Kamis, 01 Februari 2024

Sejarah Bahasa (273): Bahasa dan Sebutan Bilangan dalam Berbagai Bahasa; Navigasi Pelayaran Perdagangan di Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa memiliki aksara dan bilangan memiliki lambang. Elemen dasar suatu bahasa adalah kosa kata. Sebutan bilangan termasuk dalam daftar kosa kata suatu bahasa. Tentang bahasa-bahasa di nusantara terdapat kosa kata yang mirip satu sama lain dan selebihnya adalah perbedaan. Demikian juga sebutan bilangan antara satu bahasa dengan bahasa lainnya ada kemiripan dan perbedaannya. Tentu saja menjadi menarik untuk diperharikan bagaimana sebutan bilangan terbentuk?


Daftar angka dalam berbagai bahasa. Berikut ini adalah daftar angka dari digit 0 - 10 dalam berbagai bahasa: (1) Rumpun bahasa Arab (2) Rumpun bahasa Aramik (3) Rumpun bahasa Ibrani (4) Rumpun bahasa Semitik Timur (5) Rumpun bahasa Ethiopia (6) Rumpun bahasa Mesir (7) Rumpun bahasa Austroasiatik (8) Rumpun bahasa Austronesia: Aceh, Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa (Kawi), Jawa (Kuno), Kelantan-Pattani, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Sasak, Sunda, Melayu Terengganu, Melayu Tetun, Lawangan, Cebuano, Malagasy, Sangir-Minahasa, Tagalog dan Waray-Waray; (9) Rumpun bahasa Papua Barat: Ternate dan Tidore. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa dan sebutan bilangan dalam berbagai bahasa? Seperti disebut di atas diantara bahasa-bahasa nusantara terdapat sebutan bilangan yang mirip dan sebutan bilangan yang berbeda. Navigasi pelayaran perdagangan di Nusantara. Lalu bagaimana sejarah bahasa dan sebutan bilangan dalam berbagai bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa dan Sebutan Bilangan dalam Berbagai Bahasa; Navigasi Pelayaran Perdagangan di Nusantara 

Dalam perbandingan bahasa-bahasa, tidaklah mudah memperbandingkan semua kosa kata dalam satu bahasa dengan bahasa lainnya. Salah satu yang paling mudah adalah sejumlah kosa kata elementer diperbandingkan antar bahasa. Dalam hal ini dikhususkan hanya memperbandingkan kosa kata elementer untuk sejumlah sebutan bilangan. Dengan mengacu pada sebutan bilangan bahasa Melayu, dapat dijadikan sebagai permulaan untuk sebutan bilangan dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa. Kedua bahasa ini sebutan bilangan mirip satu sama lain.


Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu),  4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu (pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada (sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), 100=saratus (serratus), 1000=saribu (seribu)..  

Sebutan bilangan Batak mewakili pulau Sumatra, sebutan bilangan Jawa mewakili pulau Jawa. Untuk pulau Sulawesi adalah bahasa Bolaang Mongondow: 1=tougo atau tobatu; 2=dohowa, dojowa, dorowa, déowa atau duwa; 3=tolu, 4=opat, 5=lima, 6=onom, 7=pitu, 8=walu, 9=sijou, 10=mopulu, 11=mopulu bo minta, 12=mopulu bo dohowa. Sepintas antara bahasa Batak dengan bahasa Bolaang Mongondow lebih mirip jika dibandingkan dengan bahasa Jawa.


Salah satu bahasa di bagian tengah pulau Sulawesi adalah bahasa Toradja: 1=misa, issaq, 2=dadua (dua), 3=tallu, 4=apa (aqpaq), 5=lima, 6=annan, 7=pitu, 8=karua, 9=kasera, 10=sangpulo; 11=sangpulo misam 12=sangpulo dua. Untuk sebutan bilangan belasan, bahasa Bolaang/Minahasa dan Toradja lebih mirip bahasa Batak jika dibandingkan bahasa Jawa.

Bagaimana dengan bahasa Manggara? 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Bahasa Ende: 1=esa, seesa, 2= rua, esa rua, 3=terhu, esa terhu, 4=wutu, esa wutu, 5=rhima, esa rhima. Sebutan angka lima mungkin ada kaitannya dengan zima yang mana bahasa Ende zima artinya tangan yang memiliki jari, 6=rhima esa; 7=rhima rua, 8 =rua mbutu, 9=tera esa, 10=semburhu, 11=semburhu se esa; 12=semburhu esa ruam dst. 16=semburhu esa rhima esa.


Struktur sebutan belasan dalam bahasa Ende mirip dengan bahasa Toradja. Minahasa dan Batak. Namun untuk bilangan 6 dalam bahasa Ende sangat khas yakni rhima esa. Sebutan bilangan 6 seakan ingin menyatakan penambahan (5+1); sementara untuk angka 8 sebagai pengurangan: 10-2 (rua mbutu). Struktur sebutan bilangan 8 mirip dalam bahasa Melayu kuno dua lapan (2-8). Apakah angka 6, 7, 8, 9 merujuk pada lambang bilangan bahasa Romawi? Padanan angka 8 (dua lapan) adalah salapan (sa-lapan) dalam bahasa Sunda. Dalam perkembangannya diketahui sebutan bilangan salapan dalam bahasa Melayu menjadi sambilan (sa-ambilan?). Catatan: 1=sada dalam bahasa Batak, sa dalam bahasa Melayu kuno dan Manggarai dan esa dalam bahasa Ende plus bahasa Lampung sai; bandingkan dengan sidji (Djawa), hidji (Soenda), ciek (Minangkabau), sikok (Djambi/Palembang) dan sedidi (Bugis). Padanan angka 8 (dua lapan) dan salapan (sa-lapan) dalam bahasa Sunda mirip dengan bahasa Cham, sementara dua lapan menjadi delapan dalam bahasa Melayu dan muncul sebutan sembilan dalam bahasa Melayu/Minangkabau.

Secara umum bahasa-bahasa di nusantara paling tidak dalam struktur sebutan bilangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk: bahasa Batak terutama sapulu sada; bahasa Jawa terutama sebelas dan bahasa Ende yang mirip Romawi (penambahan/pengurangan). Dalam hal ini lambang dasar bilangan Romawi terdiri dari I = 1, V = 5, X = 10, L = 50, C = 100, D = 500, M = 1000, sementara untuk bilangan lainnya merupakan kombinasinya.


Lambang bilangan/angka Romawi sejatinya berbentuk huruf/aksaranya sendiri (I, V, X. L, C, D dan M). Sangat simple. Dasarnya hanya dengan mengetahui aksara Romawi akan mengetahui lambang angka Romawi.  Berbeda dengan lambang/angka Jawa yang cukup rumit. Bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Bukan lambang huruf tetapi ditentukan dengan bentuk yang berbeda dari aksaranya. Bentuk bilangan Batak adalah bentuk geometris (garis dan bidang; titik dan ruang implisit). Tampaknya dari lambang bilangan dari berbagai aksara yang ada hanya lambang bilangan bahasa Batak yang berbentuk geometris. Mengapa? Yang dimaksud geomotrik dalam hal ini titik. garis, bidang dan ruang, yang mana kumpulan titik adalah garis (dimensis atu); hubungan garis adalah bidang (dimensi dua); hubungan bidang adalah ruang (dimensi tiga). Pada masa ini operasi bilangan adalah system aritmatika dan operasi geometric adalah system kalkulus. Dalam nomor/angka bilangan Batak, angka 1, 2, 3 adalah garis (mirip angka 1, 2 3 Romawi). Bagaimana dengan angka 4? Yang jelas berbeda dengan angka Romawi. Angka 4 Batak eksplisit adalah bentuk bidang segitiga (kumpulan tiga garis) tetapi dihitung secara ruang. Artinya segi tiga adalah bidang paling sedikit sisinya (hanya tiga). Jika dibuat menjadi ruang, jumlah bidangnya menjadi empat. Oleh karena itu ditulis bidang segitiga tetapi dihitung ruang segitiga (diamond). Bagaimana dengan angka 5? Empat garis yang dicoret sehingga jumlahnya lima garis. Angka 6 dilambangkan dengan bentuk empat persegi (kubus). Seperti segitiga untuk angka 4, bidang kubus dalam hal ini dihitung ada enam bidang pada ruang.  Sementara angka 7 dilambangkan dengan cara meminjam dari sebagian lambang angka 5 (dua garis; haris lurus dan garis diagonal). Bagaimana dengan angka 8? Dua gabungan segitiga yang jumlah bidangnya adalah 2 kali empat bidang sebanyak 8 (delapan) bidang. Sedangkan angka 9 adalah angka 7 yang ditambahi garis pendek (yang tampak sebagian dari bentuk angka 8). Bagaimana dengan angka 10? Yang jelas dalam aksara Batak tidak ada angka nol (kosong).  Lambang angka 10 dibuat dalam bentuk satu garis yang menyatakan satu dan di depannya lambang bilangan puluh (berbentuk ketupat/jajaran genjang) sehingga dibaca sada pulu yang disingkat menjadi sapulu. Bagaimana dengan angka 11? Yang jelas tidak ada kosa kata belas dalam bahasa Batak. Dalam bahasa Batak angka 11 dibaca sapuluh sada, 12-sapulu dua, dst. 20 (dua puluh), 21-duapuluh sada. Penulisan dan pembacaan (lisan) bersifat biner (1-0; sada ketupat/jajaran genjang). Last but not least. Bagaimana dengan 100? Dua ketupat/jajaran genjang dibaca ratus (misalnya saratus, dua ratus); tiga ketupat dibaca ribu (misalnya saribu, dua ribu). Demikian seterusnya bersifat biner.

Dengan mengacu pada tiga bentuk struktur sebutan bilangan yang disebut di atas, dapat diperbandingkan lebih lanjut dengan bahasa-bahasa lainnya terutama ke wilayah timur (Maluku dan Papua) dan ke wilayah utara (Filipina dan Formosa). Secara khusus sebutan bilangan yang diperbandingkan adalah sebutan bilangan Jawa dan sebutan bilangan Batak. Dalam hal ini ingin menjawab seberapa luas (seberapa jauh) sebutan bilangan Batak dan bilangan Jawa memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lainnya.


Bagaimana dua bahasa utama Austronesia (Batak dan Jawa) pada dasarnya berbeda dapat diperhatikan dalam struktur sebutan bilangan. Ada beberapa bilangan satuan berbeda sebutannya antara bahasa Batak dan bahasa Jawa seperti 1=sada vs siji dan 2=dua vs loro, tetapi sama untuk 3=tolu vs telu. Untuk sebutan bilangan belasan berbeda antara bahasa Batak dan bahasa Jawa. Bahasa Batak bersifat biner seperti 11=sada pulu (sapulu) sada, 12=sada pulu (sapulu) dua yang dapat disederhanan menjadi 10+1 dan 10+2, sementara bahasa Jawa dengan sebutan berbeda: 11=sebelas, 12=dua belas yang dapat disederhanakan: 1+10 dan 2+10. Mengapa pola sebutan belasan kedua bahasa berbeda? Lambang bilangan Batak mirip lambang bilangan Sumeria dan Maya, tetapi lambang bilangan Jawa lebih mirip pada aksara-aksara di India. Dalam hal ini lambang dan sebutan bilangan seakan terisolasi diantara bahasa-bahasa India/Jawa. Sementara pola lambang bilangan belasa Batak yang mirip Sumeria dan Maya (bahasa yang sudah punah dan tidak diketahui cara penyebutannya), tetapi sebutan bilangan belasan Batak mirip dengan bahasa Armenia (di sebelah timur lau Sumeria), bahasa Kazak, bahasa Uzbek, bahasa Mongolm bahasa Cina dan bahasa Jepang (yang bersifat biner). Sedangkan sebutan bilangan belasan bahasa Arab berbeda untuk belasan (yang dibaca dari kanan ke kiri) seperti 1+10 dan 2+10. Pola sebutan bilangan Arab ini mimiliki pola yang sama dengan bahasa-bahasa di Eropa mulai dari Rusia ke arah barat hingga Inggris dan juga memiliki pola sebutan yang sama dengan bahasa-bahasa ke arah tenggara seperti bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa di India dan seterusnya hingga ke Jawa.   

Tunggu deskripsi lengkapnya

Navigasi Pelayaran Perdagangan di Nusantara: Bilangan dan Hitungan Menjadi Penting

Seperti disebut di atas, sebutan bilangan 6 dalam bahasa Ende sangat khas, sebutan seakan ingin menyatakan penambahan (seperti 5+1) dan pengurangan: 10-2 (seperti rua mbutu). Sebutan ini mirip dengan cara melihat lambang bilangan Romawi. Besar dugaan hal itu terjadi karena misionaris Portugis mendirikan stasion di pulau Ende pasca VOC/Belanda menduduki Malaka tahun 1641.

Di wilayah barat Ende di Manggara sebutan bilangan adalah sebagai berikut: 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Sementara di wilayah timur Ende di Lamaholot sebutan bilangan sebafai berikut: tou = 1, rua = 2, telo = 3, pat = 4, lema = 5, nemu = 6, pito = 7, buto = 8, hiwa = 9, pulo = 10, pulok tou = 11, pulok rua = 12. Oleh karena itu sebutan bilangan di Ende bersifat unik, sebutan mengacu pada lambang bilangan Romawi. Sedangkan sebutan bilangan Manggarai dan Lamaholot murip dengan sebutan bilangan Batak. Lambang bilangan Romawi berbasis huruf dalam aksara Romawi, sedangkan lambang bilangan Batak bersifat geometris (baris, bidang dan ruang) dan pengulangan bilangan bersifat biner (1-0).

Di pulau Kei di wilayah selatan sebutan bilangan dalam bahasa Kei adalah sebagai berikut: 1=ain(mehe)/(ain)sa; 2=(ain)ru; 3=(ain)tel; 4=(ain)faak; 5=(ain)lim; 6=(ain)nean; 7=(ain)fit; 8=(ain)wau; 9=(ain)siuw; 10=(ain)vut. Untuk pengylangan bilangan dalam belasan sebagai berikut: 11=vut ainsa; 12=vut ainru; 13=vut aintel. Di wilayah utara seperti di Sangihe sebutan bilangan sebagai berikut: 1= kesa; 2=darua; 3=tatelu; 4=epa'; 5=lima; 6=enung; 7= pitu; 8=ualu; 9=sio; 10=mapulo. Untuk sebutan bilangan belasan11=mapulo esa; 12=mapulo dua.


Ini mengindikasikan sebutan bilangan Kei (timur/selatan) dan Sangihe (timur/utara) mirip dengan sebutan bilangan di Batak (barat/utara). Jika sebutan bilangan Batak sebagai acuan, terkesan sebutan bilangan Kei terjadi pemenggalan huruf, sementara sebutan bilangan Sangihe sebaliknya menggandakan huruf.

Wilayah bahasa diantara kedua tersebut di wilayah tengah di Makian sebutan bilangan sebagai berikut: 1=pso; 2=plu, 3=ti, 4=ph t; 5=plim; 6=pwo nam, 7=Phit, 8=powal; 9=psi wo; 10=yoha so; 11=yoha so lop ps; 12=yoha so lop plu. Sementara di wilayah Ternate sebagai berikut: 1=Rimoi; 2=Romdidi: 3=Ra'ange: 4=Raha: 5=Romtoha: 6=Rara: 7=Tomdi: 8=Tufkange: 9=Sio: 10=Nyagimoi: 11=Nyagimoi se Rimoi; 12= Nyagimoi se Romdidi; 13=Nyagimoi se Ra'ange.


Sebutan bilangan di Makian dabn Ternate (Maluku) terkesan memiliki asal usul bahasa sendiri dan memiliki pola yang tercanpur. Apakah karena kota Makian dan kota Ternate di masa lampau sebagai kota-kota perdagangan utama? Untuk menjelaskan ini kita perlu menambahkan bahasa-bahasa di sekitarnya tetapi letaknya dari dua kota ini lebih ke kepedalaman di pulau Halmahera dan pulau Seram.

Di kepulauan Filipina juga banyak ragam bahasa. Di wilayah selatan adalah bahasa Cebuano: 1=usa, 2=duha, 3=tulo, 4=upat, 5=lima, 6=unom, 7=pito, 8=walo, 9=siyam dan 10=napulo pulo, 11=napulo usa, 12=napulo duha. Di wilayah tengah adalah bahasa Tagalog: 1=isa, 2=dalawa, 3=tatlo, 4=apat, 5=lima, 6=anim, 7=pito, 8=walo, 9=siyam, 10=sampu, 11=labing-isa, 12=labindalawa, 13=labintatlo. Di wilayah utara adalah bahasa Ilocano: 1=maysa, 2=dua. 3=tinggi, 4=uppat, 5=lima, 6-masuk, 7=pito, 8=walo, 9=Siam, 10=sangapulo menarik, 11=sangapulo ket maysa, 12=         sangapulo ket dua.


Sebutan bilangan di bahasa-bahasa di Filipina seperti Cebuani, Tangalog dan Ilocano lebih mirip sebutan bilangan bahasa Batak daripada bahasa Melayu. Jika sebelumnya sebutan bilangan yang semakin jauh ke selatan/timur seperti Kei dan Makian, tampaknya sebutan bilangan di pulau-pulau utara di Filipina terkesan kembali semakin dekat semakin mirip dengan sebutan bilangan Batak. Boleh jadi jaraknya lebih dekat secara geografis.

Bagaimana dengan pulau-pulau yang lebih jauh di utara seperti pulasu Formosa (Taiwan) dan pulau Ryuku (Jepang)? Meski Formosa terbilang satu pulau tetapi memiliki ragam bahasa. Sebutan bilangan bahasa Amis: 1=cecai, 2=tosa, 3=tolo, 4=spat, 5=lima, 6=enem, 7=pito, 8=falo, 9=siwa, 10=mo^tep; bahasa Sakizaya sebagai berikut: 1=cacai, 2=tosa, 3=tolo, 4=sepat, 5=lima, 6=enem, 7=pito, 8=walo, 9=siwa, 10=cacay a bataan; bahasa Seediq: 1=kingal, 2=daha, 3=teru, 4=sepac, 5=rima, 6=mmteru, 7=mpitu, 8=mmsepac, 9=mngari, `10=maxal. Khusus untuk angka 6 adalah anem (bahasa Basay), nem (bahasa Trobiawan), nem (bahasa Linaw) dan angka 4 adalah sepat untuk Basay, Trobiawan dan Linaw.


Di sebelah timur laut pulau Formosa adalah kepulauan Ryukyu yang masuk wilayah Jepang. Rumpun bahasa Ryukyu antara lain Amami Oshima, Shuri (Okinawa), Hatoma (Yaeyama), Miyako dan Yonaguni. Sebutan bilangan bahasa awal Ryukyu adalah sebagai berikut: 1=pito, 2=puta, 3=mi, 4=yo, 5=e tu, 6=mu, 7=nana, 8=ya, 9=kokono, 10=dua.

Sebutan bilangan semakin jauh ke utara (Taiwan dan Okinawa) semakin jauh pergeserannya dengan sebutan bilangan bahasa Batak. Bahkan di kepulauan Ryukyu berbeda sama sekali. Hal serupa ini juga ditunjukkan semakin jauh ke timur (Kei dan Papua) semakin jauh pulau pergeseran sebutan bilangan dengan bahasa Batak. Bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah Pasifik (sebelah timur Papua)? Pertanyaan yang sama juga untuk pulau Malagasi (Afrika).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar