*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pada akhir era Belanda di Bali, salah satu tokoh penting adalah I Gusti Bagus Oka. Disebut sebagai tokoh penting karena I Gusti Bagus Oka adalah sekretaris Paraoeman Agoeng (dewan para radja-radja) di Bali. I Gusti Bagus Oka menjadi salah satu anggota delegasi ke Konferensi Denpasar (Desember 1946) dalam pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Pada era NKRI I Gusti Bagus Oka pernah sebagai pejabat residen dan pejabat gubernur di Bali.
Lantas bagaimana sejarah I Gusti Bagus Oka? Seperti disebut di atas, I Gusti Bagus Oka pernah menjadi pejabat Residen dan pejabat Gubernur Bali pada era Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lantas bagaimana sejarah I Gusti Bagus Oka? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan I Gusti Bagus Oka di Pulau Bali: Negara Indonesia Timur
I Gusti Bagus Oka menjadi sangat dikenal menjelang konferensi Malino pada tahun 1946. Hal ini karena I Gusti Bagus Oka adalah satu dari dua orang wakil Bali ke konferensi Malino yang akan diadakan pada tanggal 15 Juli 1946 di Makassar. Wakil lainnya dari Bali adalah Soekawati. I Gusti Bagus Oka adalah sekretaris Paroeman Agoeng di Bali.
Nama I Gusti Bagus Oka sudah dikenal sejak lama, sebagai anggota dewan Kerta di Bali (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-10-1929). Ini mengindikasikan usianya masih muda, tetapi diduga dia adalah seorang pangeran (radja). Disebutkan pernah kuliah di Rechthoogeschool Batavia. Pada tahun 1934 I Gusti Bagus Oka dicalonkan untuk Volksraad untuk bersaing dengan incumbent Soekawati (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-10-1934). I Goesti Bagoes Oka saat ini adalah kepala district di Rendang. Meski demikian, banyak yang menjagokan Soekawi (yang menjadi anggota Volksraad sejak 1931). Pada akhirnya dalam pemilihan yang menang adalah Soekawati. Pada periode berikutnya Soekawati kembali terpilih menjadi anggota Volksraad (hingga berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda). Pada awal kehadiran Belanda/NICA, keluarga I Goesti Bagoes Oka diduga tinggal di Lombok (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-05-1946). Sebagaimana diketahui bahwa di Lombok bagian barat sejak masa lampau terdapat komunitas orang Bali (wilayah yang menjadi bagian dari Kerajaan Karangasem). Dalam hal ini Soekawati mewakili Bali sedangkan I Goesti Bagoes Oka mewakili Bali-Lombok (ke konferensi Malino, masyarakat Sasak di Lombok memiliki perwakilan sendiri). I Goesti Bagoes Oka, sebagai sekretaris Paroeman Agoeng ditunjuk oleh gabungan Dewan Radja-Radja Bali (Paroeman Agoeng) dan dewan rakyat Bali.
Duo Bali ke konferensi Malino yang akan dipimpin oleh HJ van Mook (Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda/NICA) seakan mengingatkan duo Bali dalam persaingan merebut satu kursi di Volksraad pada tahun 1934/1935. Pada saat ke konferensi Malino ini, Soekawati tidak hanya lebih senior dari umur juga pengalaman jika dibandingkan I Gusti Bagus Oka. Tampaknya Soekawati adalah pemimpin Bali saat ini. Ada rumor bahwa keduanya terpilih di Bali ke konferensi Malino diragukan, tidak terpilih secara demokratis (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-07-1946).
Sebenarnya masih ada pemimpin Bali yakni Mr I Goesti Ktoet Poedja, tetapi sudah diisingkirkan sejak Pemerintah Belanda/NICA terbentuk di Bali. I Goesti Ktoet Poedja meraih gelar sarjana hukum (Mr) tahun 1934, tahun dimana Soekawati dan I Goesti Bagoes Oka bersaing dalam pemilihan Volksraad. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) diangkat Mr I Goesti Ktoet Poedja sebagai Gubernur (provinsi) Soenda Ketjil (yang juga menjadi anggota PPKI). Namun setelah pendaratan militer Belanda di Bali dan terbentuknya cabang pemerintahan para pemimpin lokal di Bali yang pro-Belanda bersaing dengan para pemimpin di Bali yang Republiken. Namun pada akhirnya para pemimpin yang pro-Belanda ini yang berkuasa dan para pemimpin Republiken tersingkkir. Mr I Goesti Ktoet Poedja sebagai gubernur Republik dengan senidirinya tersingkir.
Perwakilan Bali ke konferensi Malino, Soekawati dan I Goesti Bagoes Oka dari Denpasar naik pesawat yang transit di Soerabaja (lihat Nieuwe courant, 13-07-1946). Disebutkan perwakilan Bali juga satu rombongan dengan perwakilan Belanda?NICA dari Bali (wali kota dan asisten residen) yang berangkat pagi ini ke Makassar. Pada saat transit di Soerabaja ini (beberapa hari), tampaknya telah diatur, Soekawati diminta memberi pernyataan di Radio Soerabaja. Pernyataan Soekawati ini tentu saja akan dapat didengar di Makassar (dimana para peserta dari daerah lain sudah tiba; konferensi tinggal dua hari lagi) dan juga dapat didengar di Jogjakarta (ibu kota Republik Indonesia).
Pernyataan Soekawati yang dicatat Nieuwe courant, 13-07-1946 adalah sebagai berikut: ‘Saya dengan senang hati akan memenuhi permintaan RVD untuk menyampaikan beberapa patah kata kepada Anda. Kami disini di Surabaya dalam perjalanan ke Malino. Yang kami maksud kami adalah wakil dari Bali dan Lombok, yang untuk Bali Oka dan saya. Tentu saja saya tidak akan memberi tahu Anda apa yang akan kami katakan di Malino, Tetapi secara umum saya ingin mengatakan ini kepada Anda bahwa kami orang Bali ingin merdeka seperti halnya orang Indonesia lainnya, seperti orang Jawa, misalnya, tetapi kami ingin mewujudkannya dengan bekerja sama dengan Belanda. Kami membutuhkan bantuan dan kami menginginkan bantuan itu dari Belanda, bukan dari orang lain. Saya lebih suka hanya berurusan dengan orang Belanda. Pendengar, jangan mengira saya sedikit mengidealkan orang Belanda. Saya tahu betul apa kesalahan mereka dan juga apa kelebihan mereka, dan posisi saya adalah bahwa dalam hal apa pun kami membutuhkan bantuan dari luar, dan jika demikian, mari kita bekerja sama dengan Belanda, karena kami mengenal mereka yang terbaik. Dan itulah mengapa kami senang dengan Malino’.
Pernyataan Soekawati tampaknya ditujukan ke dua sisi. Di satu sisi mendukung para peserta konferesni Malino yang sudah hadir, dan sisi lain menendang para Republiken. Seperti dinyatakannya Soekawati tidak membutuhkan orang lain (Pemerintah Republik Indonesia). Sikap Soekawati yang begitu dekat dengan Belanda dan menginginkan Belanda dapat dipahami dari sudut sejarah Bali sendiri (yang dapat dilihat sejak Perang Badoeng/Puputan tahun 1906).
Sebagaimana diketahui di Bali sudah sejak awal sudah ditunjuk gubernur Republik Indonesia untuk wilayah (provinsi) Soenda Ketjil yang kemudian saat kehadiran Belanda/NICA di Bali ada perlawan yang dilakukan oleh I Goesti Ngoerah Rai. Dalam hal ini ada pertarungan politik di Bali antara yang pro Republik Indonesia dan yang pro Belanda/NICA. Seperti dikatakan Soekawati dalam radio, dia tidak membutuhkan (pemerintah) yang lain (RI) tetapi membutuhkan (Belanda/NICA) yang dapat membantu mereka. Sikap politik Soekawati yang mendukung Belanda, lepas dari istrinya bukan orang Bali, pada saat menjadi anggota Volksraad kerap memiliki jalan sendiri dibanding rekan-rekanya yang pribumi. Misalnya ketika ada mosi dari Nationale Groep agar mengubah terminologi pribumi dengan terminologi Indonesia, Soekawati tampaknya kurang senang. Anggota dewan golongan Belanda hal itu tidak dapat diputuskan langsung tetapi harus dibuat suatu komite yang akan memutuskan dan Soekawati mendukung pembentukan komite ini (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-01-1941).
Lalu bagaimana dengan I Goesti Bagoes Oka sebagai wakil kedua dari Bali ke konferensi Malino? Dalam konferensi Malino, I Goesti Bagoes Oka, sekretaris Paroeman Agoeng menjadi pembicara ketujuh (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 20-07-1946). Disebutkan bahwa I Goesti Bagoes Oka dalam pidato awalnya mengatakan dia menyesal bahwa belum ada kesepakatan yang dicapai untuk [pemerintahan Soetan] Sjahrir.
Ida Bagoes Oka lebih lanjut menganjurkan pembentukan Dewan Kerajaan, yang harus ditunjuk oleh Mahkota (perwakilan Kerajaan Belanda di Hindia) dan diusulkan oleh perwakilan dari berbagai daerah. Dia ingin melihat bendera merah-putih di sebelah bendera tricolor (Rood-Wittte-Blauw) dan ingin mendengar lagu kebangsaan Indonesia di sebelah lagu Wilhelmus. Masa transisi harus memiliki durasi, sama dengan yang diperlukan untuk pelatihan kejuruan dasar, menengah, dan lanjutan dan pengajaran praktis yang diperlukan. Untuk Bali sendir, I Goesti Bagoes Oka menginginkan otonomi, dalam hal-hal tertentu, yang harus diserahkan kepada pemerintah pusat (Belanda/NICA). I Goesti Bagoes Oka akhirnya menyatakan dirinya sebagai voor-Stander sebagai prenghubung federasi dengan bagian lain di Indonesia.
Ada sedikit perbedaan yang disuarakan oleh I Goesti Bagoes Oka dengan yang disuarakan oleh Soekawati. I Goesti Bagoes Oka menyuarakan ada sedikit nuansa yang terkait dengan Republik Indonesia. Lalu mengapa suara I Goesti Bagoes Oka dan suara Soekawati berbeda, apakah mereka berdua datang dari konstuens yang berbeda di Bali. Jika I Goesti Bagoes Oka jelas mewakili Dewan Kerajan (yang bergabung dengan dewan rakyat), lantas apakah Soekawati sebagai ‘perwakilan’ orang-orang Belanda di Bali?
Perbedaan sikap wakil dari Bali ini tidak sendiri, perwakilan dari wilayah Kalimantan juga ada perbedaan. Seperti halnya Soekawati dari Bali, dari wilayah Kalimantan Barat disuarakan oleh Soeltan Hamid II. Demikian juga perwakilan Sulawesi juga ada perbedaan dimana Nadjamoeddin Daeng Malewa dari Makassar, yang kurang lebih sama dengan Soekawati dan Soeltan Hamid II, yang berbeda sikap dengan perwakilan dari Sulawesi Utara khususnya Bolangga Mongondow dan Gorontalo. Dalam konferensi Malino ini tiga tokoh pro Belanda/NICA Soeltan Hamid II. Nadjamoeddin Daeng Malewa dan Soekawati adalah pembicara yang banyak bicara, bahkan Nadjamoeddin Daeng Malewa sendiri pada hari pertama mendapat porsi waktu sekitar satu jam. Tentu saja tiga tokoh ini mendapat catatan merah pada rapor Republik.
Tunggu deskripsi lengkapnya
I Gusti Bagus Oka di Pulau Bali: RIS dan NKRI
Dalam Konferensi Denpasar, yang disebut diatas pada bulan Desember 1946 I Goesti Bagoes Oka termasuk salah satu diantara beberapa yang mempertanyakan mengapa Papua bagian barat dipisahkan dari pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). HJ van Mook tampaknya tidak siap dengan argumennya dan cenderung berbelit-belit dengan alasan yang dicari-cari. Para pembicara meminta sgera saja diputuskan status Papua bagian barat dalam Negara Indonesia Timur. Namun HJ van Mook tertolong karena muncul mosi dari Nadjamoeddin Daeng Malewa yang mengusulkan pembentukan komite. Mosi ini mirip yang terjadi di Volksraad dimana Soekawati selalu mendukung pembentukan komite jika deadlock. Sebagaimana lazimnya keputusan komite yang dibentuk selalu mendukung Belanda. Ketika dilakukan voting *tunjuk tangan) hanya dua delegasi yang menyatakan diri menentang mosi tersebut yang dengan sendirinya membatalkan suara yang diajukan oleh Sulawesi Utara dan Bali.
Seperti kita lihat nanti mosi Nadjamoeddin Daeng Malewa yang didukung semua perwakilan kecuali Sulawesi Utara dan Bali menjadi sangat berlarut-larut soal wilayah Papoea yang bahkan pada hasil KMB 1949 tetap wilayah Papoea dipisahkan. Jika Konferensi Denpasar kompak menganulir mosi Nadjamoeddin Daeng Malewa maka persoalan wilayah Papoea barat tidak perlu membutuhkan waktu baru tahun 1963 wilayah Papoea bagian barat dapat direbut dan menjadi bagian dari NKRI.
Setelah konferensi Denpasar I Goesti Bagoes Oka kurang terinformasikan. Apakah karena dia berbau Republik lalu tidak begitu mendapat tempat di Negara Indonesia Timur, dimana sebagai presidennya adalah Soekawati? Entahlah. Yang jelas Soekawati tengah berada di atas angin sebagai Presiden Negara Indonesia Timoer yang berkedudukan di Makassar (jauh dari Bali).
Pada bulan April 1949 setelah perundingan Roem-Roiyen akan diselenggarakan konferensi KMB yang akan diadakan di Den Haag. Untuk persiapan ke arah itu, wilayah RI yang diduduki Belanda/NICA sejak Desember 1948 akan dipulihkan termasuk pengembalian ibukota Republik Indonesia di Jogjakarta. Langkah pertama adalah kembalinya Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta dkk dari pengasingan. Ini juga dengan sendirinya perwakilan RI di wilayah federal Djakarta/Batavia juga dibuka kembali. Pada saat tengah konsolidasi di Jogjakarta setelah pemulihan, pada bulan September tampak Presiden NIT berkunjung ke perwakilan RI di Djakarta (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 06-09-1949). Tidak terinformasikan tujuannya, hanya diterima oleh kepala perwakilan RI Mr Soedanto di Gedong Repoeblik di jalan Pegangsaan Timoer No 56. Soekawati ditemani oleh Gde Oka, kepala daerah (Residen) Bali. Boleh jadi Soekawati mengatakan kepada Soesanto, kalian sih melawan Belanda, begitu rasanya, coba seperti saya bekerjasama dengan Belanda, enak kan. Mungkin ditanggapi Soesanto dengan kata-kata: Republiken tetap Republiken.
Setelah konfrensi KMB, Soekawati tetap sebagai Presiden NIT yang juga menjadi bagian dari RIS. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia (dalam bentuk RIS) yang berlaku sejak 27 Desember 1949, I Goesti Bagoes Oka mulai mendapat tempat. Disebutkan I Goesti Bagoes Oka diangkat sebagai sekretaris jenderal kabinet dari Kabinet Negara Indonesia Timur (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-01-1950). Boleh jadi ini adalah strategi Presiden Soekawati untuk mendinginkan para Republiken, paling tidak memberi tempat yang manis bagi I Goesti Bagoes Oka,
Soekawati tampaknya mengingat kembali perkataan yang pernah dikatakan I Goesti Bagoes Oka dalam Konferensi Denpasar (Desember 1946) dia akan menjadi penghubung antara federal (NIT) dengan wilayah lain (RI), Boleh jadi hal iti I Goesti Bagoes Oka diangkat sebagai sekretaris Kabinet NIT. Lebih-lebih saat ini yang menjadi Perdana Menteri NIT adalah seperti I Goesti Bagoes Oka yang condong Republik yakni Ir Mohamad Natal Siregar gelar Patoean Doli Diapari.
Situasi politik cepat berubah, belum setahun RIS sudah dibubarkan dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NK)RI. Dengan ketentuan Keputusan Presiden 14 Agustus 1950 No-21 yang berdasarkan Perjanjian RIS-RI, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dibagi menjadi 10 provinsi termasuk provinsi Soenda Ketjil. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengumumkan pembubaran RIS dan pada tanggal 18 Agustus 1950 diproklamasikan NKRI. I Goesti Bagoes Oka tertolong tetapi Soekawati tersingkir. Para Republiken mulai mengisi pemerintahan dimana gubernur provinsi Soenda Ketjil diangkat Mr Soesanto Tirtoprodjo dan Residen Bali diangkat Anak Agoeng Bagoes Soetedja.
Pada masa NKRI yang sekarang I Goesti Bagoes Oka juga masih diperlukan pada posisi penghubung, tetapi dari arah sebaliknya yakni sebagai penghubung antara Republiken (RI) dengan para pentolan eks NIT/RIS termasuk Soekawati. Sekarang I Goesti Bagoes Oka yang berada di atas angin. Mulai tersenyum melihat Soekawati yang tengah galau. Boleh jadi I Goesti Bagoes Oka yang mengkuliahi Soekawati: Lu sih, dulu ketika kita pergi ke konferensi Malino suka-sukamu aja. Anda tidak tertolong lagi sekarang, saya sih masih dihargai oleh para Republiken. Saya kan masih ada yang tersisa darah Republikennya. Tapi, ya, lu masih harus bersyukur masih bisa hidup. Lihat tuh teman-temanmu seperjuangan Soeltan Hamid II sudah ditangkap karena makar dan Nadjamoeddin Daeng Malewa juga sebelumnya dipenjara karena dituduh Belanda melakukan pelanggaran berat pada era pendudukan Jepang, lalu karena sakit berat dibebaskan tetapi jiwanya tidak tertolong dan dikabarkan sudah meninggal di Makassar.
Sebagai pegawai pemerintah (Kementerian Dalam Negeri), Sarimin Reksodihardjo pensiun terhitung sejak tanggal 1 April 1957. Dengan sendirinya jabatannya sebagai gubenur juga berakhir. Namun sebagai penggantinya belum ada. Untuk mengisi kekosongan ini I Goesti Bagoes Oka diangkat sebagai pejabat gubernur. Biasanya pejabat yang ditempatkan dari kementerian dalam negeri. Namun pada kasus tertentu wakilnyanya yang diangkat sebagai pejabat seperti koordinator residen provinsi Kalimantan tahun 1954 Soetan Koemala Pontas diangkat sebagai pejabat gubernur (selama sembilan bulan) karena gubernur Moerdjani mengundurkan diri (sebelum diangkatnya gubernur pengganti, Milono). I Goesti Bagoes Oka sebagai pejabat Gubernur tidak lama sebab gubernur baru telah ditunjuk yakni T Daoedsjah, terhitung sejak tanggal 4 Mei 1957. Kehadiran Gubernur T Daoedsjah dihubungkan dengan tugas tambahanya untuk mempersiapkan reorganisasi di provinsi Nusatenggara dimana akan dimekarkan menjadi tiga provinsi (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Bali).
Dalam proses reorganisasi provinsi Nusatenggara, I Goesti Bagoes Oka turut membantu Gubernur T Daoedsjah. Provinsi Nusa Tenggara Barat secara resmi terbentuk pada tanggal 14 Agustus 1958 (sebagai gubernur Ruslan Tjakraningrat). Lalu kemudian provinsi Nusa Tenggara Timur secara resmi dibentuk pada tanggal 20 Desember 1958 (sebagai gubernur WJ Lalamentik). Dengan resminya provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi maka dengan sendirinya provinsi Nusatenggara berakhir dan gubernur T Daensjah berakhir (kembali ke kementerian dalam negeri). Saat yang bersamaan, ketika T Daoedsjah kembali ke Kementerian Dalam Negeri, Residen Bal (Anak Agoeng Bagoes Soetedja) juga ditarik ke Kementerian Dalam Negeri. Untuk mengisi posisi Residen Bali dijabat oleh I Goesti Bagoes Oka (yang sebelumnya residen yang diperbantukan di kantor gubernur).
Persiapan pembentukan provinsi Bali tengah berlangsung di pusat. Besar dugaan mantan Residen Bali Anak Agoeng Bagoes Soetedja ikut membidani proses kelahiran provinsi Bali di pusat. Reorganisasi pemerintahan di Bali membutuhkan waktu yang lebih lama karena harus mentransformasi wilayah kerajaan-kerajaan (batas-batasa administrasi district) ke bentuk wilayah kabupaten-kabupaten.
Pada tanggal 14 Agustus 1949 berakhir tugas I Goesti Bagoes Oka sebagai residen Bali sehubungan dengan dibentuknya secara resmi provinsi Bali dan diangkatnya gubernur Bali yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1949 yakni Anak Agoeng Bagoes Soetedja (mantan Residen Bali). Sekarang yang berkuasa di Bali, sebagai gubernur adalag seorang Republiken (dari parati PNI).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar