Rabu, 18 Maret 2020

Sejarah Bukittinggi (2): Benteng Fort de Kock; Sejarah Benteng Tandjoeng Alam di Agam dan Fort Elout di Panyabungan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bukittinggi dalam blog ini Klik Disini

Di Agam tidak hanya benteng Fort de Kock di Bukittinggi, juga ada benteng di Tandjoeng Alam. Benteng Tandjoeng Alam adalah benteng penghubung antara benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dengan benteng Fort di Kock di Bukittinggi. Tiga benteng ini memiliki peran penting membebaskan Padangsche Bovenlanden (Minangkabau) dari pengaruh Padri.

Benteng Fort de Kock dan Bneteng Tandjoeng Alam (Pet 1835)
Benteng Fort van der Capellen dibangun pada tahun 1822 di bawah komandan militer Raaff. Sedangkan benteng Fort de Kock dibangun pada tahun 1825. Benteng yang dibangun di dekat Pagaroejoeng disebut benteng van der Capellen sesuai nama Guebernur Jenderal Hindia Belanda, GAGPh van der Capellen (1816-1826). Jenderal Hendrik Merkus de Kock adalah pimpinan militer Hindia Belanda yang mengirim Raaff ke pantai barat Sumatra. Pengiriman Raaff ini untuk membantu Asisten Residen yang berkedudukan di Tapanoeli yang saat itu Majoor GLC Rochmaler bermarkas di Natal dan Kapitein C Bauer bermarkas di Padangsche Bovenlanden (Simawang).  

Benteng Tandjoeng Alam tidak hanya berperan dalam membebaskan Padri dari district Tanah Datar dan district Agam, benteng Tandjoeng Alam (bersama benteng Fort de Kock) juga berperan penting dalam mengepung pusat Padri di Bondjol. Namun hanya sejarah benteng Fort de Kock yang kerap ditulis, sementara benteng Tandjoeng Alam di selatan dan benteng Elout di utara (Panjaboengan) kurang terinformasikan dengan baik. Benteng Fort Elout di Panjaboengan berperan dalam membebaskan pengaruh Padri di Mandailing en Angkola. Untuk menambah pengetahuan tentang benteng,  mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Benteng Fort de Kock, 1825
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Benteng Fort de Kock dan Benteng Fort van der Capellen

Dimana benteng Fort de Kock di Bukittinggi berada pada masa ini sudah jelas karena situsnya masih eksis. Namun dimana posisi GPS situs benteng Tandjoeng Alam pada masa ini masih sulit diketahui. Sebagaimana lazimnya, benteng dibangun di tempat strategis, dalam hal ini berada di persimpangan antara Fort de Kock dan Fort van der Capellen dan Paijakoemboe, besar dugaan benteng Tandjoeng Alam berada di Baso.

Benteng adalah awal koloni Belanda di suatu wilayah. Pada awal kolonisasi, benteng tidak hanya pusat pertahanan tetapi juga pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Pada awal kolonisasi (Pemerintah Hindia) Belanda tahun 1819 di Ranah Minangkabau berpusat Tapanoeli (kedudukan Asisten Residen WJ Waterloo). Para komandan militer ditempatkan di sejumlah tempat strategis: Majoor GLC von Rochmaler di Padang (Padangsche Benelanden) dan Kapitein C Bauer di Padang (Padangsche Bovenlanden). Di dua tempat ini sudah sejak lama di era VOC ada benteng (benteng Padang dibangun oleh Belanda dan benteng Natal dibangun oleh Inggris). Tiga nama ini berasal dai tiga bangsa yang berbeda: Inggris (Waterloo); Jerman (Rochmaler) dan Belanda (Bauer). Mengapa demikian? Pengaruh Inggris masih sangat kuat di kota-kota Pantai termasuk di kota Padang karena itu asisten residen Waterloo orang Inggris dan Rochmaler adalah tentara profesional asal Jerman. Penempatan Bauer orang Belanda di pedalaman adalah misi utama Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Para komandan berpangkat letnan ditempatkan di Pariaman, Agam, Samawang dan Padang Ganting. Dalam hal ini Kapitein Bauer membawahi tiga letnan: Cremer di Agam, von Ochsee di Samawang dan van Haersolte di Padang Ganting. Dalam hal ini Pariaman adalah pelabuhan antara Natal dan Padang. Tiga letnan inilah yang merintis pembangunan benteng yang kemudian disebut benteng Fort de Kock, benteng Samawang dan benteng Padang Ganting. Setelah militer yang dipimpin oleh Kapitein Bauer berhasil membebaskan Pagaroejoeng dari pengaruh Padri dibangun benteng baru di sebelah barat Pagaroejoeng yang kemudian dikenal benteng Fort van der Capellen. Oleh karena nama benteng merujuk pada nama petinggi Belanda maka benteng Fort van der Capellen dan benteng Fort de Kock adalah benteng besar (benteng utama) di pedalaman Ranah Minangkabau. Benteng Samawang dan benteng Padang Ganting diakses dari Padang melalui Solok dan Sawahloento. Sedangkan benteng di Agam (Fort de Kock) diakses dari Padang (via) Padang Pandjang dan dari Tikoe via Loeboek Basoeng-danau Manindjaoe.

Nama benteng Tandjoeng Alam berada di Baso jelas pada masa ini agak membingungkan. Sebab pada masa ini dua kota tersebut berada pada jalur yang sama tetapi berlokasi di area-wilayah yang berbeda. Oleh karena arah pergerakan militer dari selatan dan dari barat maka dibutuhkan satu benteng tambahan (hub) diantara benteng Fort van der Capellen dan benteng Fort de Kock. Hal ini diduga sehubungan dengan pemberukan pemerintahan dipil di Padangsche Bovenlanden tahun 1830 dimana Asisten Residen berkedudukan di Fort van der Capellen. Benteng baru ini berada pada posisi GPS di Tandjoeng Alam (karena itulah disebut namanya benteng Tandjoeng Alam).

Pertempuran di Tandjoeng Alam (1832)
Penjelasan ini diperkuat dari satu laporan militer pada tahun 1832 yang mana Kapitein de Quaij (Fort van der Capellen) memerintah pasukan di benteng Tandjoeng Alam (Agam) yang dipimpin Letnan Bouman pada tanggal 11 April untuk merangsek ke Biaro, sementara Kapitein Veldman (Fort de Kock) membawa pasukan dengan dua penembak jitu (lihat Javasche courant, 10-07-1832). Pada tanggal 12 April kampung yang dibentengi di Kapauw berhasil dikalahkan. Di Kota Baroe telah terkonsentrasi pasukan yang dipimpin oleh Towanko Tjerdik yang membantu dari Bondjol, Salah satu pemimpin Padri tewas dalam pertempuran ini yakni Towanko die Goelan, salah satu pemimpin dan pengikut yang paling setia, dari Towanko di Messian. Di pihak Belanda beberapa terluka parah, termasuk letnan E Maxwel. Dalam hal ini, posisi benteng Tandjoeng Alam besar dugaan bahwa jalan dari Fort van der Capellen kala itu tidak langsung menuju Baso yang sekarang tetapi melalui Tjandoeang terus ke barat ke Ampat Angkek lalu ke Tandjoeng Alam. Jalan Kota Baru dari Padang Pandjang ke Tandjoeng Alam sendiri pada masa ini adalah jalan yang dibangun kemudian sebagai jalan akses.

Setelah district Agam berhasil dibebaskan dari pengaruh Padri, perhatian kemudian ditujukan ke district Lintau dimana terdapat para pengikut Padri. Usai perang penduduk Agam mulai bekerja di sawah ladang dengan tenang. Distrik Agam selain memiliki dua benteng (Fort de Kock dan Tandjoeng Alam) juga didukung benteng dari selatan (Fort van der Capellen) dan dari timur benteng Paijakoemboe.

Akhirnya militer Belanda telah berhasil membebaskan district Lintau dari pengearuh Padri (lihat Journal de La Haye, 09-02-1833). Disebutkan berdasarkan berita di Batavia 11 September 1832 bahwa pada tanggal operasi militer telah berhasil di Lintau yang berakhir pada tanggal 30 Juli.

Benteng Tandjoeng Alam dan Benteng Elout

Bersamaan dengan berakhirnya operasi militer di Lintau pada tahun 1832, untuk persiapan ke wilayah Bondjol didatangkan pasukan dari Jawa yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout (lihat Journal de La Haye, 09-02-1833). Para pasukan ini sebagian ditempatkan di Batoesangkar (Fort van der Capellen) dan sebagian yang lain Elout membawanya sendiri ke Agam (Fort de Kock). Penempatan ini dimaksudkan untuk melakukan operasi militer di Marapalam sebelum kekuatan diarahkan ke Bondjol.

Letnan Kolonel Elout membangun garnisin militer di Biaro. Elout ditemani oleh Letnan Kolonel Vermeulen-Krieger dan Kapitein De Quaij dan Kapitein Hellwig. Pasukan Elout didukung pasukan pribumi asal Melayu.

Seperti halnya keluarga kerajaan Pagaroejoeng meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan pengaruh Padri, pada tahun 1833 radja-radja di Mandailing dan Angkola dibawah pimpinan Radja Gadoembang meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan pengaruh Padri dari Mandailing en Angkola.

Para hulubalang Pagaroejoeng membantu militer Belanda mengusir pasukan-pengikut Padri dari Minangkabau juga ikut serta dalam pengepungan Padri di benteng Bondjol. Seperti kita lihat nanti para hulu balang Mandailing dan Angkola membantu membebaskan pengaruh Padri di Mandailing en Angkola juga ikut membantu militer Belanda dalam pengepungan benteng Bondjol (yang dipimpin Tuanku Imam Bondjol). Para hulubalang Pagaroejoeng, Mandailing en Angkola dan para hulubalang Padang Lawas juga ikut mendukung militer Belanda dalam pengepungan benteng Daloe-Daloe (yang dipimpin Tuanku Tambusai), Benteng Elout (Peta 1843)

Dalam pengepungan kekuatan Padri yang berpusat di Bondjol Pemerintah Hindia Belanda membangun sejumlah benteng. Salah satu benteng yang dibangun adalah benteng di Panjaboengan yang kemudian dikenal sebagai benteng Fort Elout (nama Komisaris Jenderal Mr. Cornelis Theodorus Elout). Benteng lainnya yang dibangun dekat dengan posisi GPS benteng Bondjol adalah benteng Amorangan di Rao.

Benteng-benteng ini didukung oleh tiga garnisun militer yang telah dibangun di Air Bangis, Pariaman dan Natal. Tiga benteng di kota pantai ini sudah ada sejak era VOC dan kemudian diperkuat sehubungan dengan eskalasi politik yang semakin meningkat di pedalaman antara kaum Padri dan radja-radja adat di satu pihak dan di pihak lain antara pasukan Padri dengan militer Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar