*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa
Melayu Papua atau dalam keseharian masyarakat sering disebut dengan Bahasa
Papua adalah bahasa yang dituturkan di Papua, Indonesia. Jumlah penuturnya kini
mencapai sekitar 5.000.000 dan cenderung meningkat. Bahasa Melayu Papua
dianggap mirip dengan bahasa Melayu Ambon dan bahasa Melayu Malaysia.
Adai 270 bahasa di Papua bagian barat (provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya). Rumpun bahasa Papua Barat adalah sebagian dari kelompok bahasa Papua. Satu rumpun dugaan yang terdiri dari 23 bahasa di Semenanjung Doberai (Vogelkop) di bagian barat pulau Papua dan di bagian utara pulau Halmahera. Keseluruhan penuturnya berjumlah sekitar 220 000 orang. Bahasa Papua Barat yang paling terkenal adalah bahasa Ternate dengan sekitar 50 000 penutur. Bahasa ini merupakan lingua franca di kawasannya. Bahasa Papua Barat terdiri atas 2 kelompok utama: Halmahera Utara (16 bahasa), Yapen (2 bahasa). Karena berbagai bahasa yang notabene mayoritas belum pernah memiliki budaya tulisan tersebut dituliskan namanya menggunakan huruf Latin, maka ada berbagai variasi nama. Banyak bahasa juga dikenal dengan lebih dari satu nama, ejaan/cara penulisan maupun pemenggalan kata. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah ragam bahasa dan penggunaan bahasa Melayu di Papua? Seperti disebut di atas lingua franca di wilayah Papua tempo doeloe adalah bahasa Melayu (Ternate). Ragam bahasa Melayu masa ini dan penggunaan bahasa Indonesia. Lalu bagaimana sejarah ragam bahasa dan penggunaan bahasa Melayu di Papua? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Ragam Bahasa dan Penggunaan Bahasa Melayu di Papua; Ragam Bahasa Melayu Penggunaan Bahasa Indonesia
Pada tahun 1885 mulai muncul diskusi-diskusi intensif tentang penamaan (nomenklatur) termasuk nama Papoea (lihat Algemeen Handelsblad, 10-05-1885). Memang nama Papoea sudah sejak lama terinformasikan namun belum pernah didefinisikan. Demikian juga tentang nama Batak, Dayak. Alifoeren dan sebagainya. Mengapa penamaan ini penting? Tentu saja kegunaannya sangat luas: untuk keperluan akademik dan juga kebutuhan pemerintahan.
Robidé van der Aa, secara tradisional, penduduk kepulauan Papua disebut
dengan nama Papua. Arti dan asal usul kata ini masih belum diketahui atau belum
pasti. Neubronner van der Tuuk mengemukakan bahwa Orang Malajoe aslinya berarti:
pelarian (weglooper, af vallige), sebuah nama yang diberikan kepada penduduk
Kepulauan Hindia yang paling awal memeluk agama Islam, diberikan oleh sanak
saudaranya yang tetap setia pada keyakinan lama. Pada mulanya hanya sebatas
Semenanjung Malaya dan Sumatera Tengah, lambat laun nama tersebut meluas hingga
mencakup wilayah tetangga Kepulauan Hindia, yaitu orang Papua. Suku-suku di kepulauan
Hindia yang biasanya berkulit terang dan berambut lurus sementara Papua warna
kulitnya yang gelap dan rambutnya yang keriting. Rambut ini tumbuh begitu
panjang dan lebat sama dengan penduduk pantai Guinea di Afrika, yang menjadi alasan
para pelaut Eropa menyebut negeri-negeri itu Nieuw Guinea. Hacke1 mendasarkan
pembagiannya pada kesamaan bahasa dan juga pada pertumbuhan rambut. Dr. AB Meijer di Nieuw
Guinea, katanya, ditemukan orang-orang berkulit coklat muda, bahkan
kadang-kadang kekuningan, terutama di kalangan perempuan, yang sebagian besar
tinggal di rumah; orang Papua juga tidak sehitam orang kulit hitam di Afrika,
melainkan berkulit hitam kecoklatan atau hitam kusam, yang berubah warna
menjadi coklat, hanya sedikit lebih gelap dari pada Melayu di Maluku; perbedaan
warna kulit yang tidak dapat disangkal tidak dapat dianggap sebagai bukti bahwa
orang Papua dan Melayu adalah dua ras yang berbeda; mereka berasal dari ras
yang sama, telah ada selama berabad-abad. satu sama lain. Profesor Kern. hubungan genealogis antara
bahasa orang Papua dan bahasa Malaio-Polinesia tidak dapat dipungkiri. kita hanya
kekurangan pengetahuan lebih detail tentang bahasa-bahasa Papua di pedalaman Nieuw
Guinea. Penelitian lebih lanjut akan mengungkap hubungan linguistik antara
orang Papua, Melayu dan Polinesia. Beberapa kekhasan bahasa Papua bahkan
menimbulkan kecurigaan bahwa bahasa Papua paling mendekati bentuk tertua dari
rumpun bahasa yang luas ini. Jika penduduk pulau-pulau antara Asia, Australia
dan Amerika dapat dianggap sebagai satu ras, yang dapat disebut Insular atau
Oceanic, maka mereka dapat dibagi menjadi beberapa divisi utama: 1. Orang Papua,
2. Orang Melanesia, 3. Orang Melayu di Kepulauan Hindia (termasuk penduduk asli
Formosa dan Madagaskar), 4. Orang Mikronesia di wilayah pulau-pulau kecil di
sebelah utara Melanesia, dan 5. Orang Polinesia atau paling timur. Robide van
der Aa menambahkan bahwa dalam bahasa dan agama suku-suku terjauh dari
Kepulauan Hndia, ditemukan sisa-sisa bahasa Sansekerta dan peradaban Hindu yang
khas, tetapi tidak dalam bahasa Madagaskar, atau bahasa Mikronesia dan Polinesia.
Dari rangkaian diskusi-diskusi ilmiah dari waktu ke waktu ada beberapa poin yang penting dalam hal ini yakni pertama, adanya dugaan hubungan genealogis antara bahasa orang Papua dan bahasa Malaio-Polinesia, penelitian detail tentang bahasa-bahasa Papua di pedalaman Nieuw Guinea akan mengungkap hubungan linguistik antara orang Papua, Melayu dan Polinesia. Kedua, bahasa Papua diduga bahasa paling mendekati bentuk tertua dari rumpun bahasa yang luas. Ketiga, dalam bahasa dan agama suku-suku terjauh dari Kepulauan Hndia, ditemukan sisa-sisa bahasa Sansekerta dan peradaban Hindu yang khas, tetapi tidak dalam bahasa Madagaskar, atau bahasa Mikronesia dan Polinesia.
Dalam artikel-artikel sebelum ini ditemukan adanya kosa kata yang mirip
antara satu bahasa dengan bahasa lainnya dalam bahasa-bahasa Austronesia (pra
bahasa Melayu), yakni sejumlah kosa kata elementer (yang hanya digunakan dalam
komunitas dan keluarga) seperti ayah (ama), ibu (ina), kepala (oeloe), gigi (ipon)
ditemukan Sumatra, Madagaskar, Kalimantan, Filipina dan hingga Formosa
(Taiwan). Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku (Gilolo/Halmahera, Seram, Aroe). Lantas
apakah kosa kata elementer Austronesia ini ditemukan dalam bahasa-bahasa di Papua?
Kosa kata ina ditemukan antara lain dalam bahasa Baham (di Semenanjung Onin).
Salah satu bahasa Austronesia yang dapat dikatakan masih terjaga keasliannya adalah bahasa Batak di Sumatra. Kosa kata ama (ayah), ina (ibu), oeloe (kepala) dan ipon (gugi) hinga kini masih eksis dalam bahasa Batak. Sementara itu bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa Austronesia yang masih asli tetapi sudah banyak menyerap dan mengadopsi kosa kata asing (luar Kepulauan Hindia). Meski masih perlu diselidiki lebih lanjut, bahasa Melayu diduga kuat terbentuk dari dua bahasa utama Austronesia yakni bahasa Batak dan bahasa Jawa. Dalam hubungannya dengan bahasa Papua diduga bahasa paling mendekati bentuk tertua dari rumpun bahasa yang luas mungkin ada bainya dan perlu diperhatikan koneksi bahasa Batak dan bahasa Melayu.
Bagaimana bahasa Melayu terbentuk? Bahasa Melayu terbentuk di bagian barat Kepulauan Hindia. Sehubungan dengan terbentuknya bahasa Melayu di wilayah pesisir, bahasa-bahasa Austronesia semakin terdesak ke pedalaman (seperti di Sumatra dan Jawa). Hal itulah mengapa bahasa Batak dan bahasa Jawa masih terbilang terjaga keasliannya. Dengan memilih sejumlah kosa kata elementer dalam daftar kosa kata Swadesh dapat dipertelakan antara bahasa Batak dan bahasa Melayu/Indonesia, antara lain seperti: Bukti terawal bahasa Batak terdapat dalam prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra pada abad ke-7. Dalam prasasti ini awalan yang digunakan adalah ma/mar yang kemudian bergeser menjadi ba (Minangkabau) dan kemudian me/ber (Melayu). Awalan ni (Batak) menjadi di (Melayu) dan akhiran na (Batak) menjadi nya (Melayu). Tanda-tanda bahasa ma/mar, ni dan na masih eksis hingga kini dalam bahasa Batak. Dalam prasasti juga ditemukan sebutan bilangan dua, tolu, sapulu, ratus, saribu dan sapuluh dua. Dalam hal ini sapulu dua adalah 12 (dua belas). Sistem bilangan bahasa Batak untuk belasan adalah bersifat biner (0-1). Belasan dalam bahasa Melayu (dan penggunaan huruf e) diduga berasal dari bahasa Jawa seperti sewelas, selikur, selaweh, seket, seratus dan seribu. Dalam daftar Swadesh ibu dan ayah dalam bahasa Batak adalah ina dan ama. Kosa kata elementer lainnya adalah darah (mudar), kepala (ulu), hidung (igung), lidah (dila), minum (inum), makan (mangan), gigit (gitgit) dan seterusnya. Seperti disebut di atas kosa kata elementer dalam bahasa Batak tersebut juga ditemukan dalam bahasa-bahasa di Filipina, Sulawesi dan Maluku.Catatan: kata dasar pangan dalam bahasa Batak jika kata benda menjadi panganon (makanan), untuk kerja menjadi mamangan menjadi mangan (juga diserap ke dalam bahasa Jawa) lalu menjadi makan (Melayu). Dalam hal ini ada awalan ma/mar (kata kerja) dan akhir on (kata benda) yang dalam bahasa Melayu menjadi akhiran an. Kata dasar basa dalam bahasa Batak di dalam kata kerja mambasa (membaca) dan kata benda basaon (bacaan). Jika kata pasif untuk ma/mar dalam basa adalah nibasa menjadi dibaca (Melayu). Dalam bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Batak dapat dikatakan yang memiliki tatabahasa yang sudah lengkap (yang dengan mudah beralih ke dalam tata bahasa Melayu). Setua apa bahasa Batak? Schruner (1925) mengidentifikasi aksara Batak mirip aksara Fenesia.(kini Syria/Suiah)
Lantas bagaimana menguji bahwa bahasa Papua diduga sebagai bahasa paling mendekati bentuk tertua dari rumpun bahasa yang luas? Untuk itu yang perlu diasumsikan adalah jika satu bahasa dan bahasa lainnya tidak terhuhubung (secara linguistic berbeda), maka bahasa tersebut harus diasosiasikan bahasa yang lebih murni atau bahasa bentuk tertua. Dalam hal ini jika kosa kata atau perihal linguistic lainnya semakin sedikit padanan bahasa Batak, bahasa Jawa dan bahasa Melayu pada bahasa-bahasa di wilayah Papua maka hubungan bahasa itu sangat kecil, tetapi apakah bahasa tersebut dikatakan bentuk tertua? Mungkin lebih tepatnya bahasa bentuk termurni, yang masih perlu penjelasan lain.
Penduduk dan bahasa terkait. Namun harus dilihat penduduk berkembang sendiri dan bahasa berkembang sendiri. Boleh jadi bahasa tetap eksis tetapi penduduk (manusianya) sudah jauh berbeda. Sebaliknya manusianya (penduduk) tetap sama tetapi bahasanya telah berubah. Bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah Papua? Besar dugaan pengaruh bahasa berasal dari bahasa-bahasa di wilayah barat (tidak sebaliknya, mengapa?). Dalam hal ini bahasa Batak, bahasa Jawa dan bahasa Melayu berada di wilayah barat. Faktor navigasi pelayaran perdagangan diduga sebab terjadinya interaksi bahasa-bahasa di Kepulauan Hindia dan wilayah Papua. Interaksi yang tidak linier tetapi interaksi yang saling silang diantara bahasa-bahasa dalam perdagangan. Sering diasosiasikan bahasa di Tidore adalah (pengaruh) bahasa Melayu, tetapi dalam kamus bahasa Tidore tidak sepenuhnya ditemukan dalam kamus bahasa Melayu. Kosa kata yang terkesang asing itu haruslah dipandang sebagai bahasa asli sebelum masuknya pengaruh bahasa Melayu. Bahasa asli ini masih perlu dipisahkan dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa.
Bahasa hanyalah salah satu penghubung (interaksi) antara satu kelompok populasi dengan kelompok populasi lainnya. Seperti dikutip di atas, pendapat ahli terdahulu bahwa dalam bahasa dan religi suku-suku terjauh dari Kepulauan Hndia, ditemukan sisa-sisa bahasa Sansekerta dan peradaban Hindu yang khas, tetapi tidak dalam bahasa Madagaskar, atau bahasa Mikronesia dan Polinesia. Dalam hal ini adanya interaksi terhadap suatu kelompok populasi dari kelompok populasi lain dapat terwujud, selain bahasa, yakni religi dan budaya setempat seperi kepercayaan tradisi, system pemerintahan dan pola bertempat tinggal.
Hukum waris masyarakat Timika, menganut pada sistem kekerabatan
patrilineal, dimana dalam sistem tersebut menarik garis keturunan dari sisi
ayah (lihat Hilarius Kunto Dewandaru dkk, 2020). Pola warisan ini juga
ditemukan dalam masyarakat Baham di Semenanjung Onin. Dalam masyarakat Baham
juga dikenal adat ‘satu tungku tiga batu’. Terminologi ini mirip dengan ‘dalihan
na tolu’ di Tanah Batak. Terminologi dalihan ini juga ditemukan di wilayah
Toraja. Konsep dalihan (tungku) ini juga ditemukan di Flores Timur yakni lika telo
(tiga tungku) dan Flores Barat (Manggara) yakni Tungku Cu. Dalam system pemerintahan
tradisi yang bersifat federasi ditemukan di berbagai tempat seperti Tanah
Batak, Minahasa, Seram, Saparua dan Aru serta di pantai barat Papua seperti di
Radja Ampat (federasi empat kerajaan). Sistem Federasi biasanya bersifat genealogis
yang berbeda dengan system monarki.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Ragam Bahasa Melayu Penggunaan Bahasa Indonesia: Lingua Franca di Pantai Barat Papua Tempo Doeloe dan Masa Kini
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar