*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Pada artikel-artikel sebelumnya telah dideskripsikan bahasa etnik Pamona di sekitar danau Poso dan juga bahasa Kaili di danau Lindu di kabupaten Sigi. Juga telah dibicarakan bahasa-bahasa di kabupaten Pasangkayu serta situs kuno di Seko dan Rampi (kabupaten Luwu). Pada artikel ini akan dideskripsi sejarah zaman kuno di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (perbatasan kabupaten Poso dan kabupaten Sigi). Wilayah danau Lindu-danau Poso bukanlah wilayah muda, tetapi wilayah yang sudah tua. Namun tidak setua yang diperkirakan para arkeolog, Bagaimana bisa?
Lantas bagaimana sejarah situs-situs tua di di Taman Nasional Lore Lindu di perbatasan wilayah Sigi dan wilayah Poso? Seperti disebut di atas, situs-situs tua di Sigi-Poso di sekitar gunung (danau) Lindu mirip dengan situs-situs tua di Angkola-Silndung. Bagaimana hal itu memilik kemiripan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Danau Lindu Gunung Lindu (Taman Nasional Lore Lindu): Antara Sigi dan Poso
Sebelum dikenal nama Lore, nama yang dikenal adalah wilayah (distrik kecil Napa dan Besoa). Keberadaan dua lanskap ini dilaporkan kali pertama oleh ALB C Kruijt (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1908). Ke wilayah pedalaman ini belum pernah ada orang Eropa. Penduduk Napa juga cenderung menolak kehadiran asing. Oleh karena itu wilayah Besoa juga tidak terkunjungi (karena untuk menuju Besoa melalui Napa).
Raja Sigi tampaknya
hanya memiliki hubungan perdagangan dengan orang Napu. Hal ini menurut Kruijt,
ketika Sarasin dari Mapane ingin berkunjung ke Napu tahun 1895, tetapi gagal,
Kruijt bersama Adriani coba ke Napu tetapi juga gagal. Lalu Kruijt tahun 1897
berinisiatif ke Napu lewat Sigi. Namun
menurut Kruijt bahwa Radja Sigi tidak bisa menjamin keselamatannya ke
pedalaman. Hal itu membuat Kruijt mengurungkan niatnya ke Napu. Kruijt
berkesimpulan bahwa Radja Sigi tidak memiliki otoritas penuh terhadap penduduk
Napu. Catatan: Kruijt adalah seorang misionaris yang stasionnya di Poso (dimana
sudah terbentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda tempat dimana Controleur
berkedudkan). Sementaran Adriani adalah seorang ahli bahasa yang sedang
mempelajari bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah. Radja Sigi adalah radja dari
penduduk Kaili (pedalaman), sementara di pantai terutama di Donggala tempat
bermukim orang-orang Bugis dan Makassar yang telah menggantikan peran orang-orang
Mandar. Wilayah Kaili di masa lalu berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Ternate.
Kruijt menyebutkan kepala Napu bernama Oema I Soli.
Orang Napu dan tetangganya orang Besoa berhubungan baik dengan orang Seko dan orang Rampi. Boleh jadi mereka ini berasal dari keturunan yang sama (sama-sama raja gunung yang menguasai wilayah pedalaman). Orang Poso (Pamona), orang Luwu dan orang Mandar dan orang Mamuju adalah penduduk pantai. Besar dugaan bahwa orang Napu, Besoa, Seko dan Rampi adalah penghuni pertama di jantung pulau Sulawesi. Lalu bagaimana dengan orang Toraja (dan orang Mamasa)? Setali tiga, uang. Orang Toraja dan orang Mamasa juga berhubungan baik dengan orang Napu, Seko dan Rampi. Satu tokoh yang terkenal dari To Napu adalah Uma I Soli.
Seperti kasus di Silindung dan Toba di Tapanuli pada saat kehadiran Nommensen, kehadiran Krujt di Poso telah memprovokasi orang Napu dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada bulan Agustus 1905 militer dari Manado didatangkan untuk menjinakkan orang-orang Napu. Terjadi pertempuran antara orang Napu dengan militer. Pada ekspedisi kedua bulan September dengan militer yang lebih banyak, para pemimpin Napu menyerah kepada pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, orang Napu tetap melakukan perlawanan pasif meski pemerintah Hindia Belanda telah mengangkat Uma I Tahungki sebagai wakil pemerintah di Napu. Uma I Tahungki tetap tidak bisa berbuat banyak. Strategi pemerintah kemudian dialihkan dari Paloe dengan mengirim ekspedisi ke Napu, lagi-lagi terjadi pertempuran. Faktor Uma I Soli tetap menjadi sentral diantara penduduk Napu. Orang Besoa yang didekti pemerintah terkesan mendua, dan tidak terlalu setia ke pemerintah tetapi menaruh perhatian yang kuat pada orang Napu. Menurut Kruijt situasi dan konsisi di wilayah Napu baru dapat dikendalikan setelah meninggalnya Uma I Soli. Wilayah Napu dan Beso dimasukkan ke wilayah Afdeeling Poso (bukan Afdeeling Donggala). Dengan begitu, tampkanya Kruijt mulai tersenyum dan dengan sendirinya mulai melakukan aktivitasnya yang sudah lama terhambat di wilayah Napu dan Besoa. Catatan: orang Toraja juga melakukan perdagangan ke Poso.
Uma I Soli tampakknya mewakili karakter orang To Napu. Sebagaimana penduduk (To) yang lainnya, orang To Napu sangat mandiri dan memiliki keahlian berperang. Orang To Napo hidup seperti orang Batak di wilayah pedalaman yang tenang, di lembah-lembah diantara pegunungan. Orang To Napu, seperti tetangganya di wilayah pedalaman jantung pulau Sulawesi, memiliki tradisi pemujaan leluhur dan menganggap gunung sebagai suatu yang penting dalam hidup dan sakral (tempat turunnya dewata). Tradisi dan penujaan leluhur boleh jadi menjadi karakter To Napu sebagaimana diwakili oleh Uma I Soli yang tidak mau tunduk pada asing (Belanda). Namun tampaknya orang To Napu ingin menjaga kesakralannnya wilayah tradisinya di (lembah) Napu sehingga mereka cenderung offensif dan sangat keberatan orang asing memasuki wilayahnya? Apakah itu batu-batu pemujaan?
Uma dalam bahasa Napu adalah ayah. Di wilayah penduduk tetangga nama Uma dieja dengan nama Ama atau Amang. Sedangkan ibu dalam bahasa Napu adalah Ina (demikian juga di wilayah tetangga disebut Ina atau Inang. Jika memperhatikan bahasa-bahasa elementer dalam kamus bahasa Napu, seperti Ama dan Ina, Empung, Mpoe atau Poe dan sebagainya ada kesan bahasa Napu merupakan satu rumpun dari utara (Minahasa) hingga selatan (Toraja). Jika dipetakan semua kosa kata elementer ini dan nama-nama geografis ada kemiripan dari Minahasa ke Maluku dan ke Toraja hingga Manggarai. Dari daerah Minahasa ke utara hingga pulau Luzon (di teluk Manila). Antara Luzon di satu sisi dan Minahasa di sisi lain, kosa kata elementer dan nama-nama geografis terputus, tetapi terdapat kemiripan nun jauh di pantai timur Sumatra (mulai dari muara sungai Barumun). Asal usul terminologi To (orang) diduga merujuk pada (penyembahan) dimana terdapat gunung (tempat dewata dan arwah leluhur), seperti To (Toraja), Tou (Minahasa) dan Tau sebagainya merujuk pada kata Tor seperti Tor Raja (Toraja), Tor Dano (Tondano).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa-Bahasa di Seputar Danau Lindu dan Danau Poso: Kaili, Baras, Benggaulu, Bare’e, Seko dan Rampi
Satu yang khas dari wilayah penduduk asli Sulawesi di pedalaman adalah ditemukannya sejumlah prasasti-prasasti zaman kuno seperti di lembah Napu. Prasasti-prarasti ini hanya terbatas ditemukan dan mirip satu sama lain antara lain, prasasti Minahasa (Watu Rerumeran), prasasti Seko (Toraja), prasasti Watu Mpoga’a (Poso), prasasti Wana (Watu Marando) dan prasasti-prasasti di Manggarai (nama awal pulau Flores). Seperti halnya kosa kata elementer dan nama geografis, juga parasasti-prasasti yang ditemukan di Sulawesi dan Manggarai mirip dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah aliran sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Penduduk pendukung prasasti-prasasti itu memiliki bahasa-bahasa berbeda tetapi dalam kosa kata elementer kurang lebih sama.
Bahasa Napu merupakan salah satu bahasa yang ditemukan di wilayah Lore Utara (kabupaten Poso). Bahasa Napu mendominasi wilayah Lembah Napu dan dipertuturkan oleh orang Napu. Bahasa Napu termasuk rumpun Badaik, bersama dengan bahasa Besoa dan bahasa Bada. Dari sudut pandang leksikostatistik murni, Napu, Behoa dan Bada dapat dianggap sebagai dialek dari satu bahasa. Namun secara geografis dan sosiolinguistik mereka berbeda, dan atas dasar ini ketiganya diperlakukan sebagai bahasa yang terpisah. Sementara penutur bahasa Besoa atau bahasa Behoa terdapat di kecamatan Lore Tengah. Bahasa Besoa tersebar di Lembah Lore dan dipertuturkan oleh suku Besoa. Sedangkan penutur bahasa Bada terdapat di 14 desa di kecamatan Lore Selatan, 2 desa campuran di kecamatan Pamona Selatan, 4 desa campuran di kecamatan Poso Pesisir, desa Lemusa di kecamatan Parigi Selatan, kecamatan Ampibabo dan desa Ako di kecamatan Pasangkayu (kabupaten Pasangkayu). Salah satu lgu terkenal pada masa ini yang berbahasa Bada adalah lagu berjudul Ina Uma Allalungku yang dalam bahasa Angkola Mandailing dapat diartikan sebagai Ibu dan Ayah Saudaraku yang kurindukan. Lagu ini dalam bahasa Napu berjudul Katuwongku.
Bahasa Napu, bahasa Besoa dan bahasa Bada merupakan rumpun bahasa yang sama yang berbeda dialek. Penduduk penutur tiga bahasa ini berada berpusat di wilayah Lore, dimana terdapat lembah Napu, lembah Besoa dan lembah Bada yang pada masa ini ditemukan sejumlah prasasti yang berasal dari zaman kuno. Prasasti-prasasti yang terbuat dari batu-batu besar ini dalam bentuk patung wajah, wadah (lesung) dan bentuk lainnya yang mengindikasikan bukti peradaban zaman kuno.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar