*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Selatan di blog ini Klik Disini
Sejarah
kuno suatu wilayah banyak yang hilang dan mungkin ada yang hilang sepenuhnya.
Hal itu juga terjadi di Kalimantan. Akibatnya dalam kegelapan ketersedian data
hanya dongeng yang menakjubkan yang muncul. Adapun sejarah yang dinarasikan
pada masa ini umumnya adalah catatan-catatan terbaru yang berhasil dikumpulkan.
Tentu saja masih banyak yang perlu ditemukan. Oleh karena upaya pencarian ini tidak
pernah berhenti maka penulisan narasi sejarah terus dilakukan.
Sejarah Kalimantan adalah bagian dari Sejarah
Menjadi Indonesia (SMI). Oleh karena itu, mempelajari Sejarah Kalimantan secara
terus menerus adalah upaya untuk merekonstruksi sejarah Indonesia sendiri.
Sebagaimana diketahui, wilayah Kalimantan yang begitu luas (termasuk Brunei, Sabah
dan Sarawak) maka sudah barang tentu sejarah Kalimantan sangat beraga karena
wilayah yang satu dengan yang lainnya berjauhan. Dalam hal ini sejarah
Kalimantan dibuat dalam satu judul besar dengan serial artikel yang dikelompokkan
berdasarkan wilayah: Timur, Selatan, Tengah, Barat dan Utara. Sebelumnya di
dalam blog ini sudah disajikan serial artikel Sejarah Batavia, Sejarah Makassar
(Sulawesi bagian selatan), Sejarah Manado (Sulawesi bagian utara dan Maluku
bagian utara), Sejarah Ambon (Maluku bagian selatan dan Papoea), Sejarah
Lombok, Sejarah Bali dan sebagianya. Setelah Sejarah Kalimantan akan menyusul
Sejarah Riau, Sejarah Atjeh dan Sejarah Banten.
Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data. Oleh
karena itu narasi sejarah Kalimantan haruslah berdasarkan fakta dan data. Namun
semakin jauh ke masa lampau, sumber data semakin tidak tersedia dan dari yang
tersedia semakin sulit dicari. Meski demikian, setiap aspek dalan sejarah
Kalimantan haruslah diupayakan sejauh mungkin ke masa lampau darimana dimulai
dalam penulisan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Suatu permulaan yang dapat ditelusuri. Okelah, untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe dengan artikel yang pertama.
|
Borneo, 1724
|
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*. Borneo 1724
Asal Usul Nama Kalimantan: Boernai,
Borneo dan Brunei
Catatan
sejarah awal pulau Kalimantan dimulai pada penamaan pulau yang begitu luas yang
terletak di sebelah timur Semenanjung Malaka. Orang-orang Portugis, boleh jadi
sudah mengetahui nama pulau itu, tetapi tampaknya mereka tidak mengidentifikasi
pulau itu sesuai nama setempat, tetapi lebih memilih nama Borneo di dalam peta
yang mereka buat. Mengapa demikian, tampaknya mereka lebih mengenal nama
pelabuhan Boernai yang mereka lapalkan dengan bahasa Portugis sebagai Borneo.
Pada masa ini Boernai dan Borneo merujuk pada
kota pelabuhan yang kini lebih dikenal sebagai (negara) Brunei. Nama Boernai
atau Borneo menjadi penanda navigasi yang diidentifikasi dalam peta, nama kota
pelabuhan tersebut sebagai nama pulau. Pola penamaan serupa ini berlaku umum,
jika tidak diketahui oleh pendatang suatu nama tempat atau nama pulau, secara
praktis hanya menyebut nama tempat yang diidentifikasi sebagai nama suatu
wilayah atau kawasan yang luas. Nama Semenanjung Malaka merujuk pada nama kota
pelabuhan Malaka (dimana terdapat pos perdagangan utama orang Portugis). Hal
ini juga berlaku umum untuk penamaan sungai seperti sungai Jacatra (sungai
Tjiliwong), sungai Tangerang (sungai Tjisadane) dan sungai Bekasi (sungai
Tjilengsi).
Kota
pelabuhan Boernai atau Borneo terletak di pantai utara di suatu teluk yang juga
diidentifikasi orang Portugis sebagai teluk Borneo. Teluk ini tampaknya telah melindungi
kota pelabuhan ini dengan baik sehingga aman bagi kapal-kapal asing yang
berlabuh. Teluk dan kota pelabuhan (Boernai) ini berada di jalur pelayaran
ramai antara timur (Tiongkok) dan barat (India) melalui straat (selat) Malaka.
Kapan nama pulau disebut (diidentifikasi) pulau Borneo oleh orang Portugis
tidak diketahui secara pasti. Orang Portugis merebut Malaka sejak 1511.
Dalam laporan penulis-penulis Portugis sudah
disebutkan nama Borneo. Setelah Tome Pires, menyusul Barbosa. Dalam bukunya. Barbosa
menyebut (hanya) tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar
(Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Menurut
Barbosa/Tome Pires, Kerajaan Aru (de Aru atau d’Aru atau Daru) adalah kerajaan
yang sangat besar, melebihi yang lain di Sumatra. Kerajaan Aru ini beribukota
di pedalaman di tempat dimana ditemukan banyak sungai (di hulu sungai
Baroemoen, Tapanoeli). Kerajaan ini sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dari
luar, dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Radjanya
adalah seorang Moor. Kerajaan ini memiliki banyak mandarin yang disisi luar
kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada
kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.
Mendes Pinto yang pernah mengunjungi Kerajaan Aru tahun 1539 menyebut ibukota
Aru berada di sungai Paneciao (sungai Batang Pane sekarang). Ini bermula saat
Pinto di Malaca datang utusan raja Kerajaan Aru ke Malaca untuk mengajak
berkolaborasi untuk menyerang Atjeh. Utusan ini bernama Aquareng Daholay (marga
Daulay?) ipar dari Raja Batak (marga Harahap?) menyebutkan banyak tersimpan di
gudang-gudang mereka hasil dari tanahnya seperti emas, lada, kamper, gaharu dan
benzoin. Daholay sangat demdam ke Atjeh karena telah merenggut tiga anaknya di
desa Jacur dan Lingau (Simaloengoen?). Pinto berangkat dari Malaka dan tiba di
sebuah pelabuhan selepas pantai wilayah Kerajaan Aru bernama Surotilao di
pertemuan laut di pedalaman dengan sungai yang disebut Hacanduri (Baroemoen?)
dan kemudian berlayar sepanjang sungai lima hari hingga tiba di pertemuan
sungai Baroemoen dan sungai Batang Pane lalu kemudian berlayar hingga ke Panaju
(ibukota kerajaan Batak). Mendes Pinto menyebut kerajaan ini memiliki 15.000
pasukan dimana hanya delapan ribu Batak dan selebihnya adalah Menangcabao,
Luzon, Indragiri, Djambi dan Borneo. Mereka memiliki 40 gajah dan 12 meriam.
Pasukan cadangan ada ditataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?).
Selama Pinto berada ditemani oleh seoang Moor, dia melihat ada 63 kapal yang
tengah berlabuh di Panecao. Catatan ini boleh dikatakan catatan tertua nama
Borneo. Dalam hal ini ini, jika orang Portugis yang mengidentifikasi dan
menulis Borneo, maka yang dimaksud adalah kerajaan Boernai. Oleh karena orang-orang
Moor adalah beragama Islam, maka penduduk kerajaan Aroe, kerajaan Borneo (baca:
Boernai atau Brunei) dan (kerajaan) Luzon (kini Filipina) juga beragama Islam.
Pelabuhan
Boernai kali pertama dikunjungi oleh orang Portugis pada tahun 1521 di
bawah pimpinan George Menesez (lihat Journal de La Haye, 19-12-1846). Oleh
karena nama Boernai paling tidak sudah diidentifikasi sebagai Borneo pada tahun
1539 maka nama Borneo muncul antara 1521 dan 1539. Lalu kapan nama pelabuhan
itu (yang sudah diidentifikasi nama Borneo) digunakan sebagai penanda navigasi
untuk seluruh pulau tidak diketahui secara pasti apakah sebelum atau sesudah
tahun 1539.
Satu yang penting dari keterangan nama
pelabuhan Boernai (Borneo) sebagai penanda navigasi pukau besar ini membuka
jalan bagi kita sekarang untuk memahami bagaimana orang Portugis meneukan jalan
ke Ternate dan Tidore. Besar dugaan jalur yang digunakan oleh orang-orang
Portugis (dari Malaka) melalui Boernai terus ke Semenajung Celebes (pulau Manado)
terus ke Ternate-Tidore. Hal ini juga dapat diperhatikan pada peta-peta
Portugis wilayah di utara khatulistiwa lebih akurat dalam peta-peta yang mereka
buat. Jalur ini diduga adalah jalur yang sudah sejak lama dirintis oleh
orang-orang Moor. Sebagaimana diketahui orang-orang Moor adalah pelaut andal
yang beragama Islam yang berasal dari pantai utara Afrika-laut Mediterania.
Sebagaiana disebut Mendes Pinto bahwa radja dari kerajaan Aroe adalah orang Moor,
maka jejak orang-orang Moor yang dapat diidentifikasi nama-nama tempat seperti
Botachini atau Costa del Moro (pulau Halahera), pulau Morotai, kota A-moer-ang,
penduduk yang disebut bangsa Moro dan kecaatan Moro (Karimun, Riau) dan kabupaten
Morowali (Sulawesi Tengah) dan tentu saja di wilayah asalnya di Afrika Utara
yakni Morocco (kerajaan Maroko).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Asal Usul Nama Banjarmasin: Sukadana
hingga Kutai
Kapan
nama Bandjarmasin diidentifikasi? Setelah oramg-orang Portugis hampir satu abad
memetakan pulau Borneo, orang Belanda kemudian menyusul. Orang
Portugis pertama yang mengunjungi pulau ini adalah George Menesez pada tahun
1521 di Borneo yang mana orang Portugis kemudian menamai pulau dengan Borneo
yang mengacu pada nama kampong di teluk pantai utara Boernai (kini Brunei).
Orang Belanda sendiri mengunjungi pulai ini pada tahun 1600 oleh O van Noort
(lihat Almanak. 1819),
|
Peta 1601
|
Olivier van Noort telah mengunjungi
(pelabnhan) Borneo. Ini dapat diperhatikan dari peta yang dibuat oleh Olivier
van Noort pada tahun 1601 dengan judul peta 'Begin ende Voortgang';
Afteeckeninge van 't Eylandt Borneo. Peta ini tampaknya disalin Noort dari peta
Portugis (dimana nama-nama Portugis banyak ditemukan). Dalam peta ini rute yang
dilalui Noort dari arah Sumatra (melalui Natuna) terus ke pelabuhan (stad)
Borneo. Disebutkan kapalnya diserang pada tanggal 1 Januari 1601 oleh sampan
dari raja setempat. Olivier van Noort kemudian berlayar ke arah timur.
Pada
Peta 1601 (Oliver van Noort) nama Bandjarmasing tidak diidentifikasi. Nama yang
diidentifikasi di Bandjarmasin adalah Taniampura. Pada Peta 1619 nama
Bandjarmasin belum diidentifikasi (masih Taniampura). Kapal Belanda kemudian
diketahui berada di pulau Boeneo pada tahun 1619. Disebutkan pada tahun 1619 (lihat
Almanak 1827) empat pelaut Belanda terbunuh saat melakukan pengiriman hasil produk
ke Jawa (Batavia?). Setelah kejadian ini diduga orang-orang Belanda (VOC) telah
meninggalkan wilayah. Ini dapat dibaca pada laporan Carl Bock (lihat Soerabaijasch
handelsblad, 17-01-1882). Disebutkannya pada awal abad ke-17, perusahaan VOC disana
(Bandjarmasin) berdagang dengan penduduk asli tetapi kemudian ditinggalkan.
Nama Bandjarmasin paling tidak sudah
teridentifikasi dengan jelas pada Peta 1657. Pada peta ini juga sudah teridentifikasi
nama-nama seperti Coetty (Koetai) Bandjarmasing, Sampit, Cottaringin
(Kotawaringin), Soeccadana. Meski nama Borneo masih eksis namun kota yang
ditandai sebagai kerajaan hanya Banjarmasin dan Soeccadana. Kota Borneo hanya
ditandai sebagai kota seperti yang lainnya. Lantas apakah kota Borneo telah
menurun? Peta ini dibuat orang Belanda (VOC). Nama-nama Portugis semakin
berkurang dan digantikan oleh nama-nama lokal yang sesuai dengan nama-nama masa
kini. Meski demikian nama pulau tetap disebut Borneo.
Carl
Bock juga mencatat bahwa pada tahun 1706 Inggris mencoba mendirikan sebuah
pabrik, tetapi sifat kaku mereka membuat Soetan tidak senang sehingga Soeltan menyerbu
pemukiman mereka dengan 8.000 orang dan membakarnya habis. Namun Inggris telah
mengetahui rencana tersebut dan mundur ke kapal mereka sebelumnya. Tetapi ini
tidak mencegah Soeltan untuk menyerang juga kapal-kapal itu, dua yang terbesar
melarikan diri, tetapi juga membakar dua lainnya dengan semua orang di atasnya. Pada 1711 Belanda datang
untuk mendirikan pemukiman disusul pembangunan benteng pada 1747. Empat puluh
tahun kemudian, Soeltan menyerahkan seluruh wilayahnya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar