*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Pembentukan otoritas pemerintahan antitesisnya
adalah pembubaran otoritas melalui perlawanan yang kerap dilabeli sebagai
pemberontakan. Dalam hal ini kita tidak membicarakan antara otoritas
pemerintahan local dengan para pemimpin local lainnya, tetapi antara otoritas
asing (Pemerintah Hindia Belanda) dengan para pemimpin local termasuk dari
kalangan kerajaan sendiri. Bagaimana sejarah di daerah aliran sungai
Batanghari.
Sebelum cabang Pemerintah Hindia Belanda dibentuk di (wilayah) Jambi, ada satu masa sebelumnya yakni kehadiran orang Eropa sejak era Portugis. Pada era VOC/Belanda ada dua kekuatan perdagangan Eropa di Jambi yakni Belanda dan Inggris. Pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Jambi dapat dikatakan kelanjutan kehadiran orang Eropa di daerah aliran sungai Batanghari. Selama kehadiran otoritas/pemerintah Hindia Belanda di Jambi, banyak perselisihan yang timbul, tidak hanya dari kalangan kraton tetapi juga dari pemimpin penduduk lainnya. Puncak dari berbagai peristiwa yang pernah ada di daerah aliran sungai Batanghari adalah berakhirnya masa kesultanan Jambi seiring dengan meninggalnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 yang kemudian Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan (Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906). Pemerintahan Hindia Belanda berakhir tanggal 9 Maret 1942 yang digantikan Jepang.
Lantas bagaimana sejarah otoritas Pemerintahan Hindia Belanda dan pemberontakan di wilayah Jambi? Seperti yang disebut di atas, selama kehadiran Belanda ada relasi yang penting antara Sultan dan pejabat-pejabat Belanda. Namun diantara ada peristiwa-peristiwa yang mengusik otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah otoritas Pemerintahan Hindia Belanda dan pemberontakan di wilayah Jambi? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Otoritas Pemerintahan Hindia Belanda dan Pemberontakan di Wilayah Jambi; Relasi Sultan dan Pejabat Belanda
Meski kehadiran orang Eropa di Jambi di daerah aliran sungai Batanghari sudah sejak lama, bahkan sejak era Portugis, pembentukan otoritas pemerintahan masih terbilang baru. Itu bermula setelah cabang pemerintahan dibentuk di Palembang (dalam hal ini Jambi masuk wilayah Residentie Palembang).
Dalam Almanak 1836) sudah mulai ada cabang Pemerintah Hindia Belanda di Jambi. Di satu sisi wilayah Jambi masuk wilayah Residentie Palembang, di sisi lain Sultan Jambi telah diakui pemerintah sebagai penguasa tunggal di Jambi. Dalam Almanak ini di Jambi fungsi Sultan Jambi Mohamad Fahruddin di Jambi (suatu yang berbeda dengan di Palembang, dimana fungsi Sultan sudah dihapuskan dan penggantinya otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Dalam Almanak 1836 seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda ditempatkan di Moeara Kompeh, WF Blancken sebagai civiel gezaghebber (setingkat Controleur). Pengangkatan Blancken diberitakan pada bulan Oktober 1836 (lihat. Javasche courant, 22-10-1836). Disebutkan sebagai civiel gezaghebber di Moeara Kompeh (Res. Palembang) WF Blancken, kommies di Grissik. Willem Frederik Blancken berangkat dari Soerabaja ke Palembang dengan kapal (lihat Javasche courant, 08-03-1837). Pada tahun 1840 Blancken diberitakan telah meninggal (lihat Javasche courant, 10-06-1840). Kemudian yang menjadi penggantinya adalah JKD Lammleth.
Penempatan pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Jambi dilakukan pada tahun 1836 sebagai civiel gezaghebber yang salah satu fungsi utamanya adalah ontvanger (penerima pendapatan, dari retribusi, bea dan cukai). Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi relasi antara Sultan dan Pemerintah Hindia Belanda (plakaat).
Ontvanger adalah pejabat yang berfungsi dalam urusan keuangan (berbeda
dengan Controleur yang banyak fungsi). Dalam bahasa sekarang kepalada dinas
pendapatan (bukan bupati.wali kota). Berdasarkan Almanak 1836 fungsi ontvanger
di luar Jawa, selain di Jambi terdapat di Amboina, Banda, Ternate, Manado,
Gorontalo, Makassar, Padang, Bengkoelen, Natal, Tapanoeli, Palembang, Muntok,
Timor dan Bandjarmasin.
Pendapatan yang diperoleh Pemerintah Hindia Belanda hanya untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda (tidak terkait dengan pemimpin local/raja). Namun pendapatan yang diteriman pemimpin local adalah bisnis yang difasilitasi pemerintah seperti distribusi garam, opium dan sebagainya.
Pendapatan Pemerintah Hindia Belanda di suatu wilayah, adalah pendapatan
di wilayah tersebut yang disandingkan dengan pengeluaran pemerintah berupa gaji
pejabat, transportasi, perumabah dan sebagainya serta pembuatan dan pembangunan
sarana seperti Gedung, rumah pejabat dan sebagainya. Surplus ditransfer ke
atasan di tingkat residentie dan seterusnya ke pusat; sebaliknya jika deficit anggaran
di daerah diajukan kepada pemerintah pusat melalui Residen/Gubernur.
.Munculnya isu penolakan otoritas Pemerintah Hindia Belanda di berbagai wilayah tergantung intensitas permasalahan di wilayah. Yang pertama adalah kehadiran asing/orang Eropa di wilayah tidak disukai penduduk, para pemimpin menganggap Raja/Sultan telah terkooptasi yang memilik dampak bagi seluruh penduduk, penduduk sangat dirugikan dengan otoritas Pemerintah Hindia Belanda dalam hal tarif angkutan, bea dan cukai (sementara dianggap raja/sultan tidak berdaya atau tidak menyadarinya). Penolakan-penolakan tersebut bereskalasi menjadi pembangkangan dan pemberontakan (angkat senjata).
Civiel gezaghebber JKD Lammleth menjadi satu-satunya pejabat sipil
Pemerintah Hindia Belanda di Jambi. Pada tahun 1843 Lammleth menjadi sangat
sibuk di Moara Kompeh. Hal ini karena ada ekspedisi militer dari Residenrie
Riau yang memasuki wilayah Jambi (lihat Javasche courant, 29-11-1843).
Disebutkan Residen Riau telah memerintahkan kapal perang memburu perambok di
Selat Malaka dimana para para perampok telah melakukan penjarahan dan
penculikan di Penang, Quedah dan tempat-tempat lain yang kapal-kapal perampok
menuju perairan Jambi dan memasuki daerah aliran sungai Batang Tungkal. Dalam
ekspedisi ini menggunakan tiga kapal perang terdiri dari Zr. MS. Brik
Greyhound, Sr. MS. Schooner Janus, dan Gouvernements Kruisbooten dan tiga perahu
pemberian dari raja muda Riau. Muara sungai Batang Tungkal segera diblokir. Salah
satu kapal penjelajah (Janus) telah dikirim terlebih dahulu ke Moeara Kompeh
untuk meminta kerja sama civiel gezaghebber dan untuk memberitahu adanya intervensi ekspedisi kepada Sultan Djambie,
yang mana Tungkal adalah wilayahnya. Janus kembali dengan membawa civiel gezaghebber Laminlelh, sementara pada
hari yang sama sebuah surat diterima dari Sultan Djambie, dimana menyatakan bahwa
dia tidak tahu apa-apa tentang persinggahan para perampok di wilayahnya, Oleh
karena jalur sungai ke dalam dangkal, lalu dikirim tujuh perahu dan sebuah perahu
panjang dengan senjata yang turut serta Lammleth yang dikomandoi oleh Letnan
angkatan laut kelas 2 Smits dan de Braauw serta seorang petugas kesehatan Bontt.
Ekspedisi sungai mencapai kampung Penjingat, tempat utama lanskap Tungkal. Para
perompak ini telah melarikan diri, tetapi dua puluh sembilan orang yang diculik
oleh perampok dan dijual di tempat-tempat itu dan di sekitarnya, dibebaskan
dari perbudakan. Ada dua orang nahkoda perampok tertinggal dapat diringkus. Setelah
selesai Lammleth kembali ke Muara Kompeh dengan kapal penjelajah Janus dan
ekspedisi berangkat dari Tungkal dan tiba di Sekana pada tanggal 21 September.
Semua korban telah dikumpulkan di Moara Kompah di bawah penanganan Lammleth yang
akan kemudian dikembalikan ke kampong halaman mereka melalui Singapoera. Total
korban yang dapat diselamatkan sebanyak lima puluh sembilan pria, wanita, dan
anak-anak.
Berdasarkan Almanak 1846 dicatan Sultan Jambi adalah Ratoe Abdul Rachman Nasaroedin. Besar dugaan Sultan ini yang turut aktif berpartisipasi dalam pembebasan korban penculikan di wilayahnya. Dalam perkembangannya, antara Palembang dan Jambi tidak selalu dihubungkan dengan kapa, tetapi juga diketahui sudah ada jalur darat antara Palembang dan Jambi (lihat De Curaçaosche courant, 26-06-1852). Ini akan memungkinkan para pejabat pemerintah dapat melakukan komunikasi yang lebih cepat, dan juga dimungkinkan pergerakan militer jika di wilayah Jambi terjadi situasi yang mengancam otoritas Pemerintah Hindia Belanda.
Setelah lama situasi yang kondusif di wilayah (residentie) Palembang,
mulai terjadi perlawanan terhadap otoritas pemerintah. Berita perlawanan ini
sudah muncul 1851 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws- en advertentieblad, 19-12-1851). Perlawanan dilakukan oleh Radja Tiang
Alam (Pagar Alam?) di sekitar Tebingtinggi. Perlawawanan ini dapat diatasi oleh
Letnan Kolonel de Brauw sehingga keamanan dapat dipulihkan hingga ke
Tebingtinggi. Meski demikian Radja Pagar Alam bergeser ke Ampat Lawang dan tetap
tidak mengakui otoritas Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 14-04-1852). Untuk
menjepit Radja Tiang Alam dikirim satu detasemen yang dipimpin Majoor Jeekel
dari Jawa ke Bengkoelen menyusuri hingga ke Tebingtinggi. Letnan Kolonel de
Brauw kemudian menyerahkan komando kepada Majoor Jeekel. Untuk menambah
dukungan dikirim dua detasemen ke wilayah Tebingtinggi (lihat Rotterdamsche
courant, 20-07-1852). Selama perlawanan ini diberitakan Sultan Palembang
Machmoed Badaroedin dilaporkan telah meninggal di Ternate (lihat Algemeen
Handelsblad, 17-03-1853). Disebutkan Sultan Palembang dalam usian tinggi 89
tahun meninggal pada tanggal 26 November (1852) di Ternate dan dikuburkan di hari
esoknya. Radja Tiang Alam baru berhasil ditangkap pada tanggal 3 April 1856 dan
kemudian diasingkan ke Jawa (lihat Leydse courant, 02-07-1856). Radja Tiang
Alam meninggal di Salatiga (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 08-10-1873).
Ketika konsentrasi pemerintah Residentie Palembang tersita untuk mengatasi perlawanan di pedalaman yang dipimpin oleh Raja Tiang Alam, di wilayah Jambi terjadi penghasutan kepada rakyat untuk melawan otoritas Belanda yang dilakukan oleh seorang kapten kapal Amerika, Gibson (lihat De Curaçaosche courant, 26-06-1852). Penangkapan terhadap Gibdon diperintahkan Residen Palembang dan telah dibawa ke Batavia di bawah kawalan kapal perang. Sementara juru mudi kapal telah meninggalkan Palembang ke Jamb'i melalui darat segera setelah dia meninggalkan kapal yang ditahan. Di salah satu stokingnya ditemukan surat yang ditulis dalam bahasa Melayu. ditandatangani oleh Monsieur Gibson dan ditujukan kepada Sultan Jambi, mengundang Pangeran untuk melepaskan otoritas Belanda selanjutnya, dia segera dijanjikan bantuan bersenjata, dan dukungan dari armada Amerika.
De Curaçaosche courant, 09-09-1854: ‘Kapten Gibson telah membuat pernjajian
dengan Sultan Jambi. Kapten Gibson telah diadili di Batavia. Pengadilan Tinggi
di Hindia telah menjatuhkan putusan sampai 12 tahun hukuman penjara, tetapi
kemudian berhasil melarikan diri, sekarang di kediaman Amerika dan didukung
oleh pemerintah Amerika, telah datang untuk menegaskan klaimnya untuk
kompensasi dari pemerintah Belanda’.
Lantas mengapa Sultan Jambi melakukan pernjajian itu dengan orang Amerika? Setelah kasus itu terungkap, apakah kini Sultan Jambi dalam masalah? Yang jelas diberitakan melalui telegraf di 's Hage pada tanggal 9 November Nederlandsche expeditie telah menghancurkan Jambi di pantai timur Sumatra (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 09-11-1858). Disebutkan ekspedisi Belanda ke Jambi dengan hasil yang baik. Pendaratan terjadi pada tanggal 6 September dan Jambi kini dikuasai Belanda. Kehilangan penduduk asli cukup besar. Di pihak Belanda 4 orang tewas dan 34 terluka.
Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en
advertentieblad, 04-09-1858: ‘Batavia, 7 Juli. (Lanjutan). Kapal uap HM Admiral
van Kinsbergen, dengan kapal milik Storm van Gravesande, kembali ke Batavia
pada tanggal 25 Juni dari pelayarannya ke Jambi. Tampaknya masih ada
keberatan-keberatan terhadap dibuatnya suatu perjanjian dengan Sultan Jambi,
dalam semangat yang dianggap perlu oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
kepentingan hubungan Barat dan khususnya untuk kepentingan kemajuan kerajaan
itu sehingga perjanjian ini belum membuahkan hasil’.
Apa yang mendasari masalah ini sehingga harus dihukum Pemerintahan Hindia Belanda di Jambi? Apakah kasus Gibson terdahulu masih memiliki relasi dengan situasi dan kondisi sekarang?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Relasi Sultan dan Pejabat Belanda: Mengapa Muncul Pemberontakan di Daerah Aliran Sungai Batanghari
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar