Senin, 03 Oktober 2022

Sejarah Bangka Belitung (25): Warga Cina dan Orang Tionghoa di Bangka - Belitung; Sejarah Migran Asal Tiongkok Hindia Timur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini  

Warga Cina menjadi Orang Tionghoa. Begitulah sejarahnya. Bermula dari masa lampau, bahkan sejak zaman kuno. Pada era Portugis orang Tiongkok sudah banyak yang berdagang ke wilayah Hindia Timur. Populasinya semakin meningkat pada era VOC/Belanda. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda banyak yang menetap, yang kemudian muncul nama Tionghoa yang kini menjadi warga negara Indonesia. Namun sebaliknya banyak juga yang Kembali ke Tiongkok, berbeda dari masa ke masa. Bagaimana para migran asal Tiongkok di kepulauan Bangka dan Belitung sejak tempo doeloe?


Tionghoa Bangka-Belitung adalah etnis Tionghoa tinggal di wilayah Bangka Belitung, salah satu daerah dengan konsentrasi etnis Tionghoa yang besar di Indonesia. Awal kedatangan skala besar orang Cina di Bangka Belitung tahun 1700-1800-an. Orang Hakka didatangkan dari berbagai wilayah di Guangdong Huizhou, Chaozhou tenaga penambang timah. Sebagian besar etnis Tionghoa di Bangka Belitung Orang Hakka, minoritas Orang Minnan (Hokkian). Sensus 1920, populasi orang Cina di Bangka 44% dari 154.141 jiwa. Etnik Tionghoa di Bangka dan Belitung terbesar kedua setelah suku Melayu. Budaya Tionghoa di Bangka sedikit berbeda dengan di Belitung. Orang Cina di Bangka didatangkan awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Umumnya tidak membawa istri, menikahi penduduk asli, sehingga Tionghoa di Bangka sebagian besar peranakan berbicara bahasa Hakka bercampur Bahasa Melayu. Tionghoa Belitung dianggap "totok" datang pada abad ke-19 membawa istri, beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara. Mereka masih berbicara dengan Bahasa Hakka yang asli. Tokoh-tokoh Tionghoa Bangka-Belitung: Lim Tau Kian, Lim Boe Sing, Tjoeng A-tiam, mayor Cina di Mentok. Tan Hong Kwee, kapten Cina di Mentok 1832 – 1839, Tony Wen, lahir di Sungailiat, pejuang kemerdekaan Indonesia. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Bupati Belitung Timur dari 3 Agustus 2005 sampai 22 Desember 2006 dan Gubernur DKI Jakarta dari 16 Oktober 2014 sampai 9 Mei 2017, Myra Sidharta, penulis dan sinolog dari Belitung. Sandra Dewi, aktris. Rudianto Tjen, politikus, Hidayat Arsani, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Bambang Patijaya, politisi/(anggota DPR (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah warga Cina dan orang Tionghoa di Bangka Belitung? Seperti disebut di atas, orang Tionghoa cukup banyak di Bangka Belitung yang merupakan bagian dari sejarah migran asal Tiongkok di Hindia Timur. Lantas bagaimana sejarah warga Cina dan orang Tionghoa di Bangka Belitung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Warga Cina dan Orang Tionghoa di Bangka Belitung; Sejarah Migran Asal Tiongkok di Hindia Timur

Secara alamiah, dimanapun di muka bumi, orang sebangsa sebahasa bermigrasi membawa bahasa ibu, bahasanya sendiri. Bahwa ada adopsi, adaptasi dan percampuran bahasa di tempat tujuan adalah masalah yang teimbul kemudian. Demikian juga orang Tiongkok bermigrasi, khususnya ke Hindia Timur di selatan, membawa bahasanya sendiri. Dalam hal ini sejarah migran adalah sejarah bahasa itu sendiri. Sejarah bahasa adalah sejarah populasi yang terbentuk di suatu wilayah tertentu, temasuk populasi migran.


Dalam peta bahasa di pulau Bangka (1889), dominan bahasa asal Tiongkok di pulau Bangka ditemukan di onderdistrict Klabat di district Djeboes; bagian utara district Merawang, seberang Blindjoe di teluk Klabat. Sementara bahasa campuran asal Tiongkok dan bahasa Melayu di kota Djeboes. Bagaimana dengan di pulau Billiton?

Adanya komunitas pengguna bahasa asal Tiongkok dalam peta bahasa di pulau Bangka dan pulau Belitung mengindikasikan ada suatu wilayah/area dimana populasi asal Tiongkok dominan yang membentuk populasi sendiri dengan bahasa sendiri. Besar dugaan kelompok populasi ini adalah bagian dari migran asal Tiongkok dari masa ke masa.


Sejarah migran Tiongkok ke pulau-pulau selatan (baca: Hindia Timur) diduga masih terbilang baru. Pada era dinasti Han, abad ke-2, tidak ada indikasi orang Tiongkok sudah melaut. Dengan kata lain orang Tiongkok masih berada di pedalaman Tiongkok. Sebaliknya pada abad ke-2 sudah ada orang Hindia Timur (baca: Nusantara) yang melakukan kontak perdagangan ke pantai timur Tiongkok. Dalam catatan Tiongkok pada dinasti Han disebutkan utusan raja Yeh-tiau datang menghadap Kaisar Tiongkok di Peking untuk meminta izin membuka pos perdagangan. Menurut sejumlah peneliti era Hindia Belanda, pos perdagangan ini diduga berada di dekat kota Hue yang sekarang di Vietnam dan kerajaan Yeh-tiau ini diduga kuat berada di pantai timur Sumartra (muara sungai Baroemoen) dalam hubungannnya dengan perdagangan emas dan kamper. Pelayaran I’tsing pada abad ke-7 ke pantai timur Sumatra diduga awal kehadiran orang Tiongkok ke pulau-pulau selatan. Pada abad ke-12 dan ke-13 sudah banyak catatan Tiongkok yang mengindikasikan nama-nama tempat yang diduga berada di pantai timur Sumatra. Akhirnya ekspedisi besar Tiongkok pada awal abad ke-15 yang dipimpin Cheng Ho diduga menjadi awal hubungan yang intens antara Tiongkok dengan pulau-pulau di selatan, dan sebaliknya. Catatan Portugis (lihat antara lain Mendes Pinto 1537) pada paruh pertama abad ke-16 sudah massif pedagang-epdagang asal Tiongkok di seputar selat Malaka, baik di Malaka maupun di pantai timur Sumatra (kerajaan Aru). Pedagang-pedagang Portugis sendiri pada tahun 1519 telah membuka pos perdagangan di muara sungai Canton. Kehadiran pedagang-pedagang asal Tiongkok pada awal permulaan VOC sudah massif di pantai utara Jawa. Jumlah migran asal Tiongkok mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-18 yang mana terjadi peristiwa besar di Batavia pada tahun 1740.

Kehadiran migran asal Tiongkok di Hindia Timur, yang diduga dimulai secara intens diantara pulau Sumatra dan Kalimantan (terutama selat Malaka) diduga karena terkait dengan aktivitas perdagangan. Kehadiran migran asal Tiongkok dalam hubungannya dengan produksi diduga baru dimulai di Jawa pada era VOC/Belanda, dalam hubungannya dengan pertanian tebu dan pengolahan/pabrik gula di Batavia dan sekitar, yang berakhir timbulknya kerusuhan pada tahun 1740. Oleh karena itu, kehadiran migran asal Tiongkok di Bangka dan Belitung diduga baru muncul pada masa awal produksi/pertambangan timah (sebagai perluasan dari pertambangan timah di pantai barat Borneo dan semenanjung Malaya). Deposit timah yang melimpah di Bangka Belitung, menjadikan wilayah sebagai sentra produksi timah utama pada awal Pemerintahan Hindia Belanda (bersaing dengan pantai barat Kalimantan).


Pada masa pendudukan Inggris (dimulai pada tahun 1811), akibat kerusuhan di Palembang, yang mana residen Pemerintah Hindia Belanda terbunuh, pihak Inggris menghukum kesultanan Palembang dengan menghilangkan hak-hak kesultanan. Dalam perjajian yang dibuat antara Kolonel Gliepsie dan Sultan Palembang, salah satu isinya wilayah Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Sejak itulah Inggris membangun benteng di suatu kempaong kecil (Fort Minto) yang kemudian daerah tersebut disebut Moentok. Di Kawasan Moentok ini pada era Inggris memperdagangkan hasil produksi timah yang ditambang di sekitar. Sejak wilayah Hindia Belanda dikembalikan kepada (kerajaan) Belanda (1816) Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang pemerintahan di Bangka dan Belitung (Residentie Palembang) dengan menempatkan sejumlah inspektur pertambangan di beberapa kota di Bangka dan Belitung. Saat inilah diduga produksi timah semakin meningkat, kebutuhan tenaga kerja yang terus meningkat menjadi sebab para migran asal Tiongkok semakin banyak yang menuju ke Bangka dan Belitung.

Dalam hubungannya dengan para migran asal Tiongkok, pada tahun 1822 terjadi satu kecelakaan hebat di sekitar pulau Bangka dan Belitung dimana satu kapal yang sarat penumpang mengalami malapetaka di selat Gaspar (lihat Bataviasche courant, 16-03-1822). Kecelakaan kapal karam di selat Gaspar ini adalah suatu tragedi besar dalam navigasi pelayaran (yang dapat dianggap mendekati tragedi kapal Titanic seabad kemudian). Kapal karam Cina di selat Gaspar ini berbobot mati delapan atau sembilan ratus ton yang berangkat dari (Pelabuhan) Canton membawa penumpang 1.600 orang dan di dalamnya banyak kargo. Hanya sebagian kecil yang dapat diselamatkan, Menurut laporan kapal Diana di Kawasan peraiatan dimana tempat TKP mayat mengapung terdapat dimana-mana.

 

Kapal di Diana, dengan Capt. Jatnet Pearl, dalam perjalanan dari Batavia melalui selat Gaspar ke Pontianak, dll, menemukan satu kecelakan kapal (di ujung timur pulau Gaspar) yang sarat dengan penunmpang Cina di sekitar selat Gaspar, kapal dalam posisi terbalik yang dimana-mana terhampar banyak keping kayu dan benda-benda lain terapung. Sebagian penumpang masih dapat bertahan dengan bergantung pada kayu-kayu. Kapten mengerahkan para crewnya untuk menemukan yang masih hidup. Akhirnya dapat diselamatkan pertama sebanyak 95 orang yang semuanya orang Cina yang menggunakan kapal Cina. Hampir semua korban yang ditemukan hidup tidak berpakaian. Total ada 190 orang yang dapat diselamatkan yang kemudian, setelah diberi pakaian, para korban kapal karam dibawa ke Pontianak untuk mendapatkan perawatan. Dalam perkembangannya sebagian besar para migran ini ingin menetap di Pontianak, tetapi ada 10 orang penumpang yang ingin (melanjutkan perjalanan) ikut berlayar ke Batavia.

Kemana tujuan kapal asal Tiongkok yang karam tersebut tidak terinformasikan, Oleh karena terjadi kecelakaan, penumpang yang berhasil diselamatkan pada akhirnya memilih menetap di Pontianak (pantai barat Kalimantan). Diantara yang selamat ada beberapa korban selamat yang berangkat ke Batavia. Namun yang tetap menjadi pertanyaan adalah kemana tujuan kapal raksasas itu? Fakta bahwa kejadian karam karena dihantam badai besar yang kemudian menabrak pulau karang terjadi di wilayah selat Gaspar di barat daya pulau Belitung. Apakah dalam hal ini tujuan akhir kapal tersebut ingin ke pulau Belitung atau pulau Bangka?


Namun harus dicatat bahwa kapal asal Tiongkok itu membawa penumpang 1.600 orang. Suatu jumlah yang sangat besar dalam satu pelayaran. Jelas mereka ini tidak datang dalam konteks perdagangan, tetapi diduga kuat dalam hubungannya dengan produksi, kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak. Sementara itu, kebutuhan tenaga kerja yang sangat banyak asal Tiongkok sudah lama berlalu di Jawa pada era VOC (era tebu dan gula). Satu system produksi yang massif yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak dapat dikatakan hanyalan pertambangan timah. Dalam hal ini, besar dugaan tujuan para migran asal Tiongkok pada tahun 1822, yang mengalami nasib buruk dengan kapal karam, hanyalah satu-satu di Belitung atau Bangka. Fakta bahwa kapal besar sarat muatan sudah berada di selat Gaspar. Lantas pertanyaannya apakah ada kapal-kapal yang mendahulu kejadian 1822 atau apakah ada lagi kapal-kapal yang datang setelah tragedy kapal karam? Yang jelas pertambangan timah di Bangka dan Belitung membutuhkan tenaga kerja yang banyak, tidak hanya untuk penambangan tetapi juga untuk pengolahan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Migran Asal Tiongkok di Hindia Timur: Bagaimana di Bangka Belitung?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar