*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Dalam
sejarah awal pendidikan di Indonesia (baca: sejak era Nusantara) pada dasarnya
tidak pernah berhenti. Pendidikan melalui sekolah adalah tradisi yang
diwariskan. Setiap wilayah memiliki caranya sendiri dalam menyelenggarakan
Pendidikan, menggunakan bahasa sendiri dengan aksara sendiri. Kehadiran orang
Eropa, sejak masa Portugis hingga VOC/Belanda penyelenggaraan Pendidikan
penduduk terus berlangsung. Introduksi aksara Latin sejak masa Portugis
hanyalah elemen tambahan dalam Pendidikan di Nusantara (baca: Hindia Timur).
Dari Surau ke Sekolah Kolonial, Beginilah Sejarah Pendidikan Formal di Indonesia. HarapanRakyat.com. 5 September 2022. Sejarah pendidikan formal di Indonesia pertama kali dari tradisi pesantren bernama Surau. Surau memiliki peran penting. Surau tempat semacam masjid sebagian besarnya berdiri di Sumatera Barat, yakni Bukittinggi. Keterangan Bung Hatta, penduduk sekitar Sumatera Barat sebagian lapisannya mengerti huruf Arab. Hal ini sebagai tanda Surau merupakan sistem pendidikan populer dalam kebudayaan masyarakat Bukittinggi. Seiring datangnya Belanda pergeseran Surau menjadi sekolah kolonial sempat membawa masalah dalam tradisi masyarakat adat, tidak memperbolehkan anak untuk sekolah ke tempat tersebut. Sekolah kolonial itu hanya terisi sebagian keluarga elit modern. Pertentangan yang terjadi perbedaan kebudayaan soal pendidikan. Pemangku Surau menganggap sekolah kolonial produk orang kafir. Sekolah tersebut mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak ada dalam ajaran agama. Akan tetapi hal ini terus mengalami dinamika dan perkembangan pesat. Kelompok yang pro terhadap Surau, menganggap sistem pendidikan kolonial ini tercipta untuk menarik tenaga kerja murah dari orang-orang pribumi, mereka alumni sekolah orang bule ini tidak jauh akan menjadi profesi rendahan juru ketik, yang berasal dari ras kulit putih, memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi. Para Kiai Surau mengatakan mereka yang sekolah ke lembaga kolonial, siap-siaplah menyakiti perasaan orang tuanya. Sebab, sebagian orang dari pribumi dan lulus dari sekolah ini kebanyakan bersifat pembangkang. (https://www.harapanrakyat.com/)
Lantas bagaimana pendidikan tradisi penduduk hingga sekolah modern aksara Latin? Seperti disebut di atas, Pendidikan bagi pribumi sejak era Nusantara tidak pernah berhenti hingga kehadiran orang Eropa yang mengintroduksi aksara Latin. Tiga aksara tradisi di tengah penduduk antara lain aksara Jawi, aksara Jawa dan aksara Batak. Lalu bagaimana sejarah sekolah pribumi, pendidikan tradisi hingga pendidikan modern aksara Latin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pendidikan Tradisi Penduduk hingga Sekolah Modern Aksara Latin; Aksara Jawi, Aksara Jawa dan Aksara Batak
Pendidikan tradisi, proses pendidik secara tradisi, pendidikan yang diwariskan. Hasil warisannya dalam berbagai bentu. Proses pendidikan adalah transfer pengetahuan melalui proses komunikasi. Dalam proses komunikasi digunakan komunikasi lisan dan tulisan. Hasil pendidikan melalui proses komunikasi lisan hanya dapat dilihat warisannnya dalam berbagai wujud. Pun demikian hasil melalui komunikasi tulisan.
Tulisan dapat diwariskan apakah dalam bentuk ingatan (memory) maupun dalam
bentuk tulisan. Tulisan sendiri juga sebagai warusan adalah hasil proses
Pendidikan. Tulisan dapat ditemukan dalam bebrbagai bentuk media seperti
kertas, kayu dan kulit kayu, kulit dan sebagainya. Semakin tua warisan tulisan
itu, semakin tua pula terbentuk pendidikan itu. Seperti artikel sebelumnya,
tulisan tertua terdapat pada prasasti yang digurat pada batu. Teks
Negarakertagama (1365 M) ditulis dalam lembaran lontar.
Dimana ditemukan tulisan, apakah dalam bentuk benda atau pengetahuan (aksara tradisi) dapat dikatakan di wilayah itu sudah ada tradisi menulis, suatu elemen esensial dalam pendidikan. Oleh karena itu, sulirnya menemukan data, keberadaan tulisan dengan aksara tradisi adalah proksi pendidikan diantara pribumi. Namun setua berapa? Itu sangat tergantung dari bukti-bukti yang ada. Suatu bukti yang dapat dihubungkan dengan generasi (era) sebelumnya dengan generasi (era selanjutnya).
Generasi aksara Latin yang sekarang, di berbagai daerah sudah ada
generasi sebelumnya, yang dapat disebut generasi aksara Jawi, aksara Jawa dan
aksara Batak dan lainnya. Tentu saja generasi aksara Jawa dan aksara Batak
sudah ada generasi sebelumnya (aksara Pallawa). Generasi aksara Jawa dan aksara
Batak dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai masa pendidikan tradisi (yang
telah ada sejak lama dan diantara aksara Latin masih eksis hingga masa ini).
Dengan mengacu pada pengetahuan aksara tradisi, pendidikan tradisi di nusantara sudah eksis jauh sebelum pendidikan modern dengan menggunakan aksara Latin terselenggara. Sumber-sumber yang berasal dari era Portugis sejauh yang diketahui tidak ada indikasi aksara tradisi yang dilaporkan. Namun pada era Belanda/VOC keberadaan aksara tradisi banyak dilaporkan. Dalam perjanjian/kotrak yang dilakukan pejabata VOC dengan pemimpin local, selain ditulis menggunakan bahasa Belanda dengan aksara Latin juga disalin dalam aksara tradisi (aksara Melayu dan atau aksara Jawa).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Aksara Jawi, Aksara Jawa dan Aksara Batak: Pendidikan Masa ke Masa di Nusantara
Informasi tertua dari pemerhati Eropa tentang (proksi pendidikan tradisi) berasal dari William Marsden di dalam bukunya (The History of Sumatra, 1811). William Marsden menyebut penduduk Batak mewakili orisinilitas dari penduduk pulau Sumatra. Marsden sangat kaget, karena penduduk yang berada di dataran tinggi Tapanoeli yang kaya dengan produk perdagangan dunia seperti emas, damar, kapur barus, kemenyan, kulit manis ini sudah memiliki sistem social yang teratur, mampu menciptakan mesiu, muziek, seni tari dan arsitektur tersendiri, serta sastra dan tulisan (aksara) sendiri. Marsden sendiri dalam hal ini mengutip laporan Charles Miller yang pernah berkunjung ke Tanah Batak di Angkola tahun 1772.
Yang paling mengangetkan William Marsden adalah bahwa penduduk di Angkola
memiliki kejeniusan berperilaku serta penduduknya lebih dari separuh mampu
membaca dan menulis dalam aksara Batak, suatu angka yang melampaui kemampuan
baca tulis Latin (angka literasi) dari semua bangsa-bangsa di Eropa. Menurut
Marsden orang Angkola menulis di bagian halus dari kulit pohon khusus dan
menggunakan tinta yang terbuat dari jelaga damar yang dicampur dengan ekstrak
air tebu.
Apa yang ditemukan William Marsden di dalam penduduk Angkola (Batak) yang tentu saja juga mungkin ditemukan di wilayah lain nusantara dengan aksara tradisi, mengindikasikan pendidikan tradisi tetap berjalan. Bukti seperti dikatakan Marsden, angka literasi dari penggunaan aksara tradisi di Tanah Batak sangat tinggi juga dapat mengindikasikan angka literasi tinggi di wilayah lain. Bagaimana dengan di Jawa? Satu hal yang perlu disadari bahwa di wilayah penduduk (beragama) Islam angka literasi aksara Jawi juga diduga tinggi. Hal ini karena dikaitkan dengan tradisi membaca ayat suci yang menggunakan aksara Arab yang notabene menjadi rujukan dalam aksara Jawi.
Peneliti Belanda mengurai bukti kejeniusan berperilaku kehidupan penduduk
Batak. Peneliti tersebut Leyden PhD, ahli bahasa dan sastra Asia Tenggara yang menganalisis
dalam desertasinya tentang system penulisan aksara Batak. Leyden menyimpulkan
bahwa, aksara Batak ditulis dari kiri ke kanan (seperti aksara Latin) dan
bertentangan dengan aksara China dari atas ke bawah. Leyden menyarankan agar
aksara Batak ditulis dari kiri ke kanan. Namun dalam perkembangannya, Leyden telah
menyesali kekeliruannya. Hal ini didasarkan surat menyurat yang dilakukannya
dengan penduduk Batak yang selalu ditulis dalam kertas dari kiri ke kanan. Akan
tetapi orang Batak menulis dari atas ke bawah dalam specimen menggunakan bamboo
dan kulit kayu yang dikirimkan kepadanya. Diluar pemahaman Leyden, ternyata
tulisan aksara Batak justru ditulis dari kiri ke kanan dan juga dari atas ke
bawah. Leyden menyadari bahwa surat-surat yang diterimanya (surat menggunakan
kertas) karena penduduk Batak sadar berhadapan dengan orang Eropa yang
menerapkan aksara Latin yang lalu mereka menuliskannya dari kiri ke kanan.
Leyden menyimpulkan bahwa setelah penduduk Batak menggunakan kertas menganggap
mereka telah bergeser dari atas ke bawah menjadi kiri ke kanan. Kenyataannya
tidak, karena aksara Batak memang bisa ditulis dari dua arah, tetapi tak lazim
dalam bahasa (aksara) Latin dan jarang digunakan dalam bahasa China serta tidak
mungkin dilakukan dalam bahasa Sansekerta, Arab/Jawi yang dari kanan ke kiri.
Kekeliruan Leyden ini juga ternyata setali tiga uang yang oleh pemerintah
Belanda di Negeri Belanda dan Batavia yang menyebut bahwa penduduk Batak
menulis dengan cara yang sama dengan Eropa. Padahal sistem tulisan Batak
merupakan kombinasi east-west, latin (Romawi) dan hanzi (China). Meski nasi
sudah jadi bubur (desertasi) tapi Leyden salut terhadap cara berpikir bangsa
Batak—mereka membangun karakter aksaranya lebih dari bangsa yang lain dan tahu
cara mengkomunikasikannya. Sementara itu, dalam pemahaman orang Angkola
Mandailing, bahwa untuk menuliskan karakter huruf dalam aksara Batak, cara
menulisnya dengan teknik menuliskan aksaranya selalu menarik ujung pisau atau
mata pena ke depan (maju). Karenanya, kerap teknik menulis aksara Batak ini di
Mandailing dan Angkola disebut surat tulak-tulak (menulis huruf selalu maju dan
tidak pernah mundur; tulak=dorong). Ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko
tertusuk jika menggunakan ujung pisau tajam di wadah bamboo atau kulit kayu.
Sangat simple. Konsisten dengan itu, juga berlaku dalam karakter angka dalam
teknik ‘etongan’ (menghitung). Setelah angka sembilan, lalu sepuluh. Berikutnya
adalah sepuluh satu, sepuluh dua, sepuluh tiga dan seterusnya (bukan sebelas
atau eleven; bukan dua belas atau twelve; bukan tiga belas atau thirteen).
Sangat simple, sesederhana teknik biner (1,0) yang digunakan dan sesuai dalam
pemprograman computer masa kini. Menghasilkan konsep yang diserderhanakan
(bukan sederhana), simple dan konsisten merupakan produk pemikiran yang
brilian. Singkat kata: membaca, menulis dan menghitung adalah tiga tradisi kuno
dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan yang sudah ada sejak doeloe di Tanah
Batak. Marsden selain kaget dengan tingkat literasi penduduk Batak yang
terbilang tinggi juga sangat kagum karena ternyata penduduk Batak sangat piawai
pidato atau ‘mangkobar’ (lisan) dan juga sangat tekun menulis dengan aksara
Batak.
Di Tanah Jawa, sejauh yang dapat diketahui, tidak ada laporan orang Belanda maupun Inggris yang mengindikasikan temuan angka literasi. Para peneliti beranggapan bahwa aksara Jawa cenderung digunakan secara terbatas di lingkungan kraton atau kerabat kerajaan. Hal serupa juga dilaporkan di Bali dan Lombok (yang mana di dua pulau ini aksara merujuk pada aksara Jawa). Boleh jadi pelestarian aksara Jawa hanya di lingkungan kerajaan sementara di Sumatra khususunya di Tanah Batak aksara dilestarikan sendiri oleh semua kalangan. Besar kemungkinan proses Pendidikan tradisi dengan aksara tradisi (aksara Jawi) sangat luas diselenggarakan di lingungan beragama Islam (terutama area Kauman).
Apakah bentuk aksara Batak yang sederhana yang menyebabkan semua kalangan
penduduk dapat mempelajari aksara? Aksara Jawa berbeda dengan aksara Batak.
Aksara Jawa secara visual terkesan indah, dibuat sangat hati-hati dan tidak
semudah menuliskan aksara Batak. Aksara Batak sendiri bahlam jauh lebih simple
dari aksara Latin sendiri. Aksara Batak sebagai aksara tradisi yang sudah lama
eksis dapat diperhatikan pada prasasti yang ditemukan di Padang Lawas (daerah
percandian).
Pendidikan tradisi Islam di berbagai wilayah di Hindia menggunakan aksara Jawi. Seperti disebut di atas aksara Jawi digunakan dalam pendidikan tradisi mengacu pada penyiaran dan pelajaran agama dalam membaca kita suci Al Quran. Sebagaimana lazimnya pelajaran Al Quran dan aksara Jawi di selengarakan di musolah/surau dan masjid jika tidak terdapat bangunan pesantren.
Bagaimana dengan di Maluku? Sebagaimana di di Tanah Batak terutama di
wilayah beragama Islam (Angkola Mandailing) aksara Jawi dan aksara Batak
beriringan. Hal serupa ini yang diduga terselenggara di Maluku dimana di
lingkungan beragam Islam penggunaan aksara Jawi dominan dan di lingkungan
beragama Kristen penggunaan aksara Latin. Dalam hal ini aksara Latin umum dilakukan
di sekolah-sekolah misi yang dibangun oleh para misionaris dan aksara Jawi di
surau/musola dan masjid. Di Tanah Batak, sebelum masuknya zending ke wilayah
Silindoeng/Toba, di wilayah Angkola Mandailing pelajaran dengan aksara Batak kemungkinan
besar dilakukan di sopo godang (balai). Sebagaimana umumnya di wilayah Batak
setiap kampong menyediakan saru bangunan umum di tengah kampong yang menjadi
pusat kegiatan penduduk. Sopo ini juga menjadi tempat bermalam bagi pelancong
atau orang yang melakukan perjalanan jauh.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar