*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Suku Makki di jantung pulau Sulawesi, bukanlah penduduk terbelakng tetapi penduduk yang sangat tertinggal. Populasinya yang sedikit menyebabkan upaya mereka mengejar kemajuan sangat lambat. Wilayah geografis suku Makki yang benar-benar berada di pedalaman, jantung pulau Sulawesi sangat tergantung pada penduduk orang Toraja, orang Mamasa, orang Mamuju dan orang Seko yang memiliki akses ke dunia luar.
Lantas bagaimana sejarah suku Makki di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas keberadaan penduduk Makki kurang terinformasikan. Hal itu karena populasinya yang sedikit dan berada diantara suku-suku yang populasinya lebih banyak. Posisi GPS yang berada di pedalaman menyebabkan penduduk Makki kurang mendapat akses. Lalu bagaimana sejarah suku Makki yang sebenarnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Makki: Suku Berbeda dengan Suku Toraja
Suku Makki tinggal di NW Toraja. Itu yang dikatakan seorang peneliti yang hasil laporannya disarikan dan dimuat pada surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 09-04-1908. Besar dugaan bahwa peneliti ini adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Makki. Peneliti ini juga, seperti pengakuannya, adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Toraja di pedalaman.
Peneliti ini juga di dalam artikel-artiekelnya mengomentarasi tulisan-tulisan Kruijt dan Adriani. Sebagaimana diketahui Adriani seorang ahli bahasa dan Kruijt seorang misionaris sudah lama di (wilayah) Poso. Mereka berdua pernah menulis tenytang Toraja. Dari artikel peneliti di Toraja ini terkesan Adriani dan Kruijt belum pernah berkunjung ke pedalaman Toraja, mereka berdua hanya mendasarkarkan tulisan mereka dari keterangan dan informasi yang dikumpulkan di wilayah pantai (di luar wilayah asli penduduk Toraja). Sebagaimana diketahui dari tulisan Kruijt tentang wilayah Napu pada artikel sebelum ini bahwa orang Toraja juga ada yang berbahasa Bare’e dan tinggal di sekitar danau Poso. Orang-orang Toraja di pedalaman ada juga yang melakukan perdagangan ke wilayah utara hingga teluk Tomini di Mapale atau Poso. Dari orang-orang Toraja berbahasa Bare’e (Pamona) inilah diduga kuat Adriani dan Kruijt menulis tentang penduduk (suku) Toraja secara keseluruhan.
Peneliti ini menyebutkan bahwa di pedalaman tidak semuanya orang Toaraja. Peneliti ini menyebut satu diantaranya yakni penduduk Makki, meski populasinya sedikit tetapi memiliki bahasa dan budaya sendiri (yang berbeda dengan bahasa Toraja). Peneliti ini ingin menyatakan bahwa di pedalaman cukup banyak penduduk dengan populasi kecil, tidak hanya To Makki, juga ada To Bela, To Bare dan to yang lainnya. Orang To Makki disebutnya berada di luar (wilayah perbatasa) Toraja (sebagaimana juga To Mamasa). Catatan: pada artikel sebelumnya tentang To Mamasa sudah dideskripsikan.
Secara adnminstratif, pemerintah Hindia Belanda memasukkan wilayah Tana Toraja dan Toraja Tengah (selatan) ke dalam wilayah administratif (Afdeeling) Loewoe. Sementara Mamasa dimasukkan ke wilayah (afdeeling) Mandar. Lalu bagaimana dengan To Makki? Suatu wilayah, yang berada tepat di antara wilayah Afdeeling Mandar di barat, afdeeling Loewoe di timur dan selatan dan afdeeling Midden Celebes di utara. Donggala (Paloe) dan Poso adalah dua onderafdeeeling di Afdeeling Midden Celebes. Jadi, wilayah Makki tidak benar-benar berada di tengah wilayah orang Toraja, orang Mamuju maupun orang (to) lainnya.
Untuk dapat mencapai (wilayah) Makki dapat (mungkin satu-satunya) harus melalui Baroefoe. Jarak antara Barupu dengan wilayah Makki sekitar tiga hari perjalanan melalui jalan basah, dingin dan sangat sepi (dari penduduk). Di sepanjang jalan setapak yang dilalui banyak ditemukan tempat penduduk Barupu yang pada waktu tempo doeloe melarikan diri ke Makki pada saat mana dikenal seorang tokoh bernama Poeang Tikoe. Wilayah Makki adalah sebuah lanskap pegunungan yang berumput dan berhutan rendah dengan jurang dan jurang, yang dipenuhi dengan jurang-jurang yang dalam yang berbahaya.
Orang Makki berbeda dengan orang Toraja, Orang Makki lebih tenang yang dalam kehidupan mereka tidak ada tarian tetapi ada nyanyian. Jika ada yang meninggal ada penyanyi tertentu dan kemudian menampilkan seni mereka, jika perlu sepanjang hari. Tempo nyanyian To Makki sangat lambat dan bukan tempo cepat seperti di tempat lain. Dua penyanyi yang dilihat peneliti duduk bersebelahan dan bernyanyi tanpa lelah selama berjam-jam memainkan repertoar mereka yang menghantui, termasuk lagu dua bagian yang sangat melankolis yang jauh dari jelek.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pengembangan Penduduk Makki: Bukan Terbelakang Tapi Tertinggal
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar