*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Bagaimana sejarah pulau Berhala? Yang jelas
nama Berhala bukan merujuk pada berhala. Lalu apa? Yang jelas pula, nama
Berhala sebagai pulau tidak hanya di Jambi tetapi juga ditemukan pulau Berhala
di Sumatra Utara, tepanya di kecamatan Tanjung Beringin, kabupaten Serdang
Bedagai, suatu pulau terluar Indonesia di Selat Malaka yang luasnya 2,5 Km²
dengan topografi bergunung dengan hutan lebat dan pantai yang putih bersih.
Lalu bagaimana dengan pulau Berhala yang kini masuk wilayah Jambi? Apakah sejarahnya
penting? Yang jelas pernah diklaim Riau. Nah. lho!
Nama Pulau Berhala tak asing lagi bagi warga di Provinsi Jambi maupun Kepulauan Riau (Kepri). Tepat berada di perairan Laut China Selatan, Pulau Berhala bisa ditempuh sekitar 1,5 jam dengan menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Muarasabak. Luasnya tak seberapa, hanya sekitar 40 hektare saja. Berhala menjadi bagian kecil dari deretan pulau-pulau yang menghampar di perairan Laut China Selatan. Pulau ini sempat membuat heboh karena statusnya disengketakan antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepri sejak 2002 silam. Hingga naik meja persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Provinsi Kepri akhirnya dinyatakan sah atas kepemilikan Pulau Berhala. Namun, abaikan soal klaim wilayah karena toh itu sama-sama wilayah Indonesia. Yang jelas, Pulau Berhala merupakan pulau eksotis. Terpencil di ujung timur perairan Jambi, pulau ini bisa ditempuh menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Tanggo Rajo di Kota Jambi. Begitu menjejakkan kaki, pasir putih nan elok dengan alam yang asri langsung menyambut tamu yang datang. Di pulau ini pula terdapat sebuah bukit kecil yang di atasnya terdapat sejumlah situs sejarah. Pertama terdapat makam yang disebut Makam Datuk Paduka Berhala. Oleh masyarakat dan sejarawan di Jambi, Datuk Paduka Berhala merupakan suami dari Putri Pinang Masak yang disebut sebagai salah satu penguasa negeri Melayu Jambi keturunan Turki. Keunikan lain dari pulau ini adalah penduduknya yang mencapai 60 KK. Penduduk di Pulau Berhala sebagian besar berasal dari Jambi dan Kepri (Liputan6.com)
Lantas bagaimana sejarah pulau Berhala di tengah laut, Berhala bukan berhala? Seperti yang disebut di atas, pulau Berhala di Jambi adalah pulau kecil, namanya bukan berhala tetapi Berhala. Karena itu pernah disengkatan antara Jambi dan Riau. Ini bukti bahwa pulau itu bukan merujuk pada berhala. Lalu bagaimana sejarah pulau Berhala di tengah laut, Berhala bukan berhala? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1695
Pulau Berhala di Tengah Laut, Berhala Bukan Berhala; Pulau Kecil, Pernah Sengketa Antara Jambi dan Riau
Mengapa Kepulauan Riau (Lingga) mengklaim pulau Berhala. Boleh jadi secara gemorfologis, sejarah pulau Berhala lebih dekuat dengan pulau Lingga. Secara geormotfologis wilayah daratan Jambi telah meluas ke arah laut bahkan telah mendekati pulau Berhala. Dengan kata lain garis pantai masa kini berbeda dengan garis pantai masa lampau, apalagi di zaman kuno. Namun sebaliknya, bagi Jambi pulau Berhala adalah wilayahnya atas dasar bukti yang dapat dipertimbangkan. Hal itulah mengapa kini pulau Berhala masuk wilayah provinsi Jambi.
Soal perbatasan antara dua wilayah dan klaim mengklaim bukan hal baru. Pulau Kalapa dan pulau Natal di selatan Jawa lebih dekat wilayah Indonesia tetapi masuk wilayah Australia (masalahnya terjadi pada era VOC). Pada era Pemerintah Hindia Belanda pulau Miangas yang jauh lebih dekat dengan Filipina di (pulau) Mindanao menang sengketa dengan Amerika Serikat di pengadilan arbitrasi (1915). Pulau Miangas yang diklaim Amerika Serikat sejak 1798 (peralihan dari Spanyol) akhirnya menjadi milik wilayah Hindia Belanda (kini Indonesia). Antara Inggris di Borneo Utara dengan Hindia Belanda di pulau Sebatik (harus menjadi berbagi). Bagaimana soal Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Hal yang mirip Miangas dalam skala local adalah pulau Bala Balakang yang jauh lebih dekat dengan Kalimantan Timur menjadi masuk wilayah Sulawesi Barat. Seperti Sebatik dalam skala local ada juga pulau kecil yang berbagi antara Kota Kendari dengan kabupaten Morowali (Sul Tengah) dan kabupaten Konawe (Sul Tenggara). Yang paling ekstrim wilayah tertentu berada di wilayah lain seperti Distrik Ocuissa di pulau Timor (antara Timor Lester dengan Indonesia) dan yang lebih ekstri secara local di Sumatra Barat ada desa dari kecamatan tertentu berada di wilayah kecamatan lain (enclave) bagai Vatikan di tengah Italia. Peta 1752
Dasar pertimbangan pada dasarnya tidak lagi soal dekat atau jauh suatu pulau dari wilayah tertentu, tetapi lebih pada aspek pertimbangan sejarah lainnya, terutama populasi yang berada secara historis merujuk ke wilayah mana. Namun factor lain juga bisa terjadi karena di masa lalu sudah terjadi perlalihan apakah karena penjualan atau konvensasi secara damai atau secara dipaksa. Bagaimana Jambi memenangkan sengket pulau Berhala tentulah atas dasar kesesuaian fakta dan data sejarah. Namun dalam hal ini, tidak membicarakan perihal serupa itu tetapi bagaimana sejarah pulau Berhala sendiri.
Tidak ada peta-peta yang lebih lama yang mengindikasikan pulau Berhala masuk wilayah mana. Namun dalam Peta 1901 pulau Berhala terkesan sudah masuk wilayah Jambi. Dalam Peta 1883 tidak secara tegas identifikasi antara wilayah residentie di laut, hanya ditegaskan batas-batas di daratan. Meski demikian, umumnya batas-batas dinyatakan dalam beslit atau ordonansi dalam pembentukan cabang-cabang pemerintahan.
Pulau Berhala sendiri sudah sejak lama dikenal. Pada Peta 1665 pulau Berhala diidentifikasi dengan nama Varella, Dalam pet aini di muara sungai Batanghari di depan kota/kampong Simpang yang Sekaran terdapat dua pulau yang satu lebih besar dan satu selatannya lebih kecil. Di selatan pulau kecil diidentifikasi dengai Tanjong Bon (Tanjung Jabung). Di sisi luar dua pula dan tanjong ini diidentifikasi gosong yang luas. Garis gosong ini diduga kini menjadi garis pantai, dimana pada dua sisi utara pulau yang lebih besar membentuk sungai Batanghari dan disi selatan pulau yang lebih kecil (dengan tanjong) membentuk sungai Berba. Di pulau Varellah diidentifikasi sebagai pulau kecil tetapi di sisi luar terdapat area gosong. Pada masa ini, pulau Varella jauh lebih luas disbanding pada tahun 1665. Demikian juga garis pantai timur muara Batanghari telah meluas dan bergeser ke arah laut.
Nama pulau Berhala diduga bukan Berhala. Akan tetapi oleh pelaut Portugis dengan nama Varella dan pelaut Belanda/VOC dengan Barella. Meski ini pulau kecil, diduga sejak zaman kuno sudah penting sebagai penanda navigasi yang mana pulau ini berada di jalur navigasi pelayaran perdagangan di sepanjang pantai timur Sumatra. Besar dugaan nama aslinya adalah Barala, nama tempat yang banyak digunakan di India. Seperti halnya nama Lingga adalah nama India, demikian juga nama Bangka dan nama Jambi dan nama Telanaipura. Ada perubahan ucapan: Barala, Varela, Barela, Be-rha-la, Ber-ha-la. Peta 1665
Tunggu deskripsi lengkapnya
Berhala; Pulau Kecil, Pernah Sengketa Antara Jambi dan Riau: Mengapa Penting?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar