*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini
Sejarah pendidikan di Banten sesungguhnya termasuk awal, bahkan sebelum ada sekolah untuk pribumi di Batavia, di Banten tepatnya di Serang sudah ada sekolah untuk pribumi yang didirikan oleh pemerintah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tidak cepat tumbuh dan berkembang seperti di tempat lain?.Ketika tiba saatnya, putra-putra Banten dapat mencapai pendidikan setinggi-tingginya: Hussein Djajadinigrat orang pribumi pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di Leiden pada tahun 1913.
Lantas bagaimana sejarah pendidikan di Banten? Pendirian sekolah untuk pribumi di Residentie Banten ditempatkan di ibu kota baru di Serang pada tahun 1851 (tahun yang mana sekolah guru Kweekschiool di Soeracarta didirikan). Bagaimana semua itu bermula? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sekolah di Serang: Eropa dan Pribumi
Dalam Almanak 1849 dicatat sejumlah wilayah (Residentie) telah memiliki komisi pendidikan. Komisi pendidikan ini umumnya diketuai oleh Residen dengan beberapa anggota dengan satu sekretaris. Namun dalam almanak ini hanya (atau mungkin baru itu yang ada) sekolah dasar Eropa (lager school) yang dicatat adanya. Boleh jadi (baru) itu yang masih menjadi perhatian pemerintah (daerah).
Sekolah dasar (lager school) Eropa (ELS) tersebut yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang merangkap guru atau kepala sekolah yang dibantu oleh satu atau dua guru. ELS terdapat di Batavia (Weltevreden), Banten (Serang), Buitenzorg, Cheribon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Soerabaja, Gresik, Sumenep, Pasoeroean, Bagelen (Poerworedjo), Kedoe, Djogjakarta, Soeracarta Sumatra’s Westkusr (Padang), Bengkoelen, Riouw, Makassar, Amboina, Banda, Ternate dan Manado, ELS di Serang hanya diasug oleh seorang kepala sekolah yang merangkap guru AG van Velthuijsen. Selain sekolah dasar negeri, juga ada sekolah yang dimiliki swasta (Katolik) seperti di Semarang, Soerabaja dan Amboina. Di Manado, selain sekolah Eropa juga ada sekolah berbahasa Melayu (tidak dijelaskan pemerintah atau swasta).
Empat tahun kemudian (Almanak 1853) komisi pendidikan bertambah di (Residentie) Japara, Bezoeki (Probolinggo), Banjoewangi. Kedirie, Palembang, Bandjarmasin dan Timor (Koepang). Ini mengindikasikan cakupan wilayah pendidikan semakin meluas. Untuk tarif pendidikan sekolah dasar negeri sesuai dengan Biaya sekolah untuk sekolah negeri ditetapkan sebesar tarif yang dinyatakan dalam keputusan pemerintah 21 Juni 1847 ((Staatsblad No 29) yang harus diperhitungkan sesuai dengan peraturan umum berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 17 Januari 1849 No. 4. Satu yang penting dalam almanak 1853 dicatat sekolah untuk pribumi. Selain itu terdapat sekolah swasta (Eropa) di tempat lainnya seperti di Salatiga dan Malang.
Dalam Almanak 1853 ini di Depok dicatat sekolah dasar Kristen yang diasuh oleh AP Laurens dan M Laurens. Di Soeracarta terdapat sekolah guru Kweel'school tot opleiding van Inlandsche 0nderwijzers yang dipimpin oleh W. Palmer van den Brock dan dibantu oleh seorang guru J van Hangen. Di Pasoeroean terdapat sekolah Jawa yang diasuh oleh Hadjie Ismail dan dibantu oleh dua asisten Ardjo Widjoijo dan Kromo Koesumo. Di Manado, selain sekolah Melayu yang disebut pada Almanak 1849 juga dicatat sekolah dasar (berbahasa) Melayu di Kema, Amoerang, Tanawangko, Likoepang, Paniki, Tateli, Kapataran, Kakas, Lotta, Langowan dan Tondano plus tujuh buah di pulau Sangir dan Talaut. Di Ternate terdapat tiga sekolah dasar dan satu buah di Batjan.
Sebagaimana dapat diperhatikan hingga tahun 1853 di Residentie Banten sudah terdapat sekolah Eropa (ELS) tetapi belum ada sekolah dasar untuk pribumi. Tentu saja Almanak tersebut hanya mencatat sekolah-sekolah yang resmi (terdaftar) dan boleh jadi sudah ada sekolah dasar tetapi belum terinformasikan seperti yang sudah diadakan di Fort de Kock sejak 1846 dan di Afdeeling Mandailing en Angkola sejak 1849. Hal ini juga di Soeracarta sekolah-sekolah dasar yang ada belum tercatat (hanya mencatat sekolah guru di Soeracarta). Adanya sekolah di Banten untuk pribumi diketahui pada tahun 1854 saat kunjungan Gubernur Jenderal pada bulan Juli 1854 (lihat Nederlandsche staatscourant, 04-10-1854). Disebutkan Gubernur Jenderal dan rombongan tiba di Serang pada tanggal 24 Juli dan keesokan harinya meninjau antara lain sekolah dasar negeri (ELS), sekolah pribumi, benteng, rumah sakit, penjara dan masjid yang baru dibangun. Pada tahun ini dua siswa lulusan sekolah dasar di Mandailing en Angkola diterima di sekolah kedokteran di Batavia.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855: ‘Batavia, 25 November 1854. Satu permintaan oleh kepala Mandheling (Battalanden) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah, bahwa dua anak kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar dibawa untuk akun negara (dibiayai oleh pemerintah) ke Batavia dan akan mengikuti pendidikan kedokteran, bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah sakit militer disana, murid ini baru saja tiba dari melalui pelabuhan Padang disini, dan akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli’.
Sekolah kedokteran untuk pribumi didirikan pada tahun 1851 (sebagaimana sekolah guru di Soeracarta). Sekolah kedokteran ini diadakan di rumah sakit militer di Weltevreden (kini rumah sakit RSPAD). Lama studi dua tahun dengan kapasitas sebanyak 10 siswa. Ini berarti pada tahun 1854 sudah ada dua angkatan yang lulus. Sekolah kedokteran ini kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA). Dua siswa dari Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) adalah dua siswa pertama yang diterima dari luar Jawa. Dua siswa ini lulus lulus pada tahun 1856. Pada tahun ini dua siswa lagi dari Mandailing en Angkola diterima di Docter Djawa School bernaa Si Bodie dan Si Napan. Dr Asta ditepatkan di Onderafdeeling Mandailing (Panjaboengan) dan Dr Angan ditempatkan di Onderafdeeling Angkola (Padang Sidempoean).
Pada tahun 1857, teman seagkatan dengan Dr Asta di sekolah dasar di Panjaboengan (Mandailing) bernama Si Sati, yang bekerja sebagai juru tulis di kantor Asisten Residen Afdeeling Mandailing en Angkola di Panjaboengan, berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru. Si Sati dengan nama (julukan) Willem Iskander lulus pada tahun 1860 di Haarlem. Pada tahun 1861 Willem Iskander kembali ke tanah air dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato (Onderafdeeling Mandailing) dengan kapasitas 20 siswa. Sekolah guru Tanaobato ini menjadi sekolah guru ketiga di Hindia Belanda, yang pertama di Soeracarta, yang kedua di Fort de Kock didirikan tahun 1856. Pada tahun 1865 Inspektur Pendidikan Mr JA van Chijs mengunjungi sekolah guru di Tanobato dan menyatakan Kweekschool Tanobato yang terbaik di Hindia Belanda. Kabar ini segera menyebar yang kemudian para pegiat pendidikan di Preanger yang dipimpin oleh KF Holle mendirikan sekolah guru di Bandoeng. Kweekschool Bandoeng dibuka pada tahun 1866 (sekolah guru yang keempat).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perkembangan Pendidikan di Residentie Banten
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar