Senin, 24 Februari 2025

Sejarah Diaspora (8): Orang Indonesia di Jepang; Sejak Era Hindia Belanda dan Masa Pendudukan Jepang di Indonesia hingga kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini

Ada orang Indonesia asal Jepang di Jepang. Siapa dia? Yang jelas itu menunjukkan tidak hanya orang Indonesia asal Indonesia saja yang ada di Jepang. Berdasarkan Badan Layanan Imigrasi Jepang (出入国在留管理)pada tahun 2024 sebanyak 173.813 orang Indonesia di Jepang ditambah yang tidak legal sebanyak 24.712 orang. 


Orang Indonesia di Jepang merupakan kelompok imigran terbesar dari negara bermayoritas penduduk muslim di Jepang. Hingga 2007, Pemerintah Jepang mencatat sejumlah 25.620 penduduk legal berkewarganegaraan Indonesia, ditambah kira-kira 4.947 orang Indonesia pendatang gelap. Sebanyak 64.5% orang Indonesia yang berstatus penduduk legal tercatat berusia antara 20 dan 30 tahun. Sebanyak 37% dari orang Indonesia berstatus penduduk resmi tinggal di kawasan Kanto. Sebanyak 2.175 orang Indonesia tinggal di Tokyo, 1.236 di Saitama, 1.204 di Ibaraki, 1.002 di Kanagawa, 845 di Chiba, 519 di Gunma, dan 244 orang di Tochigi. Osaka-Kobe-Kyoto serta Daerah Metropolitan Chukyo masing-masing dijadikan tempat tinggal untuk 10% dari keseluruhan orang Indonesia di Jepang, dan sebesar 6% tinggal di Prefektur Nagano dan Prefektur Shizuoka. Sisanya tinggal tersebar di prefektur-prefektur lainnya di Jepang, kira-kira 30 hingga 500 orang di setiap prefektur (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Jepang? Seperti disebut di atas, jumlah orang Indonesia di Jepang pada masa kini cukup banyak. Sejak kapan itu bermula. Bagaimana pada era Hindia Belanda dan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia? Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Jepang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Indonesia di Jepang; Sejak Era Hindia Belanda, Masa Pendudukan Jepang di Indonesia hingga Kini

Konon hubungan antara Indonesia dan Jepang sudah ada sejak zaman kuno. Orang Eropa pertama yang menghubungkan wilayah Indonesia dan wilayah Jepang adalah pelaut-pelaut Portugis. Intensitas perdagangan antara Jepang dan Eropa melalui Indonesia (saat itu pos perdagangan Belanda/VOC di Batavia) terjadi pada saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda. Ada yang menyebutkan istri Gubernur Jenderal VOC Jacques Specx (1629-1632) beristrikan seorang wanita Jepang yang anak perempuan mereka bernama Saartje Specx.


Pada tahun 1609, dua kapal orang Nederlander dan orang Amsterdammer tiba di Firando, izin diberikan kepada Quakernaak dan Van Santvoort, untuk mengundang Belanda berdagang dengan Jepang. Lalu kemudian muncul pedagang Abraham van den Broek dan Jaques Puik serta wakil pedagang Jaques Specx dengan kepentingan perdagangan (lihat De avondbode: algemeen nieuwsblad voor staatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen, enz / door Ch.G. Withuys, 05-07-1838). Disebutkan van Santvoprt atas nama pemerintah Jepang: ia menemani ketiga pedagang dalam perjalanan ke ibu kota. di mana mereka diterima oleh Kaisar dengan cara yang sangat ramah, dan persahabatan serta hubungan antara Jepang dan Belanda. Jaques Specx tinggal sementara di Jepang, sebagai kepala perdagangan Belanda. Orang Belanda berutang fondasi perdagangan mereka di Jepang kepada Specx dan orang-orang Belanda lainnya, yang dikirim ke Jepang oleh VOC (Hindia Timur) untuk menjalin perdagangan. Jaques Specx kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC di Batavia (menggantikan Jan Pieterszoon Coen). 

Saat Gubernur Jenderal VOC Jacques Specx digantikan Hendrik Brouwer, Jacques Specx kembali ke Belanda. Oleh karena Jacques Specx sebagai militer dengan pangkat Jenderal, Jacques Specx memimpin konvoi kapal-kapal dagang Belanda (Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina) dari Batavia ke Texel. Dalam daftar puluhan komoditi/barang yang diangkut terdapat antara lain lada, rotan, puli, damar, porselin dan produk dari Cina, indigo, gaharu dan katun/Jepang (lihat Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. 16-07-1633). Catatan: jika berita kedatangan kapal itu di Belanda bulan Juli 1633, oleh karena lama pelayaran sekitar lima atau enam bulan, diperkirakan kapal berangkat dari Batavia pada sekitar bulan Januari 1633.


Saat Jaques Specx kembali ke Belanda, putrinya Saartje Specx tidak ikut. Saartje Specx sendiri pernah tinggal di Belanda yang ditemani oleh seorang pembantu Jepang. Saartje Specx menikah dengan dengan seorang pendeta. Pasangan ini kemudian berangkat ke pulau Formosa. Saartje Specx meninggal di Formosa pada tahun 1636, saat usianya belum 20 tahun (lihat Het Parool, 18-12-1973). Dalam hubungan ini, sebagaimana ditanyakan di atas, siapakah orang Indonesia asal Jepang di Jepang? Dia adalah seorang Wanita Jepang yang menjadi istri dari Presiden Soekarno. 

Dalam konteks tersebutlah, hubungan wilayah Indonesia dan wilayah Jepang terbentuk terutama sejak awal era VOC/Belanda. Lalu bagaimana hubungan antara orang-orang Jepang dan orang-orang Indonesia atau sebaliknya? Yang jelas siapa orang Indonesia pertama ke Jepang kurang terinformasikan. Yang terinformasikan baru terjadi pada masa Pemerintah Hindia Belanda yakni di seputar masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

.

Pedagang-pedagang Jepang di Indonesia sudah lama ada. Pedagang-pedagang Jepang tersebut secara estafet merangsek dari Formosa, Luzon hingga memasuki wilayah Hindia Belanda. Salah satu komunitas terpadat orang Jepang terdapat di Singapoera. Sebagaimana produk-produk alami dari Indonesia ke Jepang (seperti minyak dan rempah-rempah), produk-produk Jepang juga menyebar di Indonesia. Di Medan pada tahun 1892 sudah beredar produk Jepang yang diperdagangkan oleh pedagang Jerman (lihat Deli courant, 20-01-1892). Pada tahun 1894 di Medan mulai muncul agen pelayaran Jerman dari Eropa ke Jepang (lihat Deli courant, 05-05-1894). Ini mengindikasikan bahwa kapal-kapal dagang Jerman singgal di Medan yang memungkin orang Jepang dapat mencapai Indonesia dengan mudah. Dalam konteks inilah orang-orang Jepang menyebar di Indonesia seperti di Batavia. Soerabaja dan Medan. Di Medan bahkan sudah ada nama jalan yang diberi nama Japan Straat (Peta 1906). Pada tahun 1910 di Medan sudah ada perusahaan perdagangan Jepang bernama Yamato & Co (lihat De Sumatra post, 17-05-1910). Pada tahun 1912 sudah mengindikasika banyak orang Jepang di Medan (lihat Deli courant, 06-09-1912). Pada tahun 1914 sudah ada hotel Jepang di Medan (lihat De Sumatra post, 02-01-1914). Hotel ini dimiliki T Harashima. Ini juga mengindikasikan, seperti di kota-kota lain, orang Jepang di Medan yang sudah banyak juga sudah lebih dipermudahkan karena adanya pelayaran ke Jepang dan akomodasi di Medan. Dalam perkembangannya terkesan hubungan masa lalu Jepang dan Belanda di Indonesia sudah lama berlalu. Lalu semakin eratnya hubungan perdagangan Jerman dan Jepang membuat orang-orang Belanda di Indonesia sedikit jengkel (lihat De Preanger-bode, 05-01-1915).

Intensitas hubungan wilayah Indonesia dan wilayah Jepang menyebabkan Pemerintah kerajaan Jepang mendirikan konsulat Jepang di Batavia. Di Medan salah satu negara lain yang telah mendirikan kantor konsulat adalah Inggris. Pada tahun 1917 konsulat Jepang di Medan didirikan, yang merupakan perwakilan konsulat Jepang di Batavia (lihat De Sumatra post, 02-01-1917). Dalam perkembangannya diketahui konsulat Jepang juga didirikan di Soerabaja.


Dalam konteks hubungan Jerman dan Jepang yang sudah terbentuk, pemimpin utama Jepang (Kaisar) mulai menyadari pembangunan di segala bidang termasuk soal fisik orang Jepang (lihat De nieuwe vorstenlanden, 24-01-1898). Disebutkan Kaisar Jepang telah menyatakan melalui proklamasi bahwa dia tidak puas dengan tinggi dan perawakan rakyatnya dibandingkan dengan bangsa lain, orang Jepang juga kecil. Karena alasan ini, ia memerintahkan sebagai berikut: "Saya perintahkan rakyatku untuk makan daging sebanyak mungkin, agar mereka bisa tumbuh lebih gemuk dan lebih tinggi. Pada tahun 1899 di Jepang dibangun kilang minyak dimana bahan bakunya diimpor dari Koetai, Indonesia (lihat Deli courant, 13-12-1899). Pada tahun 1900 salah satu kapal perang baru Jepang Shikishema berlayar menuju Jepang (lihat Deli courant, 31-01-1900). Kapal-kapal perang Jepang ini dibuat di Jerman dan juga ada yang dibuat di Inggris. Kapal-kapal perang Jepang ini tentulah sangat penting, tidak hanya untuk mempertahankan negara, juga dimungkinkan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang Jepang di berbagai tempat hingga ke selatan di Indonesia. 


Pada tahun 1918, Parada Harahap, editor surat kabar Benih Mardeka semakin gelisah dengan semakin mewabahnya bisnis asusila ini di Medan. Parada Harahap secara terbuka menyoal prostitusi yang terus marak di hotel-hotel yang dianggapnya kebal hukum meski kerap terjadi pelanggaran. Hotel Jepang dianggapnya lebih pada tempat prostitusi daripada tempat penginapan. Parada Harahap merasa perlu menyuarakan ini agar orang-orang muda terhindar dampak buruk prostitusi yang sudah sejak lama ada di Medan.


De Sumatra post, 25-07-1919: ‘Harahap (maksudnya Parada Harahap) dari Benih Merdeka menyoroti soal prostitusi di Medan: ‘Harahap memberikan protes keras terhadap bahaya besar prostitusi, seperti yang saat ini berlaku di Medan. Dia menunjukkan bahwa hukum pidana mengancam untuk menghukum mereka yang enzoovoort, objek publik terhadap moralitas, tetapi dalam hal ini di Medan tampaknya tidak mengganggu mereka di sana. Hotel Jepang disebut hanya kesempatan untuk prostitusi dan baboes dari pemilik pelacur. Ini adalah berlimpah di jalan-jalan dan dengan kelimpahan mereka menyebabkan bahaya besar, pertama untuk penyakit, dua sarang sebagai godaan untuk anak muda, karena wanita layak melalui tergoda untuk tersesat, empat sarang karena wanita layak keliru untuk pelacur dan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Penulis berpendapat bahwa diinginkan agar intelijen menginvestigasi izin untuk hotel dan menuduh menyelidiki pejabat yang terlibat, investigasi serius harus dapat mengungkapkan apa yang sebenarnya yang terjadi. Harahap juga meuntut dewan untuk menyatukan semua pelacur dan kemudian memberikan pembinaan terhadap perilakunya  

Hasil investigasi dan laporan Parada Harahap tentang prostitusi Jepang di Medan mendapat apresiasi dari konsulat Jepang. Orang Jepang sendiri yang ada di Medan adalah bagian dari orang-orang Jepang yang ada di Hindia Belanda. Pada tahun 1920 jumlah orang Jepang di Jawa sebanyak 1,266 laki-laki dan 468 perempuan, sementara di luar Jawa terdapat sebanyak 1.359 laki-laki dan 1.055 perempuan. Di luar Jawa terkonsentrasi di Sumatra Timur, Atjeh dan Bangka. Jumlah perempuan terkesan relative lebih banyak di luar Jawa. Hal ini diduga terkait dengan eksploitasi wanita.


Nun jauh di Belanda, seorang mahasiswa Indonesia, Soetan Casajangan melihat perkembangan yang maju du Jepang, yang dibandingkannya dengan penduduk pribumi di Indonesia di bawah jajahan Belanda. Ini dapat dibaca dalam bukunya yang diterbitkan di Barn pada tahun 1913. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1908 mendirikan organisasi mahasiswa Indonesia yang diberi nama Indische Vereeniging. Sambil kuliah, Soetan Casajangan juga membantu guru besar bahasa Melayu di Leiden Charles Adrian van Ophuijsen dalam pengajaran bahasa Melayu. CA van Ophuijsen adalah mantan guru Soetan Casajangan di sekolah guru di Padang Sidempoean. Pada tahun 1910 Boedi Oetomo mengirim guru muda Sjamsi Widagda ke Belanda yang kemudian dititipkan kepada Soetan Casajangan yang kuliah keguruan di Haarlem. Soetan Casajangan lulus sarjana keguruan pada tahun 1911. Pada tahun ini juga, setelah posisinya sebagai ketua di Indische Vereeniging digantikan mahasiswa lainnya, Soetan Casajangan Bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepoen mendirikan Studie Fond. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan Kembali ke tanah air, diangkat sebagai direktur di sekolah guru di Fort de Kock. Sementara itu, dalam perkembanganya Sjamsi Widagda tidak hanya mengikuti sekolah keguruan juga mengikuti sekolah perdagangan. Pada tahun 1917 terinformasikan di Rijksuniversiteit di Leiden Samsi Sastrawidagda diangkat sebagai asisten dosen/guru bantu bahasa Jawa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1918). Untuk bahasa Melayu diangkat Dahlan Abdoellah. Samsi Widagda masih mengajar sebagai asisten dosen untuk bahasa Jawa di Universiteit te Leiden (lihat De nieuwe courant, 23-10-1921). Lalu Samsi Widagda tidak hanya telah berhasil mendapat gelar akta guru MO, tetapi juga mengikuti kuliah ekonomi di Amsterdam. Setelah mendapat gelar sarjana ekonomi, Samsi Widagda lanjut ke program doktor. Pada tahun 1925 Samsi Widagda dipromosikan menjadi doctor di bidang ekonomi perdagangan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-11-1925). Desertasi Sjamsi Widagda berjudul De Ontwikleing voor der Handelspolitiek van Japan. Dalam hal ini dapat dikatakan sudah ada orang Indonesia yang ahli tentang Jepang. Pada tahun ini setelah meraih gelar sarjana hukum (Mr), Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Mora mengajukan proposal doctoral. Radja Enda Mora tahun 1926 meraih gelar doktor di bidang hukum di Leiden. 

Kehadiram orang Jepang di Hindia yang jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal itulah diduga yang menjadi sebab di Jepang juga sudah ada sekolah bahasa Melayu seperti Tenri School di Nara (dekat Osaka).  Sebaliknya orang Indonesia juga sudah ada yang sudah bisa berbahasa Jepang seperti Parada Harahap.


Sebagaimana diketahui, Parada Harahap yang perrnah mendapat apresiasi dari konsulat Jepang di Medan, pada tahun 1919 pulang kampong di Padang Sidempoean mendirikan surat kabar Sinar Merdeka dan juga mengelola majalah Poestaha yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915. Oleh karena Sinar Merdeka dibreidel tahun 1922, Parada Harahap hijrah total ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia tahun 1923. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi dengan nama Alpena dimana sebagai editor adalah WR Soepratman. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar harian dengan nama Bintan Timoer. Mengapa Bintang Timoer\? Apakah ada kaitannya dengan Jepang di timur? 

Pada tahun 1930 Mohamad Hatta lulus dan mendapat gelar sarjana ekonomi di Rotterdam. Mohamad Hatta pernah menjadi ketua Indische Vereeniging. Di awal kepengurusannya pada tahun 1926 namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia. Mohamad Hatta kembali ke tanah air dan bergabung dengan partai politik Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) di Batavia.


Parada Harahap dan Mohamad Hatta sudah lama saling mengenal. Pada saat diadakan kongres pertama Jong Sumatranen Bond di Padang tahun 1919, Parada Harahap hadir sebagai ketua delegasi Tapanoeli, seementara Mohamad Hatta yang masih di sekolah MULO di Padang sebagai pemimpin delegasi kota Padang. Pada tahun 1921 kedua kembali bertemu di Padang saat kongres Jong Sumatranen Bond. Mohamad Hatta siswa HBS di PHS Batavia selepas kongres berangkat studi ke Belanda, sedangkan Parada Harahap berangkat ke Batavia untuk meneruskan karit jurnalistik. Parada Harahap kerap memberitakan di surat kabarnya Bintang Timoer tentang sepak terjang Mohamad Hatta di Belanda. Parada Harahap sendiri sejak 1927 adalah ketua pengusaha pribumi di Batavia (semacam Kadin pada masa ini). Kabar Mohamad Hatta akan pulang ke tanah air hanya surat kabar Bintang Timoer yang memberitakannya. 

Keberadaan Mohamad Hatta akhirnya terendus oleh surat kabar Deli Courant yang terbit di Medan (tentu saja karena di surat kabar ini juga terdapat wartawan pribumi). Berita itu dikutip kantor berita Aneta yang dilansir surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-08-1932. Disebutkan Mohamad Hatta, kemarin lusa [18 Agustus 1932] luput dari perhatian tiba di Medan dengan kapal ss. Saarbrucken yang tampaknya menyamar sebagai pelaut. Mohamad Hatta setelah di Medan ke Batavia via Singapoera (lihat Algemeen Handelsblad, 21-08-1932). Disebutkan Mohamad Hatta yang ditunggu di Tandjoeng Priok pada hari Minggu [21 Agustus 1932]tidak muncul diduga tetap berada di Singapoera. Mohaad Hatta akhirnya tiba di Tandjong Priok pada tangga 24 Agustus (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-08-1932). Mohamad Hatta dari Singapoera dengan kapal Generaal van der Heyden tiba hari Rabu pagi di Tandjoeng Priok (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 26-08-1932).


WJS Poewadarminta yang telah dikenal luas sebagai penulis bahasa akan ke Jepang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 10-11-1932). Disebutkan ahli bahasa pribumi Indonesia di universitas Jepang. Telegram Aneta dari Solo mengabarkan bahwa ahli bahasa pribumi Poerwadarminta telah diangkat menjadi guru sastra Melayu dan Arab di sebuah universitas Jepang. Poerwadarminta akan berangkat tanggal 26 ini’. 

Setelah terinformasikan kehadiran orang Indonesia di Jepang, pada bulan Januari 1933 muncul rumor bahwa OS Tjokroaminoto akan ke Jepang (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 02-01-1933). Disebutkan surat kabar Jawa memberitakan kabar yang belum sepenuhnya terkonfirmasi tentang perjalanan OS Tjokroaminoto, pimpinan Partai Sarekat Islam Indonesia, bersama Martodiredjo akan ke Jepang. Perjalanan ini akan dibiayai oleh sebuah perusahaan yang berpusat di Jawa, yang akan memberikan tiket kelas satu kepada mereka.

 

Pada tahun 1933 adalah tahun yang paling krisis. Ir Soekarno ditangkap lagi karena agitasi menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Mohamad Hatta sudah aktif di organisasi partai PNI dimotori Soetan Sjahrir dan Abdoel Moerad. Meski Mohamad Hatta sudah merasakan pahit manisnya berpolitik di Belanda, tetapi tahun 1933 inilah untuk kali pertama Mohamad Hatta merasakan situasi dan kondisi berpolitik yang mencekam. Para revoluioner ditangkap.

Apakah OS Tjokroaminoto sudah ke Jepang tidak terinformasikan. Yang jelas pada bulan Maret muncul berita baru bahwa Mohamad Hatta akan ke Jepang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-03-1933). Disebutkan Hari ini (Senin) A Rais, Direktur Perdagangan Batik "Djohan Djohor" di Senen, Batavia-Centrum, dan Mohamad Hatta akan berangkat ke Jepang dengan kapal Nagoya Maru. Mereka akan menghabiskan waktu sekitar 3 bulan di Timur Jauh. Sekembalinya, mereka juga akan mengunjungi Filipina. Mohamad Hatta menyatakan bahwa kunjungannya ke Jepang tidak memiliki dasar politik apa pun, hanya pergi sebagai "penasihat ekonomi" bagi Rais, seorang kerabat.

 

De tribune: soc. dem. Weekblad, 31-03-1933: ‘Menurut laporan Aneta, Mohamad Hatta, yang merupakan tokoh yang “sangat disegani” di kalangan pemimpin, berangkat ke Jepang atas perintah “pamannya” untuk mempelajari ekonomi Jepang. Bukanlah suatu kebetulan jika “paman” ini adalah seorang yang sangat berpengaruh, pemimpin kaum kapitalis pribumi Batavia yang telah mengelompokkan diri mereka di sekitar NV “Toko Djohan Djohor” yang kuat. Perjalanan ini telah dipersiapkan sejak lama. Ketika Hatta masih di Belanda, tersiar berita bahwa ia telah menjalin dan memelihara hubungan dengan NV tersebut. Bahkan ada pembicaraan tentang kemungkinan ia menjadi direktur lembaga perdagangan itu. Demi "prestise revolusionernya" Hatta merasa harus menentang kebenaran-kebenaran ini. Terutama "Bintang Timoer", corong kaum menengah pribumi, melakukan propaganda besar-besaran untuk perjalanan studi ke Jepang pada waktu itu. Kelompok menengah pemodal pribumi yang sedang bangkit, yang telah tertekan dalam krisis ini, melihat keselamatannya dalam persahabatan dan niat baik imperialisme Jepang. Persaingan ketat Jepang, yang secara bertahap telah menaklukkan supremasi industri di pasar Indonesia, pada saat yang sama mengarah pada promosi yang disengaja dari "orientasi Jepang" ini di kalangan kaum menengah Indonesia. Kebijakan industri Jepang secara tepat diarahkan untuk menghilangkan semua perantara dan bank asing, termasuk perusahaan pelayaran asing. Maka dari itu banyaknya fakultas berbahasa Melayu di universitas-universitas Jepang, maka dari itu banyak sekali perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia yang berusaha keras untuk mendatangkan pemuda-pemuda Indonesia ke Jepang. Semua langkah telah diambil secara sistematis untuk meningkatkan kontak dengan konsumen Indonesia. Perjalanan Mohamad Hatta hanya merupakan contoh konkret tentang kerjasama erat kelompok pemodal pribumi dengan imperialisme Jepang. Tidak mungkin sebaliknya! Kaum pemodal pribumi yang putus asa dan bingung, melihat kepentingannya terancam, sekarang mencoba belajar sesuatu dari Jepang. Untuk itu, Hatta harus pergi ke Jepang! Pengkhianat gerakan kemerdekaan revolusioner nasional ini sekarang secara terbuka memasuki layanan kaum pemodal Indonesia untuk menjual rakyat pekerja Indonesia kepada imperialisme Jepang. Ini bukan pertama kalinya Hatta memberikan jasanya kepada pemodal Indonesia dan dengan demikian secara tidak langsung imperialisme dunia. Ketika tiba di Indonesia, Hatta menggalakkan pendirian koperasi petani atas dasar modal. Hatta menerima jabatan sebagai redaktur sebuah surat kabar pemodal, bekerja sama dengan Sarikat Islam, Dr Soekiman, ia bekerja keras untuk mendirikan sebuah badan ekonomi, yang akan menjadi "informan" bagi kelas pemodal pribumi yang putus asa dan terperangkap! Dan sekarang ia melakukan perjalanan ke Jepang demi kepentingan kelas ini! Apa yang akan dipelajari Hatta di Jepang? Kita sudah dapat memastikan bahwa Hatta ingin meniru bagaimana kaum menengah Jepang mengeksploitasi kaum proletar Jepang dan kaum tani dalam krisis ini dan mengeksploitasi mereka lebih intensif, untuk menerapkan metode yang sama kepada rakyat Indonesia. Ia tidak dapat belajar apa pun lagi dari kaum imperialis Jepang! Akan tetapi penipuan kaum menengah Indonesia ini, di bawah pimpinan, Mohamad Hatta terlalu transparan bagi kaum buruh Indonesia untuk tertipu. Kita harus mengemukakan fakta-fakta ini di sini agar para pekerja Belanda tahu dengan elemen mana saja para pemimpin Indonesia ingin bekerja sama. Orang-orang yang tidur di bawah selimut yang sama dengan kaum menengah Indonesia sama sekali tidak memiliki hak untuk menyebarkan kebohongan di kalangan kaum buruh, seolah-olah kandidat Indonesia kita Roestam Effendi pergi ke Indonesia untuk mendirikan asosiasi kelas menengah. Ini adalah kebohongan paling menjijikkan yang disebarkan oleh "Obor"! Namun, kelas pekerja kini telah diperingatkan. RE’. 

Sudah ada beberapa orang Indonesia di Jepang. Terbukanya Jepang terhadap orang Indonesia telah menyebar secara luas. Sebaliknya orang-orang Belanda di Indonesia, mulai khawatir dan sedikit nyinyir. Para lulusan sekolah menengah menjadi tertarik dan bagian orang Indonesia yang potensil untuk bekerja di Jepang.


De locomotief, 29-04-1933: ‘Koresponden Jogjasche menulis kepada kami: Baru-baru ini, beredar rumor di kalangan siswa AMS di Jogja bahwa lulusan lembaga pendidikan tersebut bisa mendapatkan pekerjaan di Jepang, sehingga ada yang melamar melalui konsulat, bahkan pergi ke Jepang. Di surat kabar harian Jepang muncul pesan yang melaporkan rencana keberangkatan pemuda pribumi Indonesia ke Jepang. Seseorang dengan ijazah lulusan AMS Bandoeng ada yang telah tiba di Jepang’. 

Setelah dua bulan di Jepang, Mohamad Hatta kembali ke tanah air (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-06-1933). Disebutkan Aneta memberi pesan pada tanggal 1 Juni ini dari Makasser, bahwa Mohamad Hatta dan Mohammad Raïs telah tiba di Makassar kemarin pada hari Rabu dari Jepang dengan kapal Johore Maru. Mereka akan mengunjungi departemen PNI di Makassar dan industri tenun di Bangil yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

 

Pers pribumi dibungkam. Sejumlah surat kabar dan berkala orang Indonesia yang radikal dibreidel termasuk Fikiran Rakjat (Soekarno dkk) di Bandoeng, Pewarta Deli di Medan (pimpinan Abdoellah Lubis), Daoelat Rak’jat (organ partai PNI), Soeloeh Indonesia (organ Partindo) dan Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap).

Ir Soekarno dkk telah ditangkap, sejumlah pers revolusioner Indonesia dibreidel, Parada Harahap pemimpin surat kabar Bintang Timoer dan ketua pengusaha pribumi di Batavia kemudian memimpin tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang. 


De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Parada Harahap berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombongan akan kembali melalui Manila’. Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang berangkat ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang guru, satu orang kartunis, dua pengusaha (Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar [Jawa]. Sebagaimana kita lihat nanti, mereka itu antara lain: Parada Harahap sendiri plus Abdullah Lubis (jurnalis), dan Samsi Sastrawidagda (guru) serta seorang pengusaha/pedagang batik di Pekalongan.

Pada tanggal 7 November 1933 Parada Harahap yang memimpin rombongan tujuh orang Indonesia ke Jepang berangkat. Di dalam rombongan ini termasuk Abdullah Lubis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, Panangian Harahap editor Bintang Timoer, Dr Sjamsi Widagda guru di Bandoeng. Surat kabar berbahasa Belanda menurunkan artikel dengan berbagai judul seperti Harahap in Japan (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 28-12-1933); The King of the Javapress in Japan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933). Parada Harahap disebut sebagai Raja Surat Kabar di Jawa. Sebelumnya Mohamad Hatta di Jepang disebut Gandhi Jawa.

 

Soerabaijasch handelsblad, 29-12-1933: Sarikat Indonesia Didirikan di Jepang. Menurut surat kabar pribumi, suatu perkumpulan penduduk asli Hindia Belanda didirikan di Jepang. Namanya adalah "Sarikat Indonesla" dan tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan penduduk asli yang bermukim di sana dan untuk memperlancar hubungan satu sama lain. Dinyatakan dengan tegas bahwa perkumpulan ini tidak memiliki dasar politik. WJ Poerwadasminta diangkat sebagai ketua dan AM Oesman sebagai sekretaris. Mengingat laporan ini, tampaknya penting bagi kami untuk menyatakan di sini bahwa ada "aliran" penduduk asli ke negeri Matahari Terbit, yang saat ini memberikan daya tarik yang besar bagi kaum nasionalis Hindia kita. Baru-baru ini, sebagaimana telah dapat kami laporkan, sekelompok penduduk asli, yang dimungkinkan melakukan hal itu oleh perusahaan pelayaran Jepang, berangkat ke Jepang. Saat keberangkatan mereka disebutkan bahwa perjalanan itu tidak mempunyai tujuan politik, tetapi rombongan ingin mendapatkan wawasan tentang situasi ekonomi di sana dan menjalin hubungan perdagangan. Telah menarik perhatian besar bahwa perusahaan tersebut terdiri dari orang-orang yang, jika tidak memainkan peran utama dalam "gerakan rakyat" di sini, setidaknya dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik di kalangan pribumi. Oleh karena itu harus diasumsikan bahwa kesempatan ini akan digunakan untuk mengorientasikan diri secara politik. Perjalanan seorang Partindo yang terkenal ke Jepang sama sekali tidak boleh dianggap sebagai kebetulan belaka, jika seseorang mengingat bahwa Ir Soekarno telah berulang kali menyatakan bahwa akan berguna untuk memperhitungkan perkembangan kekuatan "anti-imperialis" di Jepang modern. Hatta juga melakukan semacam perjalanan bisnis ke Jepang beberapa bulan yang lalu. Memang di sana berdiri cabang perusahaan Padang yang terkenal, Djohan Djohor, namun diketahui pula bahwa kaum nasionalis itu mencari kontak politik di sana. Ia juga disebut "Gandhi Jawa" di surat kabar Jepang. Akhirnya, dapat disebutkan di sini bahwa seorang anggota rombongan perjalanan yang disebutkan di atas meminta perkenalan dari Pemerintah Hindia, agar dapat mengorientasikan dirinya sepenuhnya di Jepang dalam semua hal penting. Pemerintah menolak penerbitan surat rekomendasi politik tersebut untuk duta besar Belanda di Tokyo namun yang diberikan hanya semacam surat pengantar saja. Surat kabar "Nieuws" menambahkan bahwa di kalangan pribumi saat ini banyak propaganda yang dibuat untuk lebih mengorientasikan diri mereka ke Jepang di masa depan, baik secara ekonomi maupun politik. Ini tetap merupakan kinerja yang luar biasa dari kaum nasionalis yang sangat anti-imperialis. Orang mungkin menduga bahwa mereka akan bertanya di Korea, Formosa, Manchuria dan Kepulauan bagaimana Jepang memandang imperialisme, demikian simpulan majalah itu’.

Parada Harahap dkk kembali ke tanah air dengan kapal Panama Maru yang merapat di Pelabuhan Tandjoeng Perak di Soerabaja tanggal 13 Januari 1934. Pada hari ini juga Ir Soekarno diberangkatkan ke pengasingan dari Pelabuhan Tandjoeng Priok. Setelah situasi mereda Parada Harahap dan kawan-kawan kembali ke Batavia. Tentu saja di Soerabaja ada pembicaraan dengan Dr Soetomo dan Radjamin Nasution (anggota dewan kota gemeenteraad Soerabaja. Mereka berdua adalah tokoh penting Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang berpusat di Soerabaja. Selain itu, antara Parada Harahap dan Dr. Soetomo sesama pengelola media juga membicarakan banyak hal. Dr Soetomo adalah pemimpin surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Soerabaja.   


Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1934: ‘Rapat Direksi Koran di Solo. Hampir semua direktur surat kabar pribumi dipenuhi dengan tujuan untuk membangun Asosiasi ini didirikan, dengan Dr R Soetomo, direktur ‘Soeara Oemoem di Soerabaya sebagai presiden, Saeroen, direktur Pemandangan dan Parada Harahap, direktur Bintang Timoer sebagai komisaris’

Parada Harahap menulis hasil perjalanan mereka ke Jepang yang kemudian sebagai buku diterbitkan dengan judul Menoedjoe Matahari Terbit: Perdjalanan ke Djepang November 1933 - Januari 1934. Buku tesebut diterbitkan NV Bintang Hindia di Batavia pada tahun 1934.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejak Era Hindia Belanda, Masa Pendudukan Jepang di Indonesia hingga Kini: Orang Jepang di Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar