*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Sejarah kota Bonjol nyaris selalu dikaitkan dengan Tuanku Imam Bonjol. Itu satu hal karena sudah habis tulis oleh para ahli. Hal lain tentang kota Bonjol adalah kurang terinformasikan tentang kota Bonjol dan bagaimana kota Bonjol tumbuh dan berkembang di masa lampau. Lantas apa pentingnya sejarah kota Bonjol? Itu dia. Sejarah kota Bonjol kurang terinformasikan, padahal di kota tersebut pernah menjadi pusat kekuatan Padri yang mana pemimpin terkenalnya adalah Toeankoe Imam Bondjol. Dari sudut inilah pentingnya sejarah kota Bonjol ditulis.
Sejarah kota Bonjol nyaris selalu dikaitkan dengan Tuanku Imam Bonjol. Itu satu hal karena sudah habis tulis oleh para ahli. Hal lain tentang kota Bonjol adalah kurang terinformasikan tentang kota Bonjol dan bagaimana kota Bonjol tumbuh dan berkembang di masa lampau. Lantas apa pentingnya sejarah kota Bonjol? Itu dia. Sejarah kota Bonjol kurang terinformasikan, padahal di kota tersebut pernah menjadi pusat kekuatan Padri yang mana pemimpin terkenalnya adalah Toeankoe Imam Bondjol. Dari sudut inilah pentingnya sejarah kota Bonjol ditulis.
Tugu di Bondjol, 1939 |
Tentu saja tokoh penting di kota Bonjol banyak. Satu
yang terpenting adalah Tuanku Imam Bonjol. Namun ada satu tokoh penting beda
generasi berasal dari kota Bondjol, yakni Dr. Achmad Mochtar. Setali tiga uang,
sebagaimana pertumbuhan dan perkembangan kota Bonjol, bagaimana perjalanan
karir dokter hebat ini juga kurang terinformasikan. Lantas apa pentingnya nama Dr.
Achmad Mochtar. Paling tidak namanya telah ditabalkan sebagai nama rumah sakit
daerah (RSUD) di Bukittinggi. Untuk menambah pengetahuan sejarah kota Bonjol dan
untuk meningkatkan wawasan sejarah Menjadi Indonesia, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
Pemerintah
Hindia Belanda dan Perang Padri: Sejarah Awal Bondjol
Sebelum Perang Padri (1819-1837) District Bondjol
adalah district yang terpisah dari Agam (Pagaroejoeng-Minangkabau). Pasca
Perang Padri, district Bondjol dimasukkan ke Afdeeling Agam (Residentie
Padangsche Bovenlanden). District-district Loeboeksikaping, Mapat Toenggoel,
Loender, Taloe, Kinali, Pasaman, Soeroet, Air Bangis, III Loerah, III Kota,
Tjoebadak dan Rao disatukan menjadi satu afdeeling yang disebut Afdeeling Air
Bangis (Residentie Padangsche Benelanden). Batas antara district Loeboeksikaping
dan district Bondjol yang bertetangga di jalan poros berada di kampong Tangah.
Peta 1843 |
Distrik Loeboeksikaping dan district Bondjol adalah
dua district terakhir yang menjadi konsentrasi para pendukung terakhir dan
paling fanatik Padri. Ini dimulai pada bulan Juni 1834 dengan menyerang Matoea
(selatan). lalu bulan April 1835 berhasil menundukkan Masang (barat). Pada
tanggal 11 Juni 1835 diproklamirkan pengepungan Bondjol setelah lebih dahulu
Rao dan Loender di utara berhasil diambil kembali. Pada tahun 1836 seluruh
perang terkonsentrasi di Loeboeksikaping dan Bondjol dan serangan yang
dilakukan pada bulan Desember 1836 gagal.
Sampai
sejauh ini komando, yang boleh dibilang upaya penggiringan ke lembah Bondjol
dilakukan oleh Letnan Kolonel Bauer. Sudah barang tentu Bauer adalah orang
satu-satunya yang paham situasi dan kondisi di Padangsche. Ketika, Pemerintah
Hindia Belanda mulai membentuk pemerintahan di pantai barat Sumatra sejak 1819
yang mengambil posisi ibu kota di Tapanoeli, komandan militer tertinggi berada
di Natal yang dipimpin oleh seorang Majoor. Untuk komandan militer di
Padangsche Benelanden dipimpin oleh Kapitein C Bauer. Dalam hal ini, Bauer yang
sudah berpangkat Luitenant Kolonel sudah tidak asing dengan Padangsche
Bovelanden.
Pemerintah
Hindia Belanda di pantai barat Sumatra yang sebelumnya dijabat sipil (Residen MacGillevrij)
digantikan oleh seorang militer Luitenant Kolonel Mr CPJ Elout pada bulan Mei
1831. Ini bermula sejak November 1830 orang Narras (Priaman) melawan
pemerintah, lalu bulan Januari orang XIII Kota mengancam Padang dan orang
Bondjol telah menduduki Tikoe dan Air Bangis. Di Air Bangis benteng Belanda
dikepung, memblokir pelabuhan dengan bantuan para pelaut dari Atjeh. Komandan militer
Air Bangis tewas dalam pertempuran. Bantuan yang tepat waktu dari Padang
menyebabkan para militer yang masih terkepung dapat diselamatkan. Setelah 40
hari Elout memimpin di pantai barat Sumatra, suatu ekspedisi dari pusat ke
pantai barat Sumatra dikirim di bawah komando Luitenant Kolonel AV Michiels.
Pasukan Padri lalu menyingkir ke pedalaman (wilayah-wilayah pantai hingga ke
Singkil kembali dinormalisasi).
Residen
Luitenant Kolonel Mr CPJ Elout sempat meminta pasukan Luitenant Kolonel AV
Michiels untuk menekan Padri lebih jauh, namun Michiles menolak karena
perintahnya hanya sampai disitu. Untuk itu, Luitenant Kolonel AV Michiels meninggalkan
pasukannya dan berangkat ke Batavia untuk membicarakan misi dan perintah
selanjutnya dengan GG van den Bosch. Luitenant Kolonel AV Michiels mendekat
kesan bahwa van den Bosch tidak dalam posisi ekspansi (ke pedalaman). Langkah
tidak terduga diambil alih sendiri oleh Luitenant Kolonel Mr CPJ Elout. Pasukan
teritorial yang berada di bawah kendali Luitenant Kolonel Elout berhasil mengambil
Marapalm secara mengejutkan, kemudian menaklukkan Lintou, Boea dan Limapoeloe Kotta
yang mana Padri menyingkir ke Bondjol, Rao dan Mandailing. Luitenant Kolonel Mr
CPJ Elout telah mengubah strategi depensif menjadi ofensif. Luitenant Kolonel
AV Michiels di Jawa kaget karena sumber daya yang dimiliki Elout yang terbatas
(pengakuan ini dimuat Michiels di dalam buku memorinya). Namun langkah ofensif
ala Elout ini memakan korban (yang disesalkan Mischiles), orang-orang Belanda banyak
yang dibunuh di Bondjol dan Loender saat Padri menyingkir.
GG van
den Bosch kemudian mengirim komisaris ke Padang untuk merencanakan strategi
baru dengan Elout terutama untuk melukiskan batas-batasnya dan untuk menetapkan
pengaturan administrasi, Pada bulan Agustus 1833 diputuskan untuk menyelesaikan
Padri, perang berlanjut dan harus berlanjut. Sejak ini komando diserahkan
kepada Luitenant Kolonel Bauer.
Serangan yang gagal ini menyebabkan pemerintah
pusat memanggil kembali AV Michiels untuk memimpin pasukan ke pantai barat
Sumatra tahun 1837. Seperti halnya Bauer, kembali orang yang sudah mengenal
wilayah yang dikirim ke pantai barat Sumatra. Hasil pertama Michiels adalah
membebaskan (district) Loeboeksikaping dan hanya tersisa district Bondjol.
Tentu
saja tidak mudah untuk melumpuhkan district Bondjol terutama pusat pertahanan
Padri di benteng Bondjol. Seperti dikatakan Michiels, semua pendukung setia dan
fanatik Padri sudah terkonsentrasi di district Bondjol. Saat inilah Luitenant
Kolonel AV Michiels teringat bekas anak buahnya seorang luitenant ketika
memimpin ekspedisi di Palembang. Namanya Alexander van der Hart, seorang
tantara pemberani, yang kebetulan sedang menganggur di Batavia yang sudah berpangkat
Kapitein. Alexander van der Hart di satu sisi seorang tantara profesional
pemberani yang masih lajang, di sisi lain orangnya sangat humanis, tidak
bermain judi, tidak minum minuman keras dan juga tidak bermain wanita (bahkan
ada yang menyebut Hart adalah seorang penyayang wanita). Orang yang tengah
menganggur inilah yang dipanggil Michiels untuk bergabung di pasukannnya.
Singkat kata: sebagaimana sudah banyak ditulis,
akhirnya district Bondjol dapat dilumpuhkan dan akhirnya benteng Bondjol dapat
diduduki oleh militer Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Agustus 1837. Satu detasemen
yang berhasil memasuki benteng Bondjol adalah untuk kali pertama adalah
detasemen yang dipimpin oleh Kapitein Alexander van der Hart. Segera setelah
berakhirnya perang, AV Michiels mendapat kenaikan pangkat dan dipromosikan
sebagai Gubernur Province Sumatra’s Westkust dan Alexander van der Hart
mendapat kenaikan pangkat menjadi Majoor. Mereka berdua dapat dikatakan sebagai
pemilik portofolio tertinggi di pantai barat Sumatra. Sejak inilah district Bondjol mulai membangun (bebas dari perang). Pada saat pembentukan
Residentie Tapanoeli pada tahun 1845, Gubernur Michiels kembali teringat van
der Hart yang juga tengah menganggur di Batavia. Gubernur Province Sumatra’s
Westkust, AV Michiels mengusulkan van der Hart menjadi Residen Tapanoeli dengan
menaikkan pangkatnya menjadi Luitenant Kolonel. Dalam hal ini AV Michiels
adalah gubernur pertama Province Sumatra’s Westkust dan A van der Hart adalah
Residen Tapanoeli pertama.
Uniknya
dua orang ini tidak pernah terkalahkan di medan perang, berwatak keras dalam
perang tetapi lembut atau humanis dalam urusan sipil (pembangunan pertanian
khususnya). Hasilnya segera terlihat, Padangsche (Benelanden dan Bovenlanden)
dan Tapanoeli segera maju dalam pembangunan. Uniknya dua orang ini mati konyol
di tangan orang sipil yang justru orang yang tidak mengenal pistol dan senapan.
Generaal Majoor AV Michiels (komandan ekspedisi di Bali) terbunuh di Bali,
Kolonel A van der Hart sebagai Gubernur Sulawesi terbunuh di Makassar.
Penduduk Bondjol Terbelah: Dibangunnya Masjid Padri
Sejatinya Bondjol adalah nama kota (kampong). Nama
districtnya adalah Alahan Pandjang. Namun orang Belanda lebih kerap menulisnya
sebagai nama kota dan juga sebagai nama district. Bondjol adalah nama ibu kota
(hoofdplaats) di Alahan Pandjang. Rumah kepala kampong Bondjol berada di
selatan lembah sebelah timur Merappa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie
jrg 1, 1838).
Nama-nama kampong di
district Alahan Pandjang, antara lain adalah Padang Lawe, Bondjol, Djamba, Kotto,
Loeboe Ambatjang, Alij, Bondjol Itam, Passier, Mandharij, Padang Sekadoedoe dan
Kotta. Kampong-kampong ini berada di lembah daerah aliran sungai Alahan
Pandjang (dari utara ke selatan). Sungai Alahan Panjang membagi lembah seolah-olah
menjadi dua dataran yang sama dimana ditemukan banyak sawah. Lembah Alahan
Pandjang ini dengan panjang sekitar tiga pal dan lebar satu pal berbentuk
bundar memanjang yang dikelilingi oleh pegunungan hutan tinggi. Di tengah
perkampungan terdapat sebuah tempat ibadah (saurauw). Pada bagian puncak atap
terbuat dari komposisi timah berbentuk bunga tertutup dan oleh matahari
membuatnya tampak bersinar memberikan cahaya yang memberi perhatian dari orang
yang melihatnya dari jauh.
Populasi daerah Alahan Pandjang (district Bondjol) yang
dipimpin oleh empat kepala penghulu yang disebut Radja Ampat Sello. Kampong
yang indah dan memiliki segalanya dan subur makmur ini akibat perang
berkepanjangan selama 35 tahun menjadi hancur. Ini bermula dari agama sekte yang baru
lahir yang berasal dari Madjan Boekit Kamang oleh Toeankoe Nan Rentjeh. Di
Alahan Pandjang dibawa oleh Datoek Bandaro di kampong Padang Lawe, salah satu
dari Radja Ampat Sello bersama Toeankoe Pasaman (disebut juga Toeankoe Alij
dari kampong Alij di Parit Batoe. Mereka berdua menemani Hadjie Miskien dalam
perjalanannya untuk mengkhotbahkan doktrin baru, dengan tujuan mengajarinya agama
yang benar dan kemudian mereka mentransplantasikan ke penduduk di tanah kelahiran
mereka masing-masing.
Datoek Bandaro ditemani
oleh Malim Bassa, seorang pemuda yang lahir di Tandjong Boengoe adalah pembantunya
yang setia dan sangat saleh dan yang segera memeluk agama sekte yang baru itu
segenap hati dan jiwa. Mereka tinggal di Agam selama empat bulan, setelah itu
mereka kembali ke Alahan Pandjang; lalu mereka mempersatukan semua dan kemudian
mereka pergi bersama ke kampong Kotta
dengan maksud untuk mengadakan pertemuan disana
dengan kepala kampong setidaknya untuk membahas urusan agama sekte baru dan
untuk memikirkan cara terbaik untuk melakukannya di Alahan Pandjang untuk
memperluasnya, karena mereka menduga bahwa ini adalah hal yang paling mudah
dilakukan. Setelah cukup banyak pengikut, di bawah kepemimpinan Datoek Bakdharo mereka kemudian membangun
sebuah benteng kecil yang mereka beri nama Bondjol yang mereka artikan sendiri
sebagai tempat persatuan para orang beragama (Orang Malim). Pada awalnya
terdapat 30 rumah menetap di sekitar (benteng) Bondjol. Salah satu yang
menentang paham dan tindakan Datoe Bandaro ini adalah kepala kampong Kotta
Marappa (Datoek Sati). Pada akhirnya perang terbuka terjadi. Saat para penagnut agama sekte
baru ini, yang mana Malim Basa yang telah mendapat gelar Toeankoe Moeda, terdesak
meminta bantuan kepada Toeankoe nan Rentjeh yang kemudian sebanyak 70 orang
datang. Para Padri menang dan memaksa semua penduduk. Sebagian besar mengakui
agama sekte baru tersebut dan sebagian kecil yang lain diusir dari Alahan
Pandjang. Mereka yang terusir melarikan diri ke Loeboe Sikapping, Alahan Mattij
dan Koempoelan. Rezim Alahan Pandjang tamat, muncul rezim Bondjol yang dipimpin
oleh Toeakoe Moeda (yang lahir dan besar di kampong Tandjong Boengoe dan menikah di Alahan Pandjang). Kepala district Bondjol, 1905
Populasi district Alahan
Pandjang diperkirakan sebanyak 5.000 jiwa (lihat Bataviasche courant, 15-09-1827).
Pada tahun 1832 nama kampong Bondjol (district) Bondjol menjadi target militer
Belanda, setelah militer Belanda berhasil mengusir Padri dari wilayah Tanah
Datar, Lima Poeloeh Kota dan Agam. Ini terjadi setelah Boekit Kamang, District
Agam dapat dikuasai oleh Kuitenant Kolonel Vermeulen Krieger. Operasi ke
Bondjol dimulai pada tanggal 10 Oktober 1832.
Reisden Komandan Militer (Luitenant Kolonel) Elout memutuskan
untuk menguasai Bondjol. Satu pasukan di bawah Luitenant Kolonel Vermeulen maju
dari Agam, dan pasukan lainnya dipimpin lansung Luitenant Kolonel Elout
sendiri, dari district-district pantai dan dataran renda dari Tikoe. Dengan
cara ini, district-district atas dan bawah bertindak secara bersamaan. Sebelum dimulai
menyerang Bondjol dari sisi dataran tinggi, beberapa district lainnya harus
dikuasai, seperti Matua, XII Kotta, Koempolan, dll dan dari sisi dataran rendah
district Alahan Mati. Sehubungan dengan rencana Elout ini sejumlah delegasi
dari Bondjol dan Rau untuk ikut bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Besar dugaan orang-orang Bondjol ini adalah orang-orang Bondjol yang terusir
dan orang Bondjol yang sempat mengakui Padri lalu kemudian membelakanginya.
Operasi ini tidak sukses,
karena kekuatan militer Belanda tidak sebanding dengan kekuatan Padri.
Sebelumnya Luitenant Kolonel Vermeulen (karena sakit) telah digantikan oleh
Kapitein de Quij. Pasukan Luitenant Kolonel Vermeulen mengambil posisi di Si
Pisang dengan kekuatan satu detasemen berkekuatan 70 pasukan. Sementara di
pihak Padri terdapat 2.000 orang.
Di barisan depan pada awal Januar 9 (1833) Letnan
Waulier dengan sebelas orang telah dibunuh. Melihat Padri terus bergerak Luitenant
Kolonel Vermeulen Krieger mengirim detasemen kecil ke Fort van der Capellen
untuk penguatan, sementara detasemennya tetap bertahan di benteng di tengah
serangan 2.000 orang. Dalam pertempuran pasukan Krieger 16 orang terbunuh,
termasuk 8 orang Eropa dan 51 orang terluka termasuk 21 orang Eropa. Pada saat
itu pos militer di Loeboe Sikaping dimana terdapat orang sakit di rumah sakit
jumlahnya hampir 30 di bawah penanganan petugas kesehatan de Groot dapat
diselamatkan Letnan Engebert van Bevervoorden yang datang satu detasemen 28
orang Madura dievakuasi ke pos militer Loender antara Loeboe Sikaping dan Rau,
yang terdiri dari seorang under-officer dan dua belas orang ditutup secara bersamaan.
Hingga akhir Februari menyiratkan bahwa peristiwa ini, disebabkan oleh perilaku
bermasalah dari bupati Bonjol, belum menyebar lebih lanjut, dan bahwa bupati
yang dilaporkan telah meninggal pada malam harinya. Letnan Kolonel Komandan
Elout terus bekerja keras menghadapi situasi. Para imam di Bondjol terus memanfaatkan
pengaruhnya kepada sebagian populasi dan membujuk mereka untuk tidak setia,
untuk menyerang dan membunuh beberapa pria dan orang sakit. Perilaku yang dijalankan
Ali Bassa Prawiro di Redjo membuat kecurigaan di pihak Belanda dan menjadi
subjek penyelidikan (lihat Javasche courant, 16-03-1833). Juga disebutkan bahwa
distrik Lima Poeloe Kota, Rao dan cukup banyak distrik di pedalaman telah
memberikan bukti kesetiaan mereka kepada Pemerintah dan telah menyatakan simpati
mereka kepada militer yang terbunuh di Bonjol dan disadari setelah kejadian ini
di satu pihak telah menyebabkan kami kehilangan banyak orang, tetapi juga di
sisi lain telah membawa kami untuk mengenal teman dan musuh kami.
Setelah rencana perang tahun
1833, kembali rencana perang Belanda gagal. Ini dimulai pada bulan April 1835 militer
berhasil menundukkan Masang (barat). Lalu pada tanggal 11 Juni 1835
diproklamirkan pengepungan Bondjol setelah lebih dahulu Rao dan Loender di
utara berhasil diambil kembali. Pada tahun 1836 seluruh perang terkonsentrasi
di Loeboeksikaping dan Bondjol dan serangan yang dilakukan pada bulan Desember
1836 gagal. District Bondjol terkepung hampir selama dua tahun. Pemerintah
pusat kemudian mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Luitenant Kolonel AV
Michiels (di bawah komando Jenderal Cochius). Serangan yang disusun tahun 1837
berhasil. Padri di Bondjol tamat.
Perkembangan Lebih Lanjut Bondjol: Dr. Achmad
Mochtar
Pasca berakhirnya Perang
Padri, sudah barang tentu pewaris district Alahan Pandjang atau district
Bondjol masih ada. Yang jelas pewaris ini bukan dari kaum Padri atau orang yang
terlibat dengan Padri. Para pewaris ini diduga mereka yang tetap menetap di
district Bondjol dan mengakui rezim Padri atau orang-orang (keturunan) district
Alahan Pandjang atau district Bondjol yang pernah terusir dari kampong halaman mereka
dan kembali lagi. Mereka inilah pemilik portofolio district Bondjol setelah
situasi dan kondisi kondusif (di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda).
Penduduk district Bondjol mulai dari nol kembali dalam menatap masa depan. Perang
selama 35 tahun sudah cukup menderita bagi penduduk (asli) district Alahan
Pandjang (district Bondjol).
Pada tahun 1838 Pemerintah Hindia Belanda mulai
membuka cabang pemerintahan baru dengan menempatkan seorang pejabat sipil di
Rao (lihat Almanak 1838). Dalam hal ini District Bondjol dimasukkan ke wilayah
Afdeeling Agam, sedangkan district Loeboeksikaping dimasukkan ke afdeeling Rao.
Meski district Alahan Pandjang atau district Bondjol sebelum perang termasuk
salah satu dari district-district independen (di luar Pagaroejoeng-Padangsche
Bovenlanden) tetapi kini masuk afdeeling Agam tentu saja ada sebabnya. Faktor
pertama diduga karena dalam pengepungan district Bondjol, district
Loeboeksikaping sudah menjadi basis pertahanan militer Belanda (sebagaimana
sebelumnya Londer dan Rao). Kedua, pada saat terusirnya penduduk Alahan
Pandjang sebelumnya banyak yang melarikan diri ke Loeboeksikaping (masih di luar
wilayah operasi Padri). Faktor ketiga boleh jadi penduduk Rao, Loender dan
Loeboeksikaping tidak bersedia digabungkan dengan district Bondjol. Faktor
keempat boleh jadi karena keinginan para pangeran dari Pagaroejoeng
(Minangkabau) agar Bondjol dimasukkan ke Agama. Pada tahun 1840 dibentuk
Residentie Air Bangis yang mana kemudian ditempatkan seorang asisten residen di
Rao yang membawahi district-district Rao, Loender, Loeboeksikaping dan Mapat
Toenggoel. Pada tahun 1845 Residentie Air Bangis dilikuidasi. Sementara itu,
district Bondjol yang dimasukkan ke Afdeeling Agam (ibu kota di Fort de Kock),
di Bondjol ditempatkan pejabat Belanda dengan status Conroleur (AP Godon). Ini
berarti onderafdeeling Bondjol terdiri dari sejumlah district termasuk district
Bondjol, Kota Laweh dan Soeliki.
Pemerintah Hindia Belanda
tampaknya ingin melupakan masa kelabu di Bondjol. Di satu sisi ingin melupakan
Padri, tetapi di sisi lain ingin mempopulerkan Bondjol sebagai wilayah yang
potensial. Boleh jadi karena itu nama Bondjol ditabalkan sebagai nama kapal
pemerintah: Nederlandschip Bondjol. Kapal ini kali pertama dilaporkan bersandar
di Batavia dari Rotterdam (lihat Javasche courant, 07-08-1844).
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar