiun. Sementara overste yang menjadi anak didiknya terus berkarir seperti Overste Dr Ibnoe Soetowo yang awalnya ditugaskan untuk mengelola kaling menyak di Tjoepoe kemudian diangkat menjadi direktur Pertamina; Overste Ir MO Parlindoengan yang awalnya ditugas untuk mengambil alih pabrik senjata dan mesiu dari tangan militer Jepang kemudian menjadi direktur pabrik senjata dan mesiu di Bandung (kini PT PINDAD); Overste Ir TA Harahap yang awalnya untuk menangani Djawatan Angkutan Motor RI (Damri) kemudian diangkan menjadi Direktur Penerbangan Sipil.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kolonel TB Simatupang: Hamengkoeboewono IX dan Major Jenderal Abdoel Haris Nasution
Pada saat perang kemerdekaan para pemuda asal Tapanoeli yang menjadi tentara sangat berperan di berbagai area pertempuran khususnya di Jawa. Kolonel Abdoel Haris Nasution di Bandoeng, Kolonel TB Simatoepang di Djogjakarta dan Kolonel M Simbolon di Medan. Di Batavia/Djakarta terdapat Major Laut Madmuin Hasiboean (yang memimpin penangkapan tentara Inggris yang jatuh di Bekasi) dan Panglima Hizbullah Zainoel Arifin Pohan (kelak menjadi pendiri Partai NI dan Wakil Perdana Menteri). Sementara itu rekan TB Simatoepang dan Abdoel Haris Nasution di KMA yakni Overste AE Kawilarang menjadi komandan tentara Indonesia di Buitenzorg (Bogor sekitar) di bawah komando Siliwangi dengan salah satu perwiranya Kapten Ibrahim Adji di wilayah operasi Depok sekitar.
Pada era perang kemerdekaan, sebagai Menteri Penerangan dan Menteri Keamanan Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai melakukan pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama ini belum maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Mr. Amir Sjarifoeddin meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para komandan militer untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang akan memimpin pertempuran di lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan pangkat Jenderal. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman. Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Overste Dr. Willer Hutagalung sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman.
Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara.
TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi. Pada fase inilah kemudian terjadi tindakan bumi hangus di Bandoeng yang kini dikenal Bandung Lautan Api.
Untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara Republik Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda yang telah mengambil alih fungsi dan peran tentara sekutu/Inggris, pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.
Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.
Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat di bawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel. Dalam struktur baru TNI ini Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi TNI.
Pemerintah Belanda/NICA semakin hari semakin agresif memperluas wilayah dan menduduk wilayah Republik Indonesia. Anehnya Perdana Menteri Soetan Sjahrir tinggal (paling tidak tengah berada di Batavia) sementara sebagian besar kabinetnya berada di Djogjakarta. Lantas apa yang menyebabkan Soetan Sjahrir di Batavia, apakah karena trauma dengan persitiwa penculikannya di Solo beberapa waktu yang lalu? Pada tanggal 24 Juni diadakan diskusi umum di Batavia, dimana para menteri harus datang ke Batavia dengan pesawat dengan permintaan izin mendarat di Kemajoran (lihat Nieuwe courant, 23-06-1947). Dalam rombongan dari Djogjakarta ini dipimpin oleh Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Keamanan Rakyat) yang dampingi Menteri Dalam Negeri (Mohamad Roem). Turut dalam rombongan ini Mr Assaat, Ketua/Badan Kerja KNIP dan Kolonel TB Simatoepang, penasehat delegasi republik. Setelah berdiskusi di rumah Sjahrir, sebagian rombongan kembali ke Djokja termasuk nama-nama yang disebut tadi pada sore yang sama untuk melaporkan diskusi yang telah terjadi (Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta).
Sebagaimana diketahui bahwa Perdana Menteri Soetan Sjahrir mengudurkan diri dan Kabinet Sjahrir terhitung tanggal 27 Juni 1947 dibubarkan. Hal ini telah menimbulkan teka-teka di Djogjakarta. Bukankah Soetan Sjahrir masih berada di Batavia. Apakah Soetan Sjahrir ke Batavia sudah mempersiapkan diri untuk mengundurkan diri yang mana pada tanggal 23 Juni telah datang delegasi dari Djogjakarta. Dalam perkembanganya kabinet baru terbentuk setelah lama Kabinet Sjahrir dibubdarkan. Kabinet baru dipimpin oleh Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1947 (ada perbedaan waktu sekitar seminggu).
Pada situasi Kabinet baru Mr Amir Sjarifoeddin Harahap belum lama terbentuk, agresi militer dilancarkan oeleh Pemerintahan Belanda/NICA yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1947. Agresi Militer Belanda tahun 1947 diduga kuat terkait dengan perihal hasil Perjanjian Linggarjati. Setelah itu diadakan perundingan dimana delegasi RI berangkat menuju tempat perundingan yang dipimpin oleh PM Amir Sjarifoeddin Harahap (lihat Arnhemsche courant, 08-10-1947). Disebutkan anggota delegasi antara lain Ali Sastroamidjojo, Hadji Agoes Salim, Djoeanda (Menteri Perhubungan) dan Sjahrir serta penasehat militer adalah Kolonel Simatoepang.
Perundingan kembali dilakukan yang dipimpin oleh Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dihadiri Komisi PBB (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 29-10-1947). Komposisinya banyak berubah, Sjahrir tidak ikut lagi yang mana anggota baru diantaranya Dr Gani dan Mr Nasroen. Dalam delegasi ini juga masih terdapat Kolonel TB Simatoepang. Perundingan lainnya juag dilakukan soal gencatan senjata dan juga pembahasan lapangan terbang Magoewo yang dianggap pihak Belanda sebagai wilayah tak bertuan. Dalam perundingan ini juga dihadiri pigak ketika yang dipimpin oleh perwakilan Amerika Serikat (lihat Nieuwe courant, 15-11-1947). Dalam perundingan ini hanya diwakili dari militer dari pihak Republik Indonesia. Delegasi Indonesia dalam panitia teknis tersebut yang dipimpin Wakil PM Setijajit dan Dr Leimena yang turut antara lain Kolonel TB Simatoepang dan Letnan Kolonel R Mashur dari ALRI serta perwira penerbangan III G Reuneker dan R Adung Natadikoesoemah, komisaris polisi negara. Juga ada perwakilan dari Sumatra antara lain Mr Nasroen dan Kolonel M Simbolon serta Kolonel Dachlan Djambek. Disebutkan perundingan dilakukan di dua tempat pertama di lapangan terbang Kemajoran dan kedua di lapangan terbang Magoewo,
Pada bulan Desember 1947 diadakan lagi perundingan diadakan di bawah naungan Komisi Jasa Baik (lihat Amigoe di Curacao : weekblad voor de Curacaosche eilanden, 08-12-1947). Disebutkan delegasi Indonesia 1) Ketua: Mr Amir Sjarifoeddin; 2) Wakil Ketua : Mr Ali Sastroamidjojo; 3) Dr. Tjoa Siklon, anggota; 4) Soetan Sjahrir, anggota; 5) HA Salim, anggota; 6) Mr Nasroen, anggota; 7) Ir. Djoeanda, anggota cadangan; 8) dr. Setijadjit, anggota cadangan. b) Penasehat 1) Kolonel Simatoepang; 2) Komodor Udara Soeriadarma, 3) Kolonel Adam; 4) Wakil Komodor Udara Halim Perdamakoesoemah; 5) Mayor Jenderal Soewardi; 6) Ir. Abdul Karim; 7) Ir. Soerjomihardjo; 8) Mr Harmani; 9) Raden Soewirpo; 10) Ir. Saksono; 11) Dr. AK Gani; 12) Ir. Soerachman Tjokrohadisoerjo; 13) AK Pringgodigo; 14) Ir. Sosrohadikoesumo; 15) RS Soekanto; 16) Prof Dr. dr. Soetomo Tjokronegoro; 17) Dr. Soerono; 18) Marsono; 19) Ruslan Abdulgani; 20) R Rujito; 21) Gondopratomo; 22) R. Sunjoto; 23) Prof dr. Sunario Kolopaking; 24) Sumarmo; 25) Achmad Natanegara; 26) Slamet Soetikno; 27) Raden Abdoalrachim Kartajoumena; 28) RM Margono; 29) Dr. Kusomaatmadja; 30) RA Wiranatakoesouma; 31) Tajuddin Nur; 32) Santoso. c) Sekretaris: 1) Iskag Tjokrohadisoerjo; 2) Sunardjo; 3) Dr. S.Oedin.
Hasil perundingan yang kemudian disebut Perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Seperti halnya Perjanjian Linggarjati (PM Soetan Sjahrir), juga Perjanjian Renville (PM Amir Sjarifoeddin) juga mendapat reaksi penolakan dari para Republiken,
Setelah perundingan dengan perjanjian (Renville) Mr Amir Sjarifoeddin Harahap kembali ke Djogjakarta (lihat Overijsselsch dagblad, 23-01-1948). Disebutkan hari Selasa (20 Januari 1948) Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Mr Ali Sastroamidjojo, TB Simatoepang dan Dr. Leimena berangkat ke Djokja, dimana Amir Sjarifoeddin segera mengadakan pertemuan dengan Soekarno dan Mohamad Hatta, yang menurut kalangan Republiken di Batavia, terkait dengan pelaksanaan gencatan senjata.
Tidak lama setelah pertemuan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta, PM Amir Sjarifoeddin Harahap mengundurkan diri dan kabinet dibubarkan pada pada tanggal 23 Januari 1948. Selnajutnya, setelah berbagai diskusi dilakukan akhirnya Pemerintah RI Di Djogjakarta memutuskan untuk Pasukan Siliwangi harus hijrah ke Djogjakarta (pada meinggu kedua bulan Februari 1948).
Lalu terjadi lagi Agresi Militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1949 yang menduduki Djogjakarta dimana pemimpin Indonesia termasuk Presiden Soekarno diasingkan. Sebelum terjadi penangkapan pemimpin Indonesia, Jenderal Soedirman memerintahkan Majoor Jenderal Abdoel Haris Nasution dengan pasukannya kembali ke Jawa Barat (Long March) untuk berjuang dengan cara bergerilya. Sementara Kolonel TB Simatoepang diminta untuk bergerilja di utara Djogjakarta (wilayah Jawa Tengah). Sedangkan Jenderal Soedirman dengan pasukannya bergerilya di selatan Djogjakarta dan Kediri.
Setelah perundingan (perjanjian) Roem-Royen bulan Amril 1949, akan dilakukan pemulihan RI di Djogjakarta, dimana para pemimpin Indonesia yang diasingkan untuk kembali ke Djogjakarta. Soeltan Djogja yang tengah mempersiapkan pemulihan di Djogjakarta mulai bingung karena saat evakuasi militer Belanda/KNIL di Djogjakarta tidak ada komandan militer Indonesia. Soeltan disebutkan mencari dua komandan militer yang berada di sekitar Djogjakarta yakni Jenderal Soedriman dan Kolonel TB Simatupang. Akhirnya yang ditemukanh Soeltan adalah Kolonel TB Simatupang yang justru kawan lamanya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pahlawan Nasional Letnan Jenderal TB Simatupang dan Kapten Karim Lubis: Dari Djogjakarta Bersama Sultan Hamengkubuwono ke Djakarta
Dalam Kabinet Hatta, Perdana Menteri Mohamad Hatta merangkap sebagai Menteri Pertahanan (sebagaimana pada era Kabinet Amir). Bebeberapa menteri tetap pada posnya antara lain Menteri Negara Hamengkoebowonon IX, Menteri Luar Negeri (Agoes Salim), Menteri Keuangan (AA Maramis), Menteri Kesehatan (Leimenda), Menteri Pendidikan (Ali Sastroamidjojo) dan Perhubungan (Djeoanda). Praktis komposisi Kabinet Amir dan Kabinet Hatta kurang lebih serupa.
Sebagai Menteri Pertahanan, Mohomad Hatta melakukan reorganisasi militer termasuk yang berada di dalam jajaran Kementerian Pertahanan. Kini, Kepala Staf Umum dijabat oleh Comodore Soeriadarma dan sebagai Wakil Kepalda Staf Umum Kolonel TB Simatoepang (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 09-02-1948). Disebutkan dengan dengan Keputusan Presiden, terhitung mulai Jumat ini. membubarkan kepemimpinan tertinggi TNI, serta staf gabungan dari seluruh angkatan bersenjata republik. Sementara Kepala Staf Umum Kementerian Pertahanan diangkat Komodor Soeriadarma, Kepala Staf Umum II Kementerian Pertahanan Kolonel TB Simatoepang. Personel militer tersebut di atas tidak hanya bertanggung jawab atas organisasi angkatan bersenjata, tetapi juga untuk koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan angkatan bersenjata, untuk mencapai komposisi baru Kementerian Pertahanan. Jenderal Soedirman akan diangkat menjadi Panglima Pasukan Bergerak. Perubahan ini didasarkan pada kepemimpinan sentral yang dekat dari angkatan bersenjata republik. Kolonel TB Simatoepang langsung bekerja dengan jabatan baru.
Friesch dagblad, 16-02-1948: ‘Sesuai dengan kesepakatan antara Republik dan Pemerintah Hindia Belanda (NICA). Pemerintah Hindia Belanda diadakan antara delegasi militer Belanda dan Republik di tempat pertemuan yang ditentukan di 'van Mook-Lijn. Di Tasik, pembicaraan diadakan di gedung 'Welfare' di pinggiran kota. Delegasi militer Republik Indonesia diwakili oleh Kolonel TB Simatoepang’. Foto: kedatangan Kolonel TB Simatoepang dengan ajudan.
Namun tampanya keputusan reorganisasi yang dikeluarkan sebelumnya, harus ditarik karena dianggap ada kesalahan yang lalu dibuat perbaikan/perubahannya (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-03-1948). Disebutkan Surat Keputusan Soekarno tentang reorganisasi Komando Tinggi TNI telah diterbitkan sekarang, dan itu sangat mirip dengan pengumuman sebelumnya tentang hal itu, yang kemudian ditarik karena itu adalah ‘kesalahan’. dibubarkan dan digantikan oleh: (a) Staf Umum Angkatan Bersenjata di lingkungan Kementerian Pertahanan (b) Markas Besar Komando Pasukan Bergerak Komodor Soeriadarma dan Kolonel Simatoepang masing-masing menjadi Kepala dan Wakil Kepala Staf Umum. Panglima dan Wakil Panglima Pasukan Bergerak masing-masing adalah Jenderal Soedirman dan Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion.
Mengapa bisa salah? Apa yang salah? Lalu mengapa segera diubah dan diperbaiki? Apakah ada reaksi dari lapangan? Tidak dijelaskan.Hanya dianggap seakan kesalahan adminstrasi belaka. Akan tetap menimbulkan pertanyaan. Apakah sebodoh itu, melakukan administrasi? Tampaknya dua keputusan sama-sama benar. Hanya saja setelah ada reaksi diduga terjadi perubahan segera.
Kesalahan keputusan soal struktur organisasi militer TNI yang telah dipernaiki, tampaknya tidak sampai disitu. Apakah telah terjadi ketegangan atau keretakan diantara Pemerintah (Kementerian Pertahaanan) dengan militer (di lapangan)? Boleh jadi. Hal ini karena tidak lama setelah kejadian kesalahan administrasi itu diketahui bahwa Perdana Menteri Mohamad Hatta telah melepas jabatannya sebagai Menteri Pertahanan (terhitung sejak tanggal 15 Juli 1948) dan posisnya telah digantikan oleh Hamengkoeboewono IX (yang sebelumnya sebagai Menteri Negara).
Apakah ini mengindikasikan bahwa sebagai Menteri Pertahanan, Mohamad Hatta tidak diterima oleh para militer (di lapangan? Sebaliknya, Hamengkoeboewono IX lebih netral dan dapat menjadi penyeimbang? Posisi Hamengkoeboewono IX sebagai kepala daerah (Soeltan) lebih dapat diterima semua pihak. Boleh jadi ini Hamengkoeboewono IX sudah waktunya untuk menduduki Menteri Pertahanan mengingat perannya selama ini cukup intens dalam pembenetukan organisasi tentara Indonesia sejak era Menteri BKR Mr Amir Sjarifoeddin Harahap.
Lalu apakah Kolonel TB Simatupang masih menjadi Wakil Kepala Staf Umum sehubungan dengan Menteri Pertahanan yang baru? Lantas mengapa muncul jabatan Kolonel TB Simatupang hanya disebut sebagai Penasehat Militer Mohamad Hatta? Mengapa tidak disebut Wakil Kepala Staf Umum? Dalam berita Trouw, 08-10-1948 status Kolonel TB Simatupang dinyatakan sebagai berikut: ‘Colonel Simatoepang, militair adviseur van den premier Hatta’. Mengapa ada penasehat Perdana Menteri? Bukankah semua kementerian (kecuali Panglima) berada di bawah Perdana Menteri? Jika posisinya sebagai penasehat, itu berarti posisi Kolonel TB Simatupang berada di luar kementerian, tetapi juga tidak berada di jajaran komando yang sudah dinyatakan Jenderal Soedirman sebagai Panglima dan Major Jenderal Abdoel Haris Nasution sebagai Wakil Panglima.
Posisi/jabatan penasehat ini tidak ditemukan semasa Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (tetapi sebaliknya Mr Amir sebagai Menteri Pertahanan langsung berkoordinasi dengan Panglima (Jenderal Soedirman) dan semua Panglima Divisi. Apakah Perdana Menteri Mohamad Hatta telah terisolasi dengan tentara (panglima) yang harus diperankan oleh Kolonel TB Simatoepang sebagai penghubung? Dalam posisi ini sebenarnya Kolonel TB Simatoepang sangat starategis, masuk ke semua pihak (Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan Panglima/Panglima Divisi). .
Pada tanggal 19 Desember 1948 Pemerintah Hindia Belanda (NICA) melakukan agresi militer (kedua) yang mana ibu kota Republik Indonesia di Djogjakarta. Para pemimpin (pejabat pemerintah) telah ditangkap dan diasingkan. Di Djogjakarta hanya tinggal sendiri Hamengkoeboewono sebagai kepada daerah dimana militer Belanda/KNIL berkuasa (gerak-gerik Hamengkoeboewono diawasi).
Pada pagi sebelum ditangkap (saat pasukan KNIL baru menduduki lapangan terbang Magoewo), Jenderal Soedirman meminta para pemimpin terutama Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta mundur ke belakang (pindah dari Djogja) namun permintaan itu tidak digubris. Boleh jadi Jenderal Soedirman berkesimpulan bahwa para pemimpin RI telah menyerah sebelum terjadi. Lalu Jenderal Soedirman meminta pasukan Siliwangi yang dipimpin Major Jenderal Abdoel Haris Nasution kembali ke Jawa Barat untuk berjuang (bergerilya).Jenderal Soedirman juga telah meminta Kolonel TB Simatoepang untuk melakukan gerilya di bagian utara Djogjakarta (Jawa Tengah). Setelah itu Jenderal Soedrimarn dan pasukannya berangkat menuju selatan ke arah Poerworedjo. Sebelum meninggalkan Djogja, Jenderal Soedirman sempat memberi maklumat melalui Radi Djogjakarta yang isinya mendelegasikan Dewan Militer ke Bukittinggi dimana ada Major Jenderal Soehardjo. Lalu Jenderal Soedirman tahu diri memposisikan diri di bawah komando militer di Sumatra saat berangkat dari Djogjakarta memulai bergerilya membelakangi para pemimpin Indonesia yang tetap di Djogjakarta. Tiga komandan militer inilah yang check out dari Djogjakarta tidak mau menyerah dan lebih memilih perang gerilya. Sejak inilah perselisihan Jenderal Soedirman berawal dengan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta.
Para pemimpin di pengungsian adalah satu hal. Pemerintahan boleh lumpuh. Namun negara Indonesia tetap jalan. Masih ada para pemimpin tentara Indonesia. Dimana-mana perang terus berkobar. Masih ada pemimpin tentara berpengaruh di luar sana di hutan=hutan bergerilya. Paling tidak ada tiga yang terhubung dengan Jogjakarta yakni Jenderal Soedirman, Major Jenderal Abdoel Haris Nasution dan Kolonel TB Simatoepang.
Dalam perkembangannya untuk mencari solusi atas kebuntuan yang ada diadakan perundingan yang dari pihak Republik dipimpin oleh Mohamad Roem yang kemudian dikenal sebagai perundingan Roem-Royen yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan hasil perjanjian ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Batavia. Dalam fase perundingan ini sudah jelas yang mana pro Republik Indonesia dan yang mana yang membentuk negara federalis (memisahkan diri dari Republik Indonesia). Isi perjanjian itu pada dasarnya berisi gencatan senjata, pemulihan keamanan dan pengembalian pemimpin Indonesia ke Djogjakarta. Satu yang penting lagi adalah persiapan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan diadakan di Den Haag.
Pasca Perjanjian Roem Royen, hasil ini harus ada tindak lanjutnya. Dua subkomite, masing-masing subkomite untuk pemulihan dan kepulangan pemimpin ke Djokja dan sub komite untuk gencatan senjata (lihat Trouw, 13-06-1949). Disebutkan pihak Belanda menginginkan pernyataan dari para pemimpin republik tentang gencatan senjata, sebagaimana disepakati dalam kesepakatan tanggal 7 Mei di Djokja. Namun, menurut kesepakatan 7 Mei, mereka telah berjanji untuk mendesak gencatan senjata dan oleh karena itu pihak Belanda meminta penjelasan tentang bagaimana para pemimpin republik di Djogjakarta menyusun pembentukan gencatan senjata. Disebutkan dalam konteks ini, dapat dirujuk proklamasi Soeltan untuk gencatan senjata di Djokja, tetapi meskipun proklamasi ini dapat diapresiasi, kesepakatan tersebut merupakan gencatan senjata untuk seluruh Indonesia.
Juga disebutkan sebelum membuat pernyataan, para pemimpin republik ingin berkonsultasi dengan ahli militer republik, yang pihak Belanda telah berjanji kerjasama penuh. Disitulah masalah Republik dimulai. Saat ditanya ahli mana yang bisa diajak bicara, mereka menyebut Jenderal Soedirman dan Kolonel Simatoepang, pansehat lama Hatta. Sebuah safe-conduct ditawarkan untuk mereka oleh pihak Belanda. Namun, baik Soedirman maupun Simatoepang tidak menanggapi surat Hatta. Disebutkan situasinya sekarang adalah sebagai berikut: Komite PBB dan delegasi Belanda duduk dengan tangan terlipat, menyaksikan upaya hiruk pikuk para pemimpin republik untuk menunjukkan sesuatu dari otoritas, hanya diatas kertas, apa yang mereka katakan mereka miliki. Harus diharapkan bahwa kampanye republik akan segera diluncurkan untuk menyalahkan kegagalan apa pun pada Belanda. Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Akan lebih baik, bagaimanapun, jika delegasi Belanda telah membuat hal-hal yang jelas dalam pernyataannya minggu lalu.
Lantas mengapa Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatoepang tidak menanggapi surat mantan Perdana Menteri Mohamad Hatta dari pengasingan (di Bangka) untuk menindaklanjuti hasil Perjanjian Roem Royen? Dua komandan pasukan inilah yang terakhir keluar dari Djogjakarta ketika para pemimpiu Indonesia ingin menyerang. Apakah keduanya masih kecewa kepada para peminmpin Indonesia termasuk Mohamad Hatta? Yang jelas desakan dari Belanda untuk melakukan tindak lanjut hasil perjanjian seakan membuat Soeltan Djogja putus asa. Dia mengerti persoalan yang ada diantara para pemimpin Indonesia dengan para komandan militer.
Berdasarkan perjanjian Roem Royen, di Djogjakarta, Soeltan yang tetap pro RI sangat kebingungan karena komandan militer yang dapat dipercaya tidak ada. Sebab sebelum kehadiran pemimpin Indonesia kembali ke Djogjakarta nantinya, proses evakuasi militer Belanda (KNIL) harus dilakukan. Soeltan Djogjakarta tentu khawatir akan terjadi bentrok antara militer Belanda yang mau keluar dan tentara RI yang akan masuk yang bisa jadi akan terjadi chaos.
Surat Mohamad Hatta yang gagal dikesampingkan. Soeltan Djogjakarta dengan harahap baru mengutus tim ke berbagai wilayah gerilya untuk mencari Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatoepang. Namun rumor yang ada komandan militer terdekat hanya di selatan Kediri (Jenderal Soerdirman) dan TB Simatoepang di Banaran (selatan Semarang) dan sementara Abdoel Haris Nasution jauh di Soekaboemi selatan, Jawa Barat. Hanya tiga komandan ini yang sangat dipercaya Soeltan. Mengapa?
Akhirnya TB Simatoepang ditemukan di wilayah Banaran di selatan Semarang dan segera dengan pasukannya ke Djogjakarta. Soeltan Hamengkoeboewono IX di Djogjakarta sangat lega. Tampaknya nama Soeltan menjadi jaminan mutu dibandingkan surat Mohamad Hatta untuk menindaklanjuti hasil perjanjian Roem Royen. Dalam hal inilah arti perkawanan sejati antara Kolonel TB Simatupang dan Jenderal Soedirman. Untuk diktehaui, setelah Jenderal Soedirman berangkat gerilya, Jenderal Soedirman ditangkap di Poerwokerto dan dibawah ke Djogjakarta dan ditahan. Namun karena Jenderal Soedirman sakit parah lalu dirawat dengan penjagaan di rumah sakit. Menjelang sembuh, tiba-tiba Jenderal Soedirman menghilang. Militer Belanda/KNIL kehilangan jejak? Kemana larinya Jenderal Soedirman? Satu-satu jawaban, karena Jenderal Soedirman belum pulih benar, tentulah belum kuat masuk hutan. Satu-satunya jawaban dalam hal ini adalah Jenderal Soedirman disembunyikan Soeltan di Kraton. Tentu saja militer Belanda/KNIL tidak berani mengeledah kraton. Hal ini karena sebagai pemimpin daerah, Soeltan dan Kraton memiliki kekebalan hukum sealama pendukan Belanda di Djogjakarta (ibarat gedung kedubes pada masa ini di negara lain).
Sejumlah pemimpin Indonesia sudah ada yang berada di Batavia, namun belum bisa ke Djogjakarta (karena masih ada militer Belanda/KNIL). Sementara itu Ir Soekarno dkk dari Parapat di relokasi ke Bangka dimana Mohamad Hatta dkk berada. Pemimpin Indonesia lainnya berada di Bukittinggi (para pejabat PDRI). Para pemimpin yang lebih awal datang ke Batavia dari pengasingan antara lain Mr Assaat. Pada akhir Mei, paling tidak Mr Assaat sudah diketahui berada di Batavia (lihat Nieuwe courant, 27-05-1949).
Akhirnya di Djogjakarta diketahui divisi terakhir militer Belanda (KNIL) hari Kamis pukul satu telah dievakuasi yang dipimpin Kolonel van Langen (lihat Nieuwe courant, 01-07-1949). Dengan demikian, kendali wulayah Djogjakarta kembali kepada Soeltan Hamengkoeboewono yang didampingi oleh Kolonel TB Simatoepang.
Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo dan Ketua KNIP Mr Assaat akan terbang ke Bangka pada hari Jumat, dimana mereka akan menunggu dengan orang-orang terkemuka Republik disana sampai Soeltan mengundang mereka untuk datang ke Djokjakarta. Tentu saja di Djogjakarta Soeltan akan memerlukan beberapa hari untuk menyiapkan berbagai akomodasi dan sebagainya (sehubungan dengan ibu kota RI kembali ke Djogjakarta) di bawah naungan Komisi PBB/UNCL. Lalu beberapa hari kemudian tim ini (rombongan) akan kembali hari Rabu dari Bangka langsung menuju Djogjakarta (lihat Arnhemsche courant, 05-07-1949). Soekarno, Mohamad Hatta dan lainnya akhirnya kembali ke Djogjakarta.
Nieuwe courant, 06-07-1949 memberitakan Radio Republik Indonesia tadi malam dengan pidato Soeltan Djokja kembali mengudara, radio yang dibreidel sejak hari pertama agresi militer Belanda di Djogjakarta. Penduduk dan pedagang yang selama pendudukan menggunakan jalan belakang dan melewati sawah, ladang dan desa, sekarang menggunakan jalan utama lagi. Andong dan sepeda sudah ramai di jalanan. Sebagian besar toko Cina di kota telah dibuka kembali.
Rombongan terakhir, yakni Sjafroeddin Prawiranegara dkk akhirnya tiba di Djogjakarta (lihat Nieuwe courant, 11-07-1949). Disebutkan Presiden PDRI itu akan menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Di bandara Mangoewo rombongan terakhir itu dijemput oleh Mohamda Hatta, Soeltan. Assaat dan lainnya. Juga disebutkan Sjafroeddin Prawiranegara dari lapangan terbang Padang hari Sabtu tiba di Kemajoran. Pada hari Minggu pagi rombongan berangkat ke Djogjakarta. Tentu saja yang mulia Presiden Soekarno berada di istana di Djogjakarta untuk menerima Sjafroeddin Prawiranegara. Lantas bagimana dengan Jenderal Soedirman?
Nah itu dia. Jenderal Soedirman yang tiba di Djogjakarta ogah menemui Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta. Mengapa? Jenderal Soedirman hanya berhenti di luar kota di batas kota Djogjakarta yang hanya disambut oleh Kolonel TB Simatoepang. Lalu apakah Soekarno dan Mohamad Hatta akan menemui Jenderal Soedirman? Tentulah tidak. Mohamad Hatta menjemput Sjafroeddin Prawiranegara di bandara karena Mohamad Hatta hanya Wakil Presiden sedangkan Sjafroeddin Prawiranegara adalah Presiden (PDRI).
Seperti telah disebut di atas, terbukti hanya Kolonel TB Simatoepangh yang memiliki posisi strategis, posisi yang bisa terhubung ke semua pihak. Tentu saja masih ada persoalan psikologis antara Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatoepang di satu pihak dan Mohamad Hatta di pihak lain, paling tidak dalam dua hal, yakni soal reorganisasi tenttara dan permintaan untuk mengungsi yang tidak digubris. Untuk soal yang terakhir ini tampaknya sudah dibayar lunas ketika surat Mohamad Hatta pasca Perjanjian Roem Royen tidak diindahkan oleh dua komandan militer ini.
Sebenarnya tidak hanya soal mengabaikan surat Mohamad Hatta, Jenderal Soedirman justru menyindir Mohamad Hatta dengan kata-kata ‘Jangan pernah mendengarkan perintahnya dalam permohonan, karena dia sendiri telah mengatakan bahwa bukan dia; tetapi Sjafroedin Prawiranegara mewakili pemerintah republik (PDRI). Dalam hal ini tentulah Jenderal Soedirman benar. Lantas mengapa Mohamad Hatta menjalankan perintah yang bukan haknya lagi. Bukankah mandat yang diberikan kepada Sjafroeddin Prawiranegara masih belum dikembalikan? Tentulah hal ini juga dipahami oleh Kolonel TB Simatoepang ketika mengabaikan surat Mohamad Hatta tetapi merespon dengan baik permintaan Soeltan Hamengkoeboewono IX.
Setali tuga uang dengan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatoepang, Sjafroeddin Prawiranegara bahkan mempermainkan Mohamad Hatta yang mungkin telah mengetahui apa tanggapan Jenderal Soedrman dan Kolonel TB Simatoepang. Setelah gagal surat Mohamad Hatta kepada dua komandan tentara tersebut, Mohamad Hatta segera pergi ke Kotaradja untuk menemuinya, namun tentu saja Mohamad Hatta tidak akan menemuinya karena Sjafroeddin Prawiranegara tidak berada di Kotaradja melainkan bergser tempat ke Pajakoemboeh. Satu hal lagi bahwa di Aceh, Mohamad Hatta tidak mendapat sambutan positif dari para pemimpin Aceh (yang ingin menggantikan Djogjakarta dengan Kotaradja; tapi boleh jadi Aceh menyadari dan tahu diri bahwa hal itu haknya Djogjakarta, bukan Kotaradja/Aceh). Lengkap sudah kegagalan Mohamad Hatta hingga akhirnya Soeltan Hamengkoeboewono yang memenangkan hati para komandan militer paling tidak Kolonel TB Simatoepang (dan bersedia segera datang ke Djogjakarta). Namun demikian, tetntulah harus dilihat sisi positif (apa pun motif Mohamad Hatta) upaya yang telah dilakukan Mohamad Hatta, yang ingin segera mengembalikan/memulihkan Republik (pemerintahannya—Kabinet Hatta) sebagai koreksi terhadap kesalahan yang dibuatnya ketika menyerah pada saat agresi militer Belanda/NICA di Djogjakarta.
Dalam soal diplomasi, Soeltan Hamengkoeboewono IX mengetahui betul bahwa Kolonel TB Simatoepang lebih berpengalaman daripada Jenderal Soedirman. Kolonel TB Simatoepang sejak Kabinet Soetan Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifoenddin Harahap hingga Kabinet Mohamad Hatta sebelum agresi militer Belanda kedua selalu disertakan dalam setiap perundingan yang penting seperti Linggarjati, Renville dan Kemajoran-Magoewo. Dalam hal inilah diperlukan Soeltan kehadiran Kolonekl TB Simatoepang ketika militer Belanda/KNIL akan evakuasi dari Djogjakarta yang notabene akan dibcarakan prosesnya dengan komandan militer Belanda/NICA di Djogjakarta, Kolonel van Langen. Hal ini dapat dimengerti bagaimana van Langen menyikapi setiap gerakan militer Indonesia dengan merujuk pada bulan Maret 1949 terjadi serangan ke pusat Belanda/NICA di Djogjakarta (serangan yang diklaim pada masa ini oleh Overste Soeharto dkk). Famplet: Nada Protes (De vrije pers : ochtendbulletin, 13-06-1949).
Kehadiran Kolonel TB Simatoepang ke Djogjakarta yang sangat dikehendaki para kaum Republik, sebaliknya kurang diterima oleh pihak Belanda/KNIL. Mengapa? Satu perkara yang penting bagi militer Belanda/KNIL adalah mereka masih berada di Djogjakarta berani-beraninya Kolonel TB Simatoepang memasuki kota (tentu saja menemui Soeltan untuk memenuhi adanya permintaan Soeltan). Yang kedua, tampaknya militer Belanda/KNIL khwatir saat proses evakuasi berlngsung ada serangan dari belakang. Tentu saja lain pula apa yang dipikirkan oleh Soeltan. Bagi Soeltan apa pun yang terjadi pada militer Belanda/KNIL tidak terlalu penting, yang diutamakan Soeltan tampaknya jangan sampai terjadi chaos saat terjadi proses evakuasi dan situasi dan kondisi di dalam kota tidak terkendali. Lantas muncul pertanyaan? Apakah Soeltan takut terjadi revolusi sosial di Djogjakarta seperti yang terjadi di Sumatra Utara? Jika ini yang terjadi, ini bukan soal utang piutang, tetapi pertemanan diantara Kolonel TB Simatoepang dengan Soeltan Hamengkoeboewono sejak awal era Mr Amir Sjarifoeddin Harahap ketika menjadi kali pertama sebagai Menteri Pertahanan/BKR di Djogjakarta.
Kekhawatiran pihak militer Belanda/KNIL atas kehadiran Kolonel TB Simatoepang memang terbukti. Saat proses evakuasi, terjadi serangan dari belakang dan ada yang terbunuh satu orang (tidak disebutkan dari pihak mana). Kolonel TB Simaatoepang diprotes. Namiun Kolonel TB Simatoepang menjawab kepada pers secara diplomatis bahwa hal itu terjadi bukan serangan tetapi karena luapan kegembiraan pasukan Republik karena kota Djogjakarta sudah terbebaskan. Para pasukan Republik meluapkan kegembiraan dengan melakukan tembakan ke udara, bahwa ada anggota KNIL yang terkena itu bukan kesengajaan. Ah, pandai kali kau bikin alasan. Harus diingat bahwa usia Kolonel TB Simatoepang saat itu masih 29 tahun (umur yang sangat berani-beraninya). Juga dilaporkan pers saat barisan terakhir militer Belanda /KNIL menghilang di tikungan sempat mengomel denga kata-kata ‘go to hell’. Mungkin Soeltan Djogja yang melihat tingkah laku sohibnya itu membuat dia tersenyum bahagia.
Lantas mengapa Soeltan Hamengkoeboewono begitu dekat dengan Kolonel TB Simatoepang melebih yang lain? Ini sulit-sulit gampang diinterpretasi. Jelas bukan alasan bahwa sejak awal Soeltan sudah kenal dekat dengan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Kolonel Zulkifli Lubis dalam mendesain struktur awal organisasi tentara (TRI/TNI). Juga bukan karena Menteri Pertahanan./BKR Mr Amir Sjarifoeddin Harahap memberi layanan terbaik bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk Overste Dr W Hoetagaloeng sebagai dokter pribadi sang panglima baru (seorang dokter yang baik dan militer berpangkat Letnaj Kolonel). Lalu yang terakhir adalah, seperti halnya Jenderal Soedirman, ternyata ajudan pribadi Soeltan Hanengkoeboewono IX seorang bermarga Lubis yakni Kapten Infantri Karim Lubis. Apakah Kolonel (intelijen) Zulkifli Lubis telah memilih ajudan terbaik dan terpercaya bagi Soeltan Djogjakarta? Lalu mengapa Soeltan Djogjakarta, Hamengkoeboewono begiu percata dan begitu pede diantara para tentara Batak? Ah, jawab sendirilah. Yang jelas sebagian dari pada itu sudah dibayar lunas oleh Soeltan, saat dimana pasukan Divisi Siliwangi di bawah komando Majoor Jenderal Abdoel Haris Nasution terusir dari Jawa Barat, Soeltan dan penduduk Djogjakarta menyambut baik kehadiran pasukan Divisi Siliwangi di Djogjakarta.
Seperti kita lihat nanti, ketika tentara (TNI) melakukan demonstrasi di depan istana Presiden di Djakarta tahun pada tanggal 17 Oktober 1952 yang dipimpin oleh KASAD Major Jenderal Abdoel Haris (karena alasan parlemen yang terlalu merecoki pemerintahan), menyebabkan Abdoel Haris nasution dicopot dari jabatanbnya dan dijadikan tahanan rumah. Saat itu Jenderal TB Simatoepang yang menjadi KASAP mengundurkan diri. Dalam perkembanganya, Menteri Pertahanan Hamengkoeboewono juga mengundurkan diri. Solidaritas dan kesetiakwanan Djogjakaarta masih kuat di Djakarta. Mungkin Soeltan Djogjakarta tahu bentul arti kesetiakawanan. Kelak, baru tahun 1955 Abdoel Haris Nasution dipulihkan namanya semasa Perdana Menteri Mr Boerhanoeddin Harahap dan dikembalikan ke posisinya sebagai KASAD. Yang mendamaikan dua faksi yang berbeda di TNI saat itu sehingga Abdoel Haris Nasution dipulihkan namanya dan diangkat kembali sebagai KASAD diperankan oleh Menteri Negara (Pertahanan) Abdoel Hakim Harahap (Mantan Eakil Perdana Menteri di Djogjakarta tahun 1950). Sejak itu baru tahu Presiden Seokarno begitu setianya Abdoel Haris Nasution kepadanya selama 10 tahun (sebagai KASAD/KASAP) hingga peristiwa G 30 S PKI/1965 (dimana putri Abdoel Haris Nasution, Ade Irma Soerjani menjadi korban)..
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar