*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada sejarah orang Indonesia di Taiwan? Yang jelas pada masa ini ada sekitar 300 ribu orang Indonesia di Taiwan. Jumlah ini jelas tidak sedikit. Dalam hubungan politik Indonesia, Taiwan dianggap sebagai bagian dari perwakilan Indonesia di Tiongkok. Bagaimana itu bermula?
Pengamat: Banyak WNI, Indonesia harus pertimbangkan menambah diplomat dan kantor di selatan Taiwan oleh Muhammad Irfan Jakarta 05-08-2024: Pengamat hubungan lintas selat Taiwan dari Universitas Indonesia Broto Wardoyo pada hari Senin (5/8) menekankan pentingnya menambah diplomat dan kantor perwakilan Indonesia di Taiwan yang tidak hanya berbasis di wilayah utara seperti Taipei, tetapi juga di selatan. Menurut Broto, perlindungan WNI di luar negeri merupakan poin utama dari kebijakan luar negeri Indonesia. Kini di Taiwan berdasarkan data pemerintah Taiwan ada sekitar 300 ribu orang Indonesia yang berada di Taiwan. Menurut Broto, jumlah ini belum termasuk yang tidak terdata. Broto mengatakan, saat ini kantor perwakilan Indonesia di Taiwan yakni Kantor Dagang Ekonomi Indonesia Taiwan, karena mengikuti kebijakan satu Tiongkok lebih berkutat di hubungan ekonomi dan bisnis. Penempatan diplomat di Taiwan terbilang baru yakni pada tahun 2018 dan itu pun hanya dua orang saja, kata Broto (https://indonesia.focustaiwan).
Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Taiwan sejak kapan? Seperti disebut di atas, orang Indonesia pada masa ini di Taiwan sangat banyak. Mereka datang sebagai mahasiswa, bekerja dan menetap. Dalam sejarahnya disebut, ada jejak bahasa Austronesia ditemukan di Formosa dan ada juga kemiripan dalam hal adat istiadat. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Taiwan sejak kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Orang Indonesia di Taiwan
Sejak Kapan? Bahasa Austronesia di Formosa dan Adat
Istiadat Penduduk Taiwan Masa Kini
Dalam sejarah perdagangan di Jepang, berdasarkan sumber kronik kekaisaran Jepang pedagang-pedagang manca negara dicatat termasuk dari Banten (lihat Algemeen Handelsblad, 18-02-1829). Disebutkan pada tahun 1611 sebuah surat dikirim ke tempat ini, meminta kayu Calumbak. Semua hubungan perdagangan yang disebutkan di dalam kronik dibuat dan didirikan melalui kedutaan besar antara Jepang dan berbagai negara. Annarn (Tonquin) dari tahun 1600 hingga 1632, dan terkadang setelahnya; Kamboja dari tahun 1601 hingga 1627; Lucon (Manila) dari tahun 1601 hingga 1641 dan Siam dari 1606 hingga 1639.
Selain negara-negara yang telah disebutkan dalam kronik, kapal-kapal jung Cina, juga tiba di Jepang untuk pertama kalinya pada tahun 1609. Sejak masa awal hubungan telah terjalin antara Kekaisaran itu dan Cina. Duta besar pertama dari Corea tiba pada tahun 1617; dan penduduk Kepulauan Riou-Kiou pada tahun 1610. Formosa, seseorang bernama Riga tiba di Yedo pada tahun 1627. Negara-negara ini datang ke Jepang dalam hubungannya dengan emas, perak dan tembaga.
Berdasarkan
catatan kronik Jepang ada orang Indonesia ke Jepang dan ada orang Formosa ke
Jepang. Lantas apakah juga ada orang Indonesia ke Formosa?
Pada tahun 1609, dua kapal orang Nederlander dan orang Amsterdammer tiba di Firando (Jepang) dan izin diberikan kepada Quakermak dan Van Santvoort, untuk mengundang Belanda berdagang dengan Jepang. Lalu kemudian muncul pedagang Abraham van den Broek dan Jaques Puik serta wakil pedagang Jaques Specx dengan kepentingan perdagangan (lihat De avondbode: algemeen nieuwsblad voor staatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen, enz / door Ch.G. Withuys, 05-07-1838). Disebutkan van Santvoprt atas nama pemerintah Jepang: ia menemani ketiga pedagang dalam perjalanan ke ibu kota (istana kaisar). dimana mereka diterima oleh Kaisar. Jaques Specx tinggal sementara di Jepang, sebagai kepala perdagangan Belanda. Catatan: di Jepang, Jaques Specx menikah dengan Wanita Jepang. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa pelaut Belanda pertama ke Hindia Timur yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di Banten pada tahun 1596, tetapi mereka diusir oleh Banten. Pada tahun 1605 pelaut Belanda yang dipimpin van Hagen menaklukkan benteng Portugis di Amboina dan kemudian mendudukinya. Ini berarti empat tahun kemudian pelaut Belanda sudah berada di Jepang (1609). Jaques Specx kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC/Belanda di Batavia tahun 1629 dan berakhir tahun 1632.
Sartje Specx,
putri Jaques Specx keturunan Jepang menikah dengan seorang pendeta dan kemudian
berangkat ke Formosa. Sartje Specx meninggal di Formosa tahun 1636 sebelum
berusia 20 tahun.
Pelaut pertama Eropa ke Hindia Timur adalah pelaut Portugis yang mana pada tahun 1511 menaklukkan kota Malaka. Tahun ini juga tiga kapal Portugis dari Malaka lanjut ke Maluku (Ternate). Pada tahun 1516 pelaut Portugis mendirikan pos perdagangan di pulau Canton. Namun tahun 1519 mereka terusir dari Canton. Sebagai gantinya pelaut Portugis tahun 1521 mendirikan pos perdagangan di Broenai (pantai utara Kalimantan). Dalam perkembangannya diketahui Portugis membuka pos perdagangan dengan benteng di bagian utara Taiwan (kini kota Taipe). Benteng inilah yang kemudian disebut Formosa. Pelaut Portugis juga membuka pos perdagangan di Manila dan Makao. Portugis terusir dari Manila dari tekanan pelaut-pelaut Spanyol. Jadi dalam hal ini nama Formosa diberikan oleh pelaut Portugis, sementara nama yang sudah dicatat di selatan adalah Tainan (yang kemudian bergeser menjadi Taiwan).
Dalam
studi Erin (1936) terdapat kelompok-kelompok populasi asli yang berbeda bahasa di
Formosa. Erin Asai mencatat bahasa-bahasa
yang telah punah di pulau Formosa adalah 1. Ketagalan, 2. Taoka, 3. Papora
(sebelah utara pantai barat tengah). 4. Babuza (pantai barat. yang disebut
Favorlang dan 5. Siraya (pantai barat tengah). Bahasa-bahasa tersebut menurut
Erin secara fonologis, morfologis dan leksikal cukup dengan bahasa-bahasa
nusantara yang berimigrasi ke Formosa yang terletak di ujung utara. Bahasa-bahasa
asli ini berbeda dengan bahasa-bahasa di daratan Tiongkok (seperti Canton, Hakka
dan Amoy).
Apa yang menyebabkan bahasa-bahasa asli Formosa punah diduga terkait dengan semakin banyaknya imigran dari daratan Tiongkok ke pulau. Para imigran memang tidak menggunakan bahasa suku sebagai bahasa umum tetapi yang terbentuk sebagai lingua franca adalah bahasa Mandarin. Interaksi yang tinggi antara kelompok populasi asli Formosa dengan pendatang dari daratan Tiongkok (dan kebutuhan bersama terhadap lingua franca/Mandarin) menyebabkan kelompok-kelompok populasi asli di Formosa menjadi bilingual. Namun dengan kemajuan yang pesat di wilayah pantai barat pulau Formosa (Taiwan modern), bahasa asli (maupun bahasa asal Tiongkok seperti Hakka) dibelakangkan dan hanya digunakan di tingkat komunitas/keluarga, yang pada akhirnya punah. Jadi bahasa dari populasi asli sejatinya tidak sendiri punah, juga bahasa-bahasa yang dibawa oleh para imigran juga kemudian punah.
Lantas
sejak kapan bahasa-bahasa asli di pulau Formosa punah? Tidak diketahui secara
pasti kapan punah, tetapi menurut desertasi Erin (1936) namun keberadaan bahasa-bahasa
asli seperti Siraya dan Babuza/Favorlang masih terlestarikan dalam
catatan-catatan sejarah lama. Bahkan kamus bahasa Siraya juga sudah ditulis
pada masa lampau yang masih dapat dibaca. Tidak hanya kamus, bahasa Siraya juga
pernah digunakan untuk menulis terjemahan kitab suci (Injil).
Bahasa Siraya di pantai barat tengah yang pernah menerjemhakan Injil dari Gravius yakni A Het Heylige / Evangelium / Mattehei / en / Johannis. / ofte / Hagnau / Ka D'llig Matiktik, / ka na sasoulat ti / Matteheus, / tl Johannes appa, / Overgeset inde Formosaansche tale, voor' de Inwoonde:rs van Soulang, / Mattau, Sinckan, Bacloan, Tavokan, en Tevorang. t Amsterdam. 1661 Patar / Ki rna-'msing-an / Ko Christang, / ka / Taukipapatar- Tm OU sou / Ka Makka S.-De.a, / ot.e , Formuue des / Christendoms. / Met de / Verklaringen van dien, / Inde / biuti Formosaansche Tale. t'Amsterdam 1662. Kamus kosa kata bahasa Siraya dari Utrecht MS yang dicetak di Verh. B. G. XVIII. Woordenlijst der Formosaansche Taal. Volgens een Handschrift in de Bibliotheek der Utrechtsche Academie aanwezig; door C. J. van der Vlis. Namun entrinya banyak yang salah cetak.
Adanya
dokumen-dokumen tersebut bahasa bahasa Formosa, yang tidak hanya merupakan
bahan yang bagus tentang bahasa mati Siraya, Makatao dll, tetapi juga
menunjukkan sebuah bukti bahwa suku pribumi tinggal di distrik (Tainan) pernah
eksis peradaban Belanda (oleh para misionaris Belanda) yang dipertahankan
selama lebih dari satu abad. Bahasa Belanda dari Formosa ini ditulis dengan
aksara Latin.
Rukai adalah salah satu suku aborigin Taiwan. Mereka terdiri dari enam sub kelompok yang berada di selatan Taiwan (Budai, Labuan, Maga, Mantauran, Tanan, dan Tona), masing-masing memiliki dialek sendiri dari Bahasa Rukai. Pada tahun 2014, masyarakat Rukai berjumlah 12,699, dan terbesar ketujuh dari empat belas kelompok yang resmi diakui oleh Taiwan. Dulunya Masyarakat Rukai disebut Tsarisen, yang berarti "orang yang tinggal di gunung." Tabel: kelompok bahasa-bahasa asli Formosa (Erin, 1936).
Lalu
bagaimana orang asli Formosa (Taiwan) berasal dari Indonesia? Adalah Erin Asai,
seorang doctor Jepang (1936) yang menyatakan demikian. Erin menyebut sudah
menjadi rahasia umum bahwa disana hidup ras Indonesia di Formosa, dan orang
Jepang menyebutnya Ban-zoku atau Takasago-zoku yang termasuk suku asli
Indonesia, tidak hanya di Formosa, tapi juga di pulau kecil Botel Tobago. Erin
melakukan studi ini pada tahun 1936 yang memberi judul desertasinya: ‘A study
of the Yami language: An Indonesian language spoken on Botel Tobago Island’.
Bagaimana itu semua terhubung?
Seperti dissebut di atas, Sartje Specx, putri Jaques Specx keturunan Jepang menikah dengan seorang pendeta dan kemudian berangkat ke Formosa. Sartje Specx meninggal di Formosa tahun 1636 sebelum berusia 20 tahun. Jaques Specx sendiri menjadi Gubernur Jenderal VOC di Batavia (1629-1632). Pada masa inilah Sartje Specx menikah dengan seorang pendeta Belanda di Batavia, yang lalu kemudian pasangan ini berangkat ke Formosa. Lantas bagaimana bisa? Boleh jadi Jaques Specx telah mengetahuai sejak lama ada kelompok populasi di Formosa mirip dengan orang pribumi di nusantara.
Suami Sartje Specx diduga adalah misionaris Eropa pertama di Formosa. Para misionaris Belanda inilah kemudian yang mempelajari bahasa-bahasa asli di Formosa, membuat kamus yang kemudian digunakan untuk menerjemahkanj Injil.
Bahasa Babuza adalah suatu bahasa Austronesia hampir punah dituturkan suku Babuza dan Taokas, kelompok suku asli Taiwan. Kemungkinan bahasa ini diturunkan atau berhubungan dengan Favorlang, dibuktikan pada abad ke-17 dari suatu kamus bahasa Formosa. Babuza pernah dituturkan di sebagian besar pesisir barat Taiwan. Dua dialeknya yang berbeda, Poavosa dan Taoka, dipisahkan secara geografis oleh bahasa Papora dan Pazeh.
Bahasa Babuza sudah punah tetapi bahasanya masih lestari dalam berbagai bentuk dokumen sejarah masa lampau. Kamus Dialek Favorlang Bahasa Formosa, oleh Gilbertus Happart: ditulis tahun 1650. Lalu apakah sejarah Babuza yang dalam hal ini bahasa Favorlang diketahui orang di Indonesia? Tentu saja iya, sebab ada nama Dr Walter Handry Medhurst. Lihat juga ‘Favorlangsch Woordenboek’ (Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1839). Disebutkan kamus kuno itu ditemukan dalam naskah di Arsip Gereja Reformasi (Archiven der Hervormde Gemeente) di Batavia.
Dr Walter Handry Medhurst pernah menulis artikel berjudal Over een Favorlangsch Woordenboek yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1840. Medhurst juga mencetak di Batavia buku Gilbertus Happart: Kamus Dialek Pavorlang Bahasa Formosan, ditulis tahun 1650, yang diterjemahkan sendiri oleh WH Medhurst (lihat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1917-1939). Catatan: Dr Walter Handry Medhurst adalah salah satu Sinolog terbaik; revisi terjemahan Alkitab berbahasa Mandarin sebagian besar adalah karyanya. Walter Handry Medhurst lahir di London, 1796. Dari tahun 1819 hingga 1822, Medhurst bekerja di Poelau Pinang, setelah itu dia menetap di Batavia. Dia sudah akrab dengan bahasa Ohine dan Melayu dan bekerja terutama di antara orang Tionghoa, tetapi juga di antara orang berbahasa Melayu. Beliau adalah pendiri Gereja Inggris di Batavia dan Gereja Inggris di Parapatan. Pada tahun 1835 Medhurst melakukan perjalanan penjelajahan penting di sepanjang pantai Tiongkok, diundang oleh masyarakatnya, termasuk misionarisnya di Tiongkok, Dr. Morrison, Pada tahun berikutnya ia kembali ke Batavia. Lalu di Batavia ia mendrikan sebuah sekolah pelatihan bagi kaum muda Tiongkok, yang terhubung dengan Institut Parapattan; istrinya mengurus pendidikan para gadis Tionghoa. Ketika misi tersebut diterima di Tiongkok pada tahun 1842, dia berangkat ke Shanghai pada tahun berikutnya, di mana dia juga mendirikan percetakan dan terus melayani pekerjaan misionaris dengan berbagai cara melalui khotbah, pengajaran, perjalanan dan karya sastra.
Karya Dr
Walter Handry Medhurst tentang orang Babuza berbahasa Favorlang dapat dianggap
sangat penting. Salah satu artikelnya berjudal Over een Favorlangsch
Woordenboek yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1840. Walter Handry Medhurst
juga telah menerjemahkan dan mencetak di Batavia buku kamus berbahasa Babuza
berjudul: Gilbertus Happart: Dictionary of the Pavorlang dialect of the
Pormosan (Gilbertus Happart: Kamus Dialek Pavorlang Bahasa Formosan),
diterbitkan tahun 1650, Dr Walter Handry Medhurst adalah salah satu Sinolog
terbaik.
Apa yang menjadi sebab bagi Dr Walter Handry Medhurst untuk menerjemahkan kamus bahasa Babuza di Indonesia? Tentu saja terkait keberadaan Walter Handry Medhurst di Batavia yang terkait dengan pekerjaannya dengan orang Cina di Batavia dan kegiatan misi di Tiongkok. Sementara itu kamus bahasa Babuza sudah pernah ditulis dalam bahasa Belanda semasa VOC/Belanda. Bahasa Babuza jelas sudah punah, tetapi masih lestari dalam kamus dalam dua bahasa (Belanda dan Inggris). Ini ibarat bahasa Wales di pulau Britania yang dianggap sudah punah tetapi kamus dan literaturnya masih eksis. Kamus bahasa Wales dapat diakses di Google terjemahan.
Lalu siapa
Gilbertus Happart yang menulis kamus Dictionary of the Pavorlang dialect of the
Formosan yang diterbitkan tahun 1650. Apakah Gilbertus Happart adalah suami Sartje
Specx, misionaris Eropa pertama di Formosa yang berangkat dari Batavia?
Sartje Specx meninggal di Formosa meninggal tahun 1636. Besar dugaan suaminya adalah Gilbertus Happart yang meneruskan kehidupan di Formosa. Setelah 14 tahun kemudian menerbitkan kamus bahasa Babuza dialek Favorlang. Kamus tersebut oleh Walter Handry Medhurst telah diterjemahkan dan dicetak di Batavia pada tahun 1840. Ada interval waktu selama dua abad saat kamus disusun dan kamus diterjemahkan dan dicetak.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Bahasa Austronesia di Formosa dan Adat Istiadat Penduduk Taiwan Masa Kini: Mengapa Mayoritas Penduduk Taiwan Merujuk ke Tiongkok
Menurut klasifikasi Departemen Aborigin dari Pemerintahan Umum Formosa (The Aboriginal Department of the Formosan Government-General) penduduk asli terdiri 7 suku yaitu, Taiyal, Tsou Saiset, Bunun, Paiwan, Ami dan Yami, tapi secara linguistik kita harus berharap lebih divisi. A. Bahasa Eksis: 1. Ataiyal [stajal] Utara. 2. Sedeq Utara. 3. Saisiyat (atau Saiset, Saisirat) Utara.4. Bunun? bunun] Tengah. 5. Tsou Tengah. 6. Pusat Kanakanavu.7. Saaroa [la?aroa] Tengah. 8. Rukai [dukai] Selatan.9. Paiwan Selatan.10. Pantai Timur Puyuma. 11. Ami [patjtsah] Pantai timur. 12. Pulau Yami Botel Tobago.
B. Bahasa Setengah Punah: Orang-orang ini menguasai dua bahasa: berbicara bahasa Cina dan bahasa Indonesia yang sebenarnya. Mereka berbicara bahasa Indonesia yang tepat di antara sesama suku sampai batas tertentu dan dikhawatirkan bahasa mereka akan hilang dalam waktu dekat. 1. Kavalan (sebelah utara) 2. Pazeh (pantai barat tengah) 3. Thao (tengah). C. Bahasa Punah: 1. Ketagalan (sebelah utara) 2. Taoka 3. Papora (keduanya pantai barat utara). 4. Babuza di pantai barat yang disebut Favorlang oleh misionaris Belanda. 5. Siraya di pantai barat tengah. Tabel: kelompok bahasa-bahasa asli Formosa (Erin, 1936).
Pemerintahan Umum Formosa sekitar delapan tahun lalu (Agustus, 2016) telah meminta maaf pada warga pribumi atas penindasan pendatang China di Taiwan. Ini disampaikan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen (presiden perempuan Taiwan pertama) ketika delegasi masyarakat adat Formosa datang ke Istana Negara. Seperti halnya Pemerintah Belanda, apakah permintaan tulus Presiden Taiwan meminta maaf kepada penduduk pribumi Formosa yang terjajah selama empat abad di Formosa juga dialamatkan kepada Pemerintah Indonesia? Fakta bahwa orang asing terbanyak di Taiwan saat ini berasal dari Indonesia.
Taiwan minta maaf pada warga pribumi atas penindasan pendatang China. Merdeka.com (sekitar 7 tahun yang lalu), Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, meminta maaf kepada delegasi masyarakat adat yang datang ke Istana Negara dua hari lalu. Permintaan maaf ini ditujukan untuk warga pribumi Taiwan yang sejak empat abad terakhir disingkirkan serta pelan-pelan dijajah oleh pendatang dari daratan China. Tsai, berasal dari keluarga campuran Tionghoa dan masyarakat adat, menyatakan permintaan maaf penting untuk persatuan Taiwan. "Jika kita ingin sama-sama mengaku sebagai warga negara, kita harus mengakui fakta sejarah, bahwa pernah ada marjinalisasi terhadap masyarakat adat," ujarnya seperti dilansir Channel News Asia, Kamis (4/8). Penduduk pribumi Kepulauan Formosa - nama lama sebelum diganti menjadi Taiwan oleh Partai Kuomintang - berasal dari kelompok etnis Austronesia. Secara fisik penampilan mereka mirip orang Melayu, cenderung seperti beberapa etnis Dayak Kalimantan. Tercatat ada 16 kelompok adat yang dulunya menguasai tanah di Taiwan, jumlah mereka sekarang cuma 2 persen dari total populasi penduduk 23 juta (https://www.merdeka.com/)
Lalu bagaimana sejarah Formosa selama empat abad terakhir? Tidak banyak yang diketahui di masa lampau. Surat kabar harian Chronicle of Sincapore, yang terbitan-terbitannya tiba di London pada tanggal 1 Mei, memuat informasi penting berikut mengenai perdagangan maritim Cina dengan negara-negara Asia lainnya (lihat Arnhemsche courant, 20-11-1824). Disebutkan provinsi-provinsi China yang melakukan perdagangan luar negeri, tercantum sebagai berikut: Canton dengan pulau Lainan, Fokien, Tschekiang dan Kianan. Sementara itu, tidak ada perdagangan luar negeri dengan pulau Formosa. Badai serta bahaya di Laut Kuning menghalangi penduduk provinsi laut Schangton dan Perscheli dari semua perdagangan luar negeri.
Pulau Formosa tampaknya berada di wilayah ancaman tshunami, seperti yang
terjadi pada tahun 1833 (lihat Utrechtsche courant, 26-06-1833). Disebutkan laporan
datang dari Cina bahwa tsunami telah melanda pulau Formosa yang menimpa
pemerintah Cina. Ini mengindikasikan bahwa pulau Formosa berada di wilayah
pemerintahan Tiongkok.
Pulau Formosa berada di bawah pemerintah Cina. Demikian juga dengan wilayah (kerajaan) Korea. Populasi Cina sangat besar. Di pulau Formosa, berdasarkan sensus 1843 terdapat sebanyak 1.5 juta jiwa.
Algemeen Handelsblad, 17-05-1847: ‘Berdasarkan sensus penduduk Cina pada
akhir tahun 1843, delapan belas distrik di Tiongkok berpenduduk 380.000.000
jiwa; Tibet 5.000.000; Mongolia Cina 3.000.000; Klein Bucharije 1.000.000; Tungusiö
1.500.000; De eilanden Taiwan, Liéukiéu, dll 1.500.000; Het rijk Korea
3.000.000. Total keseluruhan 395.000.000. Ini tidak termasuk, seperti yang
dapat dilihat, orang Cina yang tinggal sebagai koloni di pulau-pulau di
Kepulauan Oostdijken, di Siam, Burma, dan di negara-negara lain, dan yang,
menurut Gützlaf berjumlah tiga hingga empat juta jiwa. Hampir semua pemukim ini
berasal dari dua kota di Distrik Fokien, kota utama Tschang-tschcu dan
Tsuentschéu. Ini adalah bukti paling nyata tentang kesuburan bangsa Cina yang
tak tertandingi’.
Seperti disebut di atas, di pulau Formosa tidak terdapat perdagangan luar negeri. Pelabuhan di Formosa baru akan dibuka seiring dengan adanya perjanjian antara Pemerintah Cina dengan Inggris tahun 1858 (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 12-08-1858). Di dalam isi perjanjian ini antara lain: Pasal-6 Ketentuan dan hak istimewa yang sama berlaku bagi duta besar Tiongkok di London; Pasal-8 Umat Kristen dan guru-guru mereka, golongan Protestan atau Katolik Roma diterima dan dilindungi di seluruh kekaisaran; Pasal-11. Selain pelabuhan yang sekarang dibuka untuk orang asing, pelabuhan Einchwang di Manchuria, Tangchow di Teluk Pecheli, Taiwan di Formosa, serta Swatow dan Kiungchow di Hainan, akan dibuka untuk tujuan yang sama; Pasal-50 Korespondensi resmi pihak Inggris dilakukan dalam bahasa Inggris; Pasal-51 Kata barbar yang diterapkan pada orang asing tidak akan lagi digunakan dalam dokumen resmi Tiongkok; Pasal-52 Semua pelabuhan di seluruh kekaisaran Cina akan terbuka untuk kapal perang Inggris, dan komandan mereka akan diperlakukan sama oleh otoritas Cina.
Ekspedisi Belanda yang dipimpin van Warwijk tahun 1604 menyerang Portugis di Macau, namun gagal karena terhalang badai yang mendorong mereka ke Pescadores (kini Penghu), gugus pulau 30 mil sebelah barat Formosa. Tidak sempat berkoloni, karena pelaut Belanda segera terusir dari kekuatan dari arah daratan. Pada tahun 1622 pelaut Belanda kembali mengunjungi Formosa. Lalu pulau Formosa berada di bawah kekuasaan VOC/Belanda dari tahun 1624. Sejak kehadiran Belanda di pulau, diduga yang menjadi sebab para misionaris Belanda masuk pada tahun 1630an. Pada tahun 1659 dua jung Cina dari Batavia diizinkan ke Tayouan (lihat Daghregister, 13-05-1659). Kedua kapal Tiongkok yang berangkat ke Tayouan masing-masing membayar 300 real untuk tol keluar dan masuk. Pada tahun 1661 pendeta dikirim dari Batavia ke Formosa (lihat Daghregister, 17-04-1661). Herman Klenke dari Odesse diangkat sebagai Gubernur Formosa yang dalam perjalanan (lihat Daghregister, 07-06-1661). Kekuatan militer dari Batavia dikirim ke Tayouan (lihat Daghregister, 25-06-1661). Kapal-kapal ke Tayouan itu adalah Dolphin, Naerden, Muyden, Zirikzee, Hasselt, Ankeveen, Koukerke, Urk en Ter Boede nae Tayouan yang dipimpin Jacob Cauw. Pada tahun 1662 Belanda meninggalkan pulau. Pada tahun 1664 Belanda kembali menempati pulau. Gubernur Tayouan Frederick Coyet dieksekusi (Daghregister, 12-01-1666). Lalu Belanda meninggalkan pulau. Mengapa? Berita orang Belanda dipenjara di Taoyuan dari orang-orang Cina dicatat di Batavia (lihat Daghregister, 05-04-1670). Sebuah kapal rongsokan tiba dari Tayouan dengan lebih dari seratus orang Coxinse Chinesen. Dalam Daghregister, 30-03-1673 dicatat surat dari tahanan Belanda dari Tayouan kepada Gubernur Jenderal. Dalam Daghregister, 30-03-1673 juga dicatat tentang adanya kontrak disepakati antara Inggris dan Coxinse Chinesen di Tayouan. Dalam perkembangannya surat dari tahanan Belanda dari Tayouan kepada para pemimpin Jepang (Daghregister, 27-11-1673). Dua surat dari tahanan Belanda dari Tayouan dikirim Inggris dari Bantam (Daghregister, 25-03-1677). Apakah ini mengindikasikan yang mengusir Belanda dari Formosa dan melakukan penahanan adalah Coxinse Chinesen yang kemudian menjalin perjanjian dengan Inggris? Yang jelas pulau Formosa kemudian diketahui ditempati Inggris. Ini dapat dibaca dalam Daghregister, 14-01-1680 yang menyatakan kehadiran kapal Inggris bernama Formosa dari Tayouan (Formosa). Kapal Formosa kembali ke Tayouan pada bulan Agustus. Pada bulan Maret 1681 kapal Formosa terinformasikan di Banten. Pada saat ini Banten berada di bawah pengaruh Inggris. Pada tahun 1682 terjadi perang saudara di Banten. Pada bulan Juni 1683 Inggris mengirim resolusi ke pantai Tiongkok dimana orang Cina yang menjadi tawanan ditempatkan di Formosa. Sejak resolusi inilah diduga Inggris bercokol di pantai timur Tiongkok. Setelah perang saudara di Banten berakhir pada tahun 1684, Banten jatuh ke tangan pengaruh Belanda. Pada tahun 1685 disebut dalam catatan Daghregister, 16-02-1685 sebanyak 11 tawanan Belanda di Tayouan dibebaskan. Para tawaban orang Belanda ini ditahan oleh pelaut Tartar sejak 24 tahun lalu (pelaut Tartar adalah Coxinse Chinesen?). Itu berarti penahanan terjadi sejak 1661. Hal inilah diduga mengapa kemudian Belanda meninggalkan Formosa pada tahun 1662 (dan coba mendekati pulau dari tahun 1664 hingga 1668). Pembebasan tawanan Belanda di Formosa ini diduga dilakukan Inggris setelah menguasai seluruh pulau. Siapa para tawanan Belanda terserbut? Diduga mereka adalah para misionaris Belanda yang berada di Formosa sebagaimana dicatat dalam Daghregister, 22-03-1683: ‘Isi catatan dari tahanan (Belanda) di Formosa kepada Pendeta Theodorus Zas (di Batavia).
Kekalahan Belanda di Formosa adalah satu hal, penahan orang-orang misionaris Belanda di Formosa adalah hal lain lagi namun keduanya berkaitan. Lalu sejak Inggris hadir menggantikan Belanda di Formosa, bagaimana dengan kegiatan misionaris diantara penduduk asli di Formosa? Tampaknya kegiatan misionarsi di Formosa baru dizinkan pada tahun 1858 yang termasuk dalam perjanjian antara Inggris dan Cina yang diadakan tahun 1858.
Korban Goxinga di Formosa. Berikut kutipan dari sertifikat, karena meninggalnya Hendrik Jorisz. van der Minne, asisten dalam pelayanan Perusahaan Hindia Timur, disampaikan oleh para Direktur. Dinyatakan di sini bahwa: Hendrik Jorisz van der Minne pada tahun 1644 dari Dewan ini sebagai asisten berangkat dengan kapal Walvisch ke Hindia Timur, dan selanjutnya tinggal dalam pelayanan Perusahaan di Taiwan atau Formosa, ketika pemberontak Coxingos menaklukkan pulau yang sama dan membantai semua penduduk Perusahaan, kecuali beberapa orang yang sejauh ini ditawan di sana. Dokumen tersebut selanjutnya menyatakan bahwa Tuan Nicolaes de Roij, sebagai Komandan, datang dengan kapal-kapal terendah dan membawa ke sini beberapa ringkasan, dalam kutipan yang terlampir di sini, yang memuat nama-nama semua orang yang masih dipenjara di sana, kepada Ed. Ditulis oleh Lord General dan Anggota Dewan Hindia, yang sejak itu menjadi subjek Perusahaan Hindia Timur. di sini sisanya dianggap meninggal dan upah mereka telah dibayarkan. “Surat yang dimaksud dalam kutipan terlampir di sini” berbunyi: Nama-nama orang yang masih hidup dan dipenjara di antara orang Cina di Taiwan. Joan Brummer dari Tamkas dari Lijfflant [Tuckum di sebelah Barat Riga?] dan Gijsberta sang Ksatria Uijtreght istrinya, dan Johannes Brummer putranya. Alexander dari Gravenbroek. H. Verbies dan Antonica van Bengala adalah Ibu Rumah Tangga, dengan Catarina dan Cornelia, Verbies Putri Salomon Valentijn. Maria van Lameij janda dari D(omi)n(us) Cotenboogh. Susanna, Putri Seorang Budak Pendeta Leenders, yang paling telat dari semuanya. Hal tersebut di atas disarikan dari sebuah surat yang ditulis oleh para tawanan tersebut pada akhir tahun 1673 kepada Dia yang dimaksud Bapak Gubernur Jenderal dan Pendeta Tuan-tuan Dewan Hindia, ditulis yang dibawa kapal jung Inggris dari Taijouan. Amsterdam, 8 Desember 1674 NICOLAES DE ROY. Dikomunikasikan oleh J. E. E. te A (lihat De wapenheraut; maandblad gewijd aan geschiedenis, geslachts-, wapen-, oudheidkunde enz., jrg 1, 1897). Catatan: Perlu dicatat selama 30 tahun Belanda di Formoso tempo doeloe sebanyak 32 pendeta telah dikirim ke pulau.
Bagaimanapun kehadiran orang Eropa (Portugis,
Belanda dan Inggris) di Formosa tentulah bukan yang pertama. Orang-orang Cina
di Formosa adalah juga pendatang. Sebab yang menjadi penduduk asli bukan orang
Cina, tetapi kuat dugaan berasal dari nusantara (Austronesia). Dalam konteks
inilah kemudian pulau Formosa dihubungkan dengan wilayah-wilayah pulau di
selatan (bukan wilayah-wilayah di daratan/Tiongkok).
Di pulau-pulau di wilayah Jepang, bukan orang Cina tetapi orang Jepang
yang dari waktu ke waktu eksis. Seperti disebut di atas, wilayah Korea dan
wilayah pulau Formasa termasuk wilayah pemerintah Cina. Bagaimana bisa? Orang
Jepang mampu mempertahankan identitasnya (sebagai mana juga di wilayah selatan
di pulau-pulau Filipina mampu menjada identitasnya). Sementara pulau Formosa dalam
hal ini larut dalam arus migrasi yang massif dari daratan Tiongkok. Sedangkan orang
Korea dalam perkembangannya mampu menahan pengaruh Cina (dan pada masa ini
identitas Korea tetap terjaga di wilayah Korea; dan demikian juga orang Viet di
Vietnam dan orang Thai di Siam serta orang Birma di Burma). Lalu bagaimana
dengan di pulau Hainan? Tampaknya idem dito dengan yang terjadi di pulau Formosa.
Secara historis dalam aspek budaya, pulau Formosa tidak terhubung dengan utara (Korea dan Jepang), tetapi terhubung dalam berbagai aspek seperti bahasa dan adat dengan wilayah pulau-pulau di selatan seperti Filipina, Kalimantan, Semenanjung, Sumatra dan Jawa. Hubungan pulau Formosa dengan wilayah pulau-pulau selatan, paling tidak Sebagian telah disimpulkan oleh Erin Asai tahun 1936 dalam judul desertasinya: ‘A study of the Yami language: An Indonesian language spoken on Botel Tobago Island’. Erin Asai sendiri adalah doctor asal Jepang tidak menemukan hubungan kebudayaan antara pulau Formosa dengan pulau-pulau di Jepang. Boleh jadi memang yang terhubung hanya secara politik dan eskonomi perdagangan. Catatan: Wilayah Formosa berada dibawah Jepang sejak 1895 hingga 1945.
Deli courant, 07-10-1908: ‘Kita melihat Jepang mengambil alih jembatan dengan serius segera setelah mengambil alih, pertama-tama untuk menegaskan dominasi politiknya, tetapi juga untuk segera mengasimilasikan rekan-rekan barunya ke dalam ras yang berkuasa. Hal ini berjalan sangat mudah bagi penduduk kepulauan Ryukyu yang damai. Di Formosa, jumlah imigran Jepang yang berimigrasi terlalu sedikit dibandingkan dengan tiga juta penduduk Cina dan laporan tentang pulau ini terlalu langka untuk memberikan gambaran sebenarnya tentang kemajuan penjajahan. Suku-suku asli di Timur pulau, yang kekuasaannya tidak pernah bisa dipatahkan oleh suku China pada masa pemerintahan mereka, kini dengan tekun dikalahkan dan, jika laporan resmi dapat dipercaya, penaklukan mereka (oleh Jepang) hanya tinggal menunggu waktu saja. Kepulauan Ryukyu, Formosa, Hokkaido dan Sacha akan diserap oleh Jepang dan diubah menjadi bagian keseluruhan yang lebih besar’.
Bahasa Yami ditemukan di pulau Lanyu di tenggara pulau Formosa. Bahasa Yami adalah salah satu bahasa asli yang masih eksis (lihat Erin, 1936). Bahasa Yami mirip bahasa Batak di Filipina dan juga mirip bahasa Batak di Indonesia, seperti kosa kata elementer seperti ibu (ina), ayah (ama) dan kakek (opung). Bahasa-bahasa itu masih lestari hingga masa ini terutama di dalam bahasa Batak di Indonesia. Dalam bahasa Batak tidak hanya kosa kata yang spersifik juga ada imbuhan dan penamaan bilangan.
Bukti tertulis bahasa Batak yang terua ditermukan di Sumatra yang terdapat dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M). Kosa-kata: man(g)alap (menjemput/mengambil), marlapas (berangkat); marbuat (membuat/membangun). Dalam kosa-kosa kata itu ada awal ma (me) dan mar (mem). Nama bilangan: tlurātus sapulu dua, tolu ratus sapulu dua = 312. Tidak ada sebutan belas dalam bahasa Batak, tetapi menggunakan system biner (sapulu sada = 10-1; sapulu dua = 10-2 dst; duapuluh satu= 20-1. dst). Nama tempat: Minanka yang diduga nama Binanga di Padang Lawas dan kosa kata mārgga = marga. Dalam prasasti Talang Tuo (684 M) juga ditemukan kata akhirnya na yang dalam bahasa Melayu menjadi nya seperti tatkālāña = tatkalanya, puṇyaña = punyanya. wuaḥña = buahnya; awalan ni yang dalam bahasa Melayu menjadi di seperti niparwuat = diperbuat. nitanam = ditanam. nimakan = dimakan; kombinasi imbuhannya niminumña = diminumnya. Yang lainnya dalam teks awal ma dan akhiran i yakni maŋhidupi = menghidupi dan marwwaṅun = membangun. Tentu saja jangan lupa kata depan danan/dngan = dengan, kata depan (oleh) atau imbuhan awalan di takni ni dan imbuhan par (per) dalam bahasa Batak. Satu lagi bahwa bahasa Batak lazim menggunakan dialek a (bukan dialek o dan e) seperti vanua = benua.
Erin Asai dalam desertasinya berkesimpulan secara fonologi, morfologi dan sintaksis bermigrasi dari Indonesia hingga jauh di utara di pulau Lanyu (kini wilayah Taiwan). Kosa kata bahasa Yami yang mirip kosa kata bahasa Batak antara lain: ayah=ama; ibu=ina; minum=inum; mata=mata; ayam=manuk; gigi=ipon; tujuh=pitu. Erin Asai dalam desertasinya menyimpulkan bahwa bahasa Yami di Taiwan tidak lain dari dialek bahasa Batak.
Pulau Lanyu ini sangat kecil 45 km persegi, memiliki populasi 1.682 (menurut sensus penduduk tahun 1934) yang hanya terdiri atas satu suku saja, yaitu disebut Yami oleh orang Jepang. Nama Yami berasal dari laporan Dr. R. Torii, yang melakukan ekspedisi ilmiah mengenai hal ini di pulau pada tahun 1897, di mana dia mengatakan bahwa orang-orang menyebut diri mereka sendiri Yami-Kami (Kami adalah kata ganti orang 1 orang jamak. eksklusif. Jadi itu mungkin berarti "Kami adalah Yami"). Pulau ini oleh orang Eropa disebut Botel Tobago, yaitu asal usul namanya tidak diketahui secara pasti. Dalam peta-peta Eropa diidentifikasi berikut: 1650: tanpa nama (peta WJ Blaeu); 1654: Tabaco (peta Xima Sanson d'Abbeville). Penduduk asli tidak menyebut diri mereka Yami, tetapi nama Yami dilakukan oleh orang Jepang. Nama Botrol muncul dalam De 1'Isle yang diterbitkan tahun 1700. Nama Botel Tobago diidentifikasi tahun 1805 (W Rob. Broughton: Neue Carte von der Nordost-Küste von Asien dan den Japanischen Insein). Puyuma, suku yang berada di pantai timur Formosa menyebut pulau ini Botol dan suku Ami di pesisir Formosa dengan Buturu. Nama Botol datang langsung dari penduduk asli sedangkan Tobago dikomunikasikan Cina (Taba) yang digunakan di Jepang dan kemudian digunakan pelaut Eropa. Kedua nama itu menjadi Botol Tobago sebagai nama wilayah (pulau) dan bahasa dan penduduknya disebut Yami. Kini, nama pulau Botol Toboga diubah orang Taiwan menjadi pulau Orchid Island.
Namun bagaimanapun, antara wilayah Batak di Sumatra dan wilayah Yami di Taiwan disambungkan oleh banyak tempat. Dalam hal ini bahasa Batak di Sumatra juga ada kemiripan dengan bahasa-bahasa di pulau-pulau Filipina. Bahasa Tagalog di pulau Luzon di Filipina juga menggunakan kosa kata ayah=ama; ibu=ina; tiga=tolu, tujuh=pitu dan sebagainya. Selain itu tentu saja kosa kata tiga=tolu, tujuh=pitu juga mirip dengan bahasa Jawa. Namun kosa kata gigi=ipon sangat jarang ditemukan kecuali antara lain di dalam bahasa Batak di Sumatra dan bahasa Yami di Taiwan.
Pada tahun 1537 seorang Portugis Mendes Pinto dari Malaka melakukan ekspedisi ke Tanah Batak yang disebutnya Aroe Batak Kingdom. Mendes Pinto menyebut ibukotanya Panaju berarti kampong Pane di sungai Batang Panai/Pane yang sekarang. yang dapat dilayari dari pantai melalui sungai B-aroe-moen selama lima hari ke pedalaman, suatu daerah yang menghasilkan daging (kini masih terkenal sebagai daerah peternakan), menghasilkan benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu, dan beras. Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 tentara, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya adalah orang-orang yang didatangkan dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar