*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Sejarah seharusnya memiliki
permulaan. Demikian juga, sebelum
siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi ada yang mendahuluinya. Dalam hal
inilah Sati Nasoetion alias Willem Iskander menjadi penting sebagai pribumi pertama
(pionier) studi ke Belanda. Perguruan tinggi hanya ada di Belanda, sebelum di Indonesia
(baca: Hindia Belanfda) dibuka untuk pertama kali tahun 1920.
Willem Iskander (lahir dengan nama Sati Nasution dengan gelar Sutan Iskandar di Pidoli Lombang, Maret 1840 adalah tokoh pendidikan dari daerah Mandailing. Willem mendirikan sekolah guru sepulang dari Belanda. Ia mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Panyabungan, Mandailing (1853-1855). Februari 1857 ia berangkat ke Belanda bersama AP Godon, Asisten Resident Mandailing-Angkola untuk melanjutkan sekolahnya. Pertama ia belajar di Vreeswijk, supaya bisa melanjutkan ke sekolah guru. Ia dibantu oleh AP Godon dan Prof HC Milles (Guru Filsafat, Sastra dan Budaya timur di Utrecht) untuk mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda, meski mendapat tantangan dari parlemen Kerajaan karna dianggap kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan, tapi Prof HC Milles berhasil meyakinkan anggota Parlemen. Willem akhirnya dapat beasiswa di Sekolah Guru (Oefenschool). Ia lulus dan mendapat ijazah Guru bantu (Hulponderwijzer) 5 Januari 1859. Tahun 1874 ia pergi melanjutkan pendidikannya ke Belanda kedua kali untuk mendapatkan Ijasah Guru Kepala Sekolah (Hoofdonderwijzer). Ia berangkat bersama Benas Lubis (Muridnya), Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta, Mas Ardi Sasmita dari Majalengka. Ia meninggal 9 Mei 1876 di Amsterdam dan di makamkan di Zorgvlietbeegrafplaats di Amstelveen di pingggiran kota Amsterdam. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Sati Nasoetion alias Willem Iskander, pionir pribumi studi ke Belanda? Seperti disebut di atas, Sati Nasoetion adalah siswa pribumi pertama di Hindia Belanda yang berangkat studi ke Belanda. Pembuka jalan studi ke Perguruan Tinggi di Belanda. Lalu bagaimana sejarah Sati Nasoetion alias Willem Iskander, pionir pribumi studi ke Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sati Nasoetion Alias Willem Iskander, Pionir Studi ke Belanda; Pembuka Jalan Studi di Perguruan Tinggi
Pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di afdeeling Angkola Mandailing (residentie Tapanoeli) didirikan sekolah rakyat di Panjaboengan dan di Padang Sidempoean. Dua lulusan sekolah, satu dari sekolah di onderafdeeling Angkola (Padang Sidempoean) dan satu dari sekolah di onderafdeeling Mandailing (Panjaboengan) dikirim ke Batavia untuk mengikuti sekolah kedokteran pribumi. Dua siswa tersebut pada akhir tahun 1854 sudah tiba di Batavia (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Mereka adalah Si Asta (Nasoetion) dan Si Angan (Harahap). Sementara itu, salah satu lulusan sekolah di Panjaboengan diangkat sebagai penulis di kantor Asisten Resident Angkola Mandailing bernama Si Sati (Nasoetion).
Dalam laporan masa jabatan Asisten Residen Angkola Mandailing, TJ Willer
pada tahun 1846 disebutkan salah satu rekomendasi untuk pendirian sekolah di
(afdeeling) Angkola Mandailing. TJ Willer merujuk pada belum lama ini di Fort
de Kock (ibu kota residentie Padangsche Bovenlanden) oleh Resident Steinmetz
dibuka sekolah. Kapan sekolah dibuka di Panjaboengan dan Padang Sidempoean
tidak terinformasikan. Besar dugaan bahwa Si Asta, Si Angan dan Si Sati adalah
tiga pertama dari llulusan di dua sekolah tersebut. AP Godon sebagai Asisten
Residen di Angkola Mandailing beribukota Panjaboengan memulai tugas tahun 1849.
Si Sati menjadi penulis di kantor Asisten Residen mendampingi AP Godon (tidak
hanya di kantor juga jika dinas ke berbagai district di Angkola Mandailing).
Pada tahun 1852 di Soerakarta dibuka sekolah guru (kweekschool), untuk melatih
para siswa untuk menjadi guru di sekolah rakyat (inlandsch school). Sebagai kepala
sekolah di Soerakarta Mr Palmer van der Broek (yang baru tiba dari Belanda
setelah menyelesaikan studinya). Dalam perkembangannya di Fort de Kock dibuka
sekolah guru yang kedua pada tahun 1856 oleh Rasiden JAW van Opuhijsen.
Asisten Residen AP Godon mengakhiri tugas sebagai asisten residen Angkola Mandailing pada tahun 1857. AP Godon bersiap-siap berangkat ke Belanda. Boleh jadi karena sudah didirikan sekolah guru di Fort de Kock, para pemimpin di Mandailing meminta AP Godon untuk membawa Si Sati ke Belanda melanjutkan studi keguruan untuk mendapat akta guru (tentu saja agar sekolah guru di Angkola Mandailing dapat didirikan sekolah guru). Sudah barang tentu itu tidak sulit bagi AP Godon.
AP Godon dan Si Sati berangkat dari Padang pada bulan Maret ke
Belanda (lihat De
Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en
advertentieblad, 26-03-1857). AP Godon dan Si Sati tiba di Amsterdam pada bulan September
(lihat Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 04-09-1857). Disebutkan tiba di Amsterdam, dari Padang, melalui relegraaf, Kapten Bulofs: AP
Godon, asistent resident dan juru tulis; CO van Daalen, istri dan tiga anak, CAD Werts van
Coehorm, istri dan tiga anak, disamping dua pengasuh perempuan’. Catatan: Kapal yang ditumpangi AP Godon
dan Si Sati adalah kapal dagang Kapal ini
memakan waktu sangat lama untuk tiba di Amsterdam melalui Afrika Selatan,
Spanyol, Inggris (Terusan Suez dibuka 1869).
Setelah selesai studi, Willem Iskander telah mengganti namanya menjadi Willem Iskander. Di dalam manifest kapal Petronella Catharina yang membawanya pulang dari Amsterdam disebut W. Iskander (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 27-07-1861).
Nama Willem Iskander besar kemungkinan bukan sekadar nama untuk
menunjukkan nama untuk mengganti nama Si Sati. Nama Willem Iskander adalah nama
yang telah dipikirkan oleh Si Satie untuk mengobarkan wujud realitas dan
harapan. Willem Iskander sendiri sudah melakukan perubahan besar di afdeeling
Mandailing dan Angkola yang juga telah memicu semangat perubahan di Jawa di
bidang pendidikan. Nama Willem Iskander juga mengandung semangat reformasi
sebagaimana tokoh reformasi terawal di Eropa, Iskander Hertzen (seorang Rusia
yang kemudian menetap di London).
Setelah cukup lama di Batavia, Willem Iskander kembali ke kampong halaman ke Mandailing en Angkola dan tiba dengan kapal Batavia di Padang pada akhir Desember 1861. Pada tahun 1862 Willem Iskander telah mendirikan sekolah guru di Tanobato (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865).
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en
advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah
ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan
perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah
membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika
saya tiba, disambut disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari
Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di
atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun
lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskandern didirikan di Tanobato…siswa
datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam,
prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa
Batak dan bahasa Belanda….saya saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’. Catatan: berita itu dikutip dari laporan JA van der Chijs (Inspekteur Inlandsch
Onderwijs di Batavia). Chijs menceritakan sangat detail tentang Willem
Iskander, bagaimana prospek sekolah tersebut yang dihadiri oleh murid-murid
dari semua Bataklanden. Lokasi sekolah yang dipilih di Tanobato. Chijs yang datang tahun 1864 menunjukan bahwa
sekolah ini baru didirikan dua tahun (sejak 1862).
Laporan Chijs ini ternyata dikutip/dilansir semua surat kabar di Hindia Belanda dan di negeri Belanda, seperti di Rotterdam, Amsterdam dan Haarlem, Algemeen Handelsblad dan Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie di Batavia, De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad di Semarang, Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad di Padang. Seketika berubah semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak di afdeeling Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat yang mana 180 derajat kesan primitif menghilang dan 180 derajat tidak diduga telah memiliki sistem pendidikan yang terbaik di Hindia Belanda. Inilah sumbangan fantastis Willem Iskander di Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. Iskander Effect tengah bekerja. Iskander Effect tidak hanya telah mengalami difusi jauh hingga ke pelosok-pelosok terpencil di Tapanoeli, juga mengguncang wilayah-wilayah di Jawa.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
14-11-1868: ‘Mari kita mengajarkan orang
Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari
selokan (candu opium).Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli
dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) pantai barat Sumatra mungkin
diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa
yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di
Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs.
Rupanya tulisan (laporan) Chijs itu telah menggelinding kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Hindia Belanda. Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus (Batak, Melayu dan Belanda). Menurut Chijs disini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Mandailing/Angkola.
Pro-kontra tentang pendidikan pribumi di Hindia Belanda telah mencapai
puncaknya. Untuk pengembangan pendidikan pribumi, orang Belanda banyak yang
setuju tetapi juga banyak yang tidak setuju karena alasan yang berbeda-beda. Dikotomi pendidikan di Hindia Belanda umumnya
dialamatkan pada pengembangan pendidikan ETI (Eropa/Belanda) di satu pihak dan
pendidikan pribumi di pihak lain (Inlamdsch). Pendidikan orang-orang Cina dan
timur asing lainnya awalnya
di biarkan tumbuh berkembangan sendiri.
Pandangan orang Belanda terhadap pendidikan pribumi di Jawa semakin mendapat tempat setelah adanya laporan Chijs tentang kemajuan pendidikan di Mandailing dan Angkola. Kebijakan pemerintah selama ini telah mendapat perhatian dewan. Argumennya dimulai dari alokasi anggaran yang ada selama ini.
Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah
populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa. Anggaran yang dialokasikan untuk
itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan
sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu
stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan
26 orang yang tidak setuju’.
Setelah adanya perubahan dan kemenangan di parlemen (dewan) oleh yang pro, diantara yang pro ada yang mengungkapkan kekecewaannya selama ini sebagaimana dilaporkan oleh Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Pada tahun 1865 pembagian wilayah di Jawa yang terdiri dari ibukota
kabupaten (afdeeling) adalah sebagai berikut: West
Java=5 (Batavia, Bantam, Krawang, Tjeribon dan Preanger); Midden Java=11
(Samarang, Tegal, Pakalongan, Djepara, Rembang, Banjoemas, Bagelen, Kedoe,
Djokja, Soerakarta dan Madioen); Oost Java=7 (Soerabaja, Madoera, Kediri,
Pasoeroean, Probolinggo, Besokie dan Banjoewangi). Di Residentie Tapanoeli yang mana ibukota sudah
terbentuk di enam kabupaten (Natal, Mandailing dan Natal, Sibolga, Baroes,
Singkel dan Nias).
Langkah pertama yang akan dilakukan di Jawa adalah untuk melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten, dimana tidak ada sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15 ibukota afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka baru delapan ibukota yang memiliki sekolah. Sementara itu dt afdeeling Angkola Mandailing (residentie Tapanoeli), sebelum tahun 1862 sudah ada enam sekolah. Pada tahun 1870 saat mana ibukota afdeeling Angkola Mandailing dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan. Di ibukota baru di Padang Sidempoean sudah terdapat dua sekolah negeri (di kampong Batoenadoea dan di kampong Hoetaimbaroe). Di 10 sekolah di residentie Tapanoeli (tujuh berada di afdeeling Angkola Mandailing)
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pembuka Jalan Studi di Perguruan Tinggi: Perguruan Tinggi Hanya di Belanda
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar