*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bukittinggi dalam blog ini Klik Disini
Tempo dulu ada nama kampong Jawa, kampong Darek dan kampong Teleng di kota Padang Sidempuan (masih eksis hingga kini). Itu tidak dipertanyakan. Tempo dulu ada kampong Mandailing, kampong Baringin dan kampong Padang Lawas serta kampong Jawa di Batusangkar. Bagaimana bisa? Sedikit membingungkan, tetapi dapat dijelaskan.
Tempo dulu ada nama kampong Jawa, kampong Darek dan kampong Teleng di kota Padang Sidempuan (masih eksis hingga kini). Itu tidak dipertanyakan. Tempo dulu ada kampong Mandailing, kampong Baringin dan kampong Padang Lawas serta kampong Jawa di Batusangkar. Bagaimana bisa? Sedikit membingungkan, tetapi dapat dijelaskan.
Mansailing, Padang Lawas, Baringin di Batusangkar (Peta 1883) |
Di Jakarta pada masa ini tidak ada nama kampong
Batusangkar (kampong Minangkabau) dan juga tidak ada kampong Padang Sidempuan
(kampong Batak). Nama-nama kampong yang ada yang sudah diidentifikasi sejak
tempo doeloe (bahkan sejak era VOC/Belanda dan masih eksis hingga ini
hari, antara
lain: kampong Ambon, kampong Banda, kampong Tambora, kampong Bali, kampong
Jawa, kampong Makassar, kampong Bangka, kampong Malaka, kampong Duri, kampong
Melayu dan sebagainya. Itulah gambaran Indonesia pada tempo doeloe. Pada masa
kini, nama Batusangkar dan nama Minangkabau di Jakarta ditabalkan menjadi nama
jalan. Tidak ada nama jalan Padang Sidempuan. Di jalan Batusangkar Jakarta
nyaris tidak ada orang Minangkabuu, sementara di jalan Minangkabau banyak
ditemukan orang Batak. Itulah gambaran Indonesia pada masa kini di Jakarta. Timbulnya
kekeliruan dalam pemahaman geografis masa kini hanyalah karena kurangnya data
dan informasi yang tersedia. Tidak bisa suatu analisis (interpretasi)
menjelaskan sesuatu hal masa kini jika data yang dibutuhkan tidak tersedia.
Analisis yang tidak berdasarkan data hanyalah karangan belaka. Karangan semacam
ini bukanlah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data.
Bagaimana penjelasannya
bahwa ada nama kampong Mandailing, kampong Baringin dan kampong Padang Lawas
serta kampong Jawa di Batusangkar? Paling
tidak tiga nama kampong yang berasal dari Tapanoeli ini juga terdapat di dekat
benteng Padang Ganting, benteng Soeroaso dan benteng Paijakoemboeh. Seperti
kita lihat nanti kampong Jawa dan kampong orang Minangkabau juga terbentuk di
Padang Sidempoean. Penjelasannya kurang lebih sama dengan terbentuknya nama-nama
kampong di Jakarta pada waktu tempo doeloe. Orang-orang yang membentuk kampong
di dekat benteng-benteng di ranah Minangkabau ini adalah pasukan pribumi yang
direkrut (militer) Hindia Belanda untuk membenatu militer Belanda menjaga benteng
sekaligus ikut aktif menjaga perdamaian pasca Perang Padri. Untuk menambah
pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
Pagaroejoeng
Istana Pagaroejoeng terbakar dalam ‘perang
saudara’ antara kaum Padri dan kaum adat pada tahun 1804. Habis sudah Kerajaan
Pagaroejoeng. Sementara itu, pedagang-pedagang Belanda mati suri karena VOC
dinyatakan bangkrut pada tahun 1799 yang kemudian diakuisisi oleh Kerajaan
Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang tengah sibuk di Batavia dalam proses pemerintahan terjadilah
perang saudara di Pagaroejoeng yang mengakibatkan terbakarnya Istana
Pagaroejoeng.
Nama
kerajaan Minangkabau sudah disebut dalam ikhtisar pada era Madjapahit
(pertengahan abad ke-14). Dalam ikstisar ini juga disebut Mandailing. Nama
Minangkabau juga disebut dalam laporan Tome Pires (1512-1515). Laporan ini juga
menyebutkan kerajaan Aroe atau de Aroe atau Daroe. Dalam laporan Portugis
berikutnya (Joao Barbosa) menyebut tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem
(Baros?), Achem
(Atjeh), Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara
(Aru). Dalam laporan Mendes Pinto (1535) juga menyebut nama Kerajaan Aroe
Battak Kingdom yang bertetangga dengan kerajaan di Minangkabau. Dalam peta-peta
Portugis dan juga peta yang dibuat oleh tim ekspedisi Cornelis de Houtman
(1595-1597) juga masih teridentifikasi nama Aroe dan Minangkabau di pedalaman
Sumatra. Namun dimana letak kerajaan Minangkabau tidak dapat diketahui.
Dimana
letak kerajaan Minangkabau, baru terinformasikan pada tahun 1684 ketika tim
ekspedisi VOC yang dipimpin Thomas Dias melakukan kunjungan dari Malaka
(dikuasai Belanda sejak 1641) ke Pagaroejoeng di dataran tinggi (lihat Daghregister
25 Desember 1684). Rute yang dilalui melalui sungai Siak dengan 14 hari
perjalanan darat. Gambaran yang dideskripsikan Thomas Dias mengindikasikan
tempat dimana istana Pagaroejoeng itu berada di sekitar Tanah Datar yang
sekarang. Beberapa tahun sebelum pada tahun 1665 Ekspedisi VOC telah mengusir
Atjeh dari sungai Batang Arau. Pada tahun 1680 VOC menerima utusan dari Radja
Minangkabau (lihat Daghregister 22 Maret 1680). Korespondensi terakhir VOC
dengan kerajaan Minangkabau terakhir tahun 1687. Ini dapat dipahami sejak
ekspedisi VOC ke hulu sungai Tjiliwong tahun 1687 konsentrasi VOC mulai intens
di Jawa dan kota-kota pelabuhan di luar Jawa. Kerajaan Minangkabau di pedalaman
tidak pernah terinformasikan lagi hingga Raffles melakukan ekspedisi ke
Minangkabau pada tahun 1819.
Sejak terbakarnya istana Pagaroejoeng 1804 hanya Thomas
Stamford Raffles orang Eropa yang pernah berkunjung ke pedalaman Minangkabau
1819. Besar kemungkinan tidak ada lagi aktivitas yang berarti di sekitar
wilayah istana Pagaroejoeng. Penduduk telah meninggalkan area tersebut.
Sementara
itu aktivitas perdagangan internasional di kota Padang masih berlangsung.
Paling tidak pada tahun 1803 tercatat di Batavia kapal Prancis dan kapal
Inggris berasal dari Padang (lihat Daghregister).
Pada tahun 1819 ini juga wilayah pantai barat
Sumatra akan diakuisisi kembali Belanda dengan mengangkat Kommissaris J. du
Puy. Pada bulan Mei 1819 secara defacto J. du Puy berfungsi sebagai Residen
Sumatra's Westkust.
Oleh
karena eskalasi politik yang masih memanas di pantai barat Sumatra (Belanda vs
Inggris) maka pembentukan pemerintahan tidak dapat langsung dilakukan,. Hal ini
juga karena satu wilayah yang masih dikuasai oleh Inggris saat itu Benkoelen
(Bengkulu) di (pulau) Sumatra masih dapat dianggap sebagai ancaman. Baru pada
tahun 1821 secara dejure di Residentie Sumatra’s Westkust pemerintahan dapat
dibentuk yang mana struktur pemerintahan yang dibentuk dikepalai oleh setingkat
Asisten Residen yang berkedudukan di Tapanoeli.
Untuk mendukung pembentukan pemerintahan sipil di
pantai barat Sumatra, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim satu
ekspedisi militer yang dipimpin oleh Luitenen Colonel AT Raaff. Pengiriman
ekspedisi ini diduga setelah ada kesepakatan antara keluarga kerajaan
Pagaroejoeng dengan pemerintah sipil Hindia Belanda di pantai barat Sumatra. Besar
dugaan permintaan keluarga kerajaan Pagaroejoeng ini sudah muncul ketika Raffles
melakukan kunjungan ke pedalaman Minangkabau pada tahun 1819. Sehubungan dengan
kedatangan pasukan dari Batavia ini, dalam pembebasan pengaruh Padri di
Minangkabau, Kapitein C Bauer mulai mengadministrasikan wilayah (kerajaan) Pagaroejoeng
dengan menempatkan komandan militer di Agam, Samawang dan Padang Ganting.
Luitenant
Colonel Raaff tiba di Padang pada bulan Desember 1821 (lihat Arnhemsche courant,
09-11-1822). Luitenant Colonel Raaff
menghadapi 20.000 pasukan Padri pada bulan Maret 1822 di sekitar
Samawang. Luitenant Colenel hanya dengan kekuatan pasukan sebanyak 500 orang dan
tiga belas ribu orang Melayu dengan para pemimpin mereka (pasukan yang dibentuk
keluarga kerajaan Pagaroejoeng).
Setelah berhasil membebaskan wilayah Pagaroejoeng
dari pengaruh Padri, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1824 mulai membangun
benteng di Batoe Sangkar dekat Pagaroejoeng. Benteng ini kemudian disebut Fort
van der Capellen. Setahun kemudian pada tahun 1825 benteng Fort de Kock
dibangun di Bukittinggi.
Inilah
awal kehadiran Belanda di Ranah Minangkabau yang dimulai di Pagaroejoeng. Untuk
mendukung kekuatan militer Belanda (yang dibantu pribumi) dibangun sejumlah
benteng. Pada akhirnya kekuatan Padri berakhir setelah jatuhnya benteng Bondjol
dimana Tuanku Imam Bondjol menyerah dan diasingkan pada tahun 1837. Ranah
Minangkabau secara keseluruhan telah terbebaskan dari pengaruh Padri. Setahun
kemudian juga benteng Daloe-Daloe pusat kekuatan Padri berikutnya di bawah
pimpinan Tuanku Tambusasi berhasil dilumpuhkan tahun 1838. Tanah batak yang
secara khusus wilayah Mandailing en Angkola dan Padang Lawas terlah terbebaskan
dari pengaruh Padri.
Benteng Fort van der Capellen dan Pasukan Mandailing
en Angkola dan Jawa
Pada peta-peta awal tidak terdapat nama kampong
Mandailing, Padang Lawas dan Baringin di Fort van der Capellen.
Nama-nama
kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin hanya ditemukan di Mandailing,
Angkola dan Padang Lawas (lihat Peta 1843).
Pada Peta 1883 tiga nama kampong Mandailing,
Padang Lawas dan Baringin diidentifikasi di dekat Fort van der Capellen.
Kapan nama-nama kampong ini muncul di Fort van
der Capellen tidak diketahui. Dalam berita-berita perang di sekitar Fort van
der Capellen tidak muncul. Nama-nama yang muncul adalah Soeroaso. Sementara
keberadaan orang-orang Jawa di Padang Pandjang sudah terdeteksi tahun 1841
(lihat Javasche courant, 12-05-1841). Disebutkan dalam suatu kerusuhan di
Padang Pandjang banyak orang Jawa terbunuh. Pasukan perdamaian di benteng Kajoe
Tanam hanya terkepung selama dua hari dengan kekurangan bahan makan sebelum
mereka dibebaskan oleh militer Belanda yang didukung pasukan pribumi dari
Pariaman yang didatangkan dari Padang. Setelah tiba militer Belanda barulah
penduduk pribumi ikut bergabung untuk mengusir perusuhan yang merupakan
sisa-sisa pengikut Padri. Area dimana mereka bermukim (dekat benteng Goegoek
Malintang) besar dugaan menjadi asal-usul nama kampong Jawa dan kampong Jao di
Padang Pandjang. Di Padang Pandjang juga ditemukan kampong Nias dan nama (bukit)
Si Boga.
Dalam Peta 1883 selain tiga nama tersebut, juga
teridentifikasi nama kampong Goenoeng Medan. Nama kampong Mandailing, Padang
Lawas dan Baringin di sekitar benteng Fort van der Capellen tidak hanya di satu
tempat tetapi paling tidak terdapat dua titik untuk masing-masing nama.
Bagaimana
nama-nama kompong itu muncul di sekitar benteng Fort van der Capellen dapat
dihubungkan dengan pasukan penjaga perdamaian yang bertugas di benteng Fort van
der Capellen. Untuk menambah penghasilan mereka para pasukan ini juga melakukan
kegiatan pertanian yang menjadi sebab munculnya perkampongan baru. Dalam
situasi inilah para pasukan ini berinteraksi dengan penduduk yang boleh jadi
telah terjadi perkawinan.
Kapan
pasukan asal Mandailing dan Angkola serta Padang Lawas ini berada di benteng
For van der Capellen diduga setelah berakhirnya Perang Pertibi pada tahun 1838
(Perang Bondjoel berakhir pada tahun 1837). Pasukan ini awalnya adalah pasukan
pribumi pendukung militer Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Pertibie.
Sementara pasukan pribumi asal Padang-Minangkabau yang mendukung militer Pemerintah
Hindia Belanda ditempatkan di benteng-benteng di wilayah Tapanoeli (dan kelak
di Atjeh). Pasukan pribumi asal Tapanoeli ini adalah untuk menggantikan pasukan
asal Jawa. Situasi inilah yang menyebabkan munculnya kampong Jawa di dekat
benteng dan kampong-kampong Mandailing dan Angkola serta Padang Lawas berada
lebih jauh dari benteng. Pasukan asal Padang-Minangkabau dan Jawa yang
ditempatkan di (benteng) Padang Sidempoean menjadi sebab munculnya nama kampong
Jawa, kampong Teleng dan kampong Darek di Padang Sidempoean.
Seperti
di sekitar Batavia pada era VOC ditempatkan pasukan pribumi pendukung militer
VOC yang berasal dari Ambon, Makassar, Bali dan Melayu serta Jawa. Tidak ada
pasukan pribumi asal Soenda yang ditempatkan di sekitar Batavia. Pasukan asal
Soenda atau Banten ditempatkan di Sumatra bagian Selatan dan Kalimantan. Dalam
perang di Padang pada tahun 1663 adalah pasukan pribumi pendukung militer VOC
yang berasal dari Ambon, Ternate dan Bugis.
Segera setelah terbebaskan Ranah Minangkabau dari
pengaruh Padri pada tahun 1837, pasukan yang ditempatkan untuk menjaga
perdamaian yang berpusat di benteng-benteng adalah pasukan pribumi dari Jawa.
Itulah asal-usul mengapa ada nama kampong Jawa di dekat benteng Fort van der
Capellen. Pasukan pribumi asal Jawa untuk menjaga perdamaian juga ditempatkan
di Mandailing, Angkola (Padang Sidempoean) dan Padang Lawas.
Ada
pola umum yang diterapkan oleh militer Belanda dalam pembagian penugasan pasukan
pribumi pendukung militer Belanda. Untuk pasukan pembebasan atau penyerangan
direkrut dari tempat yang jauh (yang tidak ada hubungan emosional seperti Ambon
ke Jawa dan Sumatra). Sedangkan pasukan penjaga perdamaian dan penjaga
benteng-benteng (tidak berasal dari setempat) tetapi direkrut dari daerah yang
lebih dekat tetapi tidak menimbulkan konflik sosial. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa pasukan dari Jawa dan dari Mandailing, Angkola dan Padang Lawas
(yang beragama Islam) ditempatkan di Minangkabau. Pasukan dari Mandailing,
Angkola dan Padang Lawas dapat diterima di Ranah Minangkabau selain beragama
Islam, juga perlu diingat bahwa Minangkabau, Mandailing, Angkola dan Padang
Lawas memiliki musuh yang sama yakni Padri. Kelak, pasukan pribumi untuk
mendukung militer Belanda ke Toba dan Silindung bukan dari Minangkabau dan Mandailing,
Angkola dan Padang Lawas tetapi wilayah lain. Namun untuk ke Atjeh pasukan
pribumi yang dikirim adalah berasal dari Padang (pantai barat Sumatra) dan
Melayu (pantai timur Sumatra). Untuk pasukan pribumi penjaga perdamaian dan penjaga
benteng-benteng pasukan pribumi yang ditempatkan di Atjeh adalah pasukan
pribumi yang berasal dari Mandailing, Angkola dan Padang Lawas (sebagaimana
sebelumnya di Ranah Minangkabau).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar