*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Ada dua guru pribumi di Belanda pada generasi berbeda, Sati Nasution alias Willem Iskander dan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Pada tahun 1874 Willem Iskander membawa tiga guru muda ke Belanda umtuk melanjutkan studi di bidang keguruan, Raden Soerono dari Soerakarta, Barnas Lubis dari Tapanoeli dan Raden Adi Sasmita dari Bandoeng. Soetan Casajangan pendiri organisasi mahasiswa pribumi Indische Vereeniging di Belanda 1908, membimbing guru muda dari Jogjakarta kelahiran Solo bernama Sjamsi Sastra Widagda saat persiapan dan selama studi untuk mendapatkan akta guru.
Lantas bagaimana sejarah guru (asal) Jawa melanjutkan studi ke Belanda? Seperti disebut di atas, guru asal Jawa studi di Belanda dibimbing oleh dua guru asal Angkola Mandailing, Tapanoeli pada dua generasi berbeda. Willem Iskander adalah pribumi pertama studi ke Belanda (1857-1860) dan Soetan Casajangan pendiri organisasi mahasiswa pribumi 1908. Lalu bagaimana sejarah guru (asal) Jawa melanjutkan studi ke Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Guru Jawa Studi ke Belanda: Willem Iskander 1857 dan Soetan Casajangan 1905
Belum ada guru Jawa yang studi keguruan di perguruan tinggi di Belanda. Yang sudah ada adalah guru Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dari Tapanoeli. Memang ada guru Djamaloedin asal West Sumatra di Belanda tetapi tidak melanjutkan studi keguruan tetapi studi bidang pertanian (di Wageningen). Soetan Casajangan kemudian lulus ujian guru dan mendapat akta guru LO tahun 1909. Dua tahun berikutnya Soetan Casajangan lulus ujian guru akta MO tahun 1911. Akta MO setara sarjana pendidikan pada masa ini (lulusan IKIP). Pada saat inilah seorang siswa sekolah guru Kweekschol Jogajakarta, Samsi Sastrawidagda dikirim Boedi Oetomo ke Belanda untuk melanjutkan studi bidang keguruan.
Samsi Sastrawidagda lahir di Soerakarta 13 Maret 1894. Setelah menyelesaikan sekolah dasar berbahasa Melayu-Belanda (HIS), Samsi Widagda melanjutkan studi ke sekolah (kweekschool) di Jogjakarta. Sekolah guru Kweekschool Jogjakarta adalah sukses Kweekschool Magelang. Sebelumnya Kweekschool Magelang adalah sukses Kweekschool Soerakarta.
Sjamsi Widagda melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1912. Pada tahun ini di Belanda sudah cukup banyak mahasiswa asal Jawa, namun tidak ada yang studi di bidang keguruan. Satu-satunya mahasiswa bidang keguruan di Belanda adalah Soetan Casajangan. Dalam hal ini di Belanda, Sjamsi Widagda dibimbing dan diawasi oleh Soetan Casajangan. Saait itu Soetan Casajangan adalah guru bahasa Melayu di Handelschool di Amsterdam.
Sjamsi Widagda lulus sekolah guru di Belanda pada akhir tahun 1912. Sjamsi Widagda kemudian melanjutkan studi bidang keguruan untuk mendapatkan akta guru bantu Belanda (LO). Sjamsi Widagda lulus ujian akta guru LO pada Juni 1913 (lihat Het vaderland, 02-06-1913). Disebutkan di Den Haag tanggal 2 Juni lulus ujian akte LO dari delapan kandidiat lulus enam orang diantaranya Sjamsi Widagda. Pada bulan Agustus Mas Samsi diangkat untuk tahun ajaran 1913/14 sebagai guru sementara pada kursus bahasa Melayu di Handelschool (lihat De Maasbode, 04-08-1913). Tampaknya posisi ini untuk menggantikan Soetan Casajangan. Sjamsi Widagda kemudian melanjutkan studi, keguruan untuk \mendapat akta MO seperti Soetan Casajangan. Hal ini sesuai dengan rapat umum Boedi Oetomo di Solo (lihat Het vaderland, 23-09-1913).
Dahlan Abdoellah lulus ujian Onderwij Hulp Akte pada bulan Juni 1915 (Haagsche courant, 05-06-1915). Dahlan Abdoellah dan Sjamsi Widagda mengambil kursus singkat dan kemudian lulus ujian bahasa Melayu dan Etnografi di ‘sGravenhage (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1915). Sjamsi Widagda kembali diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 08-08-1916).
Pada tahun 1916 Sjamsi Sastrawidagda lulus ujian akta guru MO (lihat De standaard, 13-09-1916). Pada tahun 1917 Sjamsi Widagda kembali diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool (lihat De avondpost, 13-08-1917). Pada tahun 1917 Samsi Sastrawidagda dan Dahlan Abdoellah diangkat sebagai asisten dosen di Universiteit Leiden (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917). Dahlan Abdoellah untuk bahasa Melayu dan Samsi Widagda untuk bahasa Jawa. Sambil mengajar, Sjamsi Widagda juga mengikuti pendidikan di Handelshoogeschool di Rotterdam.
Jabatan ini pernah dilakukan oleh Soetan Casajangan pada tahun 1911. Soetan Casajangan diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool dan juga merangkap sebagai asisten dosen Prof Charles A. van Ophuijsen di Universiteit Leiden. CA van Ophuijsen adalah mantan guru dari Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean.
Sjamsi Widagda diangkat sebagai guru bantu bahasa Jawa di Rijksuniversiteir di Leiden (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1918). Sjamsi lulus ujian kandidat di Handelseconomie di Nederlandsch Handelshoogeschool di Rotterdam pada tahun 1918 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 29-06-1918). Sjamsi Widagda kemudian melanjutkan studi ke Handelshoogeschool Rotterdam.
De locomotief, 05-07-1918: ‘Disebutkan pada waktu Tirtokoesoemo memimpin Boedi Oetomo, berbagai hal yang menjadi tujuan Tirtokusumo khususnya adalah peningkatan pendidikan pribumi. Berbagai aksi berhasil dilakukan. Pertama-tama penerbitan majalah Guru Desa, yang memberikan informasi kepada penduduk asli tentang pertanian, perdagangan, perdagangan, peternakan dan lain-lain. Upaya lain juga dilakukan untuk meningkatkan sekolah pribumi kelas satu menjadi sekolah pribumi Belanda (HIS) dan juga kampanye untuk memasukkan gadis pribumi ke sekolah taman untuk guru. Selain itu, seorang murid Kweekschool di Jogja dikirim ke Belanda atas biaya Boedi Oetomo untuk melanjutkan studinya disana untuk mendapatkan akta guru bantu Nederlaudsche (LO), dengan tujuan agar dia, setelah menjadi guru, untuk kepentingan dari asosiasi yang dipekerjakan, karena pimpinan dewan yakin bahwa ada kekurangan yang sangat besar dari guru Enropean, Menurut pengurus pusat Boedi Oetomo, pendidikan bagi pribumi hanya dapat dipenuhi sepenuhnya dengan meningkatkan pendidikan bagi guru pribumi. Mas Samsi, yang berasal dari Solo, dibawa ke Belanda untuk keperluan ini dimana ia memperoleh akta guru Batu Belanda (LO) dan mendapat akta guru utama (MO) dua tahun lalu. Karena perang Eropa, Mas Samsi belum bisa kembali ke Jawa. Saat pengiriman Mas Samsi ke Belanda, pengurus Boedi Oetomo tak lupa mengucapkan terima kasih antara lain kepada Zuydema, mantan guru sekolah di Jogjakarta yang mengantarkan Mas Samsi dari Jawa ke Belanda; dan kepada Mangaradja Soetan Casajangaa Soripada yang menerima siswa tersebut di Belanda, menempatkannya di sebuah sekolah pelatihan di Den Haag dan mengawasinya setiap hari’. Dari uraian di atas mungkin tampak bahwa kepemimpinan RAA Tirtokoesoemo cukup membuahkan hasil bagi Boedi Oetomo’.
Sjamsi Widagda juga berpartsipasi dalam Kongres Pendidikan yang diadakan pada tahun 1919 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-10-1919). Sementara itu Soewardi Soerjaningrat yang sejak 1913 di Belanda pada akhirnya mengikuti langkah Sjamsi Widagda untuk mengikuti pendidkan keguruan untuk mendapatkan akta guru LO.
Sjamsi Sastrawidagda junior dan Soetan Casajangan senior juga menjadi anggota Indisch Genootschap di Belanda. Dalam merger Vereeniging Moederland en Kolonien dan Indisch Genootschap yang namanya menjadi Indische Genootschp Sjamsi Widaga juga sebagai anggota pengurus (lihat De Maasbode, 05-05-1921). Sementara Soetan Casajangan mengundurkan diri karena kembali ke tanah air. Pada tahun 1922 Sjamsi Widagda termasuk salah satu yang mendiukung otonomi di Hindia.
Soetan Casajangan pada tahun 1918 saat menjabat sebagai direktur Kweekschool Amboina dipromosikan menjadi asisten Inspektur Pribumi di Batavia. Pada awal tahun 1920 Soetan Casajangan diberi cuti liburan satu tahun ke Eropa. Kesempatan ini dimanfaat Soetan Casajangan ke Belanda, bertemu para pengurus Indisch Vereeniging, malakukan kegiatan pembicaraan dengan berbagai institusi di Belanda dan tentu saja secara khusus bertemu dengan Sjamsi Widagda. Saat di Belanda Soetan Casajangan diundang berbicara di Vereeniging Moederland en Koloniem. Pada awal tahun 1921 Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan diangkatsebagai dierektur sekolah Normaal School di Meester Cornelis. Sementara itu di Belanda pada tahun 1922 Sjamsi Widagda dan Dahlan Abdoellah mengakhiri tugas mereka sebagai asisten dosen di Leiden. Jabatan yang ditinggalkan Sjamsi Widagda dan Dahlan Adoellah kemudian jabatan asisten dosen Melayu di Universiteit Leiden diisi oleh Soetan Mohammad Zain yang didatangkan dari Batavia (lihat De Maasbode, 27-07-1922). Untuk posisi asisten dosen Jawa diisi oleh Perbatjaraka (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Dahlan Abdoellah lulus ujian acte MO vóór de Maleis che taal en letterkunde tahun 1924 (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923). Dahlan Abdoellah segera kembali ke tanah air. Lalu kemudian Dahlan Abdoellah diangkat sebagai guru HIS di Tandjong Pinang (lihat De Preanger-bode, 02-07-1924).
Pada tahun 1922 Sjamsi Widagda lulus ujian akhir di Handelshoogeschool di Rotterdam (lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923). Sjamsi Widagda masih melanjutkan studi ke tingkat doktoral. Pada tahun 1925 Sjamsi Widagda lulus dengan gelar doktor setelah mempertahankan desertasi berjudul De Ontwikkeling der Handelspolitiek van Japan (lihat De Maasbode, 18-11-1925). Disebutkan Sjamsi Widagda lahir di Soerakarta. Selesai sudah pendidikan Sjamsi Widagda sejak kedatangannya di Belanda tahun 1912. Dr Sjamsi Widagda akan kembali ke tanah air pada tahun 1926 ini (lihat De locomotief, 30-03-1926). Sjamsi Widagda,guru Jawa setelah cukup lama di Belanda kembali ke Jawa di Solo (tempat kelahirannya). Kepulangan Sjamsi Widagda menjadi viral di semua surat kabar di Hindia.
De Indische courant, 04-10-1926: ‘Kembali. Hari ini tiba di kampung halamannya setelah bertahun-tahun absen, Dr Samsi Sastrawidagda. Pada tahun 1912, setelah menyelesaikan studinya di Kweekschool di Djogja, ia berangkat ke Belanda dan memperoleh gelar hulp en hoofdacre akta LO dan akta MO disana. Dia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa di Haudelsboogeechool di Rotterdam dan memperoleh gelar doktor dalam ilmu perdagangan. Selama masa mahasiswanya ia bertindak sebagai asisten dosen bahasa Jawa di Universitas Leiden. PC Hooft membawanya ke Belanda. Kami berharap akan memungkinkan untuk memberinya pekerjaan dimana pengetahuan yang diperolehnya akan digunakan di Hindia’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Willem Iskander dan Guru Tetaplah Guru: Ki Hadjar Dewantara dan Todoeng Harahap Gelar Soetan Goenoeng Moelia
Guru tetaplah guru. Soetan Casajangan telah membimbing beberapa pemuda dari Hindia menjadi guru, paling tidak ada dua nama yakni Soetan Goenoeng Moelia dan Sjamsi Sastrawidagda. Sjamsi Widagda tidak hanya berhasil lulus guru MO juga telah meraih gelar doktor dan telah kembali tahun 1926 ke tanah air.
Ini seakan mengingatkan di masa lampau, ketika Sati Nasution alias Willem Iskander membawa tiga guru muda untuk studi keguruan di Belanda pada tahun 1874. Tiga guru muda tersebut adalah Barnas Lubis dari Tapanoeli, Raden Adi Sasmita dari Bandoeng dan Raden Soerono dari Soerakarta. Tampaknya para pemimpin di Jawa masih mempercayai orang Tapanoeli (Angkola Mandailing) untuk dititipkan, dibimbing dan diarahkan guru asal Jawa untuk studi di Belanda. Jika tempoe doloe Raden Soerono dari Soerakarta kepada Willem Iskander, maka kini Mas Sjamsi Widagda dari Soerakarta kepada Soetan Casajangan.
Soetan Goenoeng Moelia yang telah kembali ke tanah air pada tahun 1919 setelah mendapat akta guru MO, pada saat menjabat sebagai direktur sekolah HIS di Kotanopan, telah diangkat menjadi anggota Volksraad dan selama menjadio anggota Volksraad diangkat sebagai anggota Komisi Pendidikan HIS di Batavia. Pada tahun 1930 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke Belanda untuk melanjutkan studi tingkat doktoral. Pada tahun 1933 Soetan Goenoeng Moelia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang sastra dan filsafat di Leiden.
Selama Sjamsi Widagda berada di Belanda, Soewardi Soerjaningrat mengikuti jejak Sjamsi Widagda. Soewardi Soerjaningrat berhasil lulus ujian akta guru LO pada tahun 1919 dan kembali ke tanah air pada tahun 1920. Pada tahun 1922 Soewardi Soerjaningrat mendirikan sekolah swasta yang kemudian dikenal sebagai sekolah Taman Siswa. Soewardi Soerjaningrat kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara.
Soetan Casajangan yang juga pendiri Indische Vereeniging di Belanda (1908) pada tahun 1927 meninggal dunia saat masih menjabat sebagai dierektur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Salemba). Dari semua mahasiswa pribumi di Belanda yang tergolong dekat dengan Soetan Casajangan kemudian terbilang semuanya sukses.
Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, yang bekerja di pemerintahan daerah pada tahun 1927 terpilih menjadi anggota Volksraad dari dapil Province Oost Sumatra. Sjamsi Sastra Widagda tidak hanya berhasil meraih akta guru MO juga gelar doktor dalam bidang ekonomi. Demikian juga Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia telah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang sastra dan filsafat dan anggota Volksraad. Dan jangan lupa Raden Soemitro yang menjadi nsekretarisnya saat menjabat ketua Indische Vereeniging telah menjadi bupati yang sukses di Jawa (tengah). Last but not leas pada era kemerdekaaan Indonesia pada kabinet pertama RI, Dr Sjamsi Widagda menjadi Menteri Keuangan. Pada saat yang bersamaan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pendidikan. Dalam perkembangannya sebagai Menteri Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara digantikan oleh Dr Soetan Goenoeng Moelia.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar