Aboe Bakar Djaar, kisahnya kurang
diketahui karena tidak ada yang pernah menulisnya. Padahal Aboe Bakar Djaar
adalah Wali Kota Padang Pertama. Aboe Bakar Djaar menjadi wali kota di Kota
Padang segera setelah Indonesia Merdeka. Padahal orang pertama segera setelah
merdeka adalah orang Indonesia yang paling kapabel dan sesuai saat itu untuk
memimpin Kota Padang. Aboe Bakar Djaar adalah bagian dari sejumlah orang-orang
Indonesia terbaik yang memulai negara Indonesia, yakni negara Indonesia yang
sekarang.
Aboe
Bakar Djaar di Kota Padang ternyata tidak sendiri. Masih banyak nama-nama orang
Indonesia pertama di kota lainnya yang memulai negara tidak terinformasikan
dengan baik (lengkap dan akurat), seperti Mr. Loeat Siregar (wali kota Medan
pertama), Dr. Radjamin Nasoetion (wali kota Surabaya pertama), Mr. Abdoel Abbas
Siregar (residen Lampung pertama) dan lainnya.
Pendidikan
dan Awal Karir
Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1925 |
Aboe Bakar Djaar memulai pendidikan
tinggi pada sekolah hukum di Rechtschool di Batavia. Pada tahun 1925 sejumlah
mahasiswa ditempatkan di berbagai kota untuk magang sebagai panitera di kantor
pengadilan. Mereka itu antara lain, Aboe Bakar Djaar di Landraad Kota Padang
dan Soetan Mangasa Pintor di Landraad Kota Medan (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
15-05-1925). Penempatan ini juga menjadi proyeksi untuk bekerja di
kantor-kantor pengadilan tersebut setelah mereka lulus kuliah. Aboe Bakar Djaar
dinyatakan lulus di Rechtschool Batavia pada bulan November tahun 1926 (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-11-1926).
Program
sarjana penuh Rechtschool Batavia baru dimulai pada tahun 1924. Sedangkan
program sarjana muda Rechtschool Batavia sudah dimulai tahun 1909. Aboe Bakar
Djaar yang lulus tahun 1926 adalah sarjana muda hukum. Untuk mendapatkan sarjana
penuh (Mr) harus ke Belanda setelah beberapa tahun bekerja di Landraad.
Beberapa lulusan sarjana muda Rechtschool Batavia kemudian melanjutkan studi ke
Belanda. Salah satu yang terkenal adalah Radja Enda Boemi, yang tidak hanya
sampai tingkat sarjana penuh (Mr) tetapi juga melanjutkan pada tingkat doctoral.
Radja Enda Boemi meraih gelar doctor hukum (Ph.D) tahun 1925 di Universiteit
Leiden. Mr. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D adalah doktor hukum
Indonesia pertama. Mahasiswa-mahasiswa pertama yang mengikuti program studi
hukum yang baru di Batavia antara lain Soegondo dan Amir Sjarifoeddin. Di
sekolah hukum ini tahun 1927 didirikan organisasi mahasiswa seperti PPI di
Belanda. Organisasi di Batavia ini disebut PPPI yang mempelopori Kongres Pemuda
1928 dimana duduk sebagai Panitia Kongres: Soegondo (ketua) dan Amir
Sjarifoeddin (Bendahara).
De Telegraaf, 03-07-1933 |
Aboe Bakar Djaar setelah beberapa tahun melanjutkan
studi hukum ke Belanda (lihat De Maasbode, 06-11-1931). Pada tahun 1933 Aboe
Bakar Djaar dinyatakan yang memenuhi untuk mengikuti ujian sarjana hukum di
Universiteir Leiden (lihat De Telegraaf, 03-07-1933).
Di
kampus Aboe Bakar Djaar seorang Indonesia kelahiran Kota Padang baru saja
meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran bernama Ida Loemongga. Dr. Ida
Loemongga adalah orang Indonesia kelima yang meraih PhD dan orang pertama
Indonesia yang meraih Ph.D di bidang kedoktera dan perempuan pertama Indonesia
yang meraih gelar Ph.D. Ida Loemongga adalah anak Dr. Abdoel Radjid Nasoetion
(kelahiran Padang Sidempuan)..
Haagsche courant, 06-07-1938 |
Masdoelhak pakai topi, kiri TM Hasan (foto 1938). |
Setelah
lulus tingkat sarjana di Universiteit Leiden, Masdoelhak tidak pulang melainkan
melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral di Utrecht (Rijksuniversiteit). Pada
tahun 1943 Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943. Masdoelhak
berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in
de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak).
Ahli Hukum Menjadi Pemimpin Pasca Proklamasi
Kemerdekaan RI
Setelah
proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 struktur pemerintahan RI dibentuk.
Pada tanggal 22 Agustus ditunjuk Mr. M. Hasan sebagai gubernur Sumatra,
mewakili pemerintah pusat berkedudukan di Medan. Lalu kemudian Sumatra dibagi
tiga wilayah: Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Yang ditunjuk
untuk gubernur muda (residen) di Sumatra Utara adalah Mr. S.M. Amin Nasoetion (ahli
hukum). Untuk Sumatra Tengah yang beribukota di Bukittinggi ditunjuk Dr. Mr.
Masdoelhak Nasoetion sebagai residen West Sumatra. Untuk Residen di Lampong diangkat
Mr. Abdoel Abbas Siregar. Untuk Wali Kota Medan (pertama) ditunjuk Mr. Loeat
Siregar. Untuk Wali Kota Padang diangkat Mr. Aboe Bakar Djaar.
Mr. TM Hasan dan Mr. Abdoel Abbas Siregar
adalah dua dari tiga anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Mereka
anggota PPKI inilah yang melakukan perjalanan ke Sumatra untuk mengabarkan
bahwa Indonesia telah merdeka.
Namun
tidak lama kemudian sebagaimana diketahui Belanda datang kembali dengan membonceng
sekutu. Lalu kemudian sekutu mengalihkan penguasaan RI kepada Belanda yang
kemudian muncul perang kemerdekaan (agresi militer Belanda). Dalam situasi dan
kondisi perang terjadi restrukturisasi pemerintahan. Aboe Bakar Djaar dari Wali
Kota Padang dialihkan menjadi Residen Sumatera Barat. Sedangkan Masdoelhak
dipindahkan ke Jokjakarta (ibukota RI di pengungisan) sebagai penasehat hukum
Soekarno dan M. Hatta. Sedangkan Abdoel Abbas dipindahkan menjadi Residen
Sumatra Timur untuk menggantikan posisi Loeat Siregar..
Sementara dua ahli hukum yang disebut
sebelumnya Egon Hakim Nasoetion dan Gele Haroen Nasoetion tidak duduk dalam
pemerintahan tetapi tetap bekerja sebagai advocaat: Gele Haroen di Tandjong
Karang dan Egon Hakim di Kota Padang. Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda (1950) Gele Haroen diangkat menjadi Residen Lampong dan Egon Hakim
mendirikan Universitas Pantjasila di Kota Padang (universitas pertama di Kota
Padang).
Oleh
karena pemerintahan RI mulai lumpuh di Sumatera Tengah, Aboe Bakar Djaar
(sebagaimana Abdoel Abbas dari Lampong) pada akhir tahun 1946 dipindahkan ke
Medan. Ini semua petunjuk dari Menteri Pertahanan RI di Jokjakarta Mr, Amir Sjarifoeddin
agar perlawanan yang dilakukan terhadap Belanda di Sumatra Utara lebih efektif.
Aboe Bakar Djaar diangkat sebagai Residen Sumatra Timur (sebelum aggresi
militer Belanda pertama). Aboe Bakar Djaar memimpin wakil RI dalam perundingan
dengan pihak Belanda di Kota Medan (Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 21-01-1947).
Oleh karena republic terus terdesak dari Kota Medan, dan mulai mengungsi ke Pematang
Siantar dan kemudian ke Tapanoeli, Aboe Bakar Djaar digantikan Abdoel Abbas
Siregar sebagai residen Sumatra Timur. Sementara wakil residen Tapanoeli Abdoel
Hakim diangkat menjadi Residen Tapnoeli menggantikan FL Tobing.
Akhirnya
perjuangan RI berhasil dan Belanda harus mengakui kedaulatan RI. Dalam upacara
penyerahan kedaulatan RI tersebut dari pihak RI diwakili oleh Eny Karim dan
Basjrah Lubis di Kota Bukittinggi. Sementara di Kota Padang diwakili oleh Aboe
Bakar Djaar, sebagai ketua dan Egon Hakim, sebagai wakil ketua (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949).
Hal yang sama juga terjadi di Kota Medan.
Dari pihak RI diwakili oleh Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. GB Josua Batoebara.
Sementara di Tapanoeli dari pihak RI diwakili oleh Mohammad Nawi Harahap di
Sibolga.
Aboe Bakar Djaar Sebagai Residen Sumatera
Barat
Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-01-1950 |
Pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Aboe Bakar Djaar kembali mengambil peran
dalam pemerintahan di Sumatera Tengah sebagai wakil Residen. Sementara untuk
Wali Kota Padang, Dr. Rasjidin ditunjuk sebagai pejabat selama tidak adanya Wali
Kota, Dr. Abdoel Hakim (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-01-1950). Abdoel Hakim Nasoetion tengah menjalani operasi karena sakit. Namun dalam perkembangannya Aboe
Bakar Djaar menggantikan Mr. Nasroen sebagai Residen. Sedangkan untuk komandan
teritorial Sumatera Tengah, Letnan Kolonel Dahlan Djambek (Nieuwe courant, 25-03-1950).
Gubernur Sumatera Tengah saat ini adalah Ruslan Muljohardjo.
Dalam perkembangan lebih lanjut, di Sumatra
Utara yang ditunjuk sebagai Gubernur adalah Sarimin Reksodihardjo. Dalam
perkembangannya, Daoed Beureueh menolak pengangkatan Sarimin Reksodihardjo
sebagai Gubernur Sumatra Utara (termasuk Atjeh). Daoed Beureueh menginginkan
Atjeh otonomi sebagai provinsi tersendiri (Algemeen Handelsblad, 01-11-1950). Untuk
Residen Sumatra Timur diangkat Muda Siregar dan Wali Kota Medan AM
Djalaloeddin. Akhirnya, Sarimin Reksodihardjo tidak bertahan lama dan
digantikan oleh mantan residen Tapanoeli, Abdoel Hakim Harahap. Sebagai Residen
Tapanoeli diangkat Binanga Siregar.
Dalam
hiruk pikuk perebutan kekuasaan pasca pengakuan kedaulatan, Egon Hakim sibuk di
bidang lain. Kesibukan barunya adalah mendirikan perguruan tinggi di Kota
Padang. Oleh karena Egon Hakim adalah ahli hukum maka perguruan tinggi yang
didirikan adalah perguruan tinggi hukum yang diberi nama Universitas Pantjasila
(lihat (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Perguruan tinggi hukum
ini merupakan perguruan tinggi hukum pertama di Sumatra yang mana pengajarnya
antara lain Mr. Egon Hakim, Mr. Mak Kin San, Mr. Nazarudin dan Dr. Haroen al
Rasjid (Paman dari Egon Hakim, mungkin merangkap sebagai investor?).
De nieuwsgier, 15-02-1951 |
Dalam
fase transisi (pasca pengakuan kedaulatan RI), arsitektur Provinsi Sumatra
Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Djambi) masih belum menentu. Ibukota provinsi
sendiri masih belum ditentukan apakah di Bukittinggi atau di Padang.
Kenyataannya Gubernur Ruslan Muljohardjo adakalanya berkantor di Bukittinggi
dan ada kalanya di Padang. Ini karena sebelumnya, ibukota RI berada di
Bukittinggi. Tarik menarik ini menggambarkan situasi sebelumnya antara Djakarta
dan Djokjakarta. Residen Sumatera Barat, Aboe Bakar Djaar menjadi ketua komisi
pembentukan ibukota Provinsi Sumatra Tengah bersama wali kota Bukittinggi (Eny
Karim) dan wali kota Padang (Abdoel Hakim/Rasjidin). Komisi ini masih bekerja (De
nieuwsgier, 15-02-1951). Untuk banyak hal terkesan peran Gubernur di wilayah
Sumatera Barat lebih banyak diperankan oleh Residen Abdoe Bakar Djaar (De
nieuwsgier, 17-10-1951). Apakah Gubernur Ruslan Muljohardjo lebih
terkonsentrasi di Riau dan Djambi?
De nieuwsgier, 14-05-1952: ‘Wakil Presiden
Mohammad Hatta, yang tiba Sabtu di Padang, Minggu pagi, didampingi oleh
Gubernur Sumatera Tengah, Ruslan Muljohardjo, Residen van Padang (Sumatra
Barat), Mr. Aboe Bakar Djaar, dengan perahu melakukan perjalanan ke Kepulauan
Mentawai…(sebelumnya) hari Sabtu Wakil Presiden melakukan pidato di Banteng
plein...
Kamis, wakil presiden dari Mentawai
diperkirakan kembali ke Padang, dari mana perjalanan akan terus ke bagian lain
di Sumatera Tengah’. De nieuwsgier, 07-11-1953: ‘De nationale
onderwijsinstelling INS in Kajutanam, heeft haar 27e verjaardag gevierd Gubernur
Sumatera Tengah, Residen Mr. Aboe Bakar Djaar, wali kota Padang, Dr. Rasjidin, Komandan
Resimen Keempat, Mayor Ahmad Hosen dan banyak otoritas lainnya diperingati
dengan Moh. Sjafei, Sekolah Belanda Indonesisch didirikan sebagai mitra untuk
Sekolah Belanda-Pribumi..’.
Saat
semuanya sudah mulai berjalan normal, tiba-tiba pemerintah di Sumatera Barat
merasakan ada yang kurang yakni perguruan tinggi, Boleh jadi ini terpicu dengan
telah didirikannya Yayasan Universitas Sumatera Utara di Medan yang digagas
oleh Gubernur Abdoel Hakim Harahap pada tahun 1951. Fakultas Kedokteran sebagai
bagian awal Universitas Sumatera Utara sudah berlangsung dengan baik. Sementara
di Kota Padang, belum memiliki apa-apa. Perguruan tinggi yang ada di Kota
Padang yang sudah berdiri sejak 1951, Peguruan Tinggi Pantjasila justru
dimiliki oleh swasta. Untuk itu Gubernur Ruslan Muljohardjo mulai membentuk
panitia pendirian universitas milik pemerintah daerah (seperti di Medan).
Perguruan tinggi yang diincar adalah Universitas Pantjasila (yang tahun 1951
didirikan oleh Egon Hakim dan kawan-kawan).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-09-1954: ‘Gubernur
Sumatera Tengah, Ruslan Muljohardjo, yang merupakan bagian dari delegasi ke Jakarta
dalam proses akuisisi perguruan tinggi Universitas Pantjasila di Kota Padang untuk
menghadap Menteri Pendidikan Mr. Moh. Yamin. Pemilihan Universitas Pantjasila karena pertimbangan
teknis yang mana komite telah memiliki dua fakultas, Untuk memperkuat dan
menambah satu lagi fakultas diperlukan Universitas Pantjasila. Pertimbangannya
karena perguruan tinggi hukum Pancasila (prodinya) telah mencapai derajat pengesahan
CI dan CII (mungkin akreditasi A dan B). Menteri tidak bersedia hadir, delegasi
dalam diskusi diwakili oleh dr. Bahder Djohan. Para anggota delegasi lainnya,
Mr. Aboe Bakar Djaar, Mohd. Sjafei dan Z. Arifin Aliep. Meski diminta untuk
menunggu hasil keputusan, komite berencana untuk tidak kembali sampai mereka
diterima oleh Menteri’.
Mr.
Aboe Bakar Djaar yang masih menjabat Residen Sumatera Barat, ahli hukum alumni Belanda seperti Egon Hakim boleh jadi merasa
tidak afdol jika di Kota Padang (ibukota Sumatera Tengah) universitas yang akan
didirikan tidak ada fakultas hukum. Mr. Aboe Bakar Djaar, ahli hukum
menginginkan fakultas hukum.
Siapa Aboe Bakar Djaar?
Satu hal yang menyisakan pertanyaan,
dimana Aboe Bakar Djaar lahir dan siapa orangtuanya. Keterangan tentang Aboe
Bakar Djaar hanya diketahui sejak berada di perguruan tinggi (Rechtschool di
Batavia tahun 1926). Apakah ada pihak keluarganya yang mengetahuinya? Yang
jelas Aboe Bakar Djaar hadir dalam pengambilan kekuasaan pada hari Kamis di
Bukittinggi dalam Revolusi Tidak
Berdarah (Niet Bloedige Revolutie) yang ingin memisahkan Sumatra Tengah dari
(pemerintah) Pusat (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-12-1956):
‘Sekitar
40 orang menyaksikan Revolusi Tidak Berdarah yang berlangsung di lorong-lorong
bangunan Tamu Agung. Hadir lainnya adalah M. Sjafei (Mantan Menteri Pendidikan),
Mr. Aboe Bakar Djaar, Sjarnubi, Mr. Egon Hakim, Dt. Simaradjo, Decha, H. Sjamsiah
Abbas, Diniah Siddiq, Sutan Suis, A. Husein, Bupati Roosman dan Gubernur Roeslan
Moeljohardjo sendiri.
Revolusi Tidak Berdarah adalah
pengambilan kekuasaan (dari) Pusat di Sumatera Tengah yang dilakukan di
Bukittinggi. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Gubernur Roeslan Moeljohardjo
berakhir. Gubernur yang memulai tugas segera setelah pengakuan kedaulatan RI
oleh Belanda akhir tahun 1949. Kini Bentengraad sudah terbentuk sebagaimana
dilaporkan De nieuwsgier, 24-12-1956:
Voorzitter is
lt-kol. Ahmad Husein. Bestuursleden: hoofdkomm. Kaharuddin Dt Rangkajo Basa,
Sjech Ibrahim Musa Parabek, Majoor Suib, Regent H Darwis Taram, Majoor Anwar
Umar, Komm. I St Suis, Suleiman, Hasan Basri, Kept Nurmatias, H. Abdul Manaf,
Saidina Ali, Dt Simaradjo, Kpt Jusuf Noer, Elt Sebastran, Regent AH Lubis, gep.
Kol. Ismail Lengah. Advizeurs voor politiek en moraal zijn: Duski Samad, H.
Sjamsiah Abbas, Dt Simaradjo, Dt Bd Basa Nan Kuning, H. Iljas Jakub, H. Muh.
Amin, Aminuddin Junus, H. Suleiman Arrasuli, Rahmah el Junusijah, H. Ibrahim
Musaparab. De civiele staf staat onder
leiding van majoor Sjofjan Ibrahim, de militaire staf onder majoor T. Maknjak.
De veiligheidsstaf bestaat uit Mr Nazarudin, St Suis, Kpt Jusuf Noer en elt Ramli,
de staf koördinatie uit regent Roosman en kpt Amran Usman. Het assistentie-team bestaat uit : Majoor
Sjamsinurdin, Mr Egon Hakim, Suleiman, Ismail Lengah, Ali Luis, H. Darwis
Taram, elt Amir Hosen en Murtunus Hadi, Advizeurs van dit team zijn: Marah
Moh.Taher, DtPerpatih Baringek, Mr Harun al Rasjid, Mr Aboe Bakar Djaar, Moh.
Sjafei, Sjarnubi, Anwar St Saldi, Abdullah, Dr Rahim Usman, Dr Jazir Dt Mudo, Ir
Irdam Idris, Baharson, H. Zainin en Abdul Azis’.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar