Sabtu, 19 Februari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (426): Pahlawan Indonesia – Teng Sioe Hie dan Chung Hwa Hui di Belanda; Gedung Setan di Surabaya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Teng Sioe Hie cukup dikenal di Soerabaja, bahkan sejak doeloe. Teng Sioe Hie adalah seorang dokter lulusan Belanda, yang pernah memiliki bangunan eks VOC di Soerabaja. Gedung milik Dr Teng Sioe Hie itu, entah mengapa dan sejak kapan, adakalanya disebut gedung setan. Ada-ada saja. Tentu saja Dr Teng Sioe Hie tidak suka gedung miliknya disebut gedung setan, apalagi setiap penyebutan nama gedung itu dikaitkan dengan namanya.

Gedung Setan adalah gedung bekas Kantor Gubernur VOC di daerah Jawa Timur yang telah berdiri sejak tahun 1809. Kemudian, setelah VOC meninggalkan Indonesia Gedung Setan dimiliki oleh Dokter Teng Sioe Hie atau Teng Khoen Gwan. Gedung ini pernah dijadikan tempat pengungsian orang-orang Tionghoa pada tahun 1948. Gedung setan berdiri pada lahan seluas 400 meter persegi, terdiri atas 40 ruang yang dijadikan sebagai kamar dan juga gedung ini memiliki tembok dengan ketebalan hampir 50 cm dengan usia mencapai dua abad. Gedung Setan termasuk dalam kategori bangunan cagar budaya, namun tidak dapat direvitalisasi Pemerintah Kota Surabaya karena pernah menjadi milik pribadi. Sejarah perolehan nama gedung tersebut menjadi Gedung Setan berawal dari area di sekitar gedung bekas Kantor Gubernur VOC tersebut yang dijadikan tempat pemakaman Tionghoa dan gedungnya dipakai untuk tempat sembahyang bagi keluarga orang-orang yang dimakamkan di area tersebut. Karena area pemakaman Tionghoa yang ada disana cukup luas, dan gedung itu adalah satu-satunya gedung yang ada di daerah tersebut, sehingga masyarakat beranggapan bahwa gedung tersebut adalah gedungnya setan. Pada tahun 1948, Gedung Setan dijadikan tempat pengungsian bagi orang-orang Tionghoa yang berada di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah karena keadaan mereka yang dirasa belum aman. Setelah merasa kondisi cukup aman, orang-orang Tionghoa tadi pergi kembali ke daerahnya, tapi juga ada yang memilih untuk menetap di Gedung Setan. Sehingga, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Gedung Setan saat ini adalah generasi keempat dari pengungsi Tionghoa tahun 1948.

Lantas bagaimana sejarah Teng Siioe Hie? Seperti disebut di atas, Teng Sioe Hie adalah anak Soerabaja, seorang dokter lulusan Belanda. Bekas gedung miliknya di Soerabaja pernah dijadikan sebagai tempat pengungsian pada era perang. Lalu bagaimana sejarah Teng Sioe Hie? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 18 Februari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (425): Pahlawan Indonesia – Caroline V Tan, Pionir Pejuang Emansipasi Wanita Tionghoa;Ida Lumongga

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

RA Kartini menikah 12 November 1903. Anak tunggalnya Soesalit Djojoadhiningrat lahir 13 September 1904. Sebelumnya, pada bulan April 1903 Alimatoe’saadiah menikah dengan Dr Haroen Al Rasjid di Padang. Anak pertama mereka tanggal 22 Maret 1905 lahir diberi nama Ida Loemongga. RA Kartini dan Alimatoe’saadiah sama-sama disekolahkan orang tua mereka di sekolah dasar Eropa (ELS). Alimatoe’saadiah melanjutkan studi ke sekolah guru sebelum menikah (ayahnya Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah seorang guru alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean). Dalam konteks inilah Tan Thwan Soen rela meninggalkan keluarga dan bisnis di Indonesia (baca: Hindia Belanda) demi mewujudkan cita-cita dua putrinya yang masih kanak-kanak untuk melanjutkan studi di Belanda yakni CV Tan Thwan Soen dan LG Tan Thwan Soen pada tahun 1905. Caroline V Tan Thwan Soen kemdian menjadi pionir perjuangan perempuan Tionghoa.

Untuk memuluskan jalan agar dua putrinya mendapat kesetaraan, Tan Thwan Soen mengajukan diri untuk dinaturalisasi menjadi warga negara (kerajaan) Belanda. Permohonan naturalisasi itu dikabulkan. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah dua putri Tan Thwan Soen melanjutkan studi ke universitas. Dalam konteks inilah dua putri Tan Thwan Soen bergabung dengan organisasi mahasiwa Cina di Belanda Chung Hwa Hui, Pada saat kepengurusan Li Tjwan Ing di Chung Hwa Hui tahun 1914, CV Tan Thwan Soen menjadi bendahara. Sebelumnya Ong Kie Hong di Ambon mengirim empat putrinya sekaligus untuk melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1912. Putri-putri Tan Thwan Soen dan Ong Kie Hong perempuan pertama studi di Belanda berasal dari Hindia. Baru kemudian pada tahun 1922 menyusul putri Alimatoe’saadiah br Harahap yang disebut di atas Ida Loemongga berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi (perempuan pribumi pertama studi ke Belanda).     

Lantas bagaimana sejarah Caroline V Tan? Seperti disebut di atas, Caroline V Tan yang secara sadar dan terbuka menjadi yang pertama perempuan Cina asal Indonesia yang menyuarakan emansipasi diantara warga Tionghoa. Lalu bagaimana sejarah Caroline V Tan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (424): Pahlawan Indonesia – Li Tjwan Ing Ketua Chung Hwa Hui di Belanda (1914-1915); Dr Sorip Tagor

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Setelah Yap Hong Tjoen, tokoh mahasiswa Cina asal Indonesia (baca: Hindia Belanda), dapat dikatakan tokoh penting berikutnya adalah Li Tjwan Ing. Mereka termasuk dua diantara para pendiri organisasi mahasiswa Cina di Belanda, Chung Hwa Hui. Kebetulan keduanya menjadi ketua pada periode kepengurusan yang pertama dan yang kedua. Siapa Yap Hong Tjoen? Sudah dideskripsikan pada artikel sebelumnya.

It would have been 1927 when this photo was taken. My grandfather Li Tjwan Ing concluded his HBS Atheneum (university-bound secondary school) in Schiedam, and attended medical school at Leiden University, finishing up with a specialisation in syphilis-serology. Around 1914-15 he was on the board of the Chung Hwa Hui (student association for Peranakan Chinese). He did his studies in dermatology/venearology in Vienna and Berlin. Unfortunately, my grandmother Albertine ten Raa burnt all his documents, which showed that some of his professors were Jewish. Immediately after he finished his studies in 1921, Li Tjwan Ing and Albertine returned to Indonesia. He was apparently the first Chinese specialist in Batavia. Life was not easy for them: the mixed Chinese-Dutch couple was not acceptable in Batavia’s Dutch community. Tjwan Ing’s parents and family in Jombang, East Java, did not approve of his wife since she was not Chinese. The Dutch wife of his brother Li Tjwan Kiat, who also studied in the Netherlands, suffered from the same negative family sentiments. Moreover, Tjwan Ing had more work as a general practitioner than as a dermatologist, which dissatisfied him. Patients with little money got a free treatment. Despite all that, they were a happy family. Alas, fate dictated otherwise. In 1928, he suffered from blood poisoning (erysipelas). He was not properly treated for it, despite his protests, and he passed away. Three months later, grandmother Ten Raa hastily – alone and panicked - packed her bags and went to the Netherlands with her two children. She did not receive any support, including financially, from the Li family. The only one who did so was her brother-in-law Tjwan Kiat. Moral of the story: follow your heart, not just the conventions, and allow others to do so.  Photo caption: Li Tjwan Ing (1889) and his wife Albertine ten Raa (1892), on the left is Kitty (1924, mijn moeder) en Tineke (1922) in Batavia (lihat @ChineseIndonesianHeritageCenter).

Lantas bagaimana sejarah Li Tjwan Ing? Seperti disebut di atas, sebagaimana dikutip dari sebuah tulisan singkat di facebook, cucu Li Tjwan Ing menulisnya, Li Tjwan Ing menjadi pengurus Chung Hwa Hui di Belanda 1914/1915. Tulisan itu disertai foto keluarga Li Tjwan Ing 1927. Lalu bagaimana sejarah Li Tjwan Ing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 17 Februari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (423): Pahlawan Indonesia – Tan Goan Po, Ekonom Lulusan Rotterdam; Republiken dan Pendirian FEUI

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sebelum ada fakultas ekonomi di Indonesia (bahkan sejak era Hindia Belanda), sudah banyak orang Indonesia sebagai ekonomi bahkan bergelar doktor (Ph.D). Ekonom pertama Indonesia adalah Drs Samsi Sastrawidagda, Ph.D meraih gelar doktor ekonomi di Rotterdam pada tahun 1925. Tentu saja harus diingat Drs Mohamad Hatta (lulus sarjana di Rotterdam 1931). Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, Drs Tan Goan Po dan Dr Ong Eng Die adalah generasi terakhir di era Hindia Belanda. Para ekonom ini inilah yang turut membentuk Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia tahun 1950.

Prof Dr Tan Goan Po (4 Agustus 1913 - 14 Februari 1978) adalah Seorang Ekonom Indonesia, salah satu pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), juga dikenal sebagai Paul Mawira, ekonom terkemuka pada 1950-an. Selama perjuangan kebangsaan untuk Indonesia, Tan Goan-Po menulis artikel ekonomi di koran Semangat Baroe yang dia sebagai editor saat belajar di Belanda. Sebagai manajer umum Banking dan Trading Corporation di akhir 1940-an, Tan Goan-Po juga membantu dana membiayai delegasi Indonesia dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan pengakuan internasional di Dewan Keamanan PBB di Lake Success, New York. Tan mendirikan dan mengelola beberapa bisnis dan lembaga keuangan. Dia membantu berdirinya Akademi Perniagaan Parahyangan pada tahun 1955. Pada 1957-1961 Tan bergabung dengan PRRI/Permesta dan kemudian dikarantina di sebuah pusat penahanan politik. Tan lahir di Ulu, sebuah kota kecil penghasil pala dan cengkih di pulau vulkanik Siau, bagian dari Sangihe Kepulauan. Ayahnya Tan Pek Jong adalah pedagang pala dan cengkih yang belajar sendiri untuk membaca, dan ibunya, Jauw Keng-Nio, buta huruf. Tan Pek-Jong melihat Goan-Po sebagai anak yang luar biasa cerdas dan mengirim putranya pada usia 10 ke kota Manado untuk sekolah dasar. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Tondano dan SMA di Jakarta, Tan Goan Po melanjutkan studi ke Belanda. Istrinya Florentina Petronella Geise dikenal sebagai Tineke ikut dalam unjuk rasa kemerdekaan Indonesia di tempat kelahirannya Rotterdam. Tinneke merupakan adik dari Uskup Katholik Bogor, Mgr.Paternus Nicholas Joannes Cornelius Geise (Wikipedia).  

Lantas bagaimana sejarah Tan Goan Po? Seperti disebut di atas, Tan Goan Po asal Sangihe menjadi salah satu pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (kampus saya dimana saya mengajar). Lalu bagaimana sejarah Tan Goan Po? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.