Jumat, 15 Agustus 2025

Sejarah Indonesia Jilid 6-3: Terbentuknya Bangsa Indonesia; Pengetahuan, Persatuan, Organisasi, Kebangkitan dan Perjuangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini

Dalam narasi sejarah Indonesia masa ini, selalu disebut terbentuknya bangsa Indonesia ditandai dengan munculnya organisasi modern pertama, Boedi Oetomo, pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini didirikan oleh para pelajar STOVIA atas gagasan Dr Wahidin Soedirohoesodo. Berdirinya Boedi Oetomo menjadi tonggak awal Kebangkitan Nasional Indonesia dan perjuangan menuju kemerdekaan. Apakah demikian proses sejarahnya? Yang jelas motto penulisan Sejarah Indonesia yang tengah ditulis pemerintah sekarang (akan diterbitkan 11 November) adalah Indonesiasentris.


Terbentuknya bangsa Indonesia merupakan proses panjang yang ditandai dengan adanya persamaan nasib, keinginan bersama untuk merdeka, dan persatuan dalam keberagaman. Beberapa peristiwa penting seperti Kongres Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, serta pembentukan BPUPKI dan PPKI menjadi tonggak penting dalam proses ini. Faktor-faktor Pembentuk Bangsa Indonesia: Persamaan Nasib: Masyarakat Indonesia mengalami penderitaan yang sama akibat penjajahan selama berabad-abad. Keinginan Bersama: Adanya keinginan kuat untuk mencapai kemerdekaan dan melepaskan diri dari penjajahan. Persatuan dalam Keberagaman: Meskipun terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya, bangsa Indonesia bersatu dalam satu wadah. Proses Terbentuknya: 1. Masa Penjajahan: Masyarakat Indonesia merasakan penderitaan yang sama akibat penjajahan, yang memunculkan rasa senasib dan keinginan untuk merdeka. 2. Perkembangan Kesadaran Kebangsaan: Melalui berbagai organisasi dan pergerakan, kesadaran akan persatuan dan pentingnya kemerdekaan semakin tumbuh. 3. Proklamasi Kemerdekaan: Peristiwa penting yang menandai lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara merdeka. 4. Pembentukan Negara: Setelah proklamasi, PPKI membentuk dasar negara (UUD 1945), memilih presiden dan wakil presiden, serta membagi wilayah menjadi beberapa provinsi (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah terbentuknya bangsa Indonesia? Seperti disebut di atas, apa yang dinarasikan dalam sejarah Indonesia pada masa ini tampaknya perlu dicermati lebih teliti lagi. Dalam proses terbentuknya bangsa Indonesia diawali dengan tingkat pengetahuan para pionir, menyadari pentingnya persatuan yang kemudian diikuti dengan pembentukan organisasi yang selanjutnya menjadi landasan yang kuat dalam kebangkitan bangsa dan perjuangan untuk kemerdekaan. Lalu bagaimana sejarah terbentuknya bangsa Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Terbentuknya Bangsa Indonesia; Pengetahuan, Persatuan, Organisasi, Kebangkitan dan Perjuangan

Jauh sebelum terbentuknya bangsa Indonesia, setelah dibubarkannnya VOC yang beribukota di Batavia di pulau Jawa (1799), Kerajaan Belanda (di Eropa) membentuk apa yang disebut Pemerintah Hindia Belanda (1800). Saat terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda, properti Belanda hanyalah bangunan-bangunan dan benteng-benteng peninggalan VOC (dibeli/diakuisisi) di berbagai tempat dan kontrak-kontrak yang telah dilakukan oleh para pejabat VOC dan para pemimpin lokal sebelumnya.


Investasi kerajaan Belanda dimulai di Hindia dalam bentuk pengeluaran-pengeluaran (anggaran) untuk administrasi, militer dan para pejabat yang diangkat. Sumber pendapatan pertama dalam bentuk hasil perdagangan. Kemudian bea cukai lalu pajak. Lantas apa yang menjadi wilayah Pemerintah Hindia Belanda?

Wilayah Pemerintah Hindia Belanda memiliki prosesnya tersendiri. Satu yang pertama, antara pemerintah Kerajaan Belanda dengan pemerintah Kerajaan Inggris melakukan perjanjian pada tahun 1824 (Traktat London 1824). Salah satu klausal dalam traktat, tukar guling antara properti dan kontrak di wilayah Bengkulu di Sumatra yang dikuasai Inggris dengan properti dan kontrak di wilayah Malaka di Semenanjung yang dikuasai Belanda. Garis batas antara wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda menjadi jelas. Penarikan garis batas juga terjadi antara Spanyol (Filipina) dan Pemerintah Hindia Belanda. Demikian dengan Portugal di pulau Timor dan dengan Jerman di pulau Papua serta Inggris di Borneo Utara.


Sementara batas-batas wilayah Pemerintah Hindia Belanda dari waktu ke waktu semakin defenitif (yang menjadi wilayah Indonesia sekarang), Pemerintah Hindia Belanda secara bertahap membentuk cabang pemerintahan di berbagai wilayah. Namun tidak selalu mudah dan lancer. Hal itu karena adanya perlawanan pemimpin lokal terhadap kehadiran otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Perang pun terjadi di berbagai daerah. Sebagaimana diketahui semua perang pada akhirnya dimenangkan Pemerintah Hindia Belanda.

Pada akhirnya semua wilayah Hindia Belanda dapat disatukan Pemerintah Hindia Belanda di bawah pemerintahannya. Yakni wilayah-wilayah di berbagai pulau dengan kelompok populasi (etnik/suku) dengan berbagai bahasa dan adat istiadat. Di bawah kendali kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda tidak ada bangsa Indonesia, yang ada adalah Pemerintah Hindia Belanda dengan beragam suku/bangsa. Sebagai suatu wilayah pemerintahan (provinsi) Kerajaan Belanda yang dipimpin seorang Gubernur (Jenderal), Pemerintah Hindia Belanda secara bertahap juga membangun jalan, pelabuhan, kota, dan berbagai fasilitas lainnya dan Pemerintah Hindia Belanda juga secara bertahap mengembangkan administrasi pemerintahan di tingkat lokal, kesehatan, pendidikan, perdagangan, pertanian dan sebagainya.


Nun jauh di pedalaman Sumatra di wilayah (afdeeling/kabupaten) Angkola Mandailing, seorang lulusan sekolah rakyat bernama Sati Nasoetion menyadari arti penting pendidikan dan bagaimana cara memperluasnya dan cara meningkatkan kualitas murid dan guru. Sati Nasoetion pada tahun 1857 berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi untuk mendapatkan akta guru. Satu Nasoetion alias Willem Iskander (nama Radja Belanda Willem III dan sastrawan Rusia di pengasingan Iskander Harzen) lulus tahun 1860. Sekembali ke tanah air di kampong halamannnya di kampong Tanobato onderafdeeling Mandailing tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) yang diasuhnya sendiri. Saat ini baru dua sekolah guru yang dibangun pemerintah yakni di Soerakarta (1852) dan Fort de Kock dengan guru-guru Belanda. Pada tahun 1864 Inspektur Pendidikan Pribumi Mr JA van der Chijs, sangat terkejut, hasil penilaiannya mutu sekolah guru di Tanobato jauh lebih baik dari Soerakarta dan Fort de Kock. Yang tidak terduga lagi, meski bahasa pengantar adalah bahasa Batak, tetapi juga diajarkan bahasa Melayu, bahasa Belanda dan pelajaran Matematik (Aritmatika), Fisika (Ilmu Alam), Biologi (Ilmu Tumbuhan), geografi. Buku pelajaran ditulis sendiri oleh Willem Iskander dan juga Willem Iskander menyadur buku-buku berbahasa Belanda yang dibawanya dari Belanda ke dalam bahasa Batak seperti sastra, pengetahuan persuratkabaran, pabrik dan sebagainya. Semua buku-buku itu diterbitkan di Padang dan Batavia. Berita yang dingkapkan oleh Mr JA van der Chijs menjadi heboh di Jawa. Willem Iskander kemudian mulai berjuang ini tampak dalam salah satu puisinya di buku Siboeloe-boeloes Siroemboek-roemboek yang diterbitkan tahun 1872 di Batavia (39 halaman: 12 sajak, satu buah drama dan tujuh buah prosa). Boleh jadi karena ditulis dalam bahasa Batak tidak ada orang Belanda yang menyadarinya. Bait pertama dari bait-baait terakhir puisi berjudul O Mandailing artinya sebagai berikut: Ada orang luar (baca: orang Belanda), yang berdiam di Panyabungan; semoga cepat mereka keluar, karena mereka sudah kaya dengan menghisap. Pada baik berikutnya tentang keluh kesah meski orang Belanda sudah kaya tetapi jalan tidak bisa digunakan penduduk untuk berdagang. Pada bait kedua terakhir mengindikasikan Willem Iskander akan berangkat lagi ke Belanda (untuk studi lebih lanjut) beberapa tahun dan jika saya kembali jangan kamu tetap bodoh. Pada baik terakhir Willem Iskander berpesan kepada para orangtua jangan lupa mengingatkan anak, agar terus meningkatkan pengetahuannya. Puisi ini tampaknya ditujukan kepada para orang tua. Puisi lainnya yang juga ditujukan kepada orangtua dalam buku ini berjudul Ajar Ni Amangna Di Anakna Na Kehe Tu Sikola (Ajaran orangtua kepada anaknya yang berangkat ke sekolah; lihat empat bait pertama dari delapan bait). Pada tahun 1874 Willem Iskander membawa tiga guru muda ke Belanda yakni Barnas Lubis dari Tapanoeli, Raden Soerono dari Soerakarta dan Raden Sasmita dari Bandoeng. Mereka berempat ke Belanda atas beasiswa pemerintah dimana Willem Iskander sebagai mentor untuk tiga guru muda.

Willem Iskander adalah pribumi pertama yang studi ke Belanda. Inisiatif Willem Iskander studi ke Belanda yang menjadi sebab sekolah guru di Tanobato menjadi yang terbaik mengundang protes dari berbagai pihak agar pemerintah memperhatikan pendidikan pribumi. Hasil dari protes itu, meski belum memuaskan, hanya tiga guru (untuk akta guru) yang dapat direalisasikan oleh pemerintah plus Willem Iskander (untuk mendapatkan akta guru kepala). Selama di Belanda sekolah guru Tanobato ditutup dan sepulang studi dari Belanda, Willem Iskander diproyeksikan sebagai direktur sekolah guru yang akan dibuka di Padang Sidempoean (onderafdeeling Angkola) pada tahun 1879.


Sekolah guru yang diasuh Willem Iskander telah menghasilkan sangat banyak guru. Setiap tahun siswa lulusan sekolah rakyat yang diterima 20 orang dengan tingkat kelulusan 100 persen. Selama 10 tahun pendirian sekolah guru telah mampu mengisi kebutuhan guru di seluruh afdeeling Angkola Mandailing. Jumlah lulusan guru yang terus bertambah ditempatkan di luar afdeeling di wilayah Residentie Tapanoeli. Lulusan sekolah guru ini juga ada yang bekerja di pemerintahan dan penerjemah di Batavia. Seperti Willem Iskander, mantan anak didiknya yang menjadi guru juga menulis buku pelajaran dan buku umum. Selanjutnya sekolah guru Padang Sidempoean dimana salah satu gurunya yang terkenal Charles Adrian van Ophuijsen juga menghasilkan guru-guru berkualitas. Sekolah guru Padang Sidempoean selama direkturnya Charles Adrian van Ophuijsen menjadi sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (bersama sekolah guru di Probolinggo). Seperti kita lihat nanti, dua diantara guru lulusan sekolah guru Padang Sidempoean adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Dalam hal ini Soetan Casajangan adalah anak dari Mangaradja Soetan, kepala kuria Batunadua di Padang Sidempoean yang merupakan mantan anak didik Willem Iskander di sekolah guru Tanobato. Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru di sekolah guru Padang Sidempoean sejak 1881. Dari delapan tahun Charles Adrian van Ophuijsen di sekolah ini, lima tahun terakhir menjabat sebagai direktur. Charles Adrian van Ophuijsen adalah penyusun kamus dan tatabahasa bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia.

Willem Iskander ‘berperang’ untuk mengentaskan otoritas Belanda tidak dengan senjata tetapi melalui pikiran dengan pena yang ‘tajam’. Willem Iskander tentu saja mengetahui perang di Mandailing (1843) dan di Angkola (1870) telah membawa banyak korban jiwa dan materi. Dalam perang di Mandailing bahkan Edward Douwes Dekker, controleur di Natal merasa prihatin dan melakukan advokasi kepada penduduk dan para pemimpin di Mandailing dan Angkola. Akibat dari perang di Mandailing dan perang di Angkola telah menyebabkan banyak penduduk di Angkola dan Mandailing eksodus ke Semenanjung Malaya. Willem Iskander tentu sadar bukan penduduk yang harus keluar tetapi orang Belanda yang harus keluar. Pada waktu buku Willem Iskander diterbitkan tahun 1872, Pemerintah Hindia Belanda tengah mempersiapkan perang di Toba (yang dipimpin Sisingamangaradja) dan di Aceh (yang dipimpin Panglima Polim). Willem Iskander dengan sadar melalui caranya sendiri untuk membangkitkan pikiran bangsa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pengetahuan, Persatuan, Organisasi, Kebangkitan dan Perjuangan: Dja Endar Moeda dan Medan Perdamaian, Raden Soetomo dan Boedi Oetomo, Soetan Casajangan dan Indische Vereeniging

Pemerintah Hindia Belanda telah berhasil menyatukan semua wilayah di Hindia Belanda di bawah kekuasaannya. Tidak ada lagi yang merdeka. Pemimpin Aceh terakhir Cut Nyak Dhien telah ditangkap tahun 1905 dan Sisingamangaradja berhasil dibunuh dengan cara ditembak tahun 1907. Tamat sudah semua perlawanan orang pribumi di seluruh Hindia Belanda. Wilayah Hindia Belanda hanya tinggal di bawah satu kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dengan penduduk jutaan yang tersegregasi dalam mozaik berbagai suku/etnik yang tak berdaya. Semua suku/etnik, semua wilayah ulayat (eks kerajaan-kerajaan) dikendalikan untuk dikapitalisasi pemerintah. Namun masih ada yang tersisa, buah pikiran Willem Iskander di Angkola Mandailing masih tetap hidup di dalam sanubari setiap orang. Harapan satu-satunya untuk mengentaskan Belanda adalah melalui (tingkat) pengetahuan.


Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, sepulang dari tanah suci Mekkah, memilih bertempat tinggi di Padang. Dja Endar Moeda alumni sekolah guru Padang Sidempoean (1884) ditempatkan sebagai guru pertama kali di Batahan (Natal), lalu kemudian berpindah tempat beberapa kali hingga yang terakhir di Singkil (sebelum berangkat haji). Selama menjadi guru Dja Endar Moeda pernah menjadi editor majalah pendidikan yang diterbitkan di Probolinggo (1887). Dja Endar Moeda di Padang melihat daya tamping sekolah pemerintah tidak cukup sehingga banyak penduduk usia sekolah tidak belajar. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah swasta di Padang. Pada tahun 1895 ini juga, investor Jerman mendirikan surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat yang merekrut Dja Endar Moeda sebagai kepala editor. Dja Endar Moeda menerimanya. Ketika para jurnalis Eropa/Belanda menanyakan mengapa bersedia terjun ke dunia jurnalistik, Dja Endar Moeda menjawab dengan singkat: “Pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan bangsa’. Dja Endar Moeda juga menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah dan juga buku-buku umum termasuk roman. Dja Endar Moeda mendirikan toko buku di Padang. Dengan portofolio yang tinggi itulah kemudian Dja Endar Moeda mengakuisiasi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya pada tahun 1899. Dja Endar Moeda menambah motto baru surat kabar Pertja Barat dengan “Oentoek Sagala Bangsa”. Pada tahun 1900 ini Dja Endar Moeda juga menerbitkan surat kabar baru dwi bahasa (Melayu dan Batak) dengan nama Tapian Na Oeli untuk sasaran pembaca di (wilayah) Tapanoeli.  

Kesadaran berbangsa Dja Endar Moeda terus tumbuh dan berkembang. Setelah memiliki sekolah, toko buku, dua surat kabar dan percetakan, Dja Endar Moeda pada tahun 1900 menginisiasi pendirian organisasi kebangsaan di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda menjadi presidennya. Organisasi Medan Perdamaian yang berpusat di Padang membuka cabangnya di sejumlah tempat seperti di Fort de Kock dan Sibolga. Organisasi Medan Perdamaian untuk semua etnik (bersifat nasionalis).


Pada tahun 1901 Dja Endar Moeda mendirikan majalah bulanan dengan nama Insulinde (baca: Nusantara) dengan mengusung tema pembangunan (pertanian dan industri rakyat) sebagai organ dari Medan Perdamaian. Pada tahun 1901 Charles Adrian van Ophuijsen, mantan guru Dja Endar Moeda di sekolah guru Padang Sidempoean yang menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi untuk wilayah Pantai Barat Sumatra menerbitkan buku tatabahasa bahasa Melayu. Pada tahun 1902, Dja Endar Moeda melalui organisasi kebangsaan Medan Perdamaian berhasil menggalang dana sebanyak f14.000 yang digunakan untuk peningkatan pendidikan di Semarang (Midden Java). Uang itu dikirimkan melalui Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat Sumatra (Charles Adrian van Ophuijsen) kepada Raden Kamil, Inspektur Pendidikan Pribumi Midden Java di Semarang. Catatan: Pada tahun 1874 Willem Iskander membawa tiga guru muda untuk meningkatkan studi ke Belanda atas biaya pemerintah (beasiswa). Raden Kamil adalah salah satu guru-guru muda berikutnya yang berangkat studi ke Belanda. Sepulang studi, Raden Kamil awalnya ditempatkan sebagai guru di sekolah guru di Magelang (suksesi sekolah guru Soerakarta). Karir Raden Kamil terus meningkat hingga diangkat menjadi Inspektur Pendidikan Pribumi Midden Java di Semarang. Sekali lagi, para guru berjuang dengan caranya sendiri.

Pada tahun 1903 Dja Endar Moeda membawa dua guru untuk studi lebih lanjut (kuliah) ke Belanda. Yang pertama adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, guru sekolah rakyat di Padang Sidempoean, yang juga menjadi adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru Padang Sidempoean. Yang kedua adalah Baginda Djamaloedin, lulusan sekolah guru Fort de Kock yang menjadi editor majalah Insulinde di Padang yang dipimpin Dja Endar Moeda. Sementara di Belanda sudah ada dua pribumi yang kuliah di Belanda. Yang pertama Raden Kartono, lulusan HBS Semarang (1896) yang merupakan abang dari Raden Kartini. Abdoel Rivai lulusan sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavia (1896). Pada tahun 1907 Soetan Casajangan lulus dengan akta guru LO dan kemudian lanjut ke tingkat yang lebih tinggi untuk mendapatkan akta MO (setara Sarjana Pendidikan lulusan IKIP pada masa ini).


Pada bulan Mei 1908 sejumlah siswa Stovia asal Jawa di Batavia yang dipimpin Raden Soetomo dkk mendirikan (organisasi kebangsaan) Boedi Oetomo. Dalam Kongres Boedi Oetomo di Djogjakarta yang berakhir pada awal Oktober 1908 para golongan senior mengambil alih yang kemudian dipimpin oleh Dr Wahidin Soediro Hoesodo dengan pusat di Djogjakarta. Boedi Oetomo yang didirikan di Batavia hanya ditempatkan sebagai salah satu cabang (afdeeling). Dalam kongres ini statuta Boedi Oetomo ditetapkan yang mencakup (hanya) wilayah Jawa dan Madoera (bersifat kedaerahan). Dalam kongres ini juga turut dihadiri sejumlah pejabat Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu yang berbicara dalam kongres ini memberitahukan bahwa organisasi semacam ini sudah lama ada di Pantai Barat Sumatra (Medan Perdamaian didirikan oleh Dja Endar Moeda).

Di Belanda sudah ada sekitar 20an pribumi yang studi yang datang dari berbagai wilayah di Hindia (Tapanoeli, West Sumatra, Jawa, Manado, Ambon dan Banten. Dalam konteks inilah Soetan Casajangan beberapa waktu sebelumnya merencanakan organisasi kebangsaan di Belanda sebagaimana dikatakannya kepada Mr Abendanon. Namun karena sibuk studi sehingga harus ditunda dan baru dapat direalisasikan pada bulan Oktober 1908. Seperti disebut di atas, Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda yang mana Dja Endar Moeda membawa Soetan Csajangan studi ke Belanda pada tahun 1903.


Soetan Casajangan meminta kepada Raden Soemitro untuk mengirim undangan kepada semua mahasiswa pribumi di Belanda untuk berkumpul di tempat kediamannya di Leiden. Pada tanggal 25 Oktober semua sepakat untuk membentuk organisasi dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Secara aklamasi mengangkat Soetan Casajangan sebagai presiden. Lalu dibentuk satu komite untuk Menyusun statuta (AD/ART). Komite tersebut adalah Raden Kartono, Raden Soemitro, Hoesein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan. Keempatnya bertempat tinggal di Leiden. Soetan Casajangan dan Raden Kartono tinggal di komplek yang sama di Leiden. Dengan sendirinya Indische Vereeniging bersifat nasional (seperti halnya Medan Perdamaian).

Jumlah mahasiswa pribumi asal Hindia terus meningkat jumlahnya di Belanda. Sementara itu dalam kepengurusan yang baru Boedi Oeotomo (1911) yang dipimpin bupati Karanga Anjar memiliki program utama: peningkatan mutu pendidikan di Jawa dengan yakni membentuk majalah guru dan mengirim guru muda untuk studi ke Belanda. Guru muda yang dikirim Boedi Oetomo dengan beasiswa adalah Sjamsi Widagda kelahiran Soerakarta lulusan sekolah guru Jogjakarta. Di Belanda, Sjamsi Widagda dititipkan kepada guru Soetan Casajangan. Mengapa? Selain (masih) ketua Indische Vereeniging, Soetan Casajangan adalah seorang guru, yang pada tahun 1911 ini Soetan Casajangan berhasil mendapat akta guru MO. Seperti dulu, Willem Iskander membimbing tiga guru muda, kini Soetan Casajangan oleh Boedi Oetomo meminta agar Sjamsi Widagda dibimbing. Demikianlah adanya, guru (junior) dibimbing oleh guru (senior).


Willem Iskander, Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan tidak lagi melihat siapa dirinya. Mereka bertiga antara generasi tersebut hanya melihat semuanya adalah bangsanya, bangsa pribumi (Indische). Bagaimana dengan di Boedi Oetomo? Satu yang jelas di Bandoeng pada tahun 1912 Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dkk telah membentuk organisasi beda ras dengan nama Indisch Partij. Namun karena sedikit agak radikal, lalu dihambat pemerintahan dan kemudian dilarang.

Pada tahun 1914 Dr Soetomo sepulang bertugas dari Tandjoeng Morawa (Deli), sangat gelisah. Dr Soetomo sangat prihatin dengan nasib para kuli kontrak asal Jawa di perkebunan-perkebunan di Deli yang tidak diperlakukan adil oleh para planter (orang Eropa/Belanda). Di Batavia Dr Soetomo meminta pengurus Boedi Oetomo afdeeling Batavia untuk diadakan rapat umum. Dr Sardjito ketua Boedi Oetomo afdeeling Batavia yang merupakan adik kelasnya di Stovia sangat setuju.


Rapat publik ini diadakan di gedung Boedi Oetomo di Gang Kwinie 3 yang mana tema yang dibicarakan Dr. Soetomo tentang kontrak kuli di Deli. Dalam rapat publik di Boedi Oetomo cabang Batavia Dr. Soetomo dalam pidatonya berapi-api. Dr. Soetomo menyatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakuan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’. Orang Tapanoeli di Medan pada saat itu sudah bisa mengatasi permasalahan sendiri dan bahkan sudah bisa bersaing dengan orang-orang Cina sejak dibentuknya Sarikat Tapanoeli di Medan pada tahun 1907 dan mendirikan surat kabar Pewarta Deli tahun 1909.  Anak-anak orang Tapanoeli sudah banyak yang studi ke negeri Belanda dan juga Batavia serta Buitenzorg.

Dr Soetomo adalah salah satu pendiri Boedi Oetomo. Namun, seperti disebut di atas, Boedi Oetomo sejak Oktober 1908 telah diambilalih oleh para senior. Boedi Oetomo seperti dikatakan Dr Soetomo hanya terus terkungkung di Jawa. Dr Soetomo setelah bergaul dengan orang Tapanoeli di Medan dan Deli mulai menyadari betul arti pembentukan bangsa secara nasional. Dr Soetomo yang telah membuka diri, mulai mendobrak doktrin Boedi Oetomo. Organisasi kebangsaan (Boedi Oetomo) harus diarahkan ke bentuk persatuan nasional. Lantas apakah dalam hal ini Boedi Oetomo afdeeling Batavia telah melakukan perlawanan kepada dewan pusat Boedi Oetomo di Djogjakarta?


Nama Indonesia sudah diusulkan oleh seorang Inggris Richard Logan pada tahun 1850. Nama Indonesia untuk menamai wilayah Hindia Belanda tampaknya mendapat tempat di dunia akademik. Dalam perkembangannya Adolf Bastian seorang Jerman yang banyak beriteraksi dengan para akademisi Belanda, dari waktu ke waktu konsisten menggunakaan nama Indonesia. Seorang Belanda ahli hukum adat Cornelis van Vollenhoven menyebut nama Indonesia pada bukunya yang diterbitkan pada tahun 1913. Sementara itu dari sisi Pemerintah Hindia Belanda merasa tidak ada alasan mengapa harus menggantikan nama baru Indonesia untuk nama Hindia Belanda.

Pada tahun 1917 di Belanda diadakan Kongres Hindia yang diinisiasi oleh organisasi mahasiswa Indologi yang dipimpin oleh HJ van Mook. Kongres tersebut akan dihadiri oleh perwakilan seluruh organisasi mahasiswa asal Hindia di Belanda termasuk organisasi mahasiswa pribumi Indische Vereeniging dan organisasi mahasiswa Cina Chung Hwa Hui.


Pada tahun 1917 ini pengurus baru Indische Vereeniging terbentuk yang diketuai oleh Notodiningrat. Dalam rapat umum anggota juga dibicarakan tentang persiapan untuk mengikuti Kongres Hindia. Rapat mengangkat Dahlan Abdoellah sebagai perwakilan Indische Vereeniging untuk berbicara dengan makalah.

Dalam Kongres Hindia ini masing-masing perwakilan menyampaikan makalah. Dahlan Abdoellah yang mewakili Indische Vereeniging mengusulkan penggunakan nama Indonesia untuk wilayah Indonesia dan penduduknya disebut orang Indonesia. Usul ini kemudian diadopsi. Sejumlah perwakilan Indische Vereeniging yang memberi tanggapan dalam kongres itu antara lain Goenawan Mengoenkoesoemo dan Sorip Tagor Harahap. Lalu kemudian pada Kongres Hindia berikutnya tahun 1918 nama kongres sudah disebut Kongres Indonesia. Salah satu keputusan Kongres Indonesia 1918 itu adalah dibentuknya federasi dengan nama Indonesiasch Studerenten Veeriniging dengan menerbitkan majalah triwulanan.


Pada tahun 1922 di Dewan Pusat di Batavia (Volksraad) muncul usulan (mosi) untuk penggunaan nama Indonesia untuk Hindia Berlanda. Namun sempat deadlock karena nama itu akan bertentangan dengan Undang-Undang. Lalu diadakan voting. Hasilnya sangat tidak terduga. Hanya tiga suara yang menyatakan mendukung dan selebihnya menolak. Namun yang tidak terduga lagi tiga orang yang mendukung tersebut adalah anggota dewan orang Eropa/Belanda. Bagaimana dengan anggota dewan pribumi? Yang jelas Hasil Kongres Hindia tahun 1917 di Belanda tidak berlanjut sukses di sidang umum Volksraad di Batavia.

Sejak nama Indonesia diadopsi Kongres Hindia di Belanda pada tahun 1917, nama Indonesia menjadi cepat populer diantara orang-orang pribumi baik di Belanda maupun di Hindia. Nama Indonesia digunakan untuk nama perusahaan, nama organisasi dan sebagainya. Di Belanda sendiri sejak kepengurusan Indische Vereeniging di bawah pimpinan Dr Soetomo dkk tahun 1921 namanya diubah menjadi Indonesisch Vereeniging. Kemudian pada kepengurusan Mohamad Hatta dkk tahun 1925 namanya kembali diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).


Seiring dengan dinamika perkembangan organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, pada tahun 1925 di Batavia berkumpul para tokoh pemuda yang mewakili organisasi masing untuk penyelenggaraan Kongres Pemoeda. Suatu komite dibentuk dengan ketua Mohamad Thabrani dari organisasi pers dengan wakil ketua Bahder Djohan mahasiswa Stovia dari organisasi kepemudaan Jong Sumatranen Bond. Dalam perkembangannya sejumlah pembicara sudah ditetapkan dan penyelenggaraan Kongres Pemuda akan diadakan pada bulan April 1926. Hasil kongres sepakat untuk mewujudkan persatuan diantara organisasi-organisasi kepemudaan Indonesia dan bahasa yang digunakan bahasa Melayu.

Setelah terbilang sukses Kongres Pemuda 1926, komite penyelenggaraan Kongres Pemoeda kedua tahun 1927 dibentuk dimana ketuanya adalah Bahder Djohan. Mohamad Thabrani sendiri akan berangkat studi jurnalistik ke Eropa. Namun dalam perkembangannya rencana kongres tahun 1927 tidak terlaksana.


Seiring dengan Kongres PPPKI (senior) yang pertama yang akan diadakan di Batavia pada bulan September 1928, suatu komite Kongres Pemuda dibentuk pada bulan Juli 1928. Komite utama adalah Raden Soegondo sebagai ketua (PPPI); Mohamad Jamin sebagai sekretaris (Jong Sumatranen Bond); Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai bendahara (Jong Batak). Ketiganya mahasiswa Rechthoogeschool di Batavia. Kongres Pemuda tersebut akan diselenggarakan pada bulan Oktober 1928.

Salah satu hasil Kongres PPPKI pada tahun 1928 ini adalah mengubah nama federasi dari Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) menjadi Permoefakatan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia diarahkan untuk menjadi partai politik. Sedangkan hasil Kongres Pemoeda 1928 pada intinya membuat suatu keputusan yang isinya menjunjung persatuan: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa: Indonesia.


Seperti halnya nama Indonesia secara formal diadopsi dalam Kongres Hindia di Belanda pada tahun 1917, dalam Kongres Pemuda tahun 1928 ini di Batavia nama bangsa Indonesia diadopsi (diakui) secara formal dengan nama Bangsa Indonesia. Sejak inilah bangsa Indonesia terbentuk, suatu bangsa yang terdiri dari suku-suku bangsa. Dan tentu saja sejak ini pula bahasa persatuan bangsa Indonesia diformalkan dengan nama Bahasa Indonesia. Upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan (bangsa) Indonesia semakin intens dari waktu ke waktu.

Lepas tentang apa yang terjadi dengan bangsa lainny, pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan sebagaimana di dalam teks proklamasi yang dibacakan oleh Ir Soekarno. Dalam teks ini ditutup dengan Djakara, hari 17 bulan 8 tahun 45, Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta.


Dalam teks proklamasi tidak disebutkan negara “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia”. Yang dinyatakan adalah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Dalam kalimat ini ‘bangsa Indonesia’ sebagai suatu bangsa yang diakui pada tanggal 28 Oktober 1928, dan ‘kemerdekaan Indonesia’ yang mengindikasikan kemerdekaan dari ‘bangsa Indonesia’ yang berada di wilayah Indonesia sebagaimana diakui sebagai tanah air Indonesia sebagaimana yang diadopsi pada Kongres Hindia pada tahun 1917. ‘Atas nama bangsa Indonesia’ mengindikasikan Soekarno dan Mohamad Hatta sebagai representasi (perwakilan) bangsa Indonesia, bangsa yang telah diakui pada tanggal 28 Oktober 1928.

Pada keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 statuta negara disahkan sebagai UUD 1945. Isi statuta tersebut adalah suatu kumpulan pernyataan yang mendefinisikan ‘bangsa Indonesia’, ‘tanah air Indonesia’ dan ‘Bahasa Indonesia’ yang diakui pada tanggal 28 Oktober 1928.


Dalam mukaddimah UUD 1945 dinyatakan ‘Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’. Dalam kalimat ini dinyatakan ‘negara Indonesia’. Dalam UUD 1945 ini ‘tanah air Indonesia’ adalah dalam bentuk ‘negara Indonesia’. Dalam Pasal 1 (1) ‘Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik’ diperjelaskan sebagai ‘negara kesatuan’ (bukan negara federal) yang berbentuk ‘republik’. Pada Pasal 36 ‘Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia’ dinyatakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa persatuan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar