Sabtu, 09 Mei 2020

Sejarah Bogor (49): Kampung Ciluar dan Kedung Halang; Sungai Tjiloear Bemuara dan Juga Berhulu di Sungai Tjiliwong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Ciluar bukanlah nama baru, tetapi nama sungai dan nama tempat yang sudah lama sekali. Nama sungai dan nama tempat Ciluar [Silouaar] paling tidak sudah diidentifikasi pada Peta 1695. Kampong Silouaar ini berada di hilir kampong Kedunghalang [Coudoungalang]. Sungai Ciluar berhulu di dekat sungai Tjiliwong di (kampong) Katoelampa dan bermuara ke sungai Tjiliwong (di sekitar jembatan Cibinong-Bojong Gede yang sekarang).

Kampong Tjiloear (Peta 1695) dan Land Tjiloear (Peta 1860)
Pada masa ini nama kampong Tjiloear menjadi nama kelurahan Ciluar di kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, juga kampong Kedonghalang menjadi nama kelurahan di kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Dua kelurahan ini dipisahkan oleh kelurahan Cibuluh dimana terdapat jalan raya Bogor. Kelurahan Ciluar dilintasi oleh jalan tol dari jalan tol Jagorawi ke kelurahan Kedong Badak (kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor).

Pada era VOC, wilayah dua kampong yang bertetangga ini dijadikan tanah partikelir (land) dengan nama Land Tjiloear dan Land Kampong Baroe atau Land Kedong Halang. Diantara dua land ini dibentuk land Tanah Baroe. Lantas seperti apa sejarah lebih lanjut dari (kampong) Tjiloear? Mungkin pertanyaan ini terkesan sepele dan tidak penting. Namun demikian nama Tjiloear sebagai nama sungai tentu sangat menarik, karena sungai Tjilioear adalah salah satu sungai yang bermuara ke sungai Tjiliwong. Tidak hanya itu, sungai Tjiloear ternyata berhulu di sungai Tjiliwong (dari Tjiliwong ke Tjiliwong). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 08 Mei 2020

Sejarah Bogor (48): Villa/Istana Buitenzorg, Gempa dan Letusan Gunung Salak; Kebun Raya Diperluas ke Sisi Utara S Tjiliwong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Kota Bogor yang sekarang, di masa lampau tidak jarang menghadapi ancaman. Pada tahun 1699 terjadi letusan gunung Salak dan gempa besar. Pada tahun 1745 sebuah villa dibangun di area sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Villa ini menjadi cikal bakal Istana Bogor yang sekarang. Beberapa tahun setelah villa tersebut dibangun pada tahun 1752 terjadi serangan dari Banten. Villa yang disebut Villa Buitenzorg terbakar dan rusak (kemudian dibangun kembali).

Menurut sumber lain gunung Salak pernah meletus pada tahun 1761. Gunung Salak kembali meletus pada tahun 1780. Sementara itu gunung Gede pernah meletus sekitar tahun 1747 dan tahun 1761 yang bersamaan dengan gunung Salak. Tentu saja gunung Salak dan gunung Gede-gunung Pangrango masih pernah meletus sesudahnya. Letusan-letusan gunung-gunung tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi villa-istana Buitenzorg dan tentu saja kebun raya yang telah dibangun pada era pendudukan Inggris (1811-1816). Namun gempa bumi tidak selalu disertai letusan. Frekeunasi gempa yang terjadi yang mengancam villa-istana dan kebun raya Buitenzorg jauh lebih tinggi lagi.

Lantas seperti apa dampak yang ditimbulkan letusan gunung Salak dan gempa yang terjadi bagi villa-istana Buitenzorg? Sudah banyak penulis yang membicarakannya. Namun kisah antara villa-istana Buitenzorg dengan letusan gunung dan gempa tetaplah menarik untuk disimak lagi karena masih banyak fakta dan data yang belum terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan yang ada, mari kita telusuri lagi sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 07 Mei 2020

Sejarah Bogor (47): Pulau Geulis dan Lebak Pasar; Pulau di Tengah Sungai Ciliwung dan Area Kampong Babakan di Bawah Pasar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Pulau Geulis dan Lebak Pasar ibarat pulau di tengah lautan dan pantai daratan. Tidak terpisahkan satu sama lain. Kedua area ini berada di satu lembah yang dipisahkan oleh sungai Ciliwung. Oleh karena itu ‘mereka’ tetap terikat hingga ini hari sebagai satu kelurahan: Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Keterikatan mereka sebagai satu wilayah bukanlah baru-baru ini, tetapi, bahkan sudah sejak lama, sejak namanya secara geografis diidentifikasi dengan nama Poelaoe Poetri. Disebut Pulau Geulis baru belakangan.

Pulau Geulis di Babakan Pasar (Peta 1900); Jembatan Otista (1903)
Seperti halnya Sempur, saya kenal betul dengan wilayah (kelurahan) Babakan Pasar ini, paling tidak pada awal tahun 1980an saya kerap berkunjung ke tempat teman-teman yang berada di dekat Jalan Otista yang disebut Lebak Pasar. Area Lebak Pasar ini berbatasan di hilir sungai dengan Kebun Raya dan di sisi utara sungai dengan kelurahan Baranang Siang. Tidak hanya itu dari area Lebak Pasar juga bisa akses ke jalan Pulau Geulis melalui jembatan bambu (kini pulau hanya dihubungkan jembatan ke arah utara di jalan Riau). Pulau ini satu kesatuan wilayah dengan Lebak Pasar dan karena itu Pulau Geulis masuk kelurahan Babakan Pasar (hingga ini hari). Tempo doeloe seingat saya Lebak Pasar disingkat Elpas (L-Pas) dan Pulau Geulis sering dikunjungi warga Elpas karena pulaunya memang benar-benar cantik. Seberang sungai dari kampong Lebak Pasar adalah kampong Babakan Pendeuy.

Pulau Geulis dan Lebak Pasar bukanlah kampong biasa, meski belakangan ini terkesan biasa-biasa saja. Pulau Geulis sudah ada penghuninya sejak lama, sejak adanya pasar. Nama Lebak Pasar muncul seiring dengan adanya pasar Buitenzorg, namun tidak begitu jelas apakah pada era VOC atau era Pemerintah Hindia Belanda. Yang jelas nama Lebak Pasar dan nama Pulau Geulis sudah lama adanya. Sebelumnya nama Poeloe Poetri disebut sebagai Pulau Gadis (het eiland der Jonkvrouw). Kampong yang berada di pulau disebut Kampong Poelo (tempat prostitusi). Karena itu ada juga yang menyebutnya sebagai Noesa Lara[ng] (menurut KF Holle pulau terlarang). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 06 Mei 2020

Sejarah Bogor (46): Sempur dan Lebak Kantin; Kampong Tua Pondok Sempoer dan Kampong Kantin Berada di Bawah Kantin


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sempur dan Lebak Kantin ibarat dua sisi koin. Tidak terpisahkan satu sama lain. Kedua area ini berada di satu lembah yang dipisahkan oleh sungai Ciliwung. Oleh karena itu ‘mereka’ tetap terikat hingga ini hari sebagai satu kelurahan: Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Keterikatan mereka sebagai satu wilayah bukanlah baru-baru ini, tetapi, bahkan sejak jaman kuno, sejak namanya secara geografis diidentifikasi dengan nama Pondok Sempoer (1701) .

Sempur Tempo Doeloe (Peta 1701 dan Lukisan 1772)
Saya kenal betul dengan wilayah (kelurahan) Sempur ini, paling tidak pada awal tahun 1980an saya kerap berkunjung ke asrama Ekasari dan asrama Felecia yang berada di tanjakan (koridor) antara lapangan Sempur di bawah dan taman Kencana di atas. Area Sempur ini berbatasan di hulu sungai dengan Kebun Raya dan ke arah selatan bisa menuju Warung Jambu. Tidak hanya itu dari area (lapangan) Sempur juga bisa akses ke jalan Sudirman melalui jembatan gantung. Sebelum adanya jembatan-jalan (jalan Harupat) pada era Pemerintah Hindia Belanda, jauh sebelumnya di era VOC sudah dihubungkan dengan jembatan gantung yang dibangun oleh pemilik lahan.

Sempur dan Lebak Kantin bukanlah kampong biasa, meski belakangan ini terkesan biasa-biasa saja. Kampong Sempur dengan nama awal kampong Pondok Sempoer adalah termasuk salah satu kampong tertua di Kota Bogor (luar biasa). Sementara kampong Lebak Kantin adalah bagian dari kampong Sempur di sisi barat sungai yang berbatasan dengan kantin (ruang makan para prajurit) di garnisun militer (jalan Sudirman yang sekarang). Kantin ini kemudian relokasi ke area Zeni. Namun area di bawah kantin kadung disebut Lebak Kantin (luar biasa hingga ini hari namanya tetap eksis). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 05 Mei 2020

Sejarah Bogor (45): Ekspedisi Jacob CM Radermacher, 1777; Buitenzorg, Tjisaroea, Tjiandjoer, Goenoeng Parang, Tjitjoeroek


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Ekspedisi pada tempo doeloe ke suatu wilayah baru di satu sisi bertujuan untuk membuka ruang wilayah dan di sisi lain (pada masa kini) menjadi sumber sejarah yang penting. Setiap ekspedisi selalu dicatat tetapi tidak semua dokumennya tersedia pada masa kini (karena hilang atau rusak). Namun sejumlah catatan ekspedisi sudah ada yang diekstrak dalam bentuk tulisan sekunder. Catatan ekspedisi Jacob Cornelis Mattheus Radermacher ke hulu sungai Tjiliwong masih ditemukan secara utuh. Ekspedisi ini dilakukan pada tahun 1777. Yang menarik dari catatan ini kita mendapatkan gambaran ruang wilayah seputar gunung Gede-Pangrango dari Buitenzorg, Tjisaroea, Tjiandjoer, Goenoeng Parang (kini Soekaboemi), Tjitjoeroek (dan kembali ke Buitenzorg).

Ekspedisi-ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong
Catatan ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong dilakukan pada tahun 1687 yang dipimpin oleh Luitenant Patinggi dan Sergeant (Belanda) Pieter Scipio. Laporan ekspedisi dari kedua orang tersebut telah ditemukan dua abad kemudian dan telah diekstrak oleh penulis-penulis Belanda. Catatan ekspedisi kedua dilakukan dibuat oleh Michiel Ram dan Cornelis Coops pada tahun 1701. Catatan ini masih terbilang utuh, sebagaimana Pieter Scipio, dilengkapi dengan peta (rute) perjalanan. Setelah itu berbagai ekspedisi dilakukan, yang terpenting ekspedisi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeeck tahun 1703 semasih menjabat Direktur VOC yang kemudian disusul pada tahun 1710 (sebagai Guburnur Jenderal VOC).dan ekspedisi yang dilakukan oleh Jeremias van Riemsdijk (Gubernur Jenderal VOC 1775-1777). Ekspedisi Jacob Cornelis Mattheus Radermacher dilakukan setelah Jeremias van Riemsdijk.

Selain itu, apa keutamaan ekspedisi Jacob Cornelis Mattheus Radermacher? Pertama, Jacob Cornelis Mattheus Radermacher adalah seorang ilmuwan (bergelar Ph.D) yang menjadi pendiri Lembaga Ilmiah VOC (Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen). Kedua, sebagai seorang sarjana, yang sangat berminat pada ilmu dan pengetahuan, membuat catatan yang terbilang lengkap (detail tentang yang diperlukan). Sungguh beruntung kita masih menemukan catatan perjalanan ekspedisi Jacob Cornelis Mattheus Radermacher. Catatan ini masih dalam bentuk primer. Dalam artikel ini kita sarikan untuk mendapatkan gambaran ruang wilayah seputar gunung Gede-Pangrango pada tahun 1777.

Senin, 04 Mei 2020

Sejarah Bogor (44): Ciwaringin, Tempo Doeloe Disebut Kedongdalam di Sungai Tjiwaringin; Kampong Tertua di Bogor?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Ciwaringin boleh saja berada di pinggir kota di era Buitenzorg (era kolonial Belanda). Namun dengan memperhatikan sejarah awal, kampong Ciwaringan sejatinya adalah kampong tertua di kota Buitenzorg. Sebelum nama kampong Batoe Toelis muncul, nama Ciwaringin sudah disebut sebagai sebuah kampong dengan nama Kedongdalam. Tetangga kampong Kedongdalam adalah kampong Kedongwaringin.

Pada masa ini di Kota Bogor ada suatu area yang disebut Gedung Dalam di kelurahan Sukasari. Nama Gedung Dalam saling tertukar dengan sebutan lainnya Gedong Dalam, Kedung Dalam dan Kedong Dalam. Nama Sukasari sebelumnya bernama Bantar Pete. Lebih jauh ke masa lampau, sebelum munculnya nama kampong Bantar Pete sudah ada nama kampong Kedongdalam dan kampong Kedongwaringin. Dua nama kampong ini berada di daerah aliran sungai Tjiwaringin. Di dalam wilayah administrasi Kota Bogor, Ciwaringin, Kedong Waringin dan Sukasari masing-masing adalah kelurahan.

Lantas bagaimana (kampong) Ciwaringin dapat dikatakan sebagai kampong tertua di Bogor? Itulah pertanyaannya. Mungkin pertanyaan ini terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, itu pula tantangannya. Atau pertanyaannya dibalik. Apa nama kampong tertua di Bogor? Di internet ada yang mengklaim: kampong Sindang Barang di desa Pasir Eurih. Okelah. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.