*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Federasi Malaysia tidak hanya bermasalah soal ras (Melayu,
India dan Cina), juga memiliki permasalahan soal bahasa dan budaya diantara penduduk.
Soal agama juga menjadi masalah tersendiri di Malaysia. Federasi Malaysia yang
terbagi antara wilayah barat (Semenanjung Malaya) dan wilayah timur (Serawak
dan Sabah) secara geografis memiliki masalah sendiri pula. Dua wilayah Malaysia
dipisahkan oleh wilayah Indonesia (Kepuluan Natuna).
Islam adalah agama resmi dari federasi Malaysia, namun negara bagian Serawak tak memiliki agama resmi. Namun, pada masa kepemimpinan Abdul Rahman Ya'kub, Konstitusi Sarawak diamendemenkan untuk menjadikan Yang di-Pertuan Agong sebagai kepala Islam di Sarawak dan mengukuhkan hukum-hukum yang mengesahkan urusan-urusan Islam. Faktanya agama dominan di Serawak adalah Kristen, sebanyak 60.2% dari populasi, sementara yang beragama Islam hanya sebanyak 18.4%. Sebanyak 2.1 persen disebut agama tradisi (pagan?). Populasu keseluruhan Serawak 2.9 juta jiwa. Sabah adalah negara bagian terbesar kedua di Malaysia dengan jumlah umat Kristen terbanyak, setelah Sarawak. Sekitar seperempat dari 3,9 juta penduduk Sabah beragama Kristen.. Sedangkan secara keseluruhan di Federasi Malaysia agama Islam (61.32%) dan Kristen (9.24%). Ini mengindikasikasin populasi di Serawak dan Sabah lebih beragam dari penganut agama (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah zending di Borneo Utara khususnya di Serawak dan Sabah? Seperti disebut di atas, di Malaysia etnik Melayu harus Islam, tetapi diantara penduduknya khususnya etnik Dayak ada yang Islam, Kristen dan pagan. Lalu bagaimana sejarah zending di Borneo Utara khususnya di Serawak dan Sabah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Zending di Borneo Utara; Etnik Melayu Harus Islam, Etnik Dayak Islam, Kristen dan Pagan
Pada awalnya kegiatan zending di (pulau) Borneo terbilang awal. Namun para misionaris Jerman gagal karena terjadi penolakan penduduk asli Dayak, Para misionaris Jerman akhirnya mengalihkan perhatian ke Tanah Batak dimana kegiatan zending Belanda belum lama dimulai. Pada tahun 1861 antara misionaris Jerman dan zending Belanda membagi wilayah kerja: Para zending Belanda melakukan kegiatan misi di wilayah selatan dimana telah terbentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda, sedangkan di wilayah utara yang masih independent misinaris Jerman melakukan kegiatan misi. Para misionaris Jerman dengan pendeta muda Nommensen berhasil di Tanah Batak. Jauh sebelumnya sebelum kehadiran misionaris Belanda (1833), di wilayan Tapanuli kegiatan zending pertama dilakukan para misionaris Inggris, tetapi gagal.
Sementara itu di wilayah yurisdiksi Inggris (sejak 1819) di Penang, Malaka,
Semenanjung Malaya, Singapoera dan Borneo Utara kegiatan misionaris Inggris
justru dimulai di Semenanjung Malaya. Namun di wilayah ini para misionaris
Inggris gagal. Terdapatnya populasi Katolik di Malaka lebih pada sisi populasi
penduduk beragama Katolik sejak era Portugis. Para misionaris Inggris di tengah
penduduk urban di Penang dan Singapoera yang tidak merasa puas, mulai
mengalihkan perhatian ke wilayah Borneo Utara. Jika para misionaris Jerman di Bonero,
tetapi misionaris Inggris mulai mendapat hasil. Itulah awal kegiatan misi di
pulau Kalimantan/Borneo.
Wilayah Borneo Utara mulai dikenal Inggris oleh kehadiran seorang petualang Inggris James Brooke pada tahun 1838. Kehadirannya menjadi penting di kawasan, di satu sisi di selat Malaka Inggris sudah membuat koloni (Penang, Malaka dan Singapoera) para pembajak laut bersih dan beralih ke Borneo Utara (laut Cina Selatan) dan di sisi lain para pemimpin local yang kerap terancam dari perompak di Borneo Utara. James Brooke mantan Angkatan laut yang menjadi pedagang memenuhi kualifikasi untuk di Borneo Utara. James BrJames Brooke berhasil tahun 1839 di Laboean dan Serawak.
James Brooek dalam kegiatan lebih lanjut di Borneo Utara 1838 dimulai
dengan menyusun strategi di Afrika Selatan,merekrut tantara (Belanda) professional
dan memuat barang-barang untuk perdagangan dan hadiah-hadiah bagi pemimpin local.
Pada bulan Agustus 1840 James Brooke kembali ke Serawak. Antara 1839 dan 1840
James Brooke menurut sumber Belanda berada di Sulawesi, di Teluk Turatta,
Boathani dan Bulukomba dan di Teluk Boni. Ada apa? Sumber Belanda tidak
mengetahui tujuan pasti. Yang jelas pada saat itu GP King, seorang pedagang
Inggris yang terusir dari pantai barat Sumatra (diduga rekan Boorke yang gagal berdagang
di Tapanoeli), telah berhasil di pulau Lombok (yang menjadi titik penting
navigasi pelayaran antara Singapoera dan Sidney). Apakah dalam hal ini James
Brooke ingin merintis jalan baru antara Lombok dengan Borneo Utara melalui
Sulawesi (bagian selatan)? Tidak diketahui secara pasti. Yang jelas James Brooke
dalam kehadiran keduanya di Serawak sangat mengandalkan orang-orang Bugis dalam
mendukung kegiatannya di Borneo Utara.
Kehadiran James Brooke kedua di Serawak dengan serangkaian trik, sanjungan dan ancaman membawanya ke tujuannya. Kurang dari satu tahun James Brooke berhasil memaksakan dirinya kepada Radjah Muda Hassim (oposisi Sultan Brunai) sebagai Pangeran di Serawak. Inilah babak baru Inggris di Borneo Utara. Setelah mendapat legitimasi dari pemimpin local di Borneo Utara (Sultan Bruunai) James Brooke mulai melirik Inggris di Singapoera untuk ikut mendukungnya. Gayung bersambut.
James Brooke juga berdiplomasi ke pemerintah Hindia Belanda (di West
Borneo). Salam posisi portofolio tertinggi James Brooke inilah, Sultan Brunai
mulai berada di bawah bayang-bayang Inggris (di satu sisi Sultan takut terhadap
ancaman seperi bajak laut, pemberontakan dan kekuatan militer di bawah Brooke
dan di sisi lain Sultan mendapat kesenangan berupa hadiah, keamanan regional
dan kehormatan). Pada bulan Mei 1843, Brooke, dari Singapura, naik kapal (perang)
Inggris ke Sarawak yang menjadi awal kegiatan administrasi di lanskap baru (Serawak).
Penduduk asli mulai langsung merasakan bahwa sebuah kekuatan siap untuk
melindungi dan juga menghukum. Pers Belanda di Hindia menyindiri Brooke: ‘apakah
ini pemerkosaan publik atas perjanjian tahun 1824?’. Akhirnya sejak 1 Agustus,
1842, otoritasnya di Serawak diserahkan oleh Sultan ditransfer di bawah James
Brooke. Untuk urusan menaklukkan Dayak di belakang pantai/pedalamana diserahkan
kepada Kapten Keppel. Posisi Brooke semakin kuat dengan didukung kehadiran delapan
kapal bersenjata pada Agustus 1845. Pada awal tahun 1846, Hassim dan semua orang yang membawa Inggris ke
negara itu atau yang mendukung rencana mereka dibunuh.
Sejak kehadirian Inggris (lihat Algemeen Handelsblad, 22-11-1847), dalam hal ini James Brooke dan Kapten Keppel inilah misi zending dimulai di Borneo Utara. Tidak seperti di Tanah Batak yang dilakukan secara lembut, tetapi di Borneo Utara terhadap orang Dayak dilakukan di bawah bayang-bayang senjata. Strategi lembut Jerman dibagian lain Borneo (Belanda) tidak berhasil, sebaliknya di wilayah bagian Inggris mulai menemukan jalan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Etnik Dayak Islam, Kristen dan Pagan: Pembentukan Federasi Malaysia Menyimpan Masalah?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar