*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Tanjung Pandan pada dasarnya adalah kota tua,
kota yang berada di pulau Belitung. Tanjung Pandan sejak doeloe sudah menjadi
pusat perdagangan di pulau Belitung dan sekitar. Pada saat permulaan cabang Pemerintah
Hindia Belanda, Residen berkedudukan di Muntok dan Asisten Residen berkedudukan
di Tanjung Pandan. Pada fase ini kota Tanjung Panda jauh lebih besar dari kota
Pangkal Pinang. Ketika ibu kota residentie relokasi dari Muntok ke Pangkal
Pinang, kota Tanjoeng Pandang berkembang pesat melampaui kota Muntok dan kota
Pangkal Pinang. Kota Tanjung Pandang dapat dikatakan kota sepanjang masa.
Tanjungpandan adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Belitung, provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang sekaligus menjadi ibu kota dari kabupaten Belitung. Tanjungpandan adalah kota pelabuhan dimana pelabuhan dikelola oleh BUMN PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Tanjungpandan. Kecamatan Tanjungpandan terdiri dari 7 kelurahan dan 9 desa, yakni: Kampong Damai, Kota Tanjungpandan, Lesung Batang, Paal Satu, Pangkal Lalang, Parit, Tanjung Pendam. Selain itu adalah desa-desa Aik Ketekok, Aik Pelempang Jaya, Aik Rayak, Air Merbau, Air Saga, Buluh Tumbang, Dukong, Juru Seberang dan Perawas. Penduduk asli kabupaten Belitung atau juga pulau Belitung adalah suku Sawang. Selain suku Sawang ada juga suku lainnya seperti suku Lingge, suku Ulim, suku Juru dan suku Parak, yang masih erat dengan budaya Melayu, dan merupakan suku mayoritas di Belitung, demikian halnya di kecamatan Tanjungpandan, selain suku Melayu, terdapat beragama etnis lain, dengan jumlah signifikan yakni Tionghoa, kemudian ada juga suku Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, dan suku lainnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten Belitung 2021 agama yang dianut penduduk Tanungpandan sangat beragam dengan mayoritas menganut agama Islam yakni 87,50 persen (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Tanjung Pandan, yang dulu kota lebih besar dari Muntok dan Pangkal Pinang? Seperti disebut di atas, ibu kota di pulau Belitung dari masa ke masa berada di Tanjung Pandan, sementara ibu kota di pulau Bangka awalnya di Muntok kemudian relokasi ke Pangkal Pinang. Pada masa ini kota Tanjung Pandan, kota kedua di (provinsi) Bangka Belitung (setelah ibu kota provinsi di Pangkal Pinang). Lalu bagaimana sejarah Tanjung Pandan, yang dulu kota lebih besar dari Muntok dan Pangkal Pinang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Tanjung Pandan, Dulu Kota Lebih Besar dari Muntok, Pangkal Pinang; Kini Kota Kedua di Bangka Belitung
Pada artikel sebelumnya, telah dideskripsikan asal-usul kota Tandjoeng Pandan, tetapi pada artikel ini focus pada deskripsi bagaimana kota/kampong Tandjoeng Pandan tumbuh dan berkembang menjadi kota yang lebih besar. Pertumbuhan dan perkembangan kota, seiring dengan peningkatan status kampong/kota Tandjoeng Pandan sebagai ibu kota Afdeeling Belitoeng (Residentie Bangka en Onderh.).
Sesungguhnya, pada permulaan cabang Pemerintah Hindia Belanda dibentuk di pulau Belitung, ada tiga kampong/kota yang dapat dikatakan setara, baik dalam aspek populasi maupun dari aspek fungsi perdagangan, yakni: Tandjoeng Pandan, Sidjoek dan Manggar. Boleh jadi karena posisi GPS Tandjoeng Pandang berada di pantai barat pulau Belitung, maka dari sudut pandang ibu kota residentie (di Muntok), memiliki kedekatan jarak dan aksesibilitas yang baik di Tandjoeng Pandan. Posisi Tandjoeng Pandang yang berada di garis tengah pulau, lebih dimungkinkan untuk pengembangan infrastruktur darat (jalan raya) dari Tandjoeng Pandang ke seluruh sisi pulau: Sidjoek di utara, Manggar di timur dan plus Dendang di selatan. Setelah fase awal, ibu kota residentie di Muntok, seiring dengan perkembangan di pulau Belitung, pertumbuhan perdagangan timah yang berpusat di Pangkal Pinang, maka pilihan ibu kota residentie di Pangkal Pinang yang strategis akan memiliki pengaruh yang lebih baik dalam pertumbuhan dan perkembangan kota Tandjoeng Pandan di pulau Belitung. Dua kota ini, Pangkal Pinang dan Tandjoeng Pandang menjadi pusat pertumbuhan yang akan memberi dampak ke sisi barat maupun ke sisi selatan di masing-masing pulau. Peta 1878
Relokasi ibu kota Residentie Bangka en Onderh, dari Muntok ke Pangkal Pinang pada tahun 1907 juga turut memicu percepatan perkembangan kota Tandjoeng Pandan. Kota Muntok sendiri mulai dibangun sejak 1812. Sementara kota Tandjoeng Pandan secara teknis mulai dibangun seiring dengan pemisahan wilayah Bangka dan Belitung dari Residentie Palembang pada tahun 1820 dimana Residen Bangka en Onderh berkedudukan di Moentok dan penempatan Asisten Residen di Tandjoeng Pandan pada tahun 1827. Sejak inilah kampong/kota Tandjoeng Pandang mulai ditata dan dikembangkan (yang dengan sendirinya mulai bersaing dengan Muntok). Asisten Residen pertama di Tandjoeng Pandan (pulau) Billiton adalah JW Bierschel.
Pada saat ini ada dua kota di (pulau) Sumatra yang telah memulai penataan kota yakni Palembang dan Padang. Hal itu boleh jadi karena struktur pemerintahan yang menjadi ibukota residentie di dua kota ini sudah berkembang. Ini berbeda dengan di Bangka en Onderh (Muntok) dan Riouw en Onderh (kota Riouw, belum relokasi ke Tandjoeng Pinang). Pada tahun 1838 kota Fort de Kock mulai ditata (pasca Perang Padri) sebagai ibu kota Residentie Padangsche Bovenlanden. Pada tahun 1845 kampong Sibolga ditetapkan sebagai ibukota residentie yang baru (Residentie Tapanoeli) yang mana juga dibentuk residentie Bengkoeloe dengan ibu kota Bengkoeloe. Namun kota Sibolga tidak berkembang karena populasi yang minim dan tingkat perdagangan yang rendah. Sibolga hanya seakan ibu kota pemerintahan saja. Justru dua kota yang berkembang di Residentie Tapanoelie adalah Panjaboengan dan Padang Sidempoean (ibu kota afdeeling Angkola Mandailing dan ibu kota onderfadeeling Angkola). Pada tahun 1870 ibu kota Afdeeling Angkola Mandailing relokasi dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Saat ini kota Padang Sidempoean jauh lebih berkembang dari Sibolga, yang menjadi ibu kota residentie. Hal serupa inilah yang terjadi dengan Muntok, yang mana kota Pangkal Pinang dan kota Tandjoeng Pandang jauh lebih berkembang. Pada tahun 1879 di kota Padang Sidempoean dibuka sekolah guru (kweekschool) yang menjadi pemicu baru perkembangan kota, sehingga pada tahun 1885 ibu kota Residentie Tapanoeli direlokasi dari Sibolga ke Padang Sidempoena. Saat inilah kota Padang Sidempoean menjadi kota terbesar kedua di Sumatra (setelah Padang). Kota Palembang stagnan karena sulitnya pengembangan kota, oleh karena dipisahkan oleh sungai Musi, pembangunan kota juga mengalami kesulita karena banyaknya rawa dan sulitnya membangun jembatan dan jalan. Sementara itu kota Medan yang baru menjadi ibu kota Residentie Oostkus van Sumatra tahun 1887 masih berupa kota kecil. Kota Tandjoeng Pinang sebagai ibu kota baru, demikian juga Telok Betong sebagai ibu kota baru, masih kalah jauh dengan kota Tandjoeng Pandan yang terus berkembang, Kota Beengkoeloe tetap stagnan sebagaimana kota Muntok. Dalam hal ini dapat dikatakan kota Tandjoeng Pandan jauh lebih besar dari kota Muntok dan kota Pangkal Pinang. Sebagaimana Atjeh (Kota Radja), kota Jambi sendiri masih sebuah kampong, yang mana wilayah Jambi sendiri dapat dikatakan masih independen (dikelola Sultan sendiri) sementara orang Eropa justru berada di Moera Kompeh. Kota Fort de Kock kurang berkembang. Boleh jadi hal itu dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, kota Fort de Kock terbilang dekat satu sama lain dengan kota Padang (ibu kota provinsi Sumatra’s Wesrkust). Kedua, Pasca Perang Padri, resistensi terbilang masih ada di wilayah Agam sehingga kota Fort de Kock hanya dipandang sebagai kota elit atau kota Eropa/Belanda semata. Peta 1878
Hasil pembangunan di Afdeeling Belitung dengan penataaan kota Tandjoeng Pandan yang terus menerus telah menjadi kota Tandjoeng Pandan sebagai kota besar (lihat Peta 1878). Dalam peta kota Tandjoeng Pandan, sebagai navigasi kota telah diidentifikasi dimana posisi GPS diantara jalan-jalan yang ada letak kantor Asisten Residen, sekolah, pasar, kantor pos/telegraaf, rumah sakit, kantor pemerintahan lainnya, kantor perusahaan terkenal plus penjara dan kamp militer serta tentunya Pelabuhan (jika ada).
Pada era Hindia belanda, disebut kota besar, untuk membedakan dengan kota/kampong yang hanya ditandai sebagai satu titik di dalam peta, tidak dibuat dalam satu peta sendiri. Jika suatu kota/kampong telah memiliki peta sendiri yang mengindikasikan jaringan jalan kota, landmark dan identifikasi bangunan-bangunan yang ada di dalam kota, maka kota/kampung telah dianggap sebagai kota besar. Dalam perkembangan lebih lanjut, jalan-jalan di dalam kota diberi nama (nama jalan). Bandingkan kota-kota besar di Sumatra, antara kota Tandjoeng Pandan di satu sisi dengan kota-kota Padang Sidempoean, Palembang dan Padang pada masa sejaman.
Pada era Hindia Belanda, sejauh perta-peta pulau Bangka dan pulau Belitung yang berhasil dikumpulkan, hanya peta kota Tandjoeng Pandang yang dibuat. Mengapa? Tidak ada peta kota Muntok maupun kota Pangkal Pinang. Boleh jadi itu mengindikasikan bahwa hanya kota Tandjoeng Pandan yang benar-benar menggambarkan suatu kota, suatu kota yang memperlukan peta untuk kebutuhan navigasi para pendatang yang berkunjung ke kota Tandjoeng Pandan. Ini dengan sendirinya menjelaskan kota Tandjoeng Pandan adalah kota terbesar di (residentie) Bangka Belitung pada era Pemerintah Hindia Belanda.
Untuk sekadar catatan, bahwa cabang Pemerintah Hindia Belanda sepenuhnya di Djambi (residentie Djambi) baru dimulai pada tahun 1905. Selama ini, pemerintahan hanya terbatas di Moera Kompeh saja. Sejak 1905 ibu kota Residentie Djambi ditetapkan di Djambi. Ini dengan sendirinya, pusat orang Eropa/Belanda yang selama ini di Moeara Kompeh relokasi ke Djambi. Dalam hal ini, penataan kota Djambi baru dimulai sejak 1905, yang tidak berbeda jauh dengan kota Pangkal Pinang sebagai ibu kota residentie Bangka en Onderh., yang baru pada tahun 1907. Boleh jadi ini yang menyebabkan kota Tandjoeng Pandan jauh lebih besar kota Muntok dan kota Pangkal Pinang sehingga wilayah kota Tandjoeng Pandan diidenttifikasi secara khusus baik pada Peta 1878 maupun Peta 1894.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tanjung Pandan Kini Kota Kedua di Bangka Belitung: Pangkal Pinang versis Tanjung Pandan
Awal kota Muntok (yang menjadi ibu kota residentie Bangka en Onderh.) berada di dekat benteng Minto (benteng yang dibangun pada era pendudukan Inggris 1812). Area sekitar benteng Minto inilah terbentuk kota Muntok. Lalu bagaimana dengan kota Tandjong Pandan? Seperti biasa kota umumnya bermula dekat benteng atau garnisun militer. Yang jelas di Tandjoeng Pandan juga ada benteng yang dibangun. Namun tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibangun (apakah pada tahun 1820 atau 1827?). Satu yang pasti pada tahun 1822 Kapten Motte ditempatkan pertama kali di pulau Belitoeng di sungai Tjeroepoet sebagai Civielen cn Militairen Kommandant (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indi, 1852). Soal kapan dibangun benteng tidak diketahui secara pasti. Yang jelas benteng Tandjoeng Pandan termasuk salah satu dalam daftar benteng di Hindia Belanda 1870 (lihat Javasche courant, 15-07-1870).
Dalam daftar benteng pada tahun 1870, di pulau Bangka selain benteng Muntok juga ada benteng di Soengai Liat, Batoeroesa/k, Koba, Toboali. Sementara di pulau Belitung benteng hanya ada di Tandjoeng Pandan sedangkan di Sidjoek sebuah garnisun. Mengapa tidak ada benteng di Pangkal Pinang, dan mengapa harus di Batoeroesa? Ini mengindikasikan bahwa pada saat itu Batoeroesa lebih penting dari Pangkal Pinang. Kota Tandjoeng Pandan dalam hal ini adalah pertahanan terakhir di pulau Belitung, dibangunnya benteng di kota Tandjoeng Pandan mengindikasikan kota iti sangat penting bagi Pemerintah Hindia Belanda.
Kota Tanjung Pandan bermula di benteng (sebagaimana kota Muntok). Kota Tanjung Pandan berawal dari kampong Tandjung Pandan. Seperti halnya Muntok, dengan adanya benteng di Tandjoeng Pandan, maka dengan sendirinya menjadi tempat yang paling strategis bagi Pemerintah Hindia Belanda. Strategis dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek perdagangan dan pengembangan wilayah dan pembangunan kota.
Seperti disebut di atas, Asisten Residen ditempatkan di Tandjoeng Pandan pada tahun 1827. Sebagaimana biasanya di wilayah lain, sebelum kedatang pejabat tertinggi di Kawasan, kantor dan rumah sudah dibangun terleboh dahulu oleh pasukan zeni atau disubkontrakkan kepada swasta di bawah kendali keamanan militer. Kantor asisten residen dibangun tidak jauh dari benteng. Benteng sendiri berada di pantai. Benteng ini juga pada awalnya dibangun dalam rangka mengamankan keberadaan pelabuhan yang menjadi penting sebagai bagian dari pusat perdagangan dan sebagai bagian pertahanan kota.
Benteng Tandjoeng Pandan berada di pantai di sekitar muara sungai Tjeroepoet. Benteng ini dibangun di daratn yang menjorok ke tengah muara sungai. Dalam hal ini awalnya benteng diakses dari laut/sungai. Posisinya yang strategis menjadi hub antara arah dari lautaan/luar pulau dengan arah dari hulu sungai/pedalaman. Besar dugaan benteng Tandjoeng Pandang dibangun pada tahun 1820, tetapi kantor/rumah Asisten Residen dibangun pada tahun 1827.
Pada tahun 1870 benteng telah dilengkapi dengan garnisun militer. Pada masa ini benteng berada di pantai (sejajar pelabuhan) sedangkan kantor Asiten Residen berada di sekitar jalan Merdeka yang sekarang. Wilayah pecinan (China Town) berada dekat Pelabuhan. Kota Tandjoeng Pandan yang diawali pada tahun 1827 dan dikembangkan pada tahun 1849 dengan cepat tumbuh dan berkembang menjadi kota. Kota Tandjoeng Pandan pada akhir tahun 1870an sudah dapat menyaingi kota Palembang. Sebagaiman, sebelum kota Tandjoeng Pandan terbentuk, kota utama di kawasan berada di Tjeroetjoep. Peta 1856
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar